Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

(Era Elpiji)

Pada tahun 2007, dengan hiruk pikuk kontroversinya, akhirnya Indonesia dapat mengakhirkan era minyak tanah sebagai bahan bakar rakyat jelata diganti dengan gas elpiji.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Pada tahun 2007, dengan hiruk pikuk kontroversinya, akhirnya Indonesia dapat mengakhirkan era minyak tanah sebagai bahan bakar rakyat jelata diganti dengan gas elpiji. Selain supaya lebih ramah lingkungan dan praktis, konversi tersebut juga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap "minyak" yang, sampai sekarang pun masih, disubsidi. Dengan digantikannya minyak tanah (kerosen) oleh elpiji maka pada 2007 – 2011 subsidi minyak tanah secara total lima tahun menghemat sampai Rp 45.3T (ESDM, 2012).

Yang jarang disadari masyarakat umum ternyata gas elpiji (LPG/Liquified Petroleum Gas) itu masih "berbau-bau" minyak juga karena dia adalah produk ikutan dari minyak bumi (petroleum gas) yang bukan gas alamiah (natural gas). Komposisinya dari metana (C1) sampai butana (C5). Cara memperolehnya pun bersamaan dengan eksploitasi – produksi minyak bumi. Sementara gas alam atau "natural gas" komposisinya Metana (C1) sampai paling berat Etana (C2), dan keterdapatannya umumnya sebagai entitas terpisah dari kolom minyak bumi.

Selain itu, ternyata saat ini 60% bahan baku elpiji kita impor dari luar dan total subsidi untuk elpiji 2015 ini mencapai 28 triliun rupiah hampir separo dari total subsidi 2015 untuk BBM yang 64 triliun. Bahkan karena beban subsidi yang makin meningkat itu pemerintah sudah mulai merencanakan untuk melepaskan LPG ke harga pasar dan memberikan subsidi tunai langsung pembiayaan kepada masyarakat tidak mampu supaya dapat membeli bahan bakar rakyat jelata itu.

Dari uraian di atas tergambar betapa tidak logis/tidak ekonomisnya keberlangsungan jangka panjang kebijakan prioritas penggunaan energi dalam bentuk tabung berisi elpiji untuk rakyat yang sangat lebih mahal dibandingkan dengan misalnya: Jargas (singkatan populer dari program Jaringan Gas Kota) yang menggunakan gas alam, bisa elpiji bisa CNG, yang langsung disalurkan ke rumah-rumah tangga. Cadangan terbukti dan potensial gas kita jauh lebih berlimpah dibanding dengan minyak bumi. Cadangan minyak bumi kita 7 miliar barel sedangkan cadangan gas kita 103 triliun kaki kubik atau setara dengan 18 miliar barel minyak bumi. Malahan sekarang ini kita mengekspor hampir 50% produksi gas kita ke luar (sejak era LNG tahun 70an) sementara kita mengimpor separuh kebutuhan minyak bumi kita dari luar (termasuk kebutuhan elpiji tersebut).

Kalau 2007 lalu itu dipaksakan supaya Minyak Tanah diganti dengan elpiji karena alasan 2004 kita sudah mulai jadi net importir minyak sehingga beban subsidi untuk minyak tanah jadi membengkak dan elpiji lebih "murah" dan "bersih" dibanding minyak tanah, dan elpiji dalam bentuk tabung lebih mudah ditransportasikan dan didistribusikan ke mana-mana, itu sik ok-ok saja sebagai kejutan mental – revolusi supaya paradigma rakyat bisa segera diubah untuk menggunakan energi lebih bersih, praktis, dan sebagainya. Tetapi seharusnya pada saat yang sama dari 2007 sampai sekarang kita harus pol-polan alias full tancap gas untuk menggenjot program Jargas — membangun jaringan infrastruktur untuk menyalurkan gas ke rumah-rumah rakyat. Jargas memang sudah ada dan sedang berjalan, tetapi tidak dirancang untuk dilakukan secara masif menggantikan elpiji yang hanya adhoc saja. 

Selain itu, dari sisi subsidi: kita terjebak dari mulut buaya subsidi minyak tanah ke mulut dinosaurus subsidi elpiji. supaya bebas dari masalah subsidi itu: harusnya Jargas lah yang kita jadikan program unggulan menggantikan elpiji.

 

Gas Alam Lebih Bersih

Elpiji dan CNG sama-sama natural gas — dominannya metana, keduanya dibedakan karena proses packaging-nya untuk memudahkan transportasi yaitu yang satunya diubah Fasanya dari gas jadi liquid (LNG) yang lainnya hanya dikompres/ditekan lebih, tidak berubah Fasa tetap dalam bentuk gas (CNG). Sementara itu elpiji adalah Produk Sampingan dari minyak bumi.

Untuk pemakaian langsung di rumah tangga dan atau industri tentunya elpiji dan CNG tetap harus menggunakan jaringan pipa gas massal supaya ekonomis. Terlalu mahal dan berbahaya kalau masing-masing rumah dikirimi tabung-tabung atau vessel-vessel LNG atau CNG untuk digunakan langsung, soalnya harus ada proses regassing (untuk LNG) atau dekompresi (untuk CNG) yang belum bisa dilakukan secara murah dan aman secara individual.

Sementara itu, elpiji seperti sudah kita rasakan selama ini: gampang di-transport ke sana kemari dalam satuan individual yang dipakai langsung di konsumen. Jaringan "pipa"nya hanya perlu dari tabung ke kompor atau ke pemanas saja.

Format transportasi LNG dan CNG diperlukan terutama karena kondisi geografis kita yang kepulauan dan lokasi sumber daya bukan berada satu pulau dengan lokasi pengguna. Untuk kondisi geografi kontinental seperti Amerika dan Eropa dan negara-negara pengimpor gas maka urusan LNG dan atau CNG itu hanya sampai ke terminal/lokasi penerima saja di pinggiran benua/pulau negara. Selebihnya: pipeline!!!!

Makanya kemarin itu timbul ide dan bahkan sudah direncanakan (dan ditenderkan) pembuatan jalur pipa Kalija untuk menyalurkan gas di Kalimantan untuk Jawa tanpa harus jadi LNG atau CNG. Tapi itu ditentang habis oleh rakyat Kalimantan. Wong mereka saja masih kekurangan energi koq gas mereka disalurkan ke Jawa. Begitu kira-kira logika kawan-kawan di daerah. Cukupi dulu kebutuhan energi daerah, barulah bicara Kalija.

 

Gas Rumah Tangga Vs. Gas Camping

Di Eropa, Amerika, Jepang, Korea, dan negara-negara pemakai natural gas untuk utilitas kehidupan sehari-hari elpiji hanya digunakan untuk camping dan penggunaan lain yang sifatnya sementara/emergency, karena harga satuannya yang relatif mahal dibanding dengan natural gas. Karena infrastruktur belum dibangun lengkap maka 2007 waktu pak Wapres JK bikin gebrakan konversi mitan (minyak tanah) ke GAS itu maka dipakailah penggunaan elpiji secara massal yang kalau dihitung harga satuan energinya jadi lebih mahal dibanding dengan natural gas.

Jadi, kunci pengakhiran era elpiji atau untuk mencari kompetitor elpiji maka kita harus bangun infrastruktur/jaringan gas ke seluruh rakyat Indonesia — sampai ke pelosok: yang mana hal tersebut mudah dan murah dilakukan untuk geografi area negara yang kontinental. Kalau kepulauan seperti kita, mau gak mau elpiji masih harus jadi darurat energi pengganti minyak tanah (pengganti kayu bakar juga) yang menimbulkan adiksi. Kecuali saingannya kita carikan Energi Terbarukan untuk pulau-pulau yang gak punya resources Natural Gas itu... Di situ lah BBN bisa berperan lebih aktif atau Surya, Angin, Laut, dan sebagainya.

 

Perlu Strategi Nasional

Pada saat ini DEN (Dewan Energi Nasional) sedang akan menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dari bahan-bahan yang diajukan oleh Pemerintah c.q: Kementrian ESDM. Diharapkan dalam RUEN tersebut ditetapkan juga rencana umum yang lebih masif dan revolusioner dalam rangka mengganti minyak tanah dan elpiji sebagai bahan bakar rakyat jelata menjadi gas alam, baik LNG maupun CNG yang disalurkan lewat Jargas. Mudah-mudahan reasoning teknis, bisnis, dan politisnya juga bisa dibeberkan supaya segera kita bikin Program Unggulan Jargas Masif Seluruh Indonesia.

Jangan sampai kondisi ketergantungan pada gas camping (baca: elpiji) ini sampai berkepanjangan sehingga memunculkan isu-isu baru lagi seperti: "mafia" (impor) elpiji, mafia tabung elpiji, mafia distribusi elpiji, dan sebagainya. Cukup sudah mafia-mafiaan di masa lalu. Tetapi jangan pula nantinya kita memunculkan mafia baru: yaitu mafia gas alam Indonesia. Pembangunan infrastruktur Jargas oleh pemerintah menjadi kuncinya.

Read More