Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Revisi Kebijakan Energi Nasional

(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)

(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

  1. KEN (Kebijakan Energi Nasional) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah 79/2014 perlu direvisi, termasuk revisi bauran energi-nya, karena asumsi-asumsi kebijakannya sudah jauh berbeda dengan 11 tahun yang lalu ketika KEN dibuat. Yang paling mencolok adalah pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan 6.11% (2010), 8% (2015), 8% (2020), 8% (2025), 7.5% (2030), 7% (2040) dan 7% (2050) ternyata hanya berkisar di 5% saja 6% tahun terakhir ini dan tidak lebih dari 6% di empat tahun sebelumnya (Gambar 1). Dengan demikian maka proyeksi kebutuhan energi kitapun menjadi terlalu berkelebihan (Gambar 2). Akibatnya, saat ini kita oversupply dengan tenaga listrik yang membuat PLN mengalami kesulitan untuk memasarkannya.

  2. Selain itu, Kondisi Lingkungan Strategis ENERGI Nasional dan Global sudah berubah dari asumsi dasar pembuatan UU Migas 2001, UU Energi 2007 maupun  Kebijakan Energi Nasional 2009-2014. Indonesia  sudah jadi net importer minyak bumi sejak 2004, kita sudah bukan anggota OPEC lagi sejak 2007 (meskipun kemudian masuk lagi di 2014 tapi keluar lagi 2016), cadangan gas kita tiga - empat kali lipat dari cadangan minyak, potensi tersisa cekungan-cekungan migas kita lebih ke gas prone daripada oil prone, dan juga tren global energy transition from fossil to renewable energy via gas dan ESG fund untuk investasi sudah tidak memprioritaskan investasi E&P minyak bumi —lebih ke investasi gas.

  3. Oleh karena itu Kebijakan Bauran Energi kita seharusnya lebih ke gas daripada minyak bumi dan  batu bara. Gas harus lebih diutamakan, yang di 2025 Cuma 22% menjadi 32%, dan di 2050 dari 24% menjadi 34%, crude-nya jadi tinggal 15% (2025) dan 10% saja (2050) (Gambar 3).

  4. Sudah jelas bahwa kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan migas dari dalam negeri. Maka, untuk memperkuat ketahanan energi, seyogyanya kita mengadopsi strategi penguasaan aset-aset migas luar negeri langsung dari hulunya dan sekaligus kita kurangi persentase-nya dalam bauran energi; sementara batu bara yang relatif lebih berlimpah dari sumber energi primer lainnya masih tetap kita jadikan sebagai buffer (Gambar 4).

  5. Selain itu, di dalam KEN yang baru seharusnya nuklir dibikin hitam/putih: YA/TIDAK, kalau perlu lewat voting di Paripurna DPR. sehingga tegas dan tidak abu-abu seperti KEN yang sekarang ini. Kalau perlu Nuklir sebagai sumber energi  primer kita masukkan mulai 2030 sehingga pada 2050 porsinya pada bauran energi menjadi 10% atau 40 GigaWatt (Gambar 3).

  6. UU Migas kita harusnya diubah judulnya menjadi Undang Undang Gas dan Minyak Bumi (UU GASMI) —bukan lagi MIGAS tapi GASMI. Hal ini sesuai dengan kondisi inheren dari potensi hidrokarbon Indonesia dan semangat transisi energi menuju EBT via GAS. Mestinya kita lebih fokus pada pengembangan penggunaan gas daripada minyak dan memprioritaskan pembangunan infrastruktur gas. Hal ini juga selaras dengan semangat revisi KEN di mana bauran energi harusnya lebih sangat dominan gas daripada minyak.

  7. Di dalam UU Migas yang baru tupoksi badan pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS seharusnya dibuat supaya lebih memprioritaskan  E&P Gas daripada Minyak Bumi. Juga di sektor tengah dan hilirnya harus diatur sedemikian rupa supaya GAS lebih difasilitasi pengembangannya daripada minyak bumi.

  8. BUMN GASMI khusus sebagai pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS tidak dibebani dengan tupoksi mencari untung sebanyak-banyaknya dari kontrak pengusahaan E&P Migas, tapi lebih ke pemenuhan kebutuhan energi melalui GASMI untuk Indonesia (paradigma energi sebagai modal dasar penggerak pembangunan bukan sebagai penghasil revenue semata). Jadi, BUMN Khusus harus terbebas dari UU Perseroan Terbatas.

  9. Program 1 juta BOPD dan 12 BCFGPD di tahun 2030 oke saja, tapi kita tetap akan terbebani CAD karena impor minyak akan terus meningkat, kecuali mulai sekarang kita bergeser ke GAS secara radikal seperti disebutkan di poin-poin di atas.

  10. Khusus untuk kontrak migas, selain PSC Konvensional dan PSC Gross Split, coba dijajaki – ditawarkan insentif khusus untuk BASIN/PLAY OPENER, terutama untuk kontrak-kontrak migas non konvensional seperti Shale Gas dan CBM. Mereka yang jadi pionir dengan penemuan-penemuan baru di satu cekungan akan mendapatkan insentif khusus dengan split yang lebih tinggi dan sebagainya.

 
 
Gambar 1

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 2

Gambar 3

Gambar 3

Gambar 4

Gambar 4

 
Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Grand Strategy Energi Indonesia dan Produksi dari Blok Migas BUMN di Luar Negeri

Hari ini, 5 Desember 2020, saya mencatat ada indikasi terobosan baru terkait dengan profil suplai minyak mentah nasional dalam draft grand strategy energi Indonesia yang di-share oleh Sekjen DEN di acara WEBINAR Refleksi Akhir Tahun: Kebijakan Pertambangan dan Energi di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Hukum Pertambangan dan Energi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya. 

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Hari ini, 5 Desember 2020, saya mencatat ada indikasi terobosan baru terkait dengan profil suplai minyak mentah nasional dalam draft Grand Strategy Energi Indonesia yang di-share oleh Sekjen DEN di acara WEBINAR Refleksi Akhir Tahun: Kebijakan Pertambangan dan Energi di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Hukum Pertambangan dan Energi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya. 

Di dalam grafik profil suplai minyak mentah tersebut dimasukkan juga produksi dari blok migas hasil akuisisi BUMN migas Indonesia di luar negeri dalam skema produksi crude Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selama ini belum pernah produksi migas BUMN Indonesia di luar negeri dimasukkan dalam skema produksi migas Indonesia secara keseluruhan. Di dalam buku KELANI (Kebijakan Energi Luar Negeri) yang diterbitkan Dewan Energi Nasional tahun 2019 sebenarnya telah diusulkan untuk memasukkan produksi migas Pertamina dari blok-blok mereka di Luar Negeri ke dalam skema profil produksi migas nasional Indonesia. Nampaknya baru akhir tahun 2020 ini usulan tersebut dapat diformalkan dalam Grand Strategy Energi yang terbaru ini. Seperti ditulis dalam buku KELANI tersebut, negara-negara tetangga (Malaysia maupun Thailand) telah lama memasukkan produksi migas mereka dari blok-blok migas luar negerinya ke dalam profil produksi migas nasional. Indonesia saja yang sampai 2019 belum melakukannya. 

IMEF (Indonesia Mining and Energy Forum) pernah juga menyuarakan pentingnya akuisisi blok migas luar negeri tersebut terutama untuk ikut meringankan tekanan defisit neraca perdagangan yang diakibatkan oleh impor minyak mentah yang dominan. Pada diskusi publik 19 Agustus 2019 yang bertajuk “Masukan Untuk Arah Baru Kebijakan Energi dan Pertambangan Jokowi Jilid 2”, IMEF menyatakan bahwa salah satu solusi jangka menengah dan panjang dalam rangka mengatasi masalah impor minyak bumi Indonesia (yang terutama akan makin parah di 2025 - 2030 nanti) adalah dengan menguasai cadangan-cadangan migas di luar Indonesia langsung dari hulunya, yaitu lewat penguasaan blok-blok migas dunia oleh Pertamina ataupun BUMN lainnya. Dengan demikian maka volume impor minyak kita akan tergantikan oleh pengiriman entitlement ke Indonesia yang akan meringankan beban defisit neraca perdagangan kita.

Di dalam uraian tabel strategi tersebut terlihat bahwa angka produksi minyak bumi dari akuisisi Luar Negeri adalah: 142 KBOPD di 2020, 121 KBOPD di 2025, 80 KBOPD di 2030 dan 35 KBOPD di 2040. Terlihat bahwa asumsi yang digunakan dalam memasukkan angka-angka tersebut sangat konservatif, yaitu penurunan produksi 3% dari 2020 ke 2025 dan selanjutnya penurunan produksi 8% dari 2025 sampai ke 2040. Seolah-olah tidak ada akuisisi baru dan tidak ada penemuan penemuan baru dari aset-aset blok migas Luar Negeri tersebut. Meskipun konservatif, usaha terobosan ini patut diacungi jempol dan memang sudah seharusnya dari 10 - 11 tahun yang lalu dilakukan oleh Indonesia, yaitu sejak Pertamina mulai mengakuisisi blok-blok migas Luar Negeri mereka di 2009.

Terkait dengan masuknya produksi minyak bumi dari akuisisi luar negeri itu ke dalam profil produksi migas kita versi Grand Strategy Energy, perlu diingatkan ke pemerintah untuk segera menindak-lanjutinya dengan membuat peraturan khusus terkait dengan bea-impor. Minyak mentah yang dibawa oleh BUMN dari blok migas mereka di luar negeri itu kalau memungkinkan di-exempt atau dikecualikan dari beban bea impor, karena sejatinya kita membawa masuk barang kita sendiri yang kita dapatkan dari luar negeri dan dengan demikian biaya keseluruhannya menjadi lebih murah sehingga rakyat dapat lebih menjangkau harga energi yang dihasilkannya.

Grand Strategy Energi Indonesia.jpg
Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

10 Daftar Pendek

Izinkan saya menyampaikan sepuluh butir daftar pendek keprihatinan terlampir di bawah ini dengan diiringi doa semoga penjenengan semua sehat dan selalu diberi Allah kekuatan untuk terus bersama-sama memimpin negara yang sedang kritis ini – membantu/mendampingi Presiden Jokowi.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Kepada Yth.
PA, FR, SN, BH, SM, OSD, PK, RD, SK, HA, SP, AFI, AN

Bapak Ibu yang saya banggakan,

Izinkan saya menyampaikan sepuluh butir daftar pendek keprihatinan terlampir di bawah ini dengan diiringi doa semoga penjenengan semua sehat dan selalu diberi Allah kekuatan untuk terus bersama-sama memimpin negara yang sedang kritis ini – membantu/mendampingi Presiden Jokowi.

Saya yakin hal-hal yang saya sampaikan ini sudah menjadi perhatian dan sedang ditangani penyelesaiannya di atas sana.

Meskipun demikian saya memberanikan diri untuk menyampaikannya sekali lagi ke panjenengan semua.

Koq kebetulan saya punya nomor kontak panjenengan semua dari babak kehidupan saya sebelumnya dan juga beberapa waktu terakhir ini sempat pula saling menyapa saling mendoakan untuk kebaikan bersama.

Anggap saja daftar pendek keprihatinan ini sebagai pengingat, sehingga jadi penguat dan penyemangat bagi panjenengan semua untuk segera menyelesaikannya dengan baik dan benar dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kenapa dalam waktu sesingkat-singkatnya? Karena kita sedang berlomba dengan rontoknya satu persatu sendi-sendi kehidupan bernegara, bermasyarakat, berkeluarga, maupun sebagai individu makhluk hidup yang sedang hebat-hebatnya berusaha untuk tetap hidup (survival) di tengah suasana wabah dunia ini.

  1. Mohon pemerintah lebih memprioritaskan menyelamatkan nyawa rakyat Indonesia daripada menyelamatkan pertumbuhan ekonomi.

  2. Mohon teman-teman panjenengan diingatkan, atau sekalian mengingatkan Pak Jokowi, supaya tidak bikin bingung masyarakat, terutama dengan pernyataan yang saling bertentangan antara pembantu presiden satu dengan lainnya. Apapun itu kasusnya, terutama di masa-masa krisis seperti ini.

  3. Kalau sudah nunjuk satu juru bicara khusus untuk penanggulangan COVID-19, ya sudah dia saja yang bicara, yang lainnya diam atau menguatkan atau merujuk saja – apapun kedudukan dia: menteri ataupun menko, apalagi yang bukan ahlinya, bukan urusannya, jangan terus bikin pernyataan sendiri yang bisa bikin bingung kita semua.

  4. Mohon lebih tegas lah bikin kebijakan penanggulangan wabah Covid-19 ini. Jangan setengah-setengah. Sekali lagi: nyawa rakyat jangan dipakai coba-coba; please. Kalau mau lockdown total, ayo lah!! Saya yakin, dengan kesetiakawanan sosial yang saya yakin masih terus mengalir di sekujur jiwa dan semangat purba kita, seperti juga peristiwa Surabaya 10 November dahulu kala, kita semua pasti bisa menang bersama-sama menghadapi COVID-19 ini.

  5. Mohon, kalau dimungkinkan bebaskan segera bu Siti Fadillah dan minta beliau ikut mendampingi Jendral Doni Monardo bersama-sama jadi jenderal lapangan menghadapi wabah Covid-19 ini.

  6. Dalam kasus kebijakan pembebasan para narapidana sehingga bikin masyarakat lebih was-was karena peningkatan kriminalitas dalam dua minggu terakhir ini; tolong kalau bisa, minta maaflah ke rakyat Indonesia, dan janji nggak akan lagi bikin kebijakan blunder seperti itu lagi plus konsekuensinya: bikin operasi khusus pemberantasan kriminalitas menjamin keselamatan masyarakat. Tangkepi lagi mereka yang kriminal, masukkan penjara lagi.

  7. Mohon hentikan pertunjukan nepotisme istana yang telanjang terkait dengan kartu pra-kerja yang sangat melecehkan akal sehat dengan segala jenis kursus online-nya itu. Tolong kasih tau Pak Jokowi supaya membubarkan saja itu lembaga staf khusus milenial itu. Nanti saja kalau sudah selesai urusan wabah ini dipikirkan ulang perlu tidaknya anak-anak muda itu nempel ke istana.

  8. Sudah lebih dari sebulan sejak harga minyak dunia anjlok di sekitaran 20 - 30 dolar per barel dan sampai sekarang pemerintah/Pertamina belum juga menurunkan harga minyak di pompa-pompa bensinnya. Mohon kasih rakyat berita bagus penurunan harga bbm itu, meskipun tidak seberapa. Rakyat menunggu uluran tangan pemerintah meringankan beban keseharian mereka.

  9. Lupakan dulu untuk sementara proyek-proyek istimewa luar biasa yang dipromosikan di awal-awal pemerintahan baru ini, salah satunya: pemindahan ibu kota negara ke daerah Sepaku Kalimantan Timur sana. Kita khan sudah dalam status bencana nasional wabah Covid-19. Anggap saja force majeur, sehingga nggak perlulah malu-malu untuk menghentikan proyek itu untuk sementara. Fokus saja ke perang melawan Covid-19; dana 2020 untuk studi2 dan persiapan pemindahan IKN itu dialihkan ke sini saja.

  10. Untuk eksplorasi dan produksi migas, dalam situasi double jeopardy seperti ini (krisis wabah Covid-19 dan krisis harga minyak karena oil-gluts), lebih fokus lah pada perusahaan-perusahaan nasional untuk bersama-sama mencari jalan keluarnya dan memberi kelonggaran-kelonggaran lebih kepada mereka selain juga tetap melakukan negosiasi dan koordinasi dengan MNC dan IOC yang tentunya punya agenda lebih global dan fleksibilitasnya kaku – tergantung nilai aset mereka di Indonesia dibandingkan yang di bagian dunia lainnya. Perusahaan migas nasional, sebelum, saat, dan sesudah krisis masih akan terus ada di Indonesia karena memang domisilinya di sini. Sementara MNC/IOC bisa saja datang dan pergi tergantung menguntungkan atau tidaknya mereka terus berkegiatan di negara kita.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Masukan Untuk Arah Baru Kebijakan Energi dan Pertambangan Jokowi Jilid 2 - Diskusi Publik IMEF (Indonesia Mining & Energy Forum)

Setelah mengalami puncak kejayaan minyak dua kali, yaitu pada 1977 dan 1995 dengan masing-masing kurang lebih 1,6 juta bph maka produksi minyak domestik Indonesia pun terus mengalami penurunan, menembus batas di bawah satu juta bph pada 2007 dan saat ini produksinya hanya 750an ribu bph.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Sektor Migas

  1. Setelah mengalami puncak kejayaan minyak dua kali, yaitu pada 1977 dan 1995 dengan masing-masing kurang lebih 1,6 juta bph maka produksi minyak domestik Indonesia pun terus mengalami penurunan, menembus batas di bawah satu juta bph pada 2007 dan saat ini produksinya hanya 750an ribu bph. Era kejayaan minyak bumi Indonesia pun dinyatakan telah berakhir oleh Presiden Jokowi. Bahwa SKKMigas pada Juli 2019 kemarin telah membuat perencanaan optimistik untuk menahan dan bahkan menaikkan kembali tren produksi minyak hingga mencapai sedikit di atas satu juta bph di 2033-2038, hal itu juga tidak akan mengembalikan kejayaan migas seperti era puncak antara 1977 dan 1995 yang lalu.

  2. Dengan berakhirnya kejayaan migas, pemerintah harus berani untuk terus melonggarkan tekanan pada target Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) dari migas. Arah baru ini sebenarnya sudah dijalani oleh pemerintah dua – tiga tahun belakangan dalam kasus persetujuan POD-POD Blok A Aceh, Blok Merakes di Selat Makassar dan juga Blok Masela di Maluku. Bagi pemerintah yang dikedepankan bukan lagi negara mendapatkan lebih banyak langsung dari bagi hasil (split), tetapi bahwa proyek migas tersebut dapat terlaksana, multiplier efeknya terjadi, dan secara gross negara mendapatkan keuntungan dari diproduksikannya migas tersebut sebagai modal dasar pembangunan nasional, bukan sekedar penghasil revenue semata.

  3. Arah baru yang melonggarkan tekanan pada target Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) dari migas ini harus konsisten dijalani, terutama untuk merealisasikan POD-POD yang masih dalam proses dan juga temuan-temuan teknis (technical discoveries) yang selama ini dianggap tidak ekonomis oleh kontraktor karena split-nya (bagi hasilnya) yang kurang/tidak menguntungkan. Memproduksikan sumber daya minyak dan gas untuk dipakai langsung memenuhi demand dalam negeri jauh lebih bermanfaat saat ini dari sisi ketahanan energi dan solusi mengatasi defisit neraca perdagangan daripada tetap menahan migas tersebut di dalam bumi karena pendapatan (revenue) bagian negara lebih kecil dari bagian kontraktor.

  4. Dengan berakhirnya era kejayaan minyak bumi Indonesia maka seharusnya lah pemerintah lebih mengedepankan untuk memberi kebebasan kepada kontraktor migas memilih menggunakan jenis kontraknya, apakah menggunakan kontrak Gross Split ataukah kontrak PSC konvensional. Bukan seperti yang sekarang, di mana keseluruhan kontrak baru ditawarkan dalam bentuk kontrak Gross Split semata. Diharapkan, dengan dimunculkannya alternatif tersebut maka investasi baru - eksplorasi di bidang migas akan semakin bergairah dan meningkat.

  5. Salah satu solusi jangka menengah dan panjang dalam rangka mengatasi masalah impor minyak bumi Indonesia — yang terutama akan makin parah di 2025 – 2030 nanti — adalah dengan menguasai cadangan-cadangan migas di luar Indonesia langsung dari hulunya, yaitu lewat penguasaan blok-blok migas dunia oleh Pertamina ataupun BUMN lainnya. Dengan demikian maka volume impor minyak kita akan tergantikan oleh pengiriman entitlement ke Indonesia yang akan meringankan beban defisit neraca perdagangan kita. Usulan kebijakan energi luar negeri bidang migas ini sebenarnya sudah pernah digodok secara substansial konsep/implementasinya oleh Dewan Energi Nasional 2014 – 2019 tetapi masih belum mendapatkan kesempatan untuk dibahas dalam Sidang Anggota maupun Sidang Paripurna DEN, sampai DEN mengalami kekosongan sejak Juli 2019 yang lalu.

  6. Pembangunan infrastruktur migas, terutama kilang minyak dan pipa-pipa transmisi gas, yang di era pemerintahan Jokowi jilid satu masih belum menunjukkan hasil nyata harus terus diupayakan di masa lima tahun mendatang. Sama seperti jalan tol, jembatan dan pelabuhan, infrastruktur migas semestinya juga dibebaskan dari trauma beban keekonomian, sehingga pembangunannya bisa segera direalisasikan.

  7. Sumber daya manusia Indonesia di bidang migas sudah terbukti banyak berperan aktif dan berprestasi di berbagai perusahaan/industri migas internasional di luar negeri. Potensi untuk memanfaatkan pengalaman para ahli migas Indonesia baik yang tinggal di Indonesia maupun diaspora di luar negeri ini terbuka lebar melalui Asosiasi Profesi - Komunitas Migas yang ada di Indonesia, karena sejatinya dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi maka Asosiasi Profesi - Komunitas Migas Indonesia dan diasporanya tersebut lebih mudah terhubung dan berinteraksi saat-saat ini. Pemerintah seharusnya lebih membuka diri untuk bekerja sama dengan Asosiasi Profesi - Komunitas Migas Indonesia tersebut dalam rangka pengembangan SDM Migas Indonesia yang lebih bisa menjawab tantangan migas kita ke depan, sesuai dengan Visi SDM Unggul Jokowi untuk era pemerintahan 2019 – 2024 ini.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Perspektif (Tentang Blok-Blok Alih Kelola Pertamina: ONWJ, Mahakam, Rokan)

Ada beberapa pihak yang meragukan kemampuan Pertamina dalam mengelola Blok Rokan. Mereka mencoba membandingkan dengan Mahakam yang produksinya turun setelah diambil alih Pertamina.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Ada beberapa pihak yang meragukan kemampuan Pertamina dalam mengelola Blok Rokan. Mereka mencoba membandingkan dengan Mahakam yang produksinya turun setelah diambil alih Pertamina.

Menurut Bapak, mengapa terjadi penurunan produksi? Benarkah karena ketidakmampuan Pertamina dalam mengelola blok tersebut?

Mengapa terjadi penurunan produksi? Karena puncak produksi dari blok yang berusia 50 tahun itu sudah terjadi sembilan tahun yang lalu yaitu pada tahun 2009, di mana produksi gas maksimum pada waktu itu 2,8 miliar kaki kubik per hari, setelah itu otomatis tren produksinya menurun; baik karena sifat alamiah dari reservoir migas yang ada maupun karena berkurangnya investasi pemboran sumur-sumur produksi baru oleh operator lama. Meskipun ada penemuan baru di South Mahakam yang diproduksikan 2012 tapi tidak cukup untuk menahan laju penurunan produksi yang antara 20% – 30%  di lapangan-lapangan gas di dalam blok Mahakam.

Kenaikan produksi hanya terjadi di blok migas atau lapangan migas yang baru ketemu dan baru diproduksikan paling tidak dalam satu – lima tahun setelah diproduksikan; tetapi setelah itu: tanpa temuan lapangan baru melalui eksplorasi ataupun apalagi tanpa usaha pengeboran pengembangan baru pada lapangan lama maka otomatis produksi migas suatu blok atau lapangan akan menurun.

Jadi wajar saja lah blok Mahakam mengalami penurunan produksi karena memang usianya sudah 50 tahun dan tren sembilan tahun sebelumnya memang sudah menurun. Kalau tiba-tiba mengalami kenaikan produksi setelah sembilan tahun menurun, barulah itu anomali.

Tidak benar penurunan produksi itu karena ketidakmampuan Pertamina dalam mengelola blok tersebut. Lha wong masih baru setengah tahun menangani langsung blok yang sedang turun drastis produksinya sejak sembilan tahun terakhir, koq terus disalahkan dan dianggap tidak mampu? Anggapan seperti itu muncul karena ketidakpahaman masyarakat tentang karakter lapangan migas dan proses produksi migas seperti diuraikan di bagian pertama tadi.

Pihak mana saja yang harus bertanggung jawab atas penurunan produksi Mahakam?

Pertama kali yang harus bertanggung jawab adalah media karena terlalu hitam putih memandang isu penurunan produksi migas dengan “mencari penanggung-jawabnya” tanpa mencoba memahami lebih dulu sifat-sifat alamiah/karakter lapangan gas yang memang sudah masanya menurun produksinya. Nah, kalau sudah paham, mestinya pertanyaannya diubah menjadi: pihak mana saja yang harus bertanggung jawab atas tidak tercapainya TARGET penurunan produksi Mahakam?

Jawabnya bisa dilacak mulai dari proses penentuan target, ke pelaksanaan sampai ke pengamatan data. Dalam proses penentuan target bisa saja tawar menawar target produksi terjadi ketidakcocokan antara janji operator (Pertamina) dengan pengawas (SKKMigas) maupun dengan regulator (Ditjen Migas) apalagi legislator (DPR). Bisa saja terlalu dipaksakan, walaupun secara teknis tidak memungkinkan. Dalam hal itu ya dua-duanya antara operator dan pengawas/regulator/legislator yang bertanggungjawab lah.

Bisa juga dalam perencanaan memang sudah realistis sesuai dengan kemampuan teknis operasional maupun regulasinya memungkinkan, tapi dalam pelaksanaan operator tidak perform. Itu yang tanggung jawab ya operatornya.

Bisa juga semuanya sudah OK, kemampuan teknis operasional dan performance operator OK, tapi kendala regulasi menghambat. Nah dalam kasus terakhir itu pengawas dan regulatornya lah yang musti tanggung jawab.

Jadi tidak semuanya operator yang musti tanggung jawab. Ada juga porsi tanggung jawab di pengawas dan regulator, dan juga di legislator yang di Senayan sana.

Nah karena saat ini masih baru pertengahan tahun, melesetnya target (penurunan) produksi Blok Mahakam dari perencanaan, mudah-mudahan masih bisa dikejar dalam lima bulan ke depan.

Dari sudut pandang geologi, apa yang sebenarnya terjadi dengan penurunan produksi di Blok Mahakam?

Yang SEBENARNYA terjadi saya tidak tahu, baik dari sudut pandang geologi maupun sudut pandang lainnya, karena saya juga tidak terlibat langsung di pengelolaan operasionalnya maupun di jalur pelaporan resmi dan sejenisnya. Yang saya tahu adalah yang KIRA-KIRA terjadi, bukan yang sebenarnya terjadi. Kira-kiranya berdasarkan pengalaman 35 tahun di industri migas, termasuk 17 tahun terus menerus di area sekitar Blok Mahakam, dan dari berita-berita/angka-angka yang kita cek kebenarannya ke sumbernya langsung.

Yang kira-kira terjadi dari aspek geologi reservoir adalah: jumlah sumur baru yang dibor untuk menembus dan memproduksikan zona-zona reservoir gas (terutama di Lapangan Tunu) belum optimal, dari rencana 68 sumur yang dibor 2018 baru 13 terlaksana sampai pertengahan tahun ini. Mungkin masih menunggu datangnya rig baru untuk membantu melaksanakan target pemboran sampai akhir tahun. Dan memang secara geologi lapisan-lapisan yang mengandung gas di lapangan-lapangan produksi Blok Mahakam (terutama di lapangan Tunu yang dangkal) kebanyakan “terpisah-pisah” satu dengan lainnya walaupun jumlahnya banyak, sehingga membutuhkan banyak lubang bor untuk mengeluarkan gasnya.

Di sisi lain, dalam alih kelola blok lain, seperti ONWJ dan Madura, Pertamina justru berhasil menahan laju penurunan dan bahkan akhirnya bisa menaikkan lifting di sana. Sebenarnya apa yang terjadi dengan berbagai blok alih kelola tersebut? Mengapa di satu sisi (Mahakam) ketika ditangani Pertamina mengalami penurunan, namun di ONWJ dan WMO justru meningkat?

Yang terjadi adalah: kita mengamati dan mengevaluasi alih kelola blok yang baru saja setengah tahun dioperasikan Pertamina, tentunya tren penurunan itu masih akan terus berlangsung seperti tren yang dihasilkan oleh operator sebelumnya. Barulah nanti setelah dua – tiga tahun akan terlihat apakah tren penurunan itu bisa ditahan cukup signifikan atau bahkan bisa dinaikkan menjadi tren kenaikan karena pemboran eksplorasi zona-zona migas baru.

Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di ONWJ dan WMO. Tren penurunan itu baru berubah lebih “baik” setelah satu – dua tahun dioperasikan oleh Pertamina. Jadi, masih terlalu awal komentar negatif tentang performance Pertamina dalam konteks “penurunan produksi” di Blok Mahakam ini.

Melihat ‘inkonsistensi’ (kalau memang benar) Pertamina dalam menangani blok alih kelola tersebut, bagaimana prospek pengelolaan Blok Rokan oleh Pertamina nanti? Apakah Pertamina bisa menahan laju penurunan dan bahkan meningkatkan lifting? (Karena saat ini saja, ada beberapa kalangan yang sudah meragukan kemampuan Pertamina).

Melihat jawaban-jawaban sebelumnya, justru tidak ada yang “inkonsisten” dalam operasionalisasi penanganan blok alih kelola oleh Pertamina di Blok Mahakam. Justru trennya masih konsisten: laju penurunan produksi masih mengikuti laju penurunan sebelumnya sampai pertengahan tahun ini, baru kemudian agak bisa ditahan setelah satu – dua tahun dan kemungkinan bisa mulai sedikit naik kalau memang zona-zona reservoir migas baru ditemukan setelah tahun ketiga dan seterusnya

Untuk pengelolaan Blok Rokan, prospeknya nantinya mudah-mudahan Pertamina tetap akan konsisten dengan pola manajemen operasional yang terintegrasi dengan sistem dan cara produksi oleh operator sebelumnya, terutama jika proses transisinya tiga tahun ke depan dibikin mulus juga oleh pengawas (SKKMigas) dan regulator (Ditjen Migas).

Bahkan kemungkinan Pertamina bisa meningkatkan performance Blok Rokan dengan menggabungkan antara pengalaman EOR Pertamina di lapangan-lapangan Pertamina dengan pengalaman operasional dari para ahli bangsa Indonesia sendiri yang masih tetap membela merah putih tinggal bersama Pertamina di blok Rokan setelah alih kelola.

Terkait teknologi yang dipergunakan di Blok Rokan, yaitu EOR, beberapa kalangan juga meragukan kemampuan Pertamina. Padahal, Pertamina sendiri sudah menerapkan teknologi tersebut, antara lain di Siak (dengan metode steamflood) dan Pangkalan Susu (dengan metode waterflood). Menurut Bapak, apakah Pertamina sanggup menerapkan teknologi EOR di Blok Rokan?

Menurut saya, Pertamina akan sanggup menerapkan dan melanjutkan teknologi EOR yang sudah pernah diterapkan oleh operator sebelumnya karena toh sebenarnya semua eksperimen dan pelaksanaan dari aspek teknis dan sistem kelola EOR tersebut — termasuk SDM yang ahli soal EOR di Blok Rokan — semuanya merupakan bagian dari aset yang di-cost recovery-kan operasionalisasinya oleh sistim PSC selama ini. Dengan demikian maka aset tersebut sebenarnyalah adalah milik bangsa Indonesia yang melekat pada aset cadangan dan sumber daya migas yang ada di dalam Blok Rokan tersebut. Sehingga wajar saja kalau Pertamina yang jadi operator berikutnya “mewarisi” juga aset tersebut untuk dimanfaatkan dalam usaha mengelola Blok Rokan babak selanjutnya. Ditambahi juga dengan pengalaman Pertamina di proyek-proyek EOR di lapangan-lapangan Pertamina sebelumnya, tentunya diharapkan EOR di Blok Rokan pasca 2021 akan lebih efisien mengeluarkan minyak dari dalam buminya.

Bagaimana sebenarnya karakteristik batuan dan jenis minyak di Lapangan Minas dan Duri? Apa yang harus dilakukan Pertamina agar produksi tidak terus turun?

Karakter batuan yang mengandung minyak bumi di Minas dan Duri adalah BATU PASIR yang umumnya tidak terkonsolidasikan atau tidak tersemenkan kuat sehingga kalau diproduksikan sering ikutan lepas-lepas ke permukaan tetapi karakter minyaknya berbeda: di Minas minyaknya ringan 36 API gravity, sementara di Duri minyaknya berat: 18 – 21 API gravity, oleh karena itu dibutuhkan strategi EOR khusus untuk mengeluarkan minyak minyak tersebut dari dalam bumi.

Yang harus dilakukan oleh Pertamina agar penurunan produksi bisa ditahan dan bisa menaikkan produksi ya investasi biaya dan teknologi untuk melanjutkan EOR di kedua lapangan utama itu dan juga di lapangan-lapangan besar lainnya plus mengaktifkan/memproduksikan temuan-temuan eksplorasi yang selama ini belum diproduksikan oleh operator sebelumnya.

Dari sisi regulasi, bagaimana peran Pemerintah untuk menghilangkan keragu-raguan masyarakat terkait kemampuan Pertamina mengelola Blok Rokan nanti?

Dari sisi regulasi semestinya Pemerintah memfasilitasi Pertamina untuk bisa secara legal mulai ikut aktif secara bisnis maupun operasional teknis dalam pengelolaan Blok Rokan pada masa transisi tiga tahun ke depan ini, 2018 – 2021. Jangan sampai masa transisi yang pendek dan banyak masalah seperti terjadi di Blok Mahakam (transisi 2017, Pertamina investasi pemboran tapi yang melaksanakan Total) terulang kembali. Pemerintah harus banyak belajar dari situ sebagai regulator. Jangan hanya menyerahkan kepada Pertamina supaya B2B saja dengan operator existing tanpa memfasilitasi dengan regulasi yang memadai.

Catatan Penutup (di Luar Tanya Jawab):

Kalau kita lihat tiga profil produksi migas blok alih kelola terlampir, istilahnya Pertamina itu seperti mewarisi "kaki gunung". Puncak gunungnya sudah diraih dijelajahi oleh operator terdahulu. Kalaupun toh bisa menaikkan produksi, paling banter Pertamina bisa bikin bukit-bukit kecil saja di lereng dan kaki-kaki gunung produksi itu. Kecuali Pertamina bisa bikin revolusi eksplorasi-produksi, seperti orang-orang Amerika sana dengan revolusi shale oil di era 2000an awal dulu.

Di akhir 90an dulu hampir semua orang di industri migas Amerika sana bilang “kita sudah melewati oil peaks” alias puncak-puncak gunung produksi itu, tapi ternyata setelah itu di 2005 – 2014an selama sembilan – sepuluh tahun terjadi peak baru gunung produksi minyak di sana, yaitu tambahan produksi dari shale oil/gas di berbagai cekungan di Amerika.

Nah, revolusi apa yang harus dilakukan di Indonesia sini? Kita-kita, para geosaintis dan engineer yang bergerak di riset dan praktisi di industri ekstraktif energi fosil Indonesia ini harus ditantang untuk bikin revolusi itu. Termasuk (terutama) mereka-mereka yang di Pertamina!!! Bukan tidak mungkin kita akan dapatkan lagi puncak-puncak gunung baru di blok-blok alih kelola itu.

 
 
Perspektif 2.jpg
 
Perspektif 3.jpg
 
Perspektif 4.jpg
Read More