Grand Strategy Energi Indonesia dan Produksi dari Blok Migas BUMN di Luar Negeri

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Hari ini, 5 Desember 2020, saya mencatat ada indikasi terobosan baru terkait dengan profil suplai minyak mentah nasional dalam draft Grand Strategy Energi Indonesia yang di-share oleh Sekjen DEN di acara WEBINAR Refleksi Akhir Tahun: Kebijakan Pertambangan dan Energi di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Hukum Pertambangan dan Energi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya. 

Di dalam grafik profil suplai minyak mentah tersebut dimasukkan juga produksi dari blok migas hasil akuisisi BUMN migas Indonesia di luar negeri dalam skema produksi crude Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selama ini belum pernah produksi migas BUMN Indonesia di luar negeri dimasukkan dalam skema produksi migas Indonesia secara keseluruhan. Di dalam buku KELANI (Kebijakan Energi Luar Negeri) yang diterbitkan Dewan Energi Nasional tahun 2019 sebenarnya telah diusulkan untuk memasukkan produksi migas Pertamina dari blok-blok mereka di Luar Negeri ke dalam skema profil produksi migas nasional Indonesia. Nampaknya baru akhir tahun 2020 ini usulan tersebut dapat diformalkan dalam Grand Strategy Energi yang terbaru ini. Seperti ditulis dalam buku KELANI tersebut, negara-negara tetangga (Malaysia maupun Thailand) telah lama memasukkan produksi migas mereka dari blok-blok migas luar negerinya ke dalam profil produksi migas nasional. Indonesia saja yang sampai 2019 belum melakukannya. 

IMEF (Indonesia Mining and Energy Forum) pernah juga menyuarakan pentingnya akuisisi blok migas luar negeri tersebut terutama untuk ikut meringankan tekanan defisit neraca perdagangan yang diakibatkan oleh impor minyak mentah yang dominan. Pada diskusi publik 19 Agustus 2019 yang bertajuk “Masukan Untuk Arah Baru Kebijakan Energi dan Pertambangan Jokowi Jilid 2”, IMEF menyatakan bahwa salah satu solusi jangka menengah dan panjang dalam rangka mengatasi masalah impor minyak bumi Indonesia (yang terutama akan makin parah di 2025 - 2030 nanti) adalah dengan menguasai cadangan-cadangan migas di luar Indonesia langsung dari hulunya, yaitu lewat penguasaan blok-blok migas dunia oleh Pertamina ataupun BUMN lainnya. Dengan demikian maka volume impor minyak kita akan tergantikan oleh pengiriman entitlement ke Indonesia yang akan meringankan beban defisit neraca perdagangan kita.

Di dalam uraian tabel strategi tersebut terlihat bahwa angka produksi minyak bumi dari akuisisi Luar Negeri adalah: 142 KBOPD di 2020, 121 KBOPD di 2025, 80 KBOPD di 2030 dan 35 KBOPD di 2040. Terlihat bahwa asumsi yang digunakan dalam memasukkan angka-angka tersebut sangat konservatif, yaitu penurunan produksi 3% dari 2020 ke 2025 dan selanjutnya penurunan produksi 8% dari 2025 sampai ke 2040. Seolah-olah tidak ada akuisisi baru dan tidak ada penemuan penemuan baru dari aset-aset blok migas Luar Negeri tersebut. Meskipun konservatif, usaha terobosan ini patut diacungi jempol dan memang sudah seharusnya dari 10 - 11 tahun yang lalu dilakukan oleh Indonesia, yaitu sejak Pertamina mulai mengakuisisi blok-blok migas Luar Negeri mereka di 2009.

Terkait dengan masuknya produksi minyak bumi dari akuisisi luar negeri itu ke dalam profil produksi migas kita versi Grand Strategy Energy, perlu diingatkan ke pemerintah untuk segera menindak-lanjutinya dengan membuat peraturan khusus terkait dengan bea-impor. Minyak mentah yang dibawa oleh BUMN dari blok migas mereka di luar negeri itu kalau memungkinkan di-exempt atau dikecualikan dari beban bea impor, karena sejatinya kita membawa masuk barang kita sendiri yang kita dapatkan dari luar negeri dan dengan demikian biaya keseluruhannya menjadi lebih murah sehingga rakyat dapat lebih menjangkau harga energi yang dihasilkannya.

Grand Strategy Energi Indonesia.jpg
Previous
Previous

Revisi Kebijakan Energi Nasional

Next
Next

Kung Jajanin Zi