Peak Oil di Indonesia? Ayo, Jangan Menyerah!
Lepas dari masalah asal usul minyak bumi itu organik atau anorganik, isu tentang "peak oil" itu bukan barang baru dalam industri minyak dunia.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Lepas dari masalah asal usul minyak bumi itu organik atau anorganik, isu tentang "peak oil" itu bukan barang baru dalam industri minyak dunia.
Tahun 1885 adalah pertama kalinya otoritas pemerintah dan geologi bilang tentang berakhirnya puncak penemuan dan produksi minyak setelah 36 tahun sejak Kolonel Drake menemukan minyak di Pennsylvania. Ee.., setelah trennya turun sedikit malah kemudian setelah itu produksi berlanjut naik dengan penemuan Spindletop dan lain-lain. Demikian juga 1920 (setelah Perand Dunia 1), 1945 (setelah Perang Dunia 2), 1973 (mulai embargo minyak Middle East - sesuai dengan teori M. King Hubbert), kemudian yang terakhir sekitar 2005: totalnya sudah lima kali otoritas dan petroleum geologist seluruh dunia dihebohkan dengan isu peak oil ini (saduran bebas dari the "Quest" Daniel Yerghin, 2011).
Masalah sebenarnya adalah dalam ke-tidak tahu-an kita tentang berapa besarnya ultimate "wadah" sumber daya minyak, para praktisi politik bisnis dan kebijakan energi dunia cenderung mengelirukan apa yang sudah diketahui dan ketemu dalam jangkauan pemikiran dan teknologi masa kini sebagai "reserve" adalah ultimate "wadah" tersebut! Dan hal yang keliru ini dimanfaatkan betul oleh berbagai konspirasi bisnis-politik dunia untuk memaksakan virus pemikiran bahwa adalah sangat wajar kita semua membayar tinggi untuk harga energi kita.
Sebenarnya oke saja isu itu dipakai untuk menggelorakan pencarian (riset sumber energi baru dan sebagainya), tetapi di daerah atau negara yang belum sepenuhnya dieksplorasi (belum diketahui wadah sebenarnya) tentunya jangan sampai isu itu dipakai untuk mematikan semangat eksplorasi-produksi migas tentunya dengan terobosan-terobosan konsep dan teknologi yang baru. Dan itu berlaku sepenuhnya untuk Indonesia.
Pendapat banyak kalangan industri, termasuk Wakil Menteri ESDM kita (yang notabene adalah Profesor Perminyakan dari ITB) bahwa Indonesia bukan negara kaya minyak, minyak kita sudah habis, dan kita harus berhemat dan berpikir ke arah energi lainnya, merupakan himbauan yang baik untuk alasan yang keliru. Kaya atau tidaknya negara kita akan migas masih harus ditentukan oleh kecanggihan terobosan para eksplorasionis Indonesia dan tentunya kerelaan pemerintah untuk membuka diri terhadap ide-ide teknis dan administratif baru untuk meningkatkan daya tarik geologi minyak bumi cekungan-cekungan Indonesia untuk menemukan lagi cadangan-cadangan baru di dalamnya!
Ayo mencari wadah itu! Jangan hanya puas menganggap wadah kita sudah sebegitu-begitunya saja! Masih 75% open area di cekungan-cekungan yang pernah diproduksi di Indonesia yang belum dijamah; masih ada puluhan cekungan migas yang sama sekali belum pernah data dasar geologi migasnya diakuisisi secara selayaknya; masih banyak tersimpan cadangan-cadangan raksasa di bawah sumur-sumur dan lapangan-lapangan tua kita (kasus Blok Cepu, dan sebagainya).
Ayo, jangan menyerah!!!