Uncertain Future? (Let’s Make it More Certain, Then)
Bagi yang masih ragu tentang apa yang akan terjadi dengan energi kita di masa depan, you are not alone. Saya juga kok.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
“.....Oil and gas exploration and development faces an uncertain future that is not driven by supply and demand but rather public perception and acceptance; this is an industry-wide challenge that we are best-equipped to navigate together.....”
Di atas itu adalah cuplikan pesan Presiden AAPG (Rick Fritz) pada email ke anggota AAPG sebagai pengantar rencana Penggabungan (Merger) AAPG dan SPE, Selasa 25 Mei 2021.
Bagi yang masih ragu tentang apa yang akan terjadi dengan energi kita di masa depan, you are not alone. Saya juga kok. Tapi dari cuplikan di atas itu paling tidak kita tahu bahwa ada yang sedang bergerak mengantisipasi ketidakpastian itu. Asosiasi profesional migas dunia seperti AAPG Itu kelihatannya sudah mahfum dan siap bertindak untuk memitigasi dampak buruknya bagi profesi petroleum geologist, salah satunya dengan cara merger dengan asosiasi para insinyur perminyakan dunia yaitu SPE alias Society of Petroleum Engineer.
Terus, bagaimana kita-kita di Indonesia mengantisipasinya? Bagaimana ISPG/IAGI? Bagaimana IATMI, HAGI dan IPA? Bagaimana SKK Migas, Ditjen Migas, ESDM? Kok kelihatannya sampai sekarang tenang-tenang saja? Wacana tentang akan berakhirnya era migas itu sesekali muncul di komunikasi media sosial, tetapi jarang ada yang mau membahasnya berkepanjangan. Isu itu sering tenggelam oleh hiruk pikuk diskusi technicalities saling berbagi pengalaman dan semangat untuk terus bergerak di gemerlap semu dunia migas Indonesia (dan dunia?).
Kebijakan Energi yang Obsolete
Suasana gemerlap semu itu diakibatkan oleh implementasi kebijakan energi Indonesia yang unik sekaligus obsolete. Unik karena cara implementasinya seperti Sisipius Mendorong Bongkah Batu ke Atas Bukit, obsolete karena asumsi dasar kebijakan itu adalah situasi dan aspirasi Indonesia dan dunia tahun 2009 —yang bahkan sebelum pandemi ini pun sudah jauh berbeda dengan kondisi nyata, apalagi setelah 1,5 tahun pandemi ini.
KEN (Kebijakan Energi Nasional) kita masih MELENAKAN para energi-fossilis karena rencana resmi negara dan kenyataannya dari sisi supply-demand: kita masih akan terus ngeyel memakai minyak bumi di bauran energi, yakni: 25% di 2025 dan 20% di 2050.
Selain itu masih berkobar-kobar juga tekad dan usaha untuk memproduksi 1 juta BOPD 2030. Walau dengan itu pun kita masih akan tekor 1,2 juta BOPD dari sisi supply (total demand 2,2 juta per 2030), sehingga masih harus terus mengandalkan impor.
Aspirasi hijau dari berbagai kalangan NGO terus menggedor, tapi pemerintah kita dan sebagian besar pebisnis nasional plus makelar-makelar politik bisnis pencari rente, nampaknya masih ingin terus menikmati gurihnya duit minyak bumi. Bahkan (apalagi) ketika kita harus net-impor minyak bumi itu sejak 2004 yang lalu, maka makin banyaklah peluang bisnis dan pencarian rentenya.
Di panggung dunia, IEA merekomendasikan untuk menghentikan eksplorasi minyak bumi (dan batu bara) mulai 2025 untuk bisa mencapai target Zero Emission di 2050. Di dalam negeri fenomena hengkangnya para Majors (Oil Compamy) dari Indonesia juga musti dijadikan alarm untuk bersegera dengan antisipasi ke depan. Shell mau keluar dari Masela, Chevron mundur dari IDD, dan terakhir Conoco Philip Mei kemarin mengumumkan bahwa mereka akan pergi dari Blok Koridor.
Suara-suara dari masyarakat yang mengingatkan untuk segera merombak Kebijakan Energi Nasional dalam tiga - empat tahun terakhir ini kelihatannya belum direspon secara mendasar. Ada usaha improvisasi positif berupa: pembuatan Grand Strategy Energi Nasional, yang dalam tata urutan nomenklatur istilah dan perundangan formal tidak dikenal positioning-nya. GSEN merupakan usaha untuk tidak jadi Sisipius, oke lah. Tapi bahkan di dalam GSEN itu pun kita masih berhadapan dengan Obsoleteness yang sama terkait dengan Kebijakan Energi Nasional. Salah satunya: Bauran Energi yang masih keukeuh mau pakai Minyak Bumi lebih banyak daripada Gas di 2025 maupun 2050.
Masih Selalu Ada Niche untuk Minyak Bumi?
Ada yang berpendapat: tidak mengapa dunia sedang berubah menuju Energi Terbarukan, tapi kan minyak bumi masih akan terus dipakai, bukan sebagai pemain utama, tetapi pemain cadangan. Dan sebagai bahan baku, minyak bumi juga masih akan terus dipakai untuk jadi produk-produk petrokimia yang bermanfaat bagi umat manusia tanpa harus bikin emisi sebesar kalau dia dipakai sebagai sumber energi. Masih ada lah “niche” itu. Masih ada ruang bergerak itu. Beberapa perusahaan minyak mediocre dan kecil (yang jarang atau tidak pernah masuk di radar pemberitaan dunia) mencoba menyikapi situasi dengan memanfaatkan “niche” itu.
Tetapi kita juga tahu: “niche” —ruang khusus untuk terus menyuplai minyak dengan segala implikasi keuntungan bisnisnya itu akan diperebutkan oleh banyak pihak. Termasuk terutamanya oleh negara/perusahaan surplus minyak bumi. Dan kita sama-sama tahu, Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Surplus dari mana? Lha, wong kita net import minyak bumi je, sejak 17 tahun yang lalu.
Jadi Bagaimana Sebaiknya Kita Bertransisi Energi?
Kelihatannya mulai ada kesadaran di atas sana. Ide tentang perombakan-perubahan menuju Transisi Energi yang di depan sananya masih tidak pasti itu mulai diwacanakan di beberapa kelompok yang concern dengan energi Indonesia sejak awal pandemi 2020 yang lalu. Salah satunya di kelompok Bimasena yang dikomandani begawan energi kita Prof Subroto. Beberapa kali Bimasena mengadakan acara membahas bagaimana kita harus merombak regulasi menuju Transisi Energi. Mereka menyuarakan usulannya ke pemerintah secara resmi. Juga aktivis-aktivis ET di asosiasi-asosiasi METI, AESI, API, ASELI, APAMSI, dan sebagainya, tak henti-henti,nya selama pandemi 2020 sampai sekarang ini menggedor ruang publik webinar kita dengan materi2 penyadaran perlunya perombakan-perubahan regulasi menyangkut Transisi Energi ini.
Usaha pemerintah (ESDM) membuat Grand Strategi Energi di akhir 2020 dan mengemasnya dalam regulasi resmi (sampai sekarang belum keluar Perpresnya?) termasuk antisipasi yang perlu diacungi jempol, meskipun masih belum menjawab permasalahan secara konkret dalam bentuk eksekusi. RUPTL 2021-2030 juga lebih menekankan prioritas pembangkitan listrik dari PLTP (panas bumi) dan PLTA (air), meskipun masih banyak protes/ketidakpuasan dari para aktivis ET karena batu bara yang “kotor” masih tetap menjadi andalan —tidak juga ada rencana phase out-nya yang jelas.
Yang paling mutakhir: awal Juli kemarin ini DEN (Dewan Energi Nasional) mulai menyusun Peta Jalan Transisi Energi Menuju Energi Bersih yang jadi program utama mereka periode 2021-2025 ini. Dari segi tata urutan regulasi, mestinya sih peta jalan itu akan mengubah, merivisi, merombak PP79/2014 Kebijakan Energi Nasional termasuk di dalamnya mengubah bauran energi kita. Mudah-mudahan.
Tapi tetap saja gerakan-gerakan antisipasi yang saya uraikan di atas itu masih terkesan di atas kertas, rencana, peta jalan, imbauan, usulan, rekomendasi, wacana dan sejenisnya. IMPLEMENTASI-nya butuh infrastruktur kelembagaan dan politik dan aktor-aktornya yang paham, militan, dan konsisten menjalankan apa yang ada di atas kertas itu semua. Pengalaman kita dengan KEN (Kebijakan Energi Nasional, PP 79/2014) dan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional, Perpres 22/2017), keduanya seringkali hanya jadi rujukan verbal formal tanpa kekuatan mengikat yang berarti. Para pemimpin (sektor maupun sentral) yang kebetulan tidak begitu memahami dan atau menyerap roh inti dari aturan-aturan itu seringkali malahan bikin aturan pelaksana yang bertabrakan atau malah menindas aturan-aturan tertulis itu, demi pragmatisme kebutuhan sesaat anggaran-keekonomian yang jalan pintasnya dengan melanggar aturan-aturan besar tersebut. Soal batu bara misalnya, sampai sekarang angka-angka yang ada di KEN maupun RUEN itu nggak pernah ditaati, dilangkahi begitu saja.
Jadi? Reformasi juga lah itu kelembagaan dan para pemimpin eksekusinya. Atau, minimal, kita harus didik mereka terus menerus untuk bisa paham dan militan menjalankan rencana-rencana besar ini. Tapi, kalau sudah di atas sana, harusnya kita nggak perlu lagi lah mendidik orang-orang itu. Kan mestinya mereka adalah orang-orang pilihan yang mumpuni. Kecuali kalau memang sistemnya adalah sekadar bagi-bagi jatah balas jasa pasukan tanpa memperhitungkan kompetensi. Mau bagaimana lagi?
Gas! Gas! Gas! (Gaskeun Poll Gaes)
Di atas itu tadi baru usulan di tataran/level Kebijakan Energi besarnya. Bagaimana dengan usulan di sektor Energi MiGas yang di pembukaan tulisan kita jadikan referensi? Bagaimana harusnya kita bersikap di urusan MiGas ini?
Menyadari bahwa cadangan gas kita dua - tiga kali lipat dari cadangan minyak bumi (data 2020 ESDM gas 62.4 TCF, minyak bumi 4.2 BBO) dan potensi temuan baru cekungan-cekungan kita lebih banyak gas-nya daripada minyak bumi, maka sebaiknya kita lebih memprioritaskan gas daripada minyak bumi dalam rencana bauran energi Indonesia. Bauran gas versus minyak dengan perbandingan 25% : 20% di 2025 dan 20% : 22% di 2050 harus berani kita ubah menjadi 15% : 30% di 2025 dan 5% : 47% di 2050, misalnya. Tentunya perhitungan rincinya akan tergantung dari berapa banyak kita berani mengurangi pemakaian batu bara dan juga memasukkan nuklir sebagai sumber energi dalam bauran tersebut.
Nah, sambil merombak bauran energi dalam Kebijakan Energi Nasional supaya lebih ke gas daripada minyak dalam transisi energi ini, maka pada saat yang bersamaan kita harus terus menerus secara militan menjalankan paradigma Energi Sebagai Modal Dasar Pembangunan Bukan Sebagai Penghasil Revenue Semata dalam mengeksekusi persetujuan-persetujuan POD maupun terutama dalam merencanakan dan membangun infrastruktur-infrastruktur gas di Indonesia.
Untuk POD yang butuh insentif, berikan terus insentif-insentif itu. Terutama untuk POD-POD lapangan gas. Kalau perlu bahkan kurangi bagian pendapatan negara asalkan di mid-stream maupun hilirnya produk migas tersebut dapat memicu multiplier efek yang menghasilkan gain ekonomi yang lebih besar bagi negara.
Untuk infrastruktur gas, akan sangat ideal kalau Presiden perintahkan supaya sebagian besar pipa-pipa regional dan juga terminal-terminal regas dibangun dengan biaya/investasi pemerintah. Infrastruktur energi musti diperlakukan sebagai infrastruktur dasar ekonomi seperti jalan raya, pelabuhan dan jembatan.
18 BCFPD Gas 2030
Selain dua hal di atas, mari kita rombak sama-sama target 1 juta BOPD dan 12 BCFGPD di 2030 menjadi 18 BCFPD Gas 2030. Yang 1 juta minyak bumi itu kita substitusi dengan 6 miliar kaki kubik gas, ditambahkan pada target awal 12 miliar kaki kubik menjadi total 18 miliar.
Target produksi minyak buminya bagaimana? Gak usah dibikin targetnya. Toh, nantinya di 2030 kebutuhan minyak bumi di pembangkitan listrik maupun di bbm kendaraan transportasi darat akan jauh berkurang disesuaikan dengan target baru bauran energi kita yang lebih dominan ke gas daripada minyak. Tentunya juga target substitusi kendaraan ber-bbm dengan kendaraan listrik musti secara ketat diimplementasikan. Kalau keseluruhan operator kontrak migas di bawah SKKmigas berhasil discovery sampai bisa produksi 1 juta BOPD di 2030 itu ya alhamdulillah. Kalau nggak tercapai ya gak apa-apa.
Mudah-mudahan saja perhitungan baru bauran energi kita di 2030 (yang saya asumsikan akan dikerjakan oleh DEN periode ini dalam kerja Pembuatan Peta Jalan Transisi Energi) mencukupkan kebutuhan minyak bumi kita hanya dari produksi dalam negeri sehingga tidak perlu sampai import segala. Kalaupun mendatangkan dari luar negeri cukup dengan mengambil alokasi minyak bumi yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan migas nasional yang beroperasi di luar negeri, terutama Pertamina.
Gas di Indonesia Timur Masih Oke
Dalam konteks menggantikan target 1 juta BOPD jadi tambahan 6 BCFGPD pada target gas, maka menjadi penting untuk memaknai hasil pertemuan para ahli senior G&G Indonesia yang dikoordinir oleh ESDM baru-baru ini yang mengindikasikan banyak daerah di Indonesia Timur lebih gas-prone daripada oil-prone. Dan karena target 2030 adalah minyak bumi maka para ahli itu menyarankan untuk tidak fokus pada daerah-daerah yang banyak tersebut, tapi cukup di lima area yang kemungkinan masih ada minyaknya, yaitu: Seram, Timor, Warim, Salawati Trend, dan Buton.
Dengan perubahan target minyak menjadi gas seperti diusulkan di atas, maka alternatif area pencarian sumber hidrokarbon baru di Indonesia Timur tersebut jadi lebih banyak. Bahkan daerah-daerah yang sudah dicoret dari daftar seperti Arafura Selatan, Selaru, Boka, Gas di Mamberamo, Kelanjutan Trend Gas PNG ke daerah Warim Papua, semuanya dapat dijadikan target program eksplorasi masif lewat penawaran-penawaran blok baru dengan data-data baru dari KKP dan tentunya terms baru yang lebih menarik.
Biogenik, Non Konvensional, Basement, Vulkanik, Pra-Tersier, dan Hidrat
Dalam rangka Transisi Energi dari Energi Fossil menjadi Energi Terbarukan MELALUI GAS, kita perlu menengok ulang apa saja yang pernah diusulkan berbagai stakeholder migas beberapa tahun terakhir ini untuk mengakselerasi eksplorasi di Indonesia. Salah satunya adalah menggalakkan riset-riset (dasar dan terapan) G&G&E yang terkait dengan gas biogenik, migas non konvensional, migas di batuan dasar, migas di cekungan yang tertutup vulkanik, stratigrafi dan sistim minyak bumi pra tersier dan juga tentang gas hidrat.
Aspek gas dari berbagai objek riset tersebut di atas sangat dominan, meskipun tentunya masih ada juga alternatif mendapatkan minyak bumi dari reservoir non konvensional, dari batuan dasar, vulkanik dan atau di batuan pra-tersier Indonesia Barat. Revival (menghidupkan kembali) semangat riset di lembaga-lembaga riset dan perguruan tinggi kita terkait dengan objek-objek penelitian tersebut akan langsung meng-upgrade usaha kita bersama mengawal transisi energi ini menjadi relatif lebih pasti daripada statusnya yang sekarang ini.
Usaha-usaha terobosan kreatif sedang dilakukan oleh SKKMigas dan ESDM untuk memungkinkan kita semua memulai riset - eksplorasi migas konvensional, kelihatannya dimulai dari blok Rokan. Mudah-mudahan saja lancar.
Discovery cadangan gas raksasa di batuan dasar di Kaliberau Dalam oleh Repsol dua tahun yang lalu juga memberikan sinyal positif kepada pemerintah untuk terus mendukung dan memfasilitasi riset-riset dan eksplorasi terkait dengan basement reservoir kita. Mudah-mudahan saja dana riset untuk Badan Geologi dan Lemigas lebih ditingkatkan untuk menyasar obyek-obyek riset energi migas strategis itu. Kerjasama antara perusahaan kontraktor migas dengan lembaga riset dan perguruan tinggi memanfaatkan dana KKP mereka diharapkan juga dapat menyasar topik-topik strategis migas tersebut.
Halo Asosiasi Profesi
Uraian berbagai pemikiran terkait dengan transisi energi, migas dan kepastian masa depannya di atas itu akhirnya kembali ke sebagian pertanyaan di awal tulisan. Apa yang sudah (dan akan) dilakukan asosiasi profesi kita seperti ISPG/IAGI, HAGI, IATMI, IAFMI, dan chapter-chapter Indonesia dari Asosiasi-Asosiasi Permigasan dunia dalam rangka mengantisipasi ketidakpastian masa depan industri migas dunia (dan Indonesia) itu?
Apakah perlu meniru AAPG dan SPE dengan menggabungkan ISPG, IATMI, IAFMI dalam komunitas migas Indonesia? Atau jalan saja terus seperti sekarang ini dengan konsekuensi makin berkurangnya resources dana dan SDM karena persaingan pencarian volunteer dan sponsor yang makin ketat karena berkurangnya aktivitas industri migas kita?
Tentunya dari segi program peningkatan kompetensi dan advokasi regulasi terkait profesi, perlu juga dipertimbangkan berbagai uraian/analisis tentang gerak langkah dunia (dan Indonesia) di era transisi energi ini. Kompetensi-kompetensi terkait dengan gas, migas non konvensional, hidrat, dan terutama Energi Terbarukan perlu untuk mulai diprioritaskan. Prinsip-prinsip teknis bawah tanah dan permukaan terkait CCSU (Carbon Capture Storage and Usage) mustinya juga mulai banyak disasar dalam diskusi-diskusi dan acara-acara temu teknis.
Khusus untuk IAGI atau HAGI yang spektrum keprofesiannya lebih luas dari sekadar migas, perlu dipertimbangkan untuk mendiversifikasi kegiatan jadi lebih beragam. Keahlian rekayasa geosains seperti geoteknik dan hidrogeologi konstruksi fasilitas energi, geologi & geofisika lingkungan, teknologi injeksi/pembuangan limbah berbahaya di permukaan dan bawah permukaan, kesemuanya jadi penting untuk dijadikan fokus baru kegiatan keprofesian dalam rangka mengantisipasi berkurangnya peran migas kita ke depan.
Catatan Penutup
Jaman dominasi minyak bumi di Indonesia sudah berakhir. Yang masih terus mengandalkan minyak bumi untuk ketahanan energi Indonesia berarti tidak membaca perubahan data potensi G&G&E migas kita dan tidak peka terhadap luka sejarah politik energi dan keuangan negara yang diakibatkan oleh status net-impor minyak bumi Indonesia sejak 2004 (17 tahun lalu) sampai zaman pandemi 2021 ini. Kita masuk ke transisi energi menuju pemakaian energi terbarukan yang lebih bersih melalui fase utilisasi gas yang lebih mendominasi daripada minyak bumi dan insyaallah akan bisa mencapai dominasi ET 30, 40, 50 tahun dari sekarang ini.
Biarpun zaman batu, zaman perunggum dan jaman besi sudah berakhir, tetapi sampai sekarang manusia juga masih terus memakai batu, perunggu, dan besi untuk kehidupan sehari-hari. Dominasi minyak bumi di Indonesia memang sudah berakhir. Tetapi apakah profesi geologist, geophysicist dan engineer E&P minyak bumi di negeri kita juga segera berakhir, tergantung pada bagaimana kita semua mengantisipasinya.
Ketidakpastian masa depan industri dan profesional migas di Indonesia dapat lebih kita pastikan dengan menggariskan tegas rencana langkah perubahan dan mulai melangkah sekarang, bukan sekadar berwacana.
Monggo.
(Kalau Indonesia, mah, Tergantung para Pebisnis yang Menguasai Politik Kita)
Mas Yayang, itu EU sudah menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca 55% tahun 2030 dan bebas kendaraan diesel dan BBM, terus bagaimana dengan future industri migas? Indonesia saja lagi bangun kilang minyak, kalau stop penggunaan BBM tahun 2030, investasinya bakalan nggak balik modal.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Mas Yayang, itu EU sudah menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca 55% tahun 2030 dan bebas kendaraan diesel dan BBM, terus bagaimana dengan future industri migas? Indonesia saja lagi bangun kilang minyak, kalau stop penggunaan BBM tahun 2030, investasinya bakalan nggak balik modal.
Ngene lho rek, EU memang sudah sangat drastis meninggalkan batu bara dan minyak bumi dalam 10 - 15 tahun terakhir ini, tapi kelihatannya mereka masih akan tetap memakai gas (supply dari Rusia) dalam rangka transisi energi menuju dominasi Renewable Energy di 2030. Jadi, meskipun minyak bumi akan makin nggak laku di EU, masa depan industri Migas (dalam konteks ini adalah gas) masih akan oke di EU, meskipun harus bersaing dengan pemain-pemain besar dengan resources besar seperti Qatar, Rusia, Amerika (Shale Gas), Afrika Timur, Australia, dan lain-lain.
Kalau Indonesia, mah, tergantung para pebisnis yang mengusai politik kita. Kalau sistem politik masih oligarki politik yang ditunjang kepentingan bisnis seperti 17 tahun terakhir ini (Sejak SBY dan makin menjadi jadi di era Jokowi), maka masih akan tetap dipaksakanlah negara kita pakai energi fosil terutama batu bara dan minyak bumi. Batu bara karena paling gampang didapatkan dan banyak politisi yang punya kepentingan bisnis di situ, minyak bumi karena rente impor iku paling manis dan masih akan terus jadi andalan untuk menghidupi oligarki politik bisnis itu dan menampung kelebihan-kelebihan supply minyak dunia yang makin tidak diterima oleh EU dan negara-negara maju lainnya yang taat dengan protokol-protokol/perjanjian-perjanjian aksi pelestarian bumi (dengan segala latar belakang motivasinya).
Bahwa produksi dan cadangan minyak kita sudah makin anjlok dibanding dengan kebutuhan (yang makin meningkat lebih dari dua kali lipat produksi kita), sementara gas kita berlimpah tapi tak kunjung bisa menggantikan minyak bumi dalam bauran energi (karena problem infrastuktur dan masalah harga yang sangat lamban ditangani), dan bahwa banyak pihak bertubi-tubi menyarankan supaya pemerintah segera mengubah drastis kebijakan energi untuk lebih memprioritaskan gas daripada minyak bumi (seperti tren transisi energi dunia), itu semua pun tidak bisa menggerakkan perubahan terjadi.
Teteuuup saja kita masih bermain-main dengan target-target besar seperti 1 juta BOPD dan 12 BCFD yang meskipun itu semua tercapai, ketahanan energi kita akan terus kritis/rawan karena kita masih harus terus impor minyak bumi (dan mungkin juga akan impor gas juga), kalau bauran energi dalam Kebijakan Energi Nasional kita nggak kita ubah drastis!
Soal penurunan emisi di Indonesia? Semuanya hanya hitung-hitungan di atas kertas dan janji-janji. Selama ini gak pernah hal mendasar tentang konsekuensi saintifik logisnya benar-benar dipahami oleh para penguasa politik kita. Jadi, ya akan terus jadi lip service saja.
Hiks…
(Menjelaskan ke Para Pencinta Alam AMC Malang)
...betapa pentingnya mengkarakterisasi kondisi keterdapatan mata air di hulu Sungai Brantas di daerah Cangar, Batu, Malang.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Menjelaskan ke para pencinta alam AMC Malang, betapa pentingnya mengkarakterisasi kondisi keterdapatan mata air di hulu Sungai Brantas di daerah Cangar, Batu, Malang.
Apakah mata airnya keluar dari batuan lava, batu apung, atau pasir vulkanik?
Apakah ada indikasi patahan atau retakan geologi di sekitar mata air?
Bagaimana karakter kimia-nya: apakah ada Nitrat yang menandakan masuknya bahan pencemar dari pestisida? Apakah kadar besi tinggi berasosiasi dengan batuan lava? Dan seterusnya.
Sambil bertualang di ruang terbuka, pencinta alam juga bisa menjadi agen terdepan pengumpulan data ilmiah tentang sumber daya alam, dalam hal ini mata air di sekitar gunung api kita.
Enam Kisi Debat Energi
Enam hal yang diuraikan di bawah ini ada kemungkinan akan diceritakan (di“citra”kan) oleh Jokowi di debat capres tentang energi nanti, yaitu hasil brief up dari para pembantunya terutama dari Menteri dan Wakil Menter ESDMnya dan juga dari Tim Pemenangannya yang khusus menangani bidang energi.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Enam hal yang diuraikan di bawah ini ada kemungkinan akan diceritakan (di“citra”kan) oleh Jokowi di debat capres tentang energi nanti, yaitu hasil brief up dari para pembantunya terutama dari Menteri dan Wakil Menter ESDMnya dan juga dari Tim Pemenangannya yang khusus menangani bidang energi.
Enam hal tersebut perlu dikritisi. Tujuannya: supaya Jokowi lebih selektif dan berhati-hati dalam menyampaikannya sehingga citra baiknya selama ini tidak tercederai atau malah jangan menyampaikannya sama sekali supaya nggak “blunder” dalam debat capres nanti.
Kalau tetap saja Jokowi menyampaikan dengan modus seperti yang selama ini dicitrakan oleh para pembantunya, harapan berikutnya: semoga kisi-kisi ini dapat dipakai oleh Prabowo-Sandi untuk mengimbangi Jokowi. Supaya nggak njomplang-njomplang bangetlah seperti di debat pertama kemarin.
Lebih jauh lagi: kalau Prabowo-Sandi bisa menyuarakan kritik berikut ini ke Jokowi-MA dalam debat energi, insyaaAllah juga rakyat Indonesia akan bisa lebih melek energi. Citra Prabowo-Sandi pun mungkin akan sedikit terangkat dalam debat itu. Mungkin, lho... Tergantung juga dari kesiapan mereka di topik-topik yang lain supaya gak ngawur-ngawur banget seperti di debat pertama kemarin.
Selain itu, dengan memunculkan kritik-kritik di bawah ini dalam suasana debat capres sekarang ini, mudah-mudahan siapapun pemimpin kita ke depan nanti: dia/mereka nggak akan gampang percaya begitu saja omongan dari orang-orang sekitarnya yang cenderung hanya menunjukkan yang baik-baik saja dan menyembunyikan yang gagal supaya bisa dikoreksi, atau bahkan mencitrakan yang sebenarnya tidak baik menjadi baik, sehingga menyesatkan semuanya.
Tingkat rasio elektrifikasi nasional insyaAllah akan diklaim Jokowi meningkat dengan pesat, hampir mencapai 100%. Dan untuk menekankan kepedulian pemerintah yang sekarang pada rakyat di pelosok, mungkin akan dimunculkan statistik jumlah desa yang berhasil dilistriki selama ini.
Kritik: Listrik di desa dan pelosok itu keberlangsungannya diprediksi hanya jangka pendek saja, karena hanya mengandalkan pada pembagian LTSHE (Lampu Tenaga Surya Hemat Energi) tanpa membangkitkan dan atau mengembangkan kemampuan masyarakat mengelola pasokan energinya sendiri. Kalau hanya sekadar membagi perangkat Lampu Tenaga Surya portable saja, jaman SBY pun sudah banyak dilakukan oleh ESDM. Hasilnya: setelah dua – tiga tahun mangkrak, tidak terpelihara, rusak, dan nggak ada/sulit nyari komponen penggantinya. Akhirnya jadi gelap gulita lagi.
Solusi: Pada awal pemerintahan Jokowi sebenarnya sudah ada program bagus untuk masyarakat desa dan daerah-daerah pelosok dengan mengirimkan para sukarelawan patriot energi ke lokasi-lokasi itu untuk hidup bersama mereka dan membangkitkan kemampuan masyarakat menyediakan dan mengelola energinya sendiri (termasuk lampu tenaga surya kalau memang itu pilihannya). Tetapi program itu dihentikan setelah 1,5 tahun berjalan karena menterinya ganti. Sayang sekali.
Jargon “Energi Berkeadilan” insyaAllah akan diungkapkan Jokowi sebagai pencapaian penting kita empat – lima tahun terakhir ini, dengan contoh-contoh seperti BBM satu harga, harga listrik yang tidak naik-naik, melistriki desa-desa yang dulunya nggak ada listrik, konversi BBM ke BBG untuk nelayan, converter kit untuk nelayan, dan sebagainya.
Kritik: Interpretasi dan pengejawantahan slogan “Energi Berkeadilan” oleh pemerintahan Jokowi hasilnya bagus dan populer untuk rakyat dalam jangka pendek tapi dalam jangka panjang justru melemahkan/melumpuhkan usaha-usaha penguatan pasokan energi di hulu, baik migas maupun kelistrikan, serta memperburuk iklim investasi. Pertamina jadi kehilangan kekuatan dan kelincahan untuk investasi di sektor hulu (eksplorasi dan EOR) dan juga di midstream (kilang), karena sebagian besar keuntungan tersedot ke bisnis BBM hilir tersebut. Demikian juga investasi-investasi di pembangkit-pembangkit ET jadi tersendat karena keekonomian yang tidak kompetitif untuk pengusaha karena Pemerintah mau energi yang murah untuk rakyat tapi tidak mau ada subsidi ET.
Oleh karena itu perlu interpretasi yang lebih cerdas terhadap penerapan slogan tersebut melalui dukungan kebijakan dan regulasi serta strategi yang lebih cost-effective, dan memberikan dukungan iklim usaha yang positif dalam jangka panjang.
Solusi: Dalam hal penyediaan BBM, salah satu cara memeratakan energi adalah merealisasikan pembangunan dan operasionalisasi kilang-kilang mini di berbagai daerah pelosok Indonesia yang mempunyai atau dekat dengan area sumber daya/cadangan minyak bumi tanpa harus menargetkan bagian negara dari pengusahaan tersebut yang selama ini menghambat pelaksanaannya. Dengan demikian harga BBM di pelosok-pelosok itu akan lebih murah atau relatif sama dengan yang ada di pulau Jawa karena pasokan dari kilang-kilang mini terdekatnya.
Kemungkinan besar Jokowi juga akan menampilkan fakta bahwa pendapatan negara dari migas sudah bounce back dua tahun terakhir ini melebihi target-target yang dituliskan dalam APBN. Itu semua adalah blessing in disguise karena naiknya harga minyak bumi dunia, bukan karena prestasi kita. Kita memang patut mensyukurinya. Tetapi kalau pernyataannya terlalu berlebihan, maka bisa jadi kita lupa bahwa produksi migas kita sebenarnya merosot tidak sesuai dengan target-target yang diberikan selama ini.
Kritik: Pengutamaan prinsip sumber daya migas sebagai sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masih terus terjadi, meskipun Indonesia sudah menjadi net importir minyak sejak 2004 (12 tahun yang lalu). Memacu PNBP dari sektor migas sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan UU Energi dan PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menempatkan energi — termasuk minyak dan gas bumi — sebagai modal dasar pembangunan dan bukan sebagai penghasil revenue semata. Kita masih punya pekerjaan rumah yang besar untuk meningkatkan produksi migas kita, bukan sekedar meningkatkan pendapatan dari migas yang pada 2018 kemarin mengalami kenaikan (197 triliun rupiah) lebih dari yang ditargetkan (125 triliun rupiah). Itu semua adalah berkah dari kenaikan harga minyak bumi dunia yang ternyata melebihi dari patokan harga minyak yang kita targetkan dalam APBN, bukan prestasi pekerjaan kita, sementara produksi minyak bumi kita sendiri hanya 778 ribu barel per-hari, lebih rendah dari target 800 ribu barel per-hari.
Solusi: Kita harus terus fokus untuk mempertahankan produksi migas kita sesuai dengan rencana (RUEN) kalau bisa malahan melebihinya. Bukan tenggelam dalam euphoria naiknya harga minyak dunia yang membuat APBN kita ikut berbahagia. Maka usaha-usaha untuk memudahkan Eksplorasi dan EOR adalah dua kata kunci program yang harus kita jalankan untuk menyelamatkan produksi migas kita.
InsyaAllah Jokowi juga akan meng-highlight keberhasilan kita mengubah sistem pengusahaan migas dari PSC konvensional menjadi PSC Gross Split (GS) dengan pencapaian 14 blok eksplorasi baru dan 22 blok produksi habis kontrak/blok POD baru semuanya memakai PSC GS ini. Kemudian akan dinyatakan juga bahwa dengan adanya 36++ blok migas memakai GS contract itu maka ke depannya eksplorasi akan makin ramai dan tentunya produksi existing akan bisa dipertahankan seusai rencana. Semoga. Tapi tunggu dulu, ternyata ada catch dibalik itu semua. Perhatikan kritik di bawah ini.
Kritik: Perubahan kontrak migas dari skema Production Sharing Contract (PSC) menjadi Gross Split menimbulkan ketidakpastian terhadap investasi migas, terutama dengan adanya klausul diskresi pemerintah c.q. Menteri ESDM terhadap perubahan persentase split, yang bisa bertambah untuk kontraktor — tapi bisa juga berkurang ¾ tergantung persepsi keekonomian dari Menteri ESDM, sewaktu-waktu.
Oleh karena itu lah maka tidak ada satu pun dari perusahaan-perusahaan migas raksasa ex 7 Sister yang meminati kontrak blok-blok migas eksplorasi yang ditawarkan dalam dua tahun terakhir ini. Hanya perusahaan-perusahaan kelas menengah atau kecil dengan portofolio eksplorasi jangka pendek yang bermain di bursa saham yang mencoba untuk berkontrak PSC Gross Split dengan Pemerintah di 14 blok eksplorasi yang diklaim sebagai tonggak kesuksesan sistem kontrak baru tersebut.
Seperti kita ketahui, portofolio bisa dipercantik, digadang-gadang, digoreng, kemudian “diperjual-belikan” hanya untuk kepentingan gain dari permainan saham. Kita masih harus menunggu realisasi dari komitmen-komitmen eksplorasi yang dijanjikan para pemegang kontrak PSC Gross Split itu, sementara pekerjaan rumah kita untuk mempermudah proses investasi dan pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi migas Indonesia masih harus kita kerjakan. Hal itu terutama terkait dengan masih buruknya persepsi para pengusaha migas atas kemudahan berinvestasi hulu migas di Indonesia, yang salah satunya ditunjukkan oleh survei Fraser Institute yang dua tahun berturut-turut memosisikan Indonesia di 10 urutan terbawah dari daftar negara yang dipersepsikan “sulit” itu.
Kemungkinan juga Jokowi akan beberapa kali mengulang jargon bahwa “kunci keberhasilan mempertahankan produksi migas kita ke depan adalah dengan eksplorasi dan EOR”. Dua kata kunci keramat yang selalu didengungkan oleh semua aparat birokrasi pemerintahan kita seolah semuanya sama-sama lulusan kursus Geologi Perminyakan GL401. Tetapi apakah yang sudah kita lakukan dalam empat tahun terakhir ini untuk EOR? Mari kita simak kritik di bawah ini:
Kritik: Peningkatan produksi minyak bumi dengan Enhanced Oil Recovery (EOR) tidak berjalan walaupun PTK SKKMigas untuk Pengadaan telah direvisi untuk mempermudah EOR dan rencana program nasional EOR telah dibahas dan dimasukkan ke dalam Perpres No. 22/2017 tentang RUEN.
Tidak berjalannya EOR ini disinyalir karena minimnya insentif bagi K3S pada rezim fiskal yang berlaku untuk menerapkan teknologi ini baik di PSC Gross Split apalagi di skema PSC konvensional.
Untuk PSC Gross Split harapan tetap digantungkan kepada diskresi Menteri ESDM, yang kemungkinan di jangka panjang bisa saja berubah, alias tidak pasti.
Selain itu dari 32 lapangan minyak kandidat EOR yang dimasukkan dalam rencana program nasional di Perpres 22/2017, 23 lapangan di antaranya (72%) sedang dan akan dioperasikan oleh Pertamina, termasuk Lapangan Minas yang di Blok Rokan.
Solusi: Karena EOR ini membutuhkan investasi yang cukup besar dengan tenggang waktu yang cukup lama maka apabila kemampuan finansial dan prioritas investasi Pertamina sendiri tidak didorong kuat — oleh Kemen BUMN dan atau ESDM — untuk siap melaksanakannya, maka rencana umum program nasional EOR itu hanya akan jadi rencana. Jadi harus ada dorongan kuat, dari Presiden langsung kalau bisa untuk supaya program EOR kita ini jadi terlaksana.
Mudah-mudahan Jokowi nggak menyinggung soal pembangunan kilang baru, karena memang tidak ada progres berarti selama lima tahun ini, walaupun sudah direncanakan dan digadang-gadang beberapa kali. Kalaupun toh menyinggung mungkin hanya akan disinggung penandatanganan kontrak EPC untuk penambahan kapasitas kilang di Balikpapan Desember tahun 2018 lalu.
Kritik: Pembangunan kilang baru jaman Jokowi memang nihil, dan peningkatan kapasitas kilang lama serta pembangunan jaringan gas belum menunjukkan kemajuan berarti selama empat tahun terakhir. Implementasi Refinery Development Master Plan (RDMP) berupa pengembangan kapasitas kilang Cilacap, Plaju, Balongan, Dumai, dan Balikpapan dengan nilai investasi 246 triliun rupiah berjalan sangat lambat. Keseluruhan program RDMP sepertinya tidak akan selesai pada 2022. Stagnasi pembangunan kilang baru dan keterlambatan RDMP mengancam keamanan pasokan energi.
Solusi: Untuk itu tindakan drastis harus dilakukan yaitu menetapkan kilang sebagai infrastruktur ekonomi dan dibangun tanpa menghitung IRR, seperti pemerintah membangun pelabuhan, membeli alutsista, membangun jalan non-tol, jembatan dan sejenisnya. Setelah terbangun, serahkan kepada Pertamina sebagai penyertaan modal negara. Dengan demikian maka ketergantungan kita selama bertahun-tahun kepada kilang-kilang minyak luar negeri (salah satunya ke Singapura yang punya kapasitasnya sampai 1,5 juta barel per hari) dapat diatasi.
Tentang Video Viral Ceramah Cak Nun Tentang Energi dan Tanah Air yang Ditelanjangi
Aku ditanya keluargaku, ditanya konco-koncoku, wong-wong sekitarku tentang video viral Emha Ainun Najib (Cak Nun) ini. Apakah yang diceramahkan Cak Nun itu datanya valid?
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Aku ditanya keluargaku, ditanya konco-koncoku, wong-wong sekitarku tentang video viral Emha Ainun Najib (Cak Nun) ini. Apakah yang diceramahkan Cak Nun itu datanya valid?
Berikut ini penjelasanku sebagai orang yang sedikit belajar tentang geologi dan energi.
Bahwa kata Cak Nun “gas dan energi” sudah akan beralih ke panas bumi. Yupps, kita SUDAH beralih tapi SERET. Kalaupun lancar, potensi panas bumi seluruh Indonesia yang bisa dijadikan energi (29 GWe) untuk kebutuhan seluruh rakyat Indonesia – bahkan untuk saat ini saja (60 GW) – TIDAK CUKUP. Harus ada sumber energi lain yang kita pakai selain panas bumi saat ini dan (apalagi) di masa mendatang (400 GW di tahun 2050, misalnya). PLTA (air) masih akan dipakai dan bertambah, demikian juga EBT lainnya seperti PLTB (bayu), PLTS (surya), PLTN (nuklir), PLT Biomassa, dan sebagainya. Dan, tentu saja, energi fosil masih akan tetap jadi andalan bahkan sampai 2050 nanti. Angka penggunaannya di Indonesia diperkirakan mencapai 69% di 2050 nanti. Jadi, statement beralihnya gas dan energi ke panas bumi hanya valid 50%.
Bahwa semua gunung api yang ada potensi panas buminya sudah dikavling-kavling, dikontrak 30 – 40 tahun. Pernyataan ini valid 50% karena BELUM SEMUA potensi panas bumi dikontrakkan untuk dieksplorasi maupun dieksploitasi karena memang pemerintah nggak punya duit sendiri untuk melakukan E&P panas bumi itu. Juga, di seluruh dunia, pengusahaan E&P panas bumi (dan energi pada umumnya) memang dengan sistim kontrak atau royalti atau bagi hasil dan sebagainya; bukan dikerjakan sendiri oleh pemerintah. Paling jauh, pemerintah “mengerjakan sendiri” lewat perusahaan negara. Di Indonesia, Pertamina sebagai BUMN menguasai sebagian besar kontrak pengusahaan panas bumi di gunung-gunung api tersebut. Jadi, dikavling-kavling dan dikontrakkan dalam arti negatif berarti NGGAK VALID. Tapi, dalam arti positif, VALID. Yang berarti: DIKERJAKAN! Walaupun jumlahnya yang “semua” itu nggak valid.
Pernyataan “Ya Merapi, ya Merbabu, di mana saja yang kira-kira ada panas buminya, sudah dijual oleh pemerintah tanpa kalian tahu,” adalah pernyataan yang tidak sejalan dengan statement sebelumnya yang “dikavling-kavling, dikontrakkan”. Dikontrakkan pengusahanya sangat berbeda dengan dijual. Nggak ada satu pun gunung api yang dijual. Yang ada adalah hak eksplorasi dan eksploitasi panas buminya dikontrakkan ke perusahaan E&P geotermal. Para kontraktor E&P itu jelas tidak berhak memiliki gunung api; baik itu tanah, hutan, area, maupun udaranya. Mereka hanya berhak mengeksplorasi (mencari) sumber panas buminya dan mengusahakannya menjadi listrik. That’s it!!!! Jadi, pernyataan penjualan gunung api itu 100% GAK VALID.
Bahwa ada tiga lempeng benua di bawah pulau Jawa di area Pegunungan Kendeng di Jawa Tengah dan Jawa Timur, itu adalah pernyataan yang tidak valid. Pengetahuan tektonik kita saat ini hanya mengetahui bahwa di daerah dimaksudkan ada DUA lempeng benua yang berinteraksi, yaitu lempeng Benua Asia dan lempeng Benua Australia. Kalau ditambah dengan lempeng SAMUDRA (bukan Benua) maka memang ada tiga lempeng yang ketemu di bawah Jawa Tengah Jawa Timur. Jadi, yang valid: ada dua lempeng benua dan satu lempeng samudra yang ketemu di bawah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Note: Mungkin hal ini dikelirukan dengan pengetahuan umum geologi kita yang mengatakan bahwa Indonesia secara keseluruhan di bentuk oleh interaksi tiga lempeng yaitu lempeng Asia, lempeng Australia dan lempeng Pasifik! Tapi seharusnya itu dikatakan sebagai “ringkasan“ tektonik seluruh Indonesia, bukan di bawah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Pernyataan tentang adanya cekungan-cekungan yang banyak hanya 50% valid. Memang cekungan-cekungan sedimen itu ada, tapi tidak “banyak”. Mungkin hanya lima – delapan cekungan saja (tergantung dari batasan kita tentang dimensi cekungan). Di daerah onshore Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian utara ada cekungan Zona Rembang, Zona Randu Blatung, dan Zona Kendeng. Di selatannya ada cekungan Yogyakarta dan Jawa Timur bagian selatan (Pacitan, Kediri, Malang, Pasuruan). Jumlah seluruh cekungan Indonesia yang dipetakan resmi oleh pemerintah adalah 128. Nah, apakah lima – delapan cekungan dibanding dengan 128 cekungan itu bisa dikategorikan sebagai BANYAK cekungan? Hmmmmm....
Dan bahwa pernyataan tentang cekungan-cekungan sedimen itu diurutkan di cermah untuk menjustifikasi kekayaan panas bumi kita: NGGAK VALID!!! Cekungan-cekungan sedimen yang dimaksudkan itu berasosiasi dengan adanya energi migas dan batu bara sementara untuk panas bumi urusannya bukan dengan cekungan migas, melainkan dengan keberadaan gunung api yang posisinya membatasi cekungan-cekungan Jawa bagian utara dengan Yogyakarta dan Jawa Timur bagian selatan. Jadi: nggak nyambung!
Pernyataan tentang “ada frame-frame yang merupakan pusat kekayaan Indonesia masa depan” membingungkan. Istilah frame-frame tidak valid secara ilmu kebumian. Mungkin yang dia maksud teranne (rimanya sama dengan frame). Teranne atau Teran (atau Mintakat) adalah potongan-potongan lempeng bumi (umumnya lempeng benua) yang berasal dari berbagai paleo-location kemudian mengalami pemecahan dan pemisahan yang pada akhirnya saling bertemu (karena mereka bergerak menjauh, mendekat, menggeser satu sama lainnya dalam teori tektonik lempeng) membentuk satu kumpulan terrane yang kemudian dilabeli sebagai lempeng Asia, lempeng Australia, dan sebagainya. Lalu, soal “pusat kekayaan Indonesia masa depan” itu juga belum dikuantifikasi secara kegeologian. Jadi: NGGAK VALID.
Aku agak setuju dengan pernyataan “tanah air diudani (ditelanjangi) oleh orang luar negeri”. Itu terjadi karena karena kita malas untuk belajar tentang tanah air kita sendiri. Salah satu contoh: tidak akuratnya atau tidak validnya banyak aspek geologi “tanah air” yang diceritakan dalam ceramah itu menunjukkan bahwa kita tidak memahami tanah air kita sendiri.
Maka sebagai orang yang sedikit lebih mengerti tentang geologi tanah air dibanding kebanyakan orang di Indonesia, aku merasa sangat berterima kasih dengan adanya video viral ceramah Cak Nun tentang panas bumi dan telanjang-menelanjangi tanah air itu. Karena apa? Dari situ kita disadarkan bahwa masih banyak tugas ke depan untuk mendidik bangsa Indonesia mengenali dirinya sendiri, tanah airnya sendiri. Sehingga nantinya para tokoh pimpinan masyarakat seperti Cak Nun pun dapat merujuk dengan gampang dengan mudah pada pengetahuan kita tentang geologi, panas bumi, migas Indonesia; tanpa harus salah-salah dan keliru dan membuat masyarakat bangsa ini makin terjerumus pada keterbelakangan ilmu dan persepsi.