Overpressure
Tekanan berlebih, anugerah para pencari, bahaya para penggali.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Tekanan berlebih, anugerah para pencari, bahaya para penggali.
Di kelompok tidak biasa (abnormal), bersama-sama dengan tekanan sub-normal, alias under-pressure, tekanan berlebih tak pernah mau bersenyawa (berhimpit raga) dengan garis tekanan normal air biasa. Begitu adanya: bukan direkayasa.
Aku mulai menggambarkannya dalam grafik-grafik, 25 tahun yang lalu, di ujung kantuk, di antara mata saga para penjaga amanah: penggali-penggali minyak di belantara Kalimantan sana.
Aspek bahaya (hazard) dari tekanan berlebih ini, berulang kali teronggok di keberadaanku sebagai sandaran pertanyaan para pencari jawaban. Sementara aku lebih sering tertarik pada anugerahnya, manfaatnya: mengabarkan keberadaan perangkap-perangkap migas di bawah sana. Tapi apa mau di kata: begitulah adanya dunia sekitar. Kekhawatiran demi kecemasan demi keruwetan demi penyelamatan: wajah industri migas yang belepotan, dengan imaji ngeri bahaya-bahaya yang ditimbulkan memaksaku berkali waktu bercanda dengan analisis bahaya. Tekanan berlebih — overpressure zone, the journey continues....
Aku menyapanya 2 Juni, 2006, dalam perjalanan Surabaya-Malang, meleler di sepanjang pinggiran jalan tol. Ada yang bilang dia dimuntahkan kematangan gerakan tektonika. Dia berbisik: ah, ada yang menggelitikku bangkit, keteledoran manusia menyiasati alam dengan teknologi dan efisiensi.
Aku ingat pernah menyapanya 25 Agustus 1985, di perbukitan bergelombang Mutiara, saat dengkulku gemetar berlarian menyaksikan 1 rig ditelan murka tekanan berlebih di danau semburan liar. Gesit Mutiarta pun lahir di tahun yang sama 18 Novembernya.
Penyebab-penyebab tekanan lebih di bawah sana ada beberapa. Ada kolom hidrokarbon (terutama gas) yang menjulang tinggi di atas kontak air (gas-reservoir coloumn), ada kompaksi yang tidak seimbang (disequilibrium compaction), ada tekanan karena pemanasan air (aqua thermal pressuring), ada transformasi mineral lempung yang menghasilkan air (smectite-illite transformation), ada kematangan kerogen menjadi hidrokarbon (source-rock maturation), ada pengaruh patahan yang meletakkan batuan lebih kompak (lebih tua) di atas batuan lebih lunak, lebih muda (tectonic-fault mechanism), ada juga kombinasi dari beberapa faktor yang disebut di atas secara simultan.
Lalu mud diapir dan mud volcano, yang sering disebut-sebut sebagai kambing hitam. Apa hubungan mereka dengan tekanan berlebih ini? Mud diapir dan mud volcano pasti mengandung sistem tekanan berlebih sementara tekanan berlebih tidak harus selalu mengejawantahkan diri dalam bentuk mud diapir maupun mud volcano.
Cobalah terbang bak burung garuda, picingkan mata pandang sasaran ke bawah, mulailah dari mengenalinya di permukaan, sebelum bercumbu dengan kompleksitas bawah permukaan. Semburan lumpur, luahan air asin, rembesan gas dan minyak, singkapan sedimen laut dalam ataupun endapan prodelta yang punya kematangan gas, diselang-seling cacahan retakan dan pergeseran sesar naik yang rancak berpola. seperti di Sepaku, seperti di Gitan, seperti di Batuputih, seperti di jalur Kendeng, seperti di Madura, semuanya mengabarkan: ada tekanan berlebih jika kau hunjam bawah permukaan. Lautmu pun tak pernah bening, lumpur dan rembesan hidrokarbon memuntahi zona tembus cahaya, mengabur-ngaburkan. Tapi bagiku kabar bahaya dari bawah sana jelas bersirobokan, seperti di sepanjang pantai utara Pasuruan-Probolinggo-Situbondo-Banyuwangi yang tak pernah jernih kecuali di Pasir Putih.
Maka saat kenyataan menghadang, kalibrasikan itu semua dengan catatan pemboran dari sumur-sumur yang pernah menghunjam. Karena itulah kenyataan, itulah pengukuran: yang tak bisa kau bandingkan kemurniannya hanya dengan interpretasi getaran gelombang seismik yang bisa saja, bisa saja, bisa-bisa saja.
Ayo kita tulis dan baca beberapa poin berikut ini:
Gas latar belakang/background gas (BG) adukan dalam absis yang berlawanan dengan berat lumpur/mud weight (MW), turunkan dari atas ke bawah dalam ordinat kedalaman. Kalau diperlukan, masukkan trend gas penyambungan/connection gas (CG) dalam keseluruhan analisis. Dimana BG berpelukan MW, dan CG ikut nimbrung merestui, tariklah batasan zona tekanan berlebih. Ingat transisi (over pressure transition zone) yang masih terus naik dan ingat tekanan berlebih keras (hard over pressure zone) yang tak kan melepaskan gas latar belakangmu pergi. Angka 11 angka 13, mungkin bisa dijadikan pegangan.
Temp-in, Temp-out, Continuous Temperature Plot LWD, atau pun BHT di kedalaman-kedalaman logging, cobalah menguraikannya lagi lagi dalam ordinat kedalaman (Temperature vs Depth Plot). Cari dogleg, perubahan trend kelandaian suhu (temperature gradient), karena sebenarnya tekanan berlebih punya perambatan suhu berlebih. Di dalam zona tekanan berlebih konduktifitas panas jauh lebih tinggi daripada di zona tekanan normal, baik itu disebabkan oleh pengendapan penguburan cepat dan atau kompaksi yang tidak seimbang, maupun oleh aquathermal pressuring.
Densitas serpih, baik yang diukur oleh mudlogger yang tercantum dalam mudlog, maupun yang diukur oleh alat perekam logging (Rhob) haru juga dimainkan plot-nya dengan kedalaman (Rhob vs Depth). Kalau benar sang tekanan berlebih kita muncul, maka sesuai dengan karakternya (yang juga jadi salah satu mekanisme penyebabnya), maka kompaksi dalam zona ini menyalahi trend kompaksi umumnya, yaitu terjadi ketidak-seimbangan kompaksi di dalamnya. Jika pada umumnya shale/clay/lempung mengalami pemadatan-kompaksi bersama dengan penambahan kedalaman, maka begitu memasuki zona tekanan berlebih: trend kompaksi tersebut tidak berlanjut, tidak berlaku, dan malahan berlawanan arah: yakni makin dalam makin tidak kompak alias tidak padat bin tidak pepat. Jika kita temukan subtle dogleg pengurangan derajat kompaksi sebelum benar-benar memasuki daerah kompaksi berbalik (tekanan berlebih), maka subtle dogleg zone tersebut dapat kita assign sebagai Zona Transisi menuju Tekanan Berlebih.
Ambalat: Berikan Gambaran Besarannya Sehingga Nampak Urgency-nya
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Aku menulis empat tahun yang lalu bahwa di Ambalat kita bisa dapatkan dari 100 juta sampai 1 miliar barel minyak.
Separately, Andang Bachtiar, chairman of the Indonesian Geologists Association, estimated the deposit of oil in Ambalat would range from over 100 million to one billion barrels. A huge deposit that could contributes to the country's dwindling oil production.
These huge reserves serves had become the key point in the dispute, according to Andang, who claimed that geologically speaking, the area belongs to Indonesia.
"The Ambalat area practically belongs to Indonesia as it is a part of the Tarakan Basin (in East Kalimantan). Malaysia has extended its coastline to the south by 10 kilometer in 2002, claiming that it was an archipelago state. While in fact, it is not," Andang remarked.
Elsewhere, Iin said that, upon learning the clarification from both Shell and Petronas, the government would decide on the next step.
"We'll see their explanation over the case and then decide what should we do against it.”
Shell, Petronas Asked to Clarify
The Jakarta Post
Selasa, 15 Maret 2005
Fabiola Desy Unidjaja
Kemarin, saat ditanya wartawan Tempo, aku agak lebih pasti: dari satu prospek saja (mereka menuliskannya sebagai titik tambang) kita bisa dapatkan sekitar 764 juta barel minyak dan 1.4 TCF gas, in place, P50, Resources (jadi bukan reserves/cadangan).
Tapi anehnya sampai sekarang koq Pemerintah malu-malu untuk memberitahukan ke publik berapa besar sih sebenarnya potensi kekayaan kita di daerah perbatasan itu? Aku yakin seyakin yakinnya mereka sudah menghitungnya. Tapi koq gak dikeluar-keluarin juga ya?
Mikir baiknya, mungkin supaya nggak membuat panik pengambil kebijakan bahwa potensi kita sangat besar di sana. Atau malahan itu dianggap sangat kecil? Hehehehe koq kelihatannya malah tenang-tenang saja.
Berapapun potensinya, it is still worth to be defended. Jangan sampai kasus Timor Gap 1975 terulang lagi. Jangan sampai Sipadan Ligitan 2002 terulang lagi. Jangan sampai.