Minyak Serpih: Riset Saja Dulu
Dirilis pertama di Koran Tempo.
Senin, 20 Juni 2016: Halaman 11.
Amerika Serikat mengejutkan dunia energi fosil. Ia mengubah konstelasi harga migas dunia dengan revolusi minyak dan gas dari serpih (shale oil), yang prasyarat keberhasilannya tidak bisa ditiru begitu saja di belahan dunia lain. Polandia, Australia, dan Inggris gagal meniru keberhasilan Amerika. Bagaimana dengan Indonesia? Kalau paradigma pemerintahan dalam soal sumber daya energi dan eksplorasi masih paradigma komoditas dan ijon di depan, dijamin Indonesia tak akan ke mana-mana, seperti kasus coal bed methane (CBM) yang sudah delapan tahun berjalan dan punya 55 blok kontrak tapi baru satu blok yang berhasil berproduksi.
Para peneliti Indonesia telah berusaha meneliti migas serpih. Sayangnya, penelitian yang sudah dan sedang kita lakukan pada umumnya tidak benar-benar meneliti shale hydrocarbon Indonesia dari dasarnya, melainkan lebih banyak “meyalin” hasil penelitian dari luar sana. Rumus-rumus Schmoker (1979), Schmoker & Hester (1983), Jarvie (2007), atau Wang & Gale (2009) diterapkan begitu saja di Indonesia. Padahal serpih penghasil migas di Amerika berbeda jauh dari serpih Indonesia, terutama dari segi umur (serpih Indonesia umumnya 200 jutaan tahun lebih muda), dan jenis maceral kerogen yang membentuk hidrokarbon di dalamnya (di Amerika kebanyakan kerogen tipe 2 dari endapan laut, di Indonesia kebanyakan kerogen tipe 1 dan 3 dari endapan danau dan delta).
Dari semua penelitian itu, belum ada satu pun yang dapat mengklaim bahwa migas serpih dapat diproduksi di sini, karena memang belum ada bukti dari sumur pengeboran dari lima blok yang kini beroperasi. Dengan demikian, angka-angka yang diumumkan ke masyarakat tentang jumlah potensi cadangan migas serpih itu adalah angka-angka fatamorgana saja. 574 TCF (trillion cubic feet) gas menurut Badan Geologi ESDM dan 1.200 TCF gas menurut IHSE. Itu semua terlihat sebagai angka luar biasa, tapi sebenarnya tak lebih dari mengukurkan baju Amerika ke badan kita, bukan memakai penggaris dan meteran kita sendiri.
Mengapa butuh waktu yang lama hanya untuk mulai mengebor sumur eksplorasi pembuktian itu? Ini masalah klasik. Tumpang-tindih penggunaan lahan serta lama mengurus dan banyaknya perizinan membuat seret kemajuan pelaksanaan rencana pengeboran. Belum lagi kendala paradigma lama, seperti “industri hulu migas itu harus makin diatur supaya kegiatannya makin aman dan si pengatur makin nyaman terhindar dari temuan BPK atau panggilan polisi, jaksa, atau KPK”, dan “kontraktor harus diarahkan supaya negara mendapatkan sebesar-besar keuntungan dan dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya”. Maka, kita lebih sibuk menghitung-hitung besaran bagi hasil yang cocok untuk diterapkan pada kontrak-kontrak pengusahaan migas serpih, tapi belum tahu bagaimana karakter migas serpih Indonesia dan bagaimana kaitannya dengan pengoperasiannya nanti.
Lebih parah lagi, peraturan untuk mulai mengerjakan eksplorasi (studi geologi geofisika, akuisisi data di lapangan, dan terutama untuk pengeboran) sebagian besar masih menggunakan aturan tata kelola proyek migas konvensional. Di migas konvensional, kita hanya butuh dua-tiga lubang sumur untuk mengeluarkan sejumlah cadangan migas. Tapi migas non-konvensional membutuhkan 20-30 trayek lubang sumur yang berbeda meskipun dibor dari platform yang sama. Di migas serpih, kita bicara soal kegiatan pengeboran yang kecepatan prosesnya harus sampai 10 kali lebih cepat dari pengeboran migas biasa, dan itu tidak bisa dilakukan kalau aturan pengadaan lahan dan barang, perizinan, serta pengambilan keputusan di lapangan masih menggunakan aturan migas konvensional. Sebagai contoh, pada awalnya direncanakan ada lebih dari 1.000 sumur CBM dibor pada 2014 setelah tujuh tahun kontrak eksplorasi hulu CBM itu dimulai di 2007. Kenyataannya, tidak lebih dari 100 sumur yang bisa dibor sampai akhir tahun 2014. Itu semua sebagian besar disebabkan oleh aturan tata kelola yang kaku. Apakah kita mau mengulangi kegagalan CBM itu pada migas serpih?
Salah satu jalan keluar yang diusulkan untuk bisa merealisasi potensi migas serpih Indonesia adalah memberlakukan status riset pada kontrak-kontrak eksplorasi migas non-konvensional yang sekarang sedang berlangsung atau akan diusulkan oleh industri. Status ini akan dicabut ketika kontrak tersebut berhasil menemukan migas serpih komersial yang kemudian diproduksi sampai biaya riset plus bunga banknya yang wajar terbayar dan ada sejumlah royalti yang dibayarkan ke pemerintah (misalnya royalti 3,5 persen seperti pertambangan mineral).
Setelah sekian waktu produksi komersial untuk membayar biaya riset dan sebagainya, barulah kemudian diberlakukan kontrak bagi-hasil seperti umumnya kontrak kerja sama minyak dan gas konvensional. Tentu saja perundingan kontraknya menggunakan data dari riset dan percobaan produksi, bukan perhitungan kira-kira dari awang-awang seperti yang terjadi sekarang.
Dengan skenario di atas, diperkirakan paling lama 15 tahun lagi Indonesia sudah dapat memproduksi migas dari serpih secara komersial, tentu saja kalau konstelasi harga migas dunia juga memungkinkan.