Masukan Untuk Arah Baru Kebijakan Energi dan Pertambangan Jokowi Jilid 2 - Diskusi Publik IMEF (Indonesia Mining & Energy Forum)
Setelah mengalami puncak kejayaan minyak dua kali, yaitu pada 1977 dan 1995 dengan masing-masing kurang lebih 1,6 juta bph maka produksi minyak domestik Indonesia pun terus mengalami penurunan, menembus batas di bawah satu juta bph pada 2007 dan saat ini produksinya hanya 750an ribu bph.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Sektor Migas
Setelah mengalami puncak kejayaan minyak dua kali, yaitu pada 1977 dan 1995 dengan masing-masing kurang lebih 1,6 juta bph maka produksi minyak domestik Indonesia pun terus mengalami penurunan, menembus batas di bawah satu juta bph pada 2007 dan saat ini produksinya hanya 750an ribu bph. Era kejayaan minyak bumi Indonesia pun dinyatakan telah berakhir oleh Presiden Jokowi. Bahwa SKKMigas pada Juli 2019 kemarin telah membuat perencanaan optimistik untuk menahan dan bahkan menaikkan kembali tren produksi minyak hingga mencapai sedikit di atas satu juta bph di 2033-2038, hal itu juga tidak akan mengembalikan kejayaan migas seperti era puncak antara 1977 dan 1995 yang lalu.
Dengan berakhirnya kejayaan migas, pemerintah harus berani untuk terus melonggarkan tekanan pada target Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) dari migas. Arah baru ini sebenarnya sudah dijalani oleh pemerintah dua – tiga tahun belakangan dalam kasus persetujuan POD-POD Blok A Aceh, Blok Merakes di Selat Makassar dan juga Blok Masela di Maluku. Bagi pemerintah yang dikedepankan bukan lagi negara mendapatkan lebih banyak langsung dari bagi hasil (split), tetapi bahwa proyek migas tersebut dapat terlaksana, multiplier efeknya terjadi, dan secara gross negara mendapatkan keuntungan dari diproduksikannya migas tersebut sebagai modal dasar pembangunan nasional, bukan sekedar penghasil revenue semata.
Arah baru yang melonggarkan tekanan pada target Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) dari migas ini harus konsisten dijalani, terutama untuk merealisasikan POD-POD yang masih dalam proses dan juga temuan-temuan teknis (technical discoveries) yang selama ini dianggap tidak ekonomis oleh kontraktor karena split-nya (bagi hasilnya) yang kurang/tidak menguntungkan. Memproduksikan sumber daya minyak dan gas untuk dipakai langsung memenuhi demand dalam negeri jauh lebih bermanfaat saat ini dari sisi ketahanan energi dan solusi mengatasi defisit neraca perdagangan daripada tetap menahan migas tersebut di dalam bumi karena pendapatan (revenue) bagian negara lebih kecil dari bagian kontraktor.
Dengan berakhirnya era kejayaan minyak bumi Indonesia maka seharusnya lah pemerintah lebih mengedepankan untuk memberi kebebasan kepada kontraktor migas memilih menggunakan jenis kontraknya, apakah menggunakan kontrak Gross Split ataukah kontrak PSC konvensional. Bukan seperti yang sekarang, di mana keseluruhan kontrak baru ditawarkan dalam bentuk kontrak Gross Split semata. Diharapkan, dengan dimunculkannya alternatif tersebut maka investasi baru - eksplorasi di bidang migas akan semakin bergairah dan meningkat.
Salah satu solusi jangka menengah dan panjang dalam rangka mengatasi masalah impor minyak bumi Indonesia — yang terutama akan makin parah di 2025 – 2030 nanti — adalah dengan menguasai cadangan-cadangan migas di luar Indonesia langsung dari hulunya, yaitu lewat penguasaan blok-blok migas dunia oleh Pertamina ataupun BUMN lainnya. Dengan demikian maka volume impor minyak kita akan tergantikan oleh pengiriman entitlement ke Indonesia yang akan meringankan beban defisit neraca perdagangan kita. Usulan kebijakan energi luar negeri bidang migas ini sebenarnya sudah pernah digodok secara substansial konsep/implementasinya oleh Dewan Energi Nasional 2014 – 2019 tetapi masih belum mendapatkan kesempatan untuk dibahas dalam Sidang Anggota maupun Sidang Paripurna DEN, sampai DEN mengalami kekosongan sejak Juli 2019 yang lalu.
Pembangunan infrastruktur migas, terutama kilang minyak dan pipa-pipa transmisi gas, yang di era pemerintahan Jokowi jilid satu masih belum menunjukkan hasil nyata harus terus diupayakan di masa lima tahun mendatang. Sama seperti jalan tol, jembatan dan pelabuhan, infrastruktur migas semestinya juga dibebaskan dari trauma beban keekonomian, sehingga pembangunannya bisa segera direalisasikan.
Sumber daya manusia Indonesia di bidang migas sudah terbukti banyak berperan aktif dan berprestasi di berbagai perusahaan/industri migas internasional di luar negeri. Potensi untuk memanfaatkan pengalaman para ahli migas Indonesia baik yang tinggal di Indonesia maupun diaspora di luar negeri ini terbuka lebar melalui Asosiasi Profesi - Komunitas Migas yang ada di Indonesia, karena sejatinya dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi maka Asosiasi Profesi - Komunitas Migas Indonesia dan diasporanya tersebut lebih mudah terhubung dan berinteraksi saat-saat ini. Pemerintah seharusnya lebih membuka diri untuk bekerja sama dengan Asosiasi Profesi - Komunitas Migas Indonesia tersebut dalam rangka pengembangan SDM Migas Indonesia yang lebih bisa menjawab tantangan migas kita ke depan, sesuai dengan Visi SDM Unggul Jokowi untuk era pemerintahan 2019 – 2024 ini.