Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Geologi Calon Ibu Kota Negara di Sepaku, Kalimantan Timur: Air Tanah & Geohazardnya

Tanggal 23 Desember yang lalu, begitu menonton video yang menggambarkan tentang berbagai rencana kondisi Ibu Kota Negara baru kita nantinya, pertama kali yang terlontar dari benak saya: Ati-ati…. Susah air di calon lokasi ibu kota Negara!

Dirilis pertama di Facebook pribadi.


Tanggal 23 Desember yang lalu, begitu menonton video yang menggambarkan tentang berbagai rencana kondisi Ibu Kota Negara baru kita nantinya, pertama kali yang terlontar dari benak saya: Ati-ati…. Susah air di calon lokasi ibu kota Negara!

Selain itu, ada beberapa aspek geoteknik dan kebencanaan yang musti lebih diperdalam informasi dan data dasarnya. Hal ini diperlukan supaya perencanaannya tidak sembarangan dan bisa lebih menyeluruh, termasuk mempertimbangkan aspek-aspek geologi bawah permukaan, baik yang dangkal maupun yang dalam; bukan hanya sekadar menggambarkan desain yang indah-indah di atas peta topografi, morfologi dan tutupan muka bumi belaka.

Dengan demikian, nantinya tidak akan ada penyesalan atas membengkaknya biaya operasional kehidupan sehari-hari bernegara di sana karena harus terus menerus menangulangi “bencana” yang diakibatkan kondisi lokal geologi yang tidak diantispasi/dimitigasi sebelumnya, karena kurang-pahamnya para perencana (dan penyelenggara negara) atas kondisi bawah permukaan tersebut.

Untuk itu, saya coba bongkar file-file penelitian lama saya, dan akhirnya dengan dibantu Purnama Suandhi dan Iban Getarjati, saya coba rangkai beberapa fakta dan analisa.

Dimulai dengan Gambar 1 yang memperlihatkan Peta DEM, dioverlay dengan kawasan IKN yang ada tiga kriteria. Kemudian langsung kita menukik ke masalah utamanya: air tanah.

Gambar 1-.jpg

Gambar 1

Peta DEM dioverlay dengan kawasan IKN yang punya 3 kriteria: Kawasan Inti Pusat Pemeritahan 5.644 hektar, Kawasan IKN 42.000 hektar, dan Kawasan Perluasan IKN 180.965 hektar.

Lempung beratus-ratus meter di bawah tanah, airnya hanya ada di lensa-lensa pasir yang dalam.

Untuk urusan air tanah ini, siapapun bisa bertanya ke mereka yang pernah berkegiatan di area Sepaku dan sekitarnya, betapa susahnya mendapatkan air tanah baku di daerah tersebut. Hal ini disebabkan oleh kondisi hidrogeologi yang pada umumnya terkait dengan kondisi permukaan daerah tersebut yang disusun oleh batuan sedimen lempung endapan laut berumur dari 23-33 juta tahun yang lalu (N6, N5, N4 – Zonasi Blow: Miosen Awal). Peta geologi pemerintah menyebutkan lempung itu sebagai Formasi Pamaluan. Di dalam lempung tidak mungkin didapatkan air tanah, kecuali lempung yang retak-retak; itupun sangat minim. Air tanah kemungkinan didapatkan di lapisan-lapisan pasir dan atau batu-gamping yang berongga. Nah, di Formasi Pamaluan itu pasir hanya terdapat berupa lensa-lensa tebal max 10 meter luas 5-10 km2, dan jarang terhubung satu dengan lainnya dr permukaan ke bawah permukaan.

Korelasi sumur-sumur bor migas TENGIN-BELONAK-TUYU (Gambar 2) menggambarkan betapa minimnya keberadaan batupasir di bawah permukaan bumi di Formasi Pamaluan (N6-N4) sampai di Formasi Tuyu (N3-P16) itu. Kawasan inti Ibu Kota Negara kita di daerah Sepaku, jelas-jelas tidak punya daya dukung mencukupi untuk air tanahnya.

Gambar 2-.jpg

Gambar 2

Korelasi sumur-sumur Tengin-Belonak-Tuyu memperlihatkan dominasi lapisan lempung di permukaan dan bawah permukaan daerah Ibu Kota Negara yang baru; implikasinya: potensi air tanahnya: sangat minimal.

Bagaimana dengan potensi air tanah di kawasan penyangganya? Sama saja! Mari kita tengok agak sedikit keluar dari daerah Sepaku, yaitu daerah yang nantinya masih termasuk kawasan IKN yang 42rb hektar itu. Saat ini saja daya dukung air tanah (regionalnya) tidak bisa/tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduk Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara. PDAM harus bikin bendungan-bendungan dan embung yang kondisi recharge airnya juga tergantung musim; kalau kemarau seringkali (insyaAllah) tidak mencukupi.

Sejak awal 80an (pertama kali saya tinggal dan bekerja di area Balikpapan – Penajam – Sepaku – Samboja) sampai menjelang 2020 (di mana meskipun sudah lama tidak tinggal di sana lagi tapi saya masih sering mondar-mandir riset dan ngajar di daerah tersebut bertahun-tahun) kecukupan air baku untuk kehidupan sehari-hari ini masih jadi masalah. Truk tangki jualan air hilir mudik di kota Balikpapan merupakan pemandangan yang biasa kita jumpai sampai hari ini.

Perlu rekayasa khusus penyediaan air baku (baik dari rekayasa air permukaan, maupun dari air bawah tanah DARI DAERAH LAIN YANG BERDEKATAN) untuk bisa meningkatkan daya dukung lingkungan bagi jumlah penduduk dan kegiatan yang akan meningkat 10-15 kali lipat di calon ibu kota negara ini.


Peta geologi (dan hidrogeologi serta geologi teknik) pemerintah perlu dimutakhirkan dan lebih didetailkan.

Penelitian doktoral saya dulu memakai data geologi lapangan 1:10.000, data lubang tembak seismik dan data seismiknya sendiri, dan juga data sumur pemboran dalam yang 70-80% akuisisinya di daerah kawasan calon ibu kota negara, yang luas arealnya konon 40.000 hektare itu (Gambar 3).

Gambar 3-.jpg

Gambar 3

Peta dasar data seismik dan sumur di area sekitar IKN yang juga memperlihatkan blok-blok migas beserta kerapatan data sumurnya. Pada gilirannya nanti, kita perlu juga untuk menampalkan data rembesan migas dan prospek-prospek migas di daerah sekitar IKN untuk kepentingan mitigasi hazardnya.

Saya memanfaatkan akuisisi data geologi dengan peta dasar skala 1:10.000 yang dilaksanakan oleh perusahaan minyak VICO Indonesia (sekarang jadi PHSS), yang proyek pemetaannya dilakukan bertahap, bersamaan dengan proyek akuisisi data seismik 2D Regional dan 3D lokal dari tahun 1991 sampai dengan 1998.

Sebagai perbandingan, peta geologi yang dibuat oleh pemerintah (lembar Samarinda dan lembar Balikpapan), keduanya berskala 1:250.000 dan pembuatannya dilakukan dengan menggunakan peta dasar 1:25.000. Dari segi kerincian, tentunya sangat berbeda hasilnya, seperti terlihat di Gambar 4.

Gambar 4-.jpg

Gambar 4

Perbandingan antara peta geologi resmi pemerintah (1994-1995) dengan peta hasil penelitian (2004). Terlihat peta hasil penelitian menampilkan data struktur (patahan, antiklin) dan fasies dan umur yang lebih detail.


Khusus untuk kawasan inti pusat pemerintahan yang luasnya 5644 hektar, data geologi resmi pemerintah tidak terlalu banyak tersedia karena “tertutup”nya daerah itu sejak tahun 1980an,eksklusif dipakai untuk kegiatan HPH. Meskipun demikian, saya berhasil menggabungkan data seismik yang jarang dengan pengamatan langsung di lapangan (sampai tahun 2012) yang akhirnya menghasilkan resume Blok 3 Dimensi seperti terlihat di Gambar 5 dan 6.

Gambar 5-.jpg

Gambar 5

Diagram 3 Dimensi dari Kawasan Inti Pusat Pemerintahan ditampilkan dengan menggunakan data DEM (perhatikan kelurusan-kelurusan patahan dengan batas-batas morfologi).

Gambar 6-.jpg

Gambar 6

Diagram 3 Dimensi Kawasan Inti Pusat Pemerintahan ditampilkan dengan menggunakan data peta fasies, form line kontur struktur, dan patahan-patahan. (Perhatikan pada umumnya lokasi IKN didominasi oleh endapan laut dalam dan patahan-patahan yang merupakan patahan anjak kaki/toe thrust fault).


Di diagram 3 dimensi tersebut terlihat bahwa daerah kawasan inti pusat pemerintahan dipotong-potong oleh patahan-patahan naik berarah Timur Laut - Barat Daya yang dalam analisis tektono-sedimentasinya terbentuk di awal pengendapannya sebagai patahan ANJAK-KAKI (toe-thrust fault) di daerah lereng paparan menuju laut dalam. Patahan ini kemudian mengalami Plio-Pleistocene reactivation lima juta tahun yang lalu, di mana dia mula terangkat ke permukaan bumi sampai sekarang. Patahan-patahan ini adalah lokasi-lokasi rawan longsor yang harus dipertimbangkan daya dukungnya terhadap fondasi apabila hendak membangun bangunan, apalagi bertingkat, di daerah tersebut.

Lebih mahal?

Dengan adanya batasan-batasan (constraint) geologi yang sebagian dipaparkan di atas, apakah terus jadi lebih mahal lagi biaya untuk membangun IKN baru ini? Mungkin saja.

Yang jelas: kondisi yang digambarkan arsitek/perencana ibu kota baru dengan limpahan air di mana-mana dan hutan yang asri masih asli dan sungai yang mengalir permanen itu secara alamiahnya tidak ada di lokasi calon ibu kota negara di Kabupaten PPU dan KuKar itu. Sungainya yang besar-besar pada umunya sungai pasang surut, bukan sungai permanen. Beberapa sungai kecil di bagian barat kawasan inti pusat pemerintahan mungkin masih berupa sungai “remaja” sampai “dewasa” dan masih tawar airnya, tetapi apakah cukup dibendung untuk kebutuhan 1,5 - 2 juta jiwa penduduk ibu kota negara nantinya, musti benar-benar dihitung mass-balancenya.

Tidak ada danau alamiah dan muka air tanahnya dalam banget atau malah tidak ada sama sekali air tanahnya seperti disebutkan di paragraf awal tulisan ini. Air tanah yang cukup melimpah dijumpai di sepanjang sabuk pinggir pantai dari Bontang - Barat Muara Badak - Lampake - Kutai Lama - Handil - Timur Mutiara – Samboja. Tetapi di sebelah barat sabuk itu (yang notabene adalah kawasan IKN) air tanahnya susah, dalamnya sampai ratusan meter, kuantitas dan kuaitasnya terbatas.

Hutannya pun sekarang gundul dan kalaupun ada sudah jadi HTI (bukan hutan primer), dan banyak tanah longsor karena jenis batuannya endapan laut dalam yang mudah mengembang (Gambar 7 dan 8) dan patahan-patahan geologi saling menyilang.

Gambar 7-.jpg

Gambar 7

Contoh foto lapangan singkapan lempung laut dalam di utara daerah ibu kota negara.

Gambar 8-.jpg

Gambar 8

Foto singkapan batupasir endapan laut dalam yang sangat terbatas pelamparannya dan mempunyai kemiringan yang tajam di sekitar daerah patahan. Rawan longsor.


Selain itu banyak juga terdapat lapisan batu bara dangkal yang mudah sekali terbakar, terutama di kawasan perluasan ibu kota di sepanjang area Bukit Suharto. Hal ini akan jadi faktor penghambat yang harus diatasi dengan rekayasa geoteknik tertentu yang kalau tidak serius perencanaan dan implementasinya bisa bikin runyam kondisi kebencanaannya. Meskipun lokasinya di kawasan perluasan, tetapi efek kebakarannya sudah pasti akan mempengaruhi gerak langkah kehidupan sehari-hari di kawasan pusat pemerintahan ibu kota yang hanya berjarak 10-20 km dari lokasi terdekat batu bara terbakar tersebut. Pengurangan resiko dengan dari awal mematikan potensi batu bara terbakar ini juga akan jadi bagian “biaya” membangun IKN yang tidak murah.

Sebenarnya, kondisi bumi yang bagaimanapun kompleksnya, kalau kita benar-benar memahaminya insyaAllah bisa direkayasa manusia untuk kepentingan keselamatan dan kenyamanan hidupnya. Masalahnya, biayanya berapa? Dan terlebih lagi, seringkali informasi dan pemahaman tentang kondisi bawah permukaan buminya sendiri tidak dimiliki oleh para perencana permukaan. Kemungkinan besar para perencana tata ruang serba indah masa depan yang menang-menang sayembara itu juga belum memasukkan pertimbangan daya dukung dan geohazard-nya.

Secepatnya.

Lembaga-lembaga pemerintah yang seharusnya memiliki data dan informasi itu mustinya lantang menyuarakan pentingnya pengayaan dan pendalaman informasi data kebumiannya, karena produk-produk yang mereka ajukan sekarang ini untuk dijadikan dasar perencanaan hanya produk-produk peta/informasi yang normatif dan “dangkal” dan terlalu regional, paling mutakhir data geologinya 1995 (peta geologi terakhir yang dibikin disana), dan skalanya 250.000

Bappenas musti terus berhati-hati dan tidak gegabah dengan proses lanjut perencanaan ini, musti sedikit “ngalah” dengan pemutakhiran data dasar geologinya dulu baru lanjut dengan perencanaan disain dan sebagainya. Tapi harus dilakukan kilat, cepat, dan efisien kalau mau diselesaikan perencanaannya sepanjang periode kedua Jokowi ini.

Terakhir malahan saya baca informasi bahwa perencanaan detail akan dilakukan segera di 2020, dan diharapkan selesai pertengahan hingga akhir 2020. Mohon jangan grusa-grusu, ingat jalan-jalan tol yang kebanjiran, ingat juga dulu Tol Cipularang yang jembatan-jembatan besarnya musti direparasi karena patahan-patahan dan longsoran-longsoran yang baru ketahuan setelah “bencana” terjadi. Padahal kalau dari awal informasi geologi bawah permukaan yang nggeunah (proper) juga dijadikan rujukan desain dan konstruksi, mestinya hal-hal tersebut bisa dihindari.

Cukup sudah grusa-grusunya. Mari kita lebih serius bekerja untuk kepentingan jangka panjang. Atau jangan-jangan ini hanya untuk kepentingan jangka pendek saja? Mudah-mudahan bukan begitu adanya.

Read More