Beberapa Tantangan Geologi Indonesia yang Mengganggu Pikiran
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Temukan gunung intan di Kalimantan Selatan, kalau selama ini ada placer-nya harusnya ada sumbernya juga, di mana?
Jelaskan kenapa ada gabbro mesozoic di tinggian pulau seribu dan tholeiitic basalt di dekat granit di Pamanukan, kayaknya rekonstruksi tektonik kita tentang Sundaland Selatan musti berubah.
Sejarah vulkanisme di bangka belitung: kapan pernah ada gunung api di sana? Bagaimana ceritanya? Ini kaitannya juga dengan sejarah tektonik yang mengabaikan detail-detail anomali fakta.
Sistem minyak bumi dinamis yang terus menerus mengisi reservoir pleistosen di Bula, Seram: bagaimana kita belajar dari keberadaannya untuk menemukan hal serupa di tempat lainnya?
Sejarah tektonik dan sedimentasi segitiga Meratus – Bantimala – Jawa Timur: the never ending enigma.
Pre-tertiary di Sumatera Utara: mereka bukan benar-benar sudah tamat sebagai dasar cekungan: ada banyak contoh dari geologi permukaan, sedimen-sedimennya masih belum sampai fase katagenesa.
BUMN Punya Siapa?
Tergelitik oleh thread discovery-nya Pertamina EP di milis IAGI, terutama pembahasan tentang harga gas dan sebagainya, berikut ini sedikit uneg-uneg tentang BUMN energi kita: punya siapa?
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Tergelitik oleh thread discovery-nya Pertamina EP di milis IAGI, terutama pembahasan tentang harga gas dan sebagainya, berikut ini sedikit uneg-uneg tentang BUMN energi kita: punya siapa?
Pertamina kepunyaan negara, PLN kepunyaan negara, PGN juga kepunyaan negara. Semuanya BUMN yang bekerja untuk memastikan rakyat Indonesia mendapatkan energi listrik, minyak, gas, dan produk industri petrokimia secara adil merata.
Tapi kenapa koq mereka alot tawar menawar alokasi dan harga gas (minyak) yang diproduksi dari tanah air Indonesia? Yang kontrak 2.2$/MMBTu lah, yang 5$/MMBTu dari kontrak Santos lah, yang PLN berani bayar 8$/MMBtu lah. Seolah-olah mereka itu pedagang yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya: pedagangnya negara? Yang musti diuntungkan itu kan negara – rakyat Indonesia? Bukan mereka sebagai lembaga!
Koq semakin ruwet sih hubungan institusi bisnis-politik dan industri milik negara kita? Dan kita semua seolah hanyut dalam ke-tidak beres-an, ke-tidak logis-an cara berpikir dan bertindak lembaga-lembaga bisnis negara tersebut. Coba saja, untuk memastikan pasokan gas PGN sampai bersusah payah nyari blok-blok migas sendiri, jangan-jangan PLN nanti juga akan punya blok migas sendiri pula!?
Ini akan jadi lebih ruwet dan nggak masuk di pemahaman manusia normal kalau kita masukkan juga BPMigas dan Ditjen Migas dalam percaturan hubungan antar kelembagaan bisnis tersebut. Lha wong semua cadangan migas Indonesia di"kuasai" data, pengelolaan, peruntukan, dan operasinya oleh BPMigas dan ultimately Ditjen Migas. Koq masih juga kita baca berita: PGN berhasil menambah pasokan gas untuk Jawa sejumlah sekian sekian juta kubik kaki per hari dan sebagainya. Khan harusnya itu semua sudah bisa dikuasai, di-handle, dialokasikan oleh BPMigas/Ditjen Migas. Bukannya PGN yang ke sana kemari nyari jatah gas untuk diperdagangkan kembali ke industri di Indonesia. Cukup BPMigas/Ditjen Migas sebagai penguasa mengaturnya: siapa akan mendapatkan berapa lewat apa (PGN? Swasta?) Dll.
Ah, entahlah, atau karena aku terlalu bodoh saja?
No Seep on Giant Field: No Artifact on Great Archeological Site?
Di dalam prinsip eksplorasi geologi minyak bumi, kami para praktisi eksplorasi punya semacam pedoman empiris terkait dengan tanda-tanda permukaan (tanah/laut) adanya migas di bawah permukaan.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Di dalam prinsip eksplorasi geologi minyak bumi, kami para praktisi eksplorasi punya semacam pedoman empiris terkait dengan tanda-tanda permukaan (tanah/laut) adanya migas di bawah permukaan. Apabila banyak ditemukan rembesan migas di permukaan tanah atau air laut berarti memang di bawah sana ada cebakan migas yang oleh karena penutupnya bocor halus atau perangkapnya tidak kuat menahan (breach) maka keluarlah rembesan-rembesan migas itu ke permukaan. Biasanya rembesan itu keluar lewat patahan yang membatasi (atau memotong) suatu perangkap migas. Dengan demikian, adanya rembesan migas di permukaan mengindikasikan adanya cebakan migas di bawah permukaan, tetapi cebakannya sudah bocor dan besar kemungkinan cadangannya juga sudah berkurang dari isi asalnya.
Nah, di daerah-daerah yang jauh dari rembesan dan atau sama sekali tidak punya rembesan migas di permukaan tanah/lautnya, kemungkinannya ada dua. Satu, memang sama sekali tidak ada migas terjebak di bawah permukaan, atau dua, cebakan migas di bawah permukaan itu begitu besar dan kuatnya (penutup dan perangkapnya) sehingga menghalangi migas untuk merembes keluar ke atas permukaan tanah atau air laut.
Lapangan migas raksasa Badak di Kalimantan Timur percis di bagian atas permukaannya tidak didapati rembesan migas. Tetapi 20 kilometer di sebelah baratnya, di mana lapisan-lapisan reservoir seumuran tersingkap di permukaan Lapangan Semberah, rembesan-rembesan migas keluar dari patahan-patahan pembatas. Cadangan migas Lapangan Semberah jauh lebih kecil dari cadangan migas Lapangan Badak.
Apakah mungkin prinsip serupa juga berlaku di dunia Arkeologi dan Sejarah? Di sekitar temuan-temuan candi atau situs megalit biasanya ditemukan artefak-artefak yang terkait dengan kehidupan/kebudayaan manusia yang berhubungan dengan keberadaan situs tersebut. Arca kecil, alat tukar perdagangan dari logam, terakota, dan sebagainya ditemukan di sekitar situs-situs Majapahit Jawa Timur atau situs Istana Tenggarong, Kalimantan Timur. Juga di sekitar Gunung Padang di mana ditemukan situs Megalitikum, di perkampungan sekitar kaki bukitnya banyak diceritakan temuan artefak seperti alat memasak, membuat api dan sebagainya. Apakah mungkin temuan situs-situs yang di sekelilingnya terdapat artefak tersebut sebenarnya adalah situs-situs yang tidak begitu sentral perannya dalam keseluruhan tata budaya pada saat itu sehingga di sekelilingnya ditemukan peninggalan-peninggalan "orang kebanyakan" (gerabah, terakota, alat tukar, bikin api, dan sebagainya).
Sementara untuk situs-situs yang eksklusif, punya tingkat harga yang lebih tinggi, milik para petinggi, punya derajat kerahasiaan yang tinggi, berteknologi lebih tinggi, malahan sengaja disembunyikan oleh para proponen pembangunnya untuk kepentingan masa datang, jauh dari jangkauan masyarakat kebanyakan? Apakah prinsip "no-seep on giant field"-nya Geologi migas itu bisa juga diterapkan di arkeologi? No-artefak around "giant sites" yang berarti meskipun tidak ada ditemukan artefak kebanyakan di sekitar suatu area yang dicurigai sebagai situs, bukan berarti bahwa di daerah tersebut tidak ada situs. Tetapi malahan kalau ketemu situs itu berarti situs tersebut punya harga yang sangat tinggi bahkan di masa kebudayaan lalu. Bisa jadi punya teknologi yang tinggi sedemikian rupa, diisolasikan dari masyarakat kebanyakan, dalam rangka menjaga "secrecy" (kerahasiaanya).
Skeptisisme kalangan akademisi arkeologi – purbakala yang meragukan adanya situs "man-made" di Gunung Sadahurip karena tidak pernah diketemukannya artefak di kaki gunung kemungkinan bersumber dari pemikiran linear mainstream keilmuan yang berlogika bahwa no-artefak no-sites! Tapi kalau kita terapkan prinsip "no-seep on giant field" bisa jadi temuan situs Sadahurip nantinya merupakan salah satu dari situs paling rahasia, paling berteknologi tinggi, paling terisolasi, dari yang selama ini kita tahu. Atau sama sekali memang tidak ada bangunan buatan manusianya di dalam situ.
Kalibrasi data geofisika bawah permukaan dengan pemboran inti yang sedang berlangsung saat ini di Gunung Padang yang akan disusul dengan pemboran inti Maret nanti di Gunung Sadahurip, insyaAllah akan menguak sedikit misterinya.