Catatan Akhir Tahun: Tsunami, Gempa, dan Likuefaksi (Pelajaran tak Henti-Henti untuk Bangsa yang Nggak Ngerti-Ngerti.)
Apakah selama ini rezim-rezim pemerintahan kita sudah "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia" dari bencana gempa bumi, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, banjir dan longsor dan kebakaran, seperti diamanatkan di pembukaan UUD45 di atas?
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Apakah selama ini rezim-rezim pemerintahan kita sudah "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia" dari bencana gempa bumi, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, banjir dan longsor dan kebakaran, seperti diamanatkan di pembukaan UUD45 di atas?
Belum!
Kita hanya sibuk tergopoh-gopoh menyelamatkan yang selamat, mengevakuasi yang mati, mengobati yang luka dan merehabilitasi infrastruktur yang hancur rusak karena bencana. Rezim-rezim pemerintahan kita selama ini gak begitu serius, gak begitu peduli, cenderung abai dengan mitigasi dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman/potensi bencana.
Buktinya, peringatan Prof. Katili tahun 1970 supaya Palu tidak dijadikan ibu kota/pusat pertumbuhan karena potensi bahaya gempa patahan Palu-Koro-nya pun tidak ditindaklanjuti. Sampai akhirnya kejadian Gempa-Tsunami Palu 2018 kemarin itu memakan korban seribu lebih nyawa melayang dan miliar-triliunan rupiah infrastruktur rusak hingga hancur berantakan. Jelas terlihat bahwa kita tidak melindungi segenap kehidupan rakyat Palu dan sekitarnya karena kita mengabaikan rekomendasi/usulan dari Prof. Katili itu.
Ada lagi! Peta Potensi Bahaya Likuefaksi di Palu yang dibikin 2012 oleh lembaga pemerintahan sendiri pun (Badan Geologi) tidak dipakai sebagai acuan untuk mengatur tata ruang di situ. Tidak ada program mitigasi lanjutannya. Tidak ada penegakan aturan pembuatan bangunan yang disesuaikan dengan kondisi tektonik aktif daerah tersebut. Tidak dibikin pelatihan-pelatihan massal ke masyarakat untuk menyelamatkan diri kalau ada bencana. Akibatnya, ketika sudah terjadi kejadian gempa tsunami, ribuan nyawa melayang, miliar-triliunan harta benda, rumah, dan infrastruktur hilang dan hancur berantakan. Nah, apalagi istilah yang dapat diberikan untuk respons pemerintah (pusat maupun daerah) atas peta zonasi bahaya likuefaksi yang resmi dibikin pemerintah sendiri tapi nggak pernah diimplementasi sampai terjadi bencana dan banyak korban begini kalau bukan abai, nggak peduli, dan salah langkah antisipasi? Sekali lagi jelas terlihat bahwa, pemerintah kita belum melindungi segenap kehidupan bangsa (rakyat Palu dan sekitarnya) dengan tidak menindaklanjuti peta likuefaksi tersebut.
Dan yang akhir tahun ini sedang berlangsung adalah ancaman terjangan tsunami di Selat Sunda yang menjadi kenyataan 22 Desember 2018 lalu. Itu pun dengan kemungkinan masih ada lagi “susulan”nya di hari-hari mendatang, tergantung dari ketepatan prediksi tentang ada/tiadanya material-material vulkanik Anak Krakatau yang masih bisa longsor ke laut dalam jumlah besar — meskipun katanya hari ini, 31 Desember 2018, sudah mulai reda batuk-batuknya. Korban nyawa sudah mencapai 400 – 500an dan masih mungkin bertambah karena ada yang hilang. Selain itu rusaknya bangunan rumah, hotel, dan infrastruktur umum lainnya karena terjangan tsunami bisa mencapai ratusan miliar dan mungkin triliunan untuk merehabilitasinya. Padahal, berbagai analisis ilmuwan sebelumnya sudah dipublikasikan tentang kemungkinan tsunami akibat gempa Megathrust selat Sunda (Widjokongko, 2018; Natawidjaya, 2014) ataupun akibat longsornya tubuh gunung api Anak Krakatau (Giachetti, dkk, 2012 - termasuk peneliti BPPT Dr. Budianto - Didit - Ontowiryo sebagai co-author-nya). Tapi, nggak pernah analisis-analisis dan rekomendasi-rekomendasi ilmiah sampai menjadi kebijakan yang diimplementasi jadi program-program mitigasi — sampai akhirnya kejadian bencananya datang, dan semuanya menyesali! Apakah pemerintah kita sudah melindungi segenap bangsa rakyat Banten dan Lampung dan para pelancong dari berbagai daerah di pantai-pantai Selat Sunda dari bahaya tsunami? Dari uraian di atas jawabnya jelas: Belum!!
Gak Ngerti-Ngerti Juga
Padahal seolah-olah tak henti-hentinya Allah memberikan pelajaran/peringatan ke kita supaya BENAR-BENAR MELAKUKAN MITIGASI YG BENAR, SERIUS, TERUKUR DAN ANTISIPATIF. Bukan hanya tergopoh-gopoh melakukan respons waktu terjadinya bencana, tapi bersiap dengan segala kegiatan mitigasi yang BIAYANYA JAUH LEBIH KECIL DARIPADA KERUGIAN AKIBAT BENCANA YANG SAMA SEKALI TIDAK DIANTISIPASI. Tetapi, meskipun tak henti-hentinya pelajaran diberikan kepada kita, sampai sekarang GAK NGERTI-NGERTI JUGA KITA.
Buktinya: himbauan-himbauan untuk ambil pelajaran dari bencana-bencana itu untuk segera bikin usaha mitigasi di lokasi-lokasi lain dengan prediksi rawan terhadap gempa, tsunami, dan likuefaksi pun sudah dituliskan (malah sudah diteriakkan), tapi tak kunjung dilakukan oleh pemerintah. SEMUA SIBUK MENJELASKAN APA YG TERJADI DAN PENYEBABNYA. Bahkan duit budget anggaran direlakan untuk memastikan survei-survei AFTER THE FACT yang tidak mungkin bisa menghidupkan yang mati atau menegakkan kembali bangunan-bangunan yang rusak atau ditelan bumi. Masih mending setelah itu kita rame-rame FOKUS PADA PROYEK-PROYEK REHABILITASI (itu pun masih juga ada yang dikorupsi). Tapi, kita sama sekali lupa bahwa hal serupa bisa juga terjadi di daerah-daerah lain yang sebenarnya sudah distudi oleh ilmuwan2 kita dengan berbagai tulisan paper dan buku mereka dimana-mana di forum-forum ilmiah.
Sudah Terjadi Puluhan – Belasan Tahun yang Lalu.
Bukan hanya akhir-akhir ini saja ke”nggak ngerti”an bangsa ini terjadi. Beberapa belas tahun yang lalu, peringatan dari ilmuwan peneliti tentang Megathrust Simelueu sebelum gempa tsunami Aceh 2004 pun tidak pernah sampai di pengambil kebijakan untuk ditindak-lanjuti. Padahal sebelumnya Danny Hilman Natawidjaya telah meneliti siklus periodisitas gempa-tsunami Simeuleu itu dan menjadikannya tulisan Disertasi dan juga mempresentasikannya di forum-forum ilmiah (Natawidjaya, 2004).
Masih belasan tahun yang lalu juga, peringatan dari IAGI bahwa swarming effect gempa tsunami Aceh akan merambat ke selatannya nggak diantisipasi dengan bijak oleh pemerintah hingga muncul gempa Nias, Mentawai, dan lainnya di 2005 dan tahun-tahun berikutnya.
Secara normatif sering kali himbauan pemerintah adalah, “tetap tenang dan waspada, jangan terpengaruh isu-isu yang tidak bertanggungjawab,” dan sebagainya. Tapi, tidak ada usaha-usaha fisik untuk mengurangi risiko bencana itu secara proporsional.
BKMG, BNPB, Badan Geologi
Bagaimana dengan lembaga-lembaga yang sudah dibentuk pemerintah untuk urusan bencana-bencana kebumian itu? Apakah mereka pernah belajar dari bencana-bencana itu dan makin mengerti untuk melakukan Mitigasi?
BMKG nampaknya tidak melakukan mitigasi. BMKG hanya memberitakan, kalau telah terjadi gempa, di mana dengan besaran berapa dan mengeluarkan peringatan akan ada tsunami atau tidak. Setelah gempa terjadi terus rame-rame menjelaskan itu semua karena apa (penunjaman lempeng, sesar mendatar, atau yang populer akhir-akhir ini: karena longsoran), kemudian diakhiri dengan, “tetap tenang dan waspada”.
BNPB juga usaha mitigasinya nggak pernah terekspos dan jadi bagian penting program kelembagaan karena fokusnya di Penanggulangan (walaupun ada juga bagian mitigasinya). Paling banter, setelah kejadian, BNPB akan berperan juga di rehabilitasi — meskipun kita sama-sama tahu leading sectornya di rehabilitasi itu kementerian PUPR dengan dana pembangunan sarana fisiknya.
Badan Geologi yang tupoksinya banyak terkait dengan usaha mitigasi seperti menerbitkan peta zona bahaya gunung api — yang memang sudah cukup bagus ¾ dan juga Peta Likuefaksi seperti yang di Palu itu, nampaknya juga kurang punya gigi untuk terus mendesakkan peta-peta hasil mitigasinya ke lembaga-lembaga terkait lainnya untuk ditindak-lanjuti.
Where Next?
Kalau (rezim pemerintahan) kita mengerti, maka seharusnya peringatan-peringatan bencana kebumian yang berturut-turut terjadi itu juga menyiapkan kita semua untuk melakukan mitigasi di daerah-daerah yang sudah berkali-kali diidentifikasi oleh para peneliti mempunyai potensi serupa untuk terjadi.
Kapan waktunya? Ada yang periodisitasnya sudah bisa diprediksi dengan standar deviasi 25 – 50 tahun, ada juga yang belum bisa diprediksi tapi besaran bencana (kekuatannya) sudah bisa dikira-kira akan terjadi. Kapan akan terjadi? Bisa besok pagi, bisa tiga – empat bulan lagi (pas Pemilu ?), bisa dua tahun lagi, bisa sepuluh tahun lagi. Yang jelas, mereka PASTI akan bergerak lagi.
Makanya jadi lebih penting untuk menyiapkan diri.
Bagaimana persiapan dirinya? Yang belum sepenuhnya diteliti, ayo lebih diteliti, luangkanlah uang biaya budget untuk meneliti yang hasilnya sering kali berupa tulisan di atas kertas, peta-peta, zonasi, grafik-grafik, dan sejenisnya yang bukan berupa jalan tol, jembatan, ataupun bendungan seperti yang selalu dibangga-banggakan selama ini. Meskipun begitu, hasil kertas berupa peta-peta itu bisa nantinya menyelamatkan jalan tol, jembatan, dan infrastruktur-infrastruktur mahal itu kalau benar-benar diikuti rekomendasinya.
Selain itu, kalau alat-alat peringatan dini dan alat-alat untuk meneliti belum lengkap ayo kita lengkapi. Pasang GPS di pulau-pulau kecil di depan zona subduksi untuk memonitor lengkungan vertikal yang terjadi karena menahan gerakan lempeng yang nantinya akan “pecah” energinya jadi gempa dan tsunami. Juga buoy-buoy yang harganya satu miliaran itu untuk peringatan dini tsunami. Ayo diperbaiki, diperbarui, ditambahi, terutama di daerah-daerah potensi yang akan diuraikan di bawah ini.
Dibutuhkan juga evaluasi zona-zona pemukiman dan infrastruktur umum di daerah lintasan gempa dan Zona rendaman tsunami! Kalau masih ada yang bangun di area sempadan pantai: bongkar saja dengan segala konsekuensinya.
Cek kelayakan konstruksi bangunan-bangunan di daerah-daerah potensi gempa dan tsunami. Kalau masih nggak cocok dengan kode bangunan konstruksinya maka harus diperingati, diperkuat, atau direkayasa (fisik, teknik, finansial) supaya nantinya kuat tahan goyangan gempa (dan tsunami). Kalau belum ada peta detail zonasi gempa/kode bangunan konstruksinya ya dibikinlah peta zonasi detailnya. Pakai biaya pemerintah!
Mulai lakukan latihan-latihan berkala untuk menghadapi bencana-bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi itu. Anggaran latihan-latihannya alokasikan khusus dan jangan diganggu gugat untuk dipakai lainnya. Supaya nantinya nggak banyak korban kalau bencana terjadi.
Di bawah ini daftar potensi bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di daerah-daerah yang sudah pernah distudi oleh para ilmuwan Indonesia maupun luar negeri yang disusun berdasarkan prioritas kemungkinan masifnya bencana dan kerugian yang terjadi.
Di 15 zona daerah inilah perlu difokuskan mitigasi. Sebelum telat nantinya berturut-berturut bencana itu terjadi. ITUPUN KALAU (PEMERINTAH) KITA NGERTI.
Gempa - Tsunami Megathrust Mentawai (Barat Padang-Bengkulu)
Gempa-Tsunami Megathrust Selat Sunda (Banten, Lampung, Bengkulu, SumBar, Jabar, DKI, Jateng, DIY, Jatim)
Gempa-Tsunami Pelabuhan Ratu - Cimandiri (Sesar Mendatar Cimandiri)
Gempa Sesar Mendatar Lembang
Gempa Sesar Naik Surabaya - Bojonegoro
Gempa dan Tsunami Sesar Naik Selat Madura
Gempa dan Tsunami Palu- Koro segmen selatan ke Teluk Bone
Gempa dan Tsunami Sesar Naik Offshore Sulawesi Barat (Mamuju dan sekitarnya)
Gempa dan Tsunami sepanjang pantai Sulawesi Utara dari Zona penunjaman Sulawesi Utara
Gempa dan Tsunami Tarakan dari Zona penunjaman Sulawesi Utara
Gempa sepanjang 12 segmen Sesar Sumatra (yang di Bengkulu hari ini aktif 5.7 SR)
Gempa Sesar Baribis (Jawa Barat Utara - DKI)
Gempa dan Tsunami Megathrust selatan Jember - Banyuwangi
Gempa dan Tsunami Megathrust Selatan Bali/Lombok/Sumbawa
Gempa dan Tsunami dan Liquifaksi Sesar Sorong dan Zona Penunjaman utara Papua.