Enam Kisi Debat Energi

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Enam hal yang diuraikan di bawah ini ada kemungkinan akan diceritakan (di“citra”kan) oleh Jokowi di debat capres tentang energi nanti, yaitu hasil brief up dari para pembantunya terutama dari Menteri dan Wakil Menter ESDMnya dan juga dari Tim Pemenangannya yang khusus menangani bidang energi.

Enam hal tersebut perlu dikritisi. Tujuannya: supaya Jokowi lebih selektif dan berhati-hati dalam menyampaikannya sehingga citra baiknya selama ini tidak tercederai atau malah jangan menyampaikannya sama sekali supaya nggak “blunder” dalam debat capres nanti.

Kalau tetap saja Jokowi menyampaikan dengan modus seperti yang selama ini dicitrakan oleh para pembantunya, harapan berikutnya: semoga kisi-kisi ini dapat dipakai oleh Prabowo-Sandi untuk mengimbangi Jokowi. Supaya nggak njomplang-njomplang bangetlah seperti di debat pertama kemarin.

Lebih jauh lagi: kalau Prabowo-Sandi bisa menyuarakan kritik berikut ini ke Jokowi-MA dalam debat energi, insyaaAllah juga rakyat Indonesia akan bisa lebih melek energi. Citra Prabowo-Sandi pun mungkin akan sedikit terangkat dalam debat itu. Mungkin, lho... Tergantung juga dari kesiapan mereka di topik-topik yang lain supaya gak ngawur-ngawur banget seperti di debat pertama kemarin.

Selain itu, dengan memunculkan kritik-kritik di bawah ini dalam suasana debat capres sekarang ini, mudah-mudahan siapapun pemimpin kita ke depan nanti: dia/mereka nggak akan gampang percaya begitu saja omongan dari orang-orang sekitarnya yang cenderung hanya menunjukkan yang baik-baik saja dan menyembunyikan yang gagal supaya bisa dikoreksi, atau bahkan mencitrakan yang sebenarnya tidak baik menjadi baik, sehingga menyesatkan semuanya.

  1. Tingkat rasio elektrifikasi nasional insyaAllah akan diklaim Jokowi meningkat dengan pesat, hampir mencapai 100%. Dan untuk menekankan kepedulian pemerintah yang sekarang pada rakyat di pelosok, mungkin akan dimunculkan statistik jumlah desa yang berhasil dilistriki selama ini.

    Kritik: Listrik di desa dan pelosok itu keberlangsungannya diprediksi hanya jangka pendek saja, karena hanya mengandalkan pada pembagian LTSHE (Lampu Tenaga Surya Hemat Energi) tanpa membangkitkan dan atau mengembangkan kemampuan masyarakat mengelola pasokan energinya sendiri. Kalau hanya sekadar membagi perangkat Lampu Tenaga Surya portable saja, jaman SBY pun sudah banyak dilakukan oleh ESDM. Hasilnya: setelah dua – tiga tahun mangkrak, tidak terpelihara, rusak, dan nggak ada/sulit nyari komponen penggantinya. Akhirnya jadi gelap gulita lagi.

    Solusi: Pada awal pemerintahan Jokowi sebenarnya sudah ada program bagus untuk masyarakat desa dan daerah-daerah pelosok dengan mengirimkan para sukarelawan patriot energi ke lokasi-lokasi itu untuk hidup bersama mereka dan membangkitkan kemampuan masyarakat menyediakan dan mengelola energinya sendiri (termasuk lampu tenaga surya kalau memang itu pilihannya). Tetapi program itu dihentikan setelah 1,5 tahun berjalan karena menterinya ganti. Sayang sekali.

  2. Jargon “Energi Berkeadilan” insyaAllah akan diungkapkan Jokowi sebagai pencapaian penting kita empat – lima tahun terakhir ini, dengan contoh-contoh seperti BBM satu harga, harga listrik yang tidak naik-naik, melistriki desa-desa yang dulunya nggak ada listrik, konversi BBM ke BBG untuk nelayan, converter kit untuk nelayan, dan sebagainya.

    Kritik: Interpretasi dan pengejawantahan slogan “Energi Berkeadilan” oleh pemerintahan Jokowi hasilnya bagus dan populer untuk rakyat dalam jangka pendek tapi dalam jangka panjang justru melemahkan/melumpuhkan usaha-usaha penguatan pasokan energi di hulu, baik migas maupun kelistrikan, serta memperburuk iklim investasi. Pertamina jadi kehilangan kekuatan dan kelincahan untuk investasi di sektor hulu (eksplorasi dan EOR) dan juga di midstream (kilang), karena sebagian besar keuntungan tersedot ke bisnis BBM hilir tersebut. Demikian juga investasi-investasi di pembangkit-pembangkit ET jadi tersendat karena keekonomian yang tidak kompetitif untuk pengusaha karena Pemerintah mau energi yang murah untuk rakyat tapi tidak mau ada subsidi ET.

    Oleh karena itu perlu interpretasi yang lebih cerdas terhadap penerapan slogan tersebut melalui dukungan kebijakan dan regulasi serta strategi yang lebih cost-effective, dan memberikan dukungan iklim usaha yang positif dalam jangka panjang.

    Solusi: Dalam hal penyediaan BBM, salah satu cara memeratakan energi adalah merealisasikan pembangunan dan operasionalisasi kilang-kilang mini di berbagai daerah pelosok Indonesia yang mempunyai atau dekat dengan area sumber daya/cadangan minyak bumi tanpa harus menargetkan bagian negara dari pengusahaan tersebut yang selama ini menghambat pelaksanaannya. Dengan demikian harga BBM di pelosok-pelosok itu akan lebih murah atau relatif sama dengan yang ada di pulau Jawa karena pasokan dari kilang-kilang mini terdekatnya.

  3. Kemungkinan besar Jokowi juga akan menampilkan fakta bahwa pendapatan negara dari migas sudah bounce back dua tahun terakhir ini melebihi target-target yang dituliskan dalam APBN. Itu semua adalah blessing in disguise karena naiknya harga minyak bumi dunia, bukan karena prestasi kita. Kita memang patut mensyukurinya. Tetapi kalau pernyataannya terlalu berlebihan, maka bisa jadi kita lupa bahwa produksi migas kita sebenarnya merosot tidak sesuai dengan target-target yang diberikan selama ini.

    Kritik: Pengutamaan prinsip sumber daya migas sebagai sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masih terus terjadi, meskipun Indonesia sudah menjadi net importir minyak sejak 2004 (12 tahun yang lalu). Memacu PNBP dari sektor migas sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan UU Energi dan PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menempatkan energi — termasuk minyak dan gas bumi — sebagai modal dasar pembangunan dan bukan sebagai penghasil revenue semata. Kita masih punya pekerjaan rumah yang besar untuk meningkatkan produksi migas kita, bukan sekedar meningkatkan pendapatan dari migas yang pada 2018 kemarin mengalami kenaikan (197 triliun rupiah) lebih dari yang ditargetkan (125 triliun rupiah). Itu semua adalah berkah dari kenaikan harga minyak bumi dunia yang ternyata melebihi dari patokan harga minyak yang kita targetkan dalam APBN, bukan prestasi pekerjaan kita, sementara produksi minyak bumi kita sendiri hanya 778 ribu barel per-hari, lebih rendah dari target 800 ribu barel per-hari.

    Solusi: Kita harus terus fokus untuk mempertahankan produksi migas kita sesuai dengan rencana (RUEN) kalau bisa malahan melebihinya. Bukan tenggelam dalam euphoria naiknya harga minyak dunia yang membuat APBN kita ikut berbahagia. Maka usaha-usaha untuk memudahkan Eksplorasi dan EOR adalah dua kata kunci program yang harus kita jalankan untuk menyelamatkan produksi migas kita.

  4. InsyaAllah Jokowi juga akan meng-highlight keberhasilan kita mengubah sistem pengusahaan migas dari PSC konvensional menjadi PSC Gross Split (GS) dengan pencapaian 14 blok eksplorasi baru dan 22 blok produksi habis kontrak/blok POD baru semuanya memakai PSC GS ini. Kemudian akan dinyatakan juga bahwa dengan adanya 36++ blok migas memakai GS contract itu maka ke depannya eksplorasi akan makin ramai dan tentunya produksi existing akan bisa dipertahankan seusai rencana. Semoga. Tapi tunggu dulu, ternyata ada catch dibalik itu semua. Perhatikan kritik di bawah ini.

    Kritik: Perubahan kontrak migas dari skema Production Sharing Contract (PSC) menjadi Gross Split menimbulkan ketidakpastian terhadap investasi migas, terutama dengan adanya klausul diskresi pemerintah c.q. Menteri ESDM terhadap perubahan persentase split, yang bisa bertambah untuk kontraktor — tapi bisa juga berkurang ¾ tergantung persepsi keekonomian dari Menteri ESDM, sewaktu-waktu.

    Oleh karena itu lah maka tidak ada satu pun dari perusahaan-perusahaan migas raksasa ex 7 Sister yang meminati kontrak blok-blok migas eksplorasi yang ditawarkan dalam dua tahun terakhir ini. Hanya perusahaan-perusahaan kelas menengah atau kecil dengan portofolio eksplorasi jangka pendek yang bermain di bursa saham yang mencoba untuk berkontrak PSC Gross Split dengan Pemerintah di 14 blok eksplorasi yang diklaim sebagai tonggak kesuksesan sistem kontrak baru tersebut.

    Seperti kita ketahui, portofolio bisa dipercantik, digadang-gadang, digoreng, kemudian “diperjual-belikan” hanya untuk kepentingan gain dari permainan saham. Kita masih harus menunggu realisasi dari komitmen-komitmen eksplorasi yang dijanjikan para pemegang kontrak PSC Gross Split itu, sementara pekerjaan rumah kita untuk mempermudah proses investasi dan pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi migas Indonesia masih harus kita kerjakan. Hal itu terutama terkait dengan masih buruknya persepsi para pengusaha migas atas kemudahan berinvestasi hulu migas di Indonesia, yang salah satunya ditunjukkan oleh survei Fraser Institute yang dua tahun berturut-turut memosisikan Indonesia di 10 urutan terbawah dari daftar negara yang dipersepsikan “sulit” itu.

  5. Kemungkinan juga Jokowi akan beberapa kali mengulang jargon bahwa “kunci keberhasilan mempertahankan produksi migas kita ke depan adalah dengan eksplorasi dan EOR”. Dua kata kunci keramat yang selalu didengungkan oleh semua aparat birokrasi pemerintahan kita seolah semuanya sama-sama lulusan kursus Geologi Perminyakan GL401. Tetapi apakah yang sudah kita lakukan dalam empat tahun terakhir ini untuk EOR? Mari kita simak kritik di bawah ini:

    Kritik: Peningkatan produksi minyak bumi dengan Enhanced Oil Recovery (EOR) tidak berjalan walaupun PTK SKKMigas untuk Pengadaan telah direvisi untuk mempermudah EOR dan rencana program nasional EOR telah dibahas dan dimasukkan ke dalam Perpres No. 22/2017 tentang RUEN.

    Tidak berjalannya EOR ini disinyalir karena minimnya insentif bagi K3S pada rezim fiskal yang berlaku untuk menerapkan teknologi ini baik di PSC Gross Split apalagi di skema PSC konvensional.

    Untuk PSC Gross Split harapan tetap digantungkan kepada diskresi Menteri ESDM, yang kemungkinan di jangka panjang bisa saja berubah, alias tidak pasti.

    Selain itu dari 32 lapangan minyak kandidat EOR yang dimasukkan dalam rencana program nasional di Perpres 22/2017, 23 lapangan di antaranya (72%) sedang dan akan dioperasikan oleh Pertamina, termasuk Lapangan Minas yang di Blok Rokan.

    Solusi: Karena EOR ini membutuhkan investasi yang cukup besar dengan tenggang waktu yang cukup lama maka apabila kemampuan finansial dan prioritas investasi Pertamina sendiri tidak didorong kuat — oleh Kemen BUMN dan atau ESDM — untuk siap melaksanakannya, maka rencana umum program nasional EOR itu hanya akan jadi rencana. Jadi harus ada dorongan kuat, dari Presiden langsung kalau bisa untuk supaya program EOR kita ini jadi terlaksana.

  6. Mudah-mudahan Jokowi nggak menyinggung soal pembangunan kilang baru, karena memang tidak ada progres berarti selama lima tahun ini, walaupun sudah direncanakan dan digadang-gadang beberapa kali. Kalaupun toh menyinggung mungkin hanya akan disinggung penandatanganan kontrak EPC untuk penambahan kapasitas kilang di Balikpapan Desember tahun 2018 lalu.

    Kritik: Pembangunan kilang baru jaman Jokowi memang nihil, dan peningkatan kapasitas kilang lama serta pembangunan jaringan gas belum menunjukkan kemajuan berarti selama empat tahun terakhir. Implementasi Refinery Development Master Plan (RDMP) berupa pengembangan kapasitas kilang Cilacap, Plaju, Balongan, Dumai, dan Balikpapan dengan nilai investasi 246 triliun rupiah berjalan sangat lambat. Keseluruhan program RDMP sepertinya tidak akan selesai pada 2022. Stagnasi pembangunan kilang baru dan keterlambatan RDMP mengancam keamanan pasokan energi.

    Solusi: Untuk itu tindakan drastis harus dilakukan yaitu menetapkan kilang sebagai infrastruktur ekonomi dan dibangun tanpa menghitung IRR, seperti pemerintah membangun pelabuhan, membeli alutsista, membangun jalan non-tol, jembatan dan sejenisnya. Setelah terbangun, serahkan kepada Pertamina sebagai penyertaan modal negara. Dengan demikian maka ketergantungan kita selama bertahun-tahun kepada kilang-kilang minyak luar negeri (salah satunya ke Singapura yang punya kapasitasnya sampai 1,5 juta barel per hari) dapat diatasi.

Previous
Previous

Masukan Untuk Arah Baru Kebijakan Energi dan Pertambangan Jokowi Jilid 2 - Diskusi Publik IMEF (Indonesia Mining & Energy Forum)

Next
Next

Catatan Akhir Tahun: Tsunami, Gempa, dan Likuefaksi (Pelajaran tak Henti-Henti untuk Bangsa yang Nggak Ngerti-Ngerti.)