(Kalau Indonesia, mah, Tergantung para Pebisnis yang Menguasai Politik Kita)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Mas Yayang, itu EU sudah menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca 55% tahun 2030 dan bebas kendaraan diesel dan BBM, terus bagaimana dengan future industri migas? Indonesia saja lagi bangun kilang minyak, kalau stop penggunaan BBM tahun 2030, investasinya bakalan nggak balik modal.
Ngene lho rek, EU memang sudah sangat drastis meninggalkan batu bara dan minyak bumi dalam 10 - 15 tahun terakhir ini, tapi kelihatannya mereka masih akan tetap memakai gas (supply dari Rusia) dalam rangka transisi energi menuju dominasi Renewable Energy di 2030. Jadi, meskipun minyak bumi akan makin nggak laku di EU, masa depan industri Migas (dalam konteks ini adalah gas) masih akan oke di EU, meskipun harus bersaing dengan pemain-pemain besar dengan resources besar seperti Qatar, Rusia, Amerika (Shale Gas), Afrika Timur, Australia, dan lain-lain.
Kalau Indonesia, mah, tergantung para pebisnis yang mengusai politik kita. Kalau sistem politik masih oligarki politik yang ditunjang kepentingan bisnis seperti 17 tahun terakhir ini (Sejak SBY dan makin menjadi jadi di era Jokowi), maka masih akan tetap dipaksakanlah negara kita pakai energi fosil terutama batu bara dan minyak bumi. Batu bara karena paling gampang didapatkan dan banyak politisi yang punya kepentingan bisnis di situ, minyak bumi karena rente impor iku paling manis dan masih akan terus jadi andalan untuk menghidupi oligarki politik bisnis itu dan menampung kelebihan-kelebihan supply minyak dunia yang makin tidak diterima oleh EU dan negara-negara maju lainnya yang taat dengan protokol-protokol/perjanjian-perjanjian aksi pelestarian bumi (dengan segala latar belakang motivasinya).
Bahwa produksi dan cadangan minyak kita sudah makin anjlok dibanding dengan kebutuhan (yang makin meningkat lebih dari dua kali lipat produksi kita), sementara gas kita berlimpah tapi tak kunjung bisa menggantikan minyak bumi dalam bauran energi (karena problem infrastuktur dan masalah harga yang sangat lamban ditangani), dan bahwa banyak pihak bertubi-tubi menyarankan supaya pemerintah segera mengubah drastis kebijakan energi untuk lebih memprioritaskan gas daripada minyak bumi (seperti tren transisi energi dunia), itu semua pun tidak bisa menggerakkan perubahan terjadi.
Teteuuup saja kita masih bermain-main dengan target-target besar seperti 1 juta BOPD dan 12 BCFD yang meskipun itu semua tercapai, ketahanan energi kita akan terus kritis/rawan karena kita masih harus terus impor minyak bumi (dan mungkin juga akan impor gas juga), kalau bauran energi dalam Kebijakan Energi Nasional kita nggak kita ubah drastis!
Soal penurunan emisi di Indonesia? Semuanya hanya hitung-hitungan di atas kertas dan janji-janji. Selama ini gak pernah hal mendasar tentang konsekuensi saintifik logisnya benar-benar dipahami oleh para penguasa politik kita. Jadi, ya akan terus jadi lip service saja.
Hiks…