Perspektif (Tentang Blok-Blok Alih Kelola Pertamina: ONWJ, Mahakam, Rokan)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Ada beberapa pihak yang meragukan kemampuan Pertamina dalam mengelola Blok Rokan. Mereka mencoba membandingkan dengan Mahakam yang produksinya turun setelah diambil alih Pertamina.

Menurut Bapak, mengapa terjadi penurunan produksi? Benarkah karena ketidakmampuan Pertamina dalam mengelola blok tersebut?

Mengapa terjadi penurunan produksi? Karena puncak produksi dari blok yang berusia 50 tahun itu sudah terjadi sembilan tahun yang lalu yaitu pada tahun 2009, di mana produksi gas maksimum pada waktu itu 2,8 miliar kaki kubik per hari, setelah itu otomatis tren produksinya menurun; baik karena sifat alamiah dari reservoir migas yang ada maupun karena berkurangnya investasi pemboran sumur-sumur produksi baru oleh operator lama. Meskipun ada penemuan baru di South Mahakam yang diproduksikan 2012 tapi tidak cukup untuk menahan laju penurunan produksi yang antara 20% – 30%  di lapangan-lapangan gas di dalam blok Mahakam.

Kenaikan produksi hanya terjadi di blok migas atau lapangan migas yang baru ketemu dan baru diproduksikan paling tidak dalam satu – lima tahun setelah diproduksikan; tetapi setelah itu: tanpa temuan lapangan baru melalui eksplorasi ataupun apalagi tanpa usaha pengeboran pengembangan baru pada lapangan lama maka otomatis produksi migas suatu blok atau lapangan akan menurun.

Jadi wajar saja lah blok Mahakam mengalami penurunan produksi karena memang usianya sudah 50 tahun dan tren sembilan tahun sebelumnya memang sudah menurun. Kalau tiba-tiba mengalami kenaikan produksi setelah sembilan tahun menurun, barulah itu anomali.

Tidak benar penurunan produksi itu karena ketidakmampuan Pertamina dalam mengelola blok tersebut. Lha wong masih baru setengah tahun menangani langsung blok yang sedang turun drastis produksinya sejak sembilan tahun terakhir, koq terus disalahkan dan dianggap tidak mampu? Anggapan seperti itu muncul karena ketidakpahaman masyarakat tentang karakter lapangan migas dan proses produksi migas seperti diuraikan di bagian pertama tadi.

Pihak mana saja yang harus bertanggung jawab atas penurunan produksi Mahakam?

Pertama kali yang harus bertanggung jawab adalah media karena terlalu hitam putih memandang isu penurunan produksi migas dengan “mencari penanggung-jawabnya” tanpa mencoba memahami lebih dulu sifat-sifat alamiah/karakter lapangan gas yang memang sudah masanya menurun produksinya. Nah, kalau sudah paham, mestinya pertanyaannya diubah menjadi: pihak mana saja yang harus bertanggung jawab atas tidak tercapainya TARGET penurunan produksi Mahakam?

Jawabnya bisa dilacak mulai dari proses penentuan target, ke pelaksanaan sampai ke pengamatan data. Dalam proses penentuan target bisa saja tawar menawar target produksi terjadi ketidakcocokan antara janji operator (Pertamina) dengan pengawas (SKKMigas) maupun dengan regulator (Ditjen Migas) apalagi legislator (DPR). Bisa saja terlalu dipaksakan, walaupun secara teknis tidak memungkinkan. Dalam hal itu ya dua-duanya antara operator dan pengawas/regulator/legislator yang bertanggungjawab lah.

Bisa juga dalam perencanaan memang sudah realistis sesuai dengan kemampuan teknis operasional maupun regulasinya memungkinkan, tapi dalam pelaksanaan operator tidak perform. Itu yang tanggung jawab ya operatornya.

Bisa juga semuanya sudah OK, kemampuan teknis operasional dan performance operator OK, tapi kendala regulasi menghambat. Nah dalam kasus terakhir itu pengawas dan regulatornya lah yang musti tanggung jawab.

Jadi tidak semuanya operator yang musti tanggung jawab. Ada juga porsi tanggung jawab di pengawas dan regulator, dan juga di legislator yang di Senayan sana.

Nah karena saat ini masih baru pertengahan tahun, melesetnya target (penurunan) produksi Blok Mahakam dari perencanaan, mudah-mudahan masih bisa dikejar dalam lima bulan ke depan.

Dari sudut pandang geologi, apa yang sebenarnya terjadi dengan penurunan produksi di Blok Mahakam?

Yang SEBENARNYA terjadi saya tidak tahu, baik dari sudut pandang geologi maupun sudut pandang lainnya, karena saya juga tidak terlibat langsung di pengelolaan operasionalnya maupun di jalur pelaporan resmi dan sejenisnya. Yang saya tahu adalah yang KIRA-KIRA terjadi, bukan yang sebenarnya terjadi. Kira-kiranya berdasarkan pengalaman 35 tahun di industri migas, termasuk 17 tahun terus menerus di area sekitar Blok Mahakam, dan dari berita-berita/angka-angka yang kita cek kebenarannya ke sumbernya langsung.

Yang kira-kira terjadi dari aspek geologi reservoir adalah: jumlah sumur baru yang dibor untuk menembus dan memproduksikan zona-zona reservoir gas (terutama di Lapangan Tunu) belum optimal, dari rencana 68 sumur yang dibor 2018 baru 13 terlaksana sampai pertengahan tahun ini. Mungkin masih menunggu datangnya rig baru untuk membantu melaksanakan target pemboran sampai akhir tahun. Dan memang secara geologi lapisan-lapisan yang mengandung gas di lapangan-lapangan produksi Blok Mahakam (terutama di lapangan Tunu yang dangkal) kebanyakan “terpisah-pisah” satu dengan lainnya walaupun jumlahnya banyak, sehingga membutuhkan banyak lubang bor untuk mengeluarkan gasnya.

Di sisi lain, dalam alih kelola blok lain, seperti ONWJ dan Madura, Pertamina justru berhasil menahan laju penurunan dan bahkan akhirnya bisa menaikkan lifting di sana. Sebenarnya apa yang terjadi dengan berbagai blok alih kelola tersebut? Mengapa di satu sisi (Mahakam) ketika ditangani Pertamina mengalami penurunan, namun di ONWJ dan WMO justru meningkat?

Yang terjadi adalah: kita mengamati dan mengevaluasi alih kelola blok yang baru saja setengah tahun dioperasikan Pertamina, tentunya tren penurunan itu masih akan terus berlangsung seperti tren yang dihasilkan oleh operator sebelumnya. Barulah nanti setelah dua – tiga tahun akan terlihat apakah tren penurunan itu bisa ditahan cukup signifikan atau bahkan bisa dinaikkan menjadi tren kenaikan karena pemboran eksplorasi zona-zona migas baru.

Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di ONWJ dan WMO. Tren penurunan itu baru berubah lebih “baik” setelah satu – dua tahun dioperasikan oleh Pertamina. Jadi, masih terlalu awal komentar negatif tentang performance Pertamina dalam konteks “penurunan produksi” di Blok Mahakam ini.

Melihat ‘inkonsistensi’ (kalau memang benar) Pertamina dalam menangani blok alih kelola tersebut, bagaimana prospek pengelolaan Blok Rokan oleh Pertamina nanti? Apakah Pertamina bisa menahan laju penurunan dan bahkan meningkatkan lifting? (Karena saat ini saja, ada beberapa kalangan yang sudah meragukan kemampuan Pertamina).

Melihat jawaban-jawaban sebelumnya, justru tidak ada yang “inkonsisten” dalam operasionalisasi penanganan blok alih kelola oleh Pertamina di Blok Mahakam. Justru trennya masih konsisten: laju penurunan produksi masih mengikuti laju penurunan sebelumnya sampai pertengahan tahun ini, baru kemudian agak bisa ditahan setelah satu – dua tahun dan kemungkinan bisa mulai sedikit naik kalau memang zona-zona reservoir migas baru ditemukan setelah tahun ketiga dan seterusnya

Untuk pengelolaan Blok Rokan, prospeknya nantinya mudah-mudahan Pertamina tetap akan konsisten dengan pola manajemen operasional yang terintegrasi dengan sistem dan cara produksi oleh operator sebelumnya, terutama jika proses transisinya tiga tahun ke depan dibikin mulus juga oleh pengawas (SKKMigas) dan regulator (Ditjen Migas).

Bahkan kemungkinan Pertamina bisa meningkatkan performance Blok Rokan dengan menggabungkan antara pengalaman EOR Pertamina di lapangan-lapangan Pertamina dengan pengalaman operasional dari para ahli bangsa Indonesia sendiri yang masih tetap membela merah putih tinggal bersama Pertamina di blok Rokan setelah alih kelola.

Terkait teknologi yang dipergunakan di Blok Rokan, yaitu EOR, beberapa kalangan juga meragukan kemampuan Pertamina. Padahal, Pertamina sendiri sudah menerapkan teknologi tersebut, antara lain di Siak (dengan metode steamflood) dan Pangkalan Susu (dengan metode waterflood). Menurut Bapak, apakah Pertamina sanggup menerapkan teknologi EOR di Blok Rokan?

Menurut saya, Pertamina akan sanggup menerapkan dan melanjutkan teknologi EOR yang sudah pernah diterapkan oleh operator sebelumnya karena toh sebenarnya semua eksperimen dan pelaksanaan dari aspek teknis dan sistem kelola EOR tersebut — termasuk SDM yang ahli soal EOR di Blok Rokan — semuanya merupakan bagian dari aset yang di-cost recovery-kan operasionalisasinya oleh sistim PSC selama ini. Dengan demikian maka aset tersebut sebenarnyalah adalah milik bangsa Indonesia yang melekat pada aset cadangan dan sumber daya migas yang ada di dalam Blok Rokan tersebut. Sehingga wajar saja kalau Pertamina yang jadi operator berikutnya “mewarisi” juga aset tersebut untuk dimanfaatkan dalam usaha mengelola Blok Rokan babak selanjutnya. Ditambahi juga dengan pengalaman Pertamina di proyek-proyek EOR di lapangan-lapangan Pertamina sebelumnya, tentunya diharapkan EOR di Blok Rokan pasca 2021 akan lebih efisien mengeluarkan minyak dari dalam buminya.

Bagaimana sebenarnya karakteristik batuan dan jenis minyak di Lapangan Minas dan Duri? Apa yang harus dilakukan Pertamina agar produksi tidak terus turun?

Karakter batuan yang mengandung minyak bumi di Minas dan Duri adalah BATU PASIR yang umumnya tidak terkonsolidasikan atau tidak tersemenkan kuat sehingga kalau diproduksikan sering ikutan lepas-lepas ke permukaan tetapi karakter minyaknya berbeda: di Minas minyaknya ringan 36 API gravity, sementara di Duri minyaknya berat: 18 – 21 API gravity, oleh karena itu dibutuhkan strategi EOR khusus untuk mengeluarkan minyak minyak tersebut dari dalam bumi.

Yang harus dilakukan oleh Pertamina agar penurunan produksi bisa ditahan dan bisa menaikkan produksi ya investasi biaya dan teknologi untuk melanjutkan EOR di kedua lapangan utama itu dan juga di lapangan-lapangan besar lainnya plus mengaktifkan/memproduksikan temuan-temuan eksplorasi yang selama ini belum diproduksikan oleh operator sebelumnya.

Dari sisi regulasi, bagaimana peran Pemerintah untuk menghilangkan keragu-raguan masyarakat terkait kemampuan Pertamina mengelola Blok Rokan nanti?

Dari sisi regulasi semestinya Pemerintah memfasilitasi Pertamina untuk bisa secara legal mulai ikut aktif secara bisnis maupun operasional teknis dalam pengelolaan Blok Rokan pada masa transisi tiga tahun ke depan ini, 2018 – 2021. Jangan sampai masa transisi yang pendek dan banyak masalah seperti terjadi di Blok Mahakam (transisi 2017, Pertamina investasi pemboran tapi yang melaksanakan Total) terulang kembali. Pemerintah harus banyak belajar dari situ sebagai regulator. Jangan hanya menyerahkan kepada Pertamina supaya B2B saja dengan operator existing tanpa memfasilitasi dengan regulasi yang memadai.

Catatan Penutup (di Luar Tanya Jawab):

Kalau kita lihat tiga profil produksi migas blok alih kelola terlampir, istilahnya Pertamina itu seperti mewarisi "kaki gunung". Puncak gunungnya sudah diraih dijelajahi oleh operator terdahulu. Kalaupun toh bisa menaikkan produksi, paling banter Pertamina bisa bikin bukit-bukit kecil saja di lereng dan kaki-kaki gunung produksi itu. Kecuali Pertamina bisa bikin revolusi eksplorasi-produksi, seperti orang-orang Amerika sana dengan revolusi shale oil di era 2000an awal dulu.

Di akhir 90an dulu hampir semua orang di industri migas Amerika sana bilang “kita sudah melewati oil peaks” alias puncak-puncak gunung produksi itu, tapi ternyata setelah itu di 2005 – 2014an selama sembilan – sepuluh tahun terjadi peak baru gunung produksi minyak di sana, yaitu tambahan produksi dari shale oil/gas di berbagai cekungan di Amerika.

Nah, revolusi apa yang harus dilakukan di Indonesia sini? Kita-kita, para geosaintis dan engineer yang bergerak di riset dan praktisi di industri ekstraktif energi fosil Indonesia ini harus ditantang untuk bikin revolusi itu. Termasuk (terutama) mereka-mereka yang di Pertamina!!! Bukan tidak mungkin kita akan dapatkan lagi puncak-puncak gunung baru di blok-blok alih kelola itu.

 
 
Perspektif 2.jpg
 
Perspektif 3.jpg
 
Perspektif 4.jpg
Previous
Previous

Catatan Merah Putih, Diponegoro, dan Sequence Boundary

Next
Next

Menahan Penurunan Produksi Alih Kelola Blok Migas ke Pertamina