(Buat yang Pusing, …)
Buat yang pusing, kelimpungan, bingung, dan keheranan atas segala kekacauan yang terjadi di dalam rumah karena atap yang berubah-ubah dan kita terlalu rendah untuk ikut menggapai memperbaikinya…
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Buat yang pusing, kelimpungan, bingung, dan keheranan atas segala kekacauan yang terjadi di dalam rumah karena atap yang berubah-ubah dan kita terlalu rendah untuk ikut menggapai memperbaikinya…
Lakukan apa yang bisa kalian lakukan dalam lingkup ruang yang dalam jangkauan. Tetaplah profesional dan tetap semangat untuk kemajuan Pertamina dan ketahanan energi Indonesia yang lebih kuat!
Pada saatnya nanti, kalian lah yang musti ambil tongkat komando energi Indonesia ini dengan lebih menggunakan akal sehat, nurani, dan profesionalisme yang lebih mumpuni dan dengan patriotisme yang tetap tinggi.
Perspektif (Tentang Blok-Blok Alih Kelola Pertamina: ONWJ, Mahakam, Rokan)
Ada beberapa pihak yang meragukan kemampuan Pertamina dalam mengelola Blok Rokan. Mereka mencoba membandingkan dengan Mahakam yang produksinya turun setelah diambil alih Pertamina.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Ada beberapa pihak yang meragukan kemampuan Pertamina dalam mengelola Blok Rokan. Mereka mencoba membandingkan dengan Mahakam yang produksinya turun setelah diambil alih Pertamina.
Menurut Bapak, mengapa terjadi penurunan produksi? Benarkah karena ketidakmampuan Pertamina dalam mengelola blok tersebut?
Mengapa terjadi penurunan produksi? Karena puncak produksi dari blok yang berusia 50 tahun itu sudah terjadi sembilan tahun yang lalu yaitu pada tahun 2009, di mana produksi gas maksimum pada waktu itu 2,8 miliar kaki kubik per hari, setelah itu otomatis tren produksinya menurun; baik karena sifat alamiah dari reservoir migas yang ada maupun karena berkurangnya investasi pemboran sumur-sumur produksi baru oleh operator lama. Meskipun ada penemuan baru di South Mahakam yang diproduksikan 2012 tapi tidak cukup untuk menahan laju penurunan produksi yang antara 20% – 30% di lapangan-lapangan gas di dalam blok Mahakam.
Kenaikan produksi hanya terjadi di blok migas atau lapangan migas yang baru ketemu dan baru diproduksikan paling tidak dalam satu – lima tahun setelah diproduksikan; tetapi setelah itu: tanpa temuan lapangan baru melalui eksplorasi ataupun apalagi tanpa usaha pengeboran pengembangan baru pada lapangan lama maka otomatis produksi migas suatu blok atau lapangan akan menurun.
Jadi wajar saja lah blok Mahakam mengalami penurunan produksi karena memang usianya sudah 50 tahun dan tren sembilan tahun sebelumnya memang sudah menurun. Kalau tiba-tiba mengalami kenaikan produksi setelah sembilan tahun menurun, barulah itu anomali.
Tidak benar penurunan produksi itu karena ketidakmampuan Pertamina dalam mengelola blok tersebut. Lha wong masih baru setengah tahun menangani langsung blok yang sedang turun drastis produksinya sejak sembilan tahun terakhir, koq terus disalahkan dan dianggap tidak mampu? Anggapan seperti itu muncul karena ketidakpahaman masyarakat tentang karakter lapangan migas dan proses produksi migas seperti diuraikan di bagian pertama tadi.
Pihak mana saja yang harus bertanggung jawab atas penurunan produksi Mahakam?
Pertama kali yang harus bertanggung jawab adalah media karena terlalu hitam putih memandang isu penurunan produksi migas dengan “mencari penanggung-jawabnya” tanpa mencoba memahami lebih dulu sifat-sifat alamiah/karakter lapangan gas yang memang sudah masanya menurun produksinya. Nah, kalau sudah paham, mestinya pertanyaannya diubah menjadi: pihak mana saja yang harus bertanggung jawab atas tidak tercapainya TARGET penurunan produksi Mahakam?
Jawabnya bisa dilacak mulai dari proses penentuan target, ke pelaksanaan sampai ke pengamatan data. Dalam proses penentuan target bisa saja tawar menawar target produksi terjadi ketidakcocokan antara janji operator (Pertamina) dengan pengawas (SKKMigas) maupun dengan regulator (Ditjen Migas) apalagi legislator (DPR). Bisa saja terlalu dipaksakan, walaupun secara teknis tidak memungkinkan. Dalam hal itu ya dua-duanya antara operator dan pengawas/regulator/legislator yang bertanggungjawab lah.
Bisa juga dalam perencanaan memang sudah realistis sesuai dengan kemampuan teknis operasional maupun regulasinya memungkinkan, tapi dalam pelaksanaan operator tidak perform. Itu yang tanggung jawab ya operatornya.
Bisa juga semuanya sudah OK, kemampuan teknis operasional dan performance operator OK, tapi kendala regulasi menghambat. Nah dalam kasus terakhir itu pengawas dan regulatornya lah yang musti tanggung jawab.
Jadi tidak semuanya operator yang musti tanggung jawab. Ada juga porsi tanggung jawab di pengawas dan regulator, dan juga di legislator yang di Senayan sana.
Nah karena saat ini masih baru pertengahan tahun, melesetnya target (penurunan) produksi Blok Mahakam dari perencanaan, mudah-mudahan masih bisa dikejar dalam lima bulan ke depan.
Dari sudut pandang geologi, apa yang sebenarnya terjadi dengan penurunan produksi di Blok Mahakam?
Yang SEBENARNYA terjadi saya tidak tahu, baik dari sudut pandang geologi maupun sudut pandang lainnya, karena saya juga tidak terlibat langsung di pengelolaan operasionalnya maupun di jalur pelaporan resmi dan sejenisnya. Yang saya tahu adalah yang KIRA-KIRA terjadi, bukan yang sebenarnya terjadi. Kira-kiranya berdasarkan pengalaman 35 tahun di industri migas, termasuk 17 tahun terus menerus di area sekitar Blok Mahakam, dan dari berita-berita/angka-angka yang kita cek kebenarannya ke sumbernya langsung.
Yang kira-kira terjadi dari aspek geologi reservoir adalah: jumlah sumur baru yang dibor untuk menembus dan memproduksikan zona-zona reservoir gas (terutama di Lapangan Tunu) belum optimal, dari rencana 68 sumur yang dibor 2018 baru 13 terlaksana sampai pertengahan tahun ini. Mungkin masih menunggu datangnya rig baru untuk membantu melaksanakan target pemboran sampai akhir tahun. Dan memang secara geologi lapisan-lapisan yang mengandung gas di lapangan-lapangan produksi Blok Mahakam (terutama di lapangan Tunu yang dangkal) kebanyakan “terpisah-pisah” satu dengan lainnya walaupun jumlahnya banyak, sehingga membutuhkan banyak lubang bor untuk mengeluarkan gasnya.
Di sisi lain, dalam alih kelola blok lain, seperti ONWJ dan Madura, Pertamina justru berhasil menahan laju penurunan dan bahkan akhirnya bisa menaikkan lifting di sana. Sebenarnya apa yang terjadi dengan berbagai blok alih kelola tersebut? Mengapa di satu sisi (Mahakam) ketika ditangani Pertamina mengalami penurunan, namun di ONWJ dan WMO justru meningkat?
Yang terjadi adalah: kita mengamati dan mengevaluasi alih kelola blok yang baru saja setengah tahun dioperasikan Pertamina, tentunya tren penurunan itu masih akan terus berlangsung seperti tren yang dihasilkan oleh operator sebelumnya. Barulah nanti setelah dua – tiga tahun akan terlihat apakah tren penurunan itu bisa ditahan cukup signifikan atau bahkan bisa dinaikkan menjadi tren kenaikan karena pemboran eksplorasi zona-zona migas baru.
Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di ONWJ dan WMO. Tren penurunan itu baru berubah lebih “baik” setelah satu – dua tahun dioperasikan oleh Pertamina. Jadi, masih terlalu awal komentar negatif tentang performance Pertamina dalam konteks “penurunan produksi” di Blok Mahakam ini.
Melihat ‘inkonsistensi’ (kalau memang benar) Pertamina dalam menangani blok alih kelola tersebut, bagaimana prospek pengelolaan Blok Rokan oleh Pertamina nanti? Apakah Pertamina bisa menahan laju penurunan dan bahkan meningkatkan lifting? (Karena saat ini saja, ada beberapa kalangan yang sudah meragukan kemampuan Pertamina).
Melihat jawaban-jawaban sebelumnya, justru tidak ada yang “inkonsisten” dalam operasionalisasi penanganan blok alih kelola oleh Pertamina di Blok Mahakam. Justru trennya masih konsisten: laju penurunan produksi masih mengikuti laju penurunan sebelumnya sampai pertengahan tahun ini, baru kemudian agak bisa ditahan setelah satu – dua tahun dan kemungkinan bisa mulai sedikit naik kalau memang zona-zona reservoir migas baru ditemukan setelah tahun ketiga dan seterusnya
Untuk pengelolaan Blok Rokan, prospeknya nantinya mudah-mudahan Pertamina tetap akan konsisten dengan pola manajemen operasional yang terintegrasi dengan sistem dan cara produksi oleh operator sebelumnya, terutama jika proses transisinya tiga tahun ke depan dibikin mulus juga oleh pengawas (SKKMigas) dan regulator (Ditjen Migas).
Bahkan kemungkinan Pertamina bisa meningkatkan performance Blok Rokan dengan menggabungkan antara pengalaman EOR Pertamina di lapangan-lapangan Pertamina dengan pengalaman operasional dari para ahli bangsa Indonesia sendiri yang masih tetap membela merah putih tinggal bersama Pertamina di blok Rokan setelah alih kelola.
Terkait teknologi yang dipergunakan di Blok Rokan, yaitu EOR, beberapa kalangan juga meragukan kemampuan Pertamina. Padahal, Pertamina sendiri sudah menerapkan teknologi tersebut, antara lain di Siak (dengan metode steamflood) dan Pangkalan Susu (dengan metode waterflood). Menurut Bapak, apakah Pertamina sanggup menerapkan teknologi EOR di Blok Rokan?
Menurut saya, Pertamina akan sanggup menerapkan dan melanjutkan teknologi EOR yang sudah pernah diterapkan oleh operator sebelumnya karena toh sebenarnya semua eksperimen dan pelaksanaan dari aspek teknis dan sistem kelola EOR tersebut — termasuk SDM yang ahli soal EOR di Blok Rokan — semuanya merupakan bagian dari aset yang di-cost recovery-kan operasionalisasinya oleh sistim PSC selama ini. Dengan demikian maka aset tersebut sebenarnyalah adalah milik bangsa Indonesia yang melekat pada aset cadangan dan sumber daya migas yang ada di dalam Blok Rokan tersebut. Sehingga wajar saja kalau Pertamina yang jadi operator berikutnya “mewarisi” juga aset tersebut untuk dimanfaatkan dalam usaha mengelola Blok Rokan babak selanjutnya. Ditambahi juga dengan pengalaman Pertamina di proyek-proyek EOR di lapangan-lapangan Pertamina sebelumnya, tentunya diharapkan EOR di Blok Rokan pasca 2021 akan lebih efisien mengeluarkan minyak dari dalam buminya.
Bagaimana sebenarnya karakteristik batuan dan jenis minyak di Lapangan Minas dan Duri? Apa yang harus dilakukan Pertamina agar produksi tidak terus turun?
Karakter batuan yang mengandung minyak bumi di Minas dan Duri adalah BATU PASIR yang umumnya tidak terkonsolidasikan atau tidak tersemenkan kuat sehingga kalau diproduksikan sering ikutan lepas-lepas ke permukaan tetapi karakter minyaknya berbeda: di Minas minyaknya ringan 36 API gravity, sementara di Duri minyaknya berat: 18 – 21 API gravity, oleh karena itu dibutuhkan strategi EOR khusus untuk mengeluarkan minyak minyak tersebut dari dalam bumi.
Yang harus dilakukan oleh Pertamina agar penurunan produksi bisa ditahan dan bisa menaikkan produksi ya investasi biaya dan teknologi untuk melanjutkan EOR di kedua lapangan utama itu dan juga di lapangan-lapangan besar lainnya plus mengaktifkan/memproduksikan temuan-temuan eksplorasi yang selama ini belum diproduksikan oleh operator sebelumnya.
Dari sisi regulasi, bagaimana peran Pemerintah untuk menghilangkan keragu-raguan masyarakat terkait kemampuan Pertamina mengelola Blok Rokan nanti?
Dari sisi regulasi semestinya Pemerintah memfasilitasi Pertamina untuk bisa secara legal mulai ikut aktif secara bisnis maupun operasional teknis dalam pengelolaan Blok Rokan pada masa transisi tiga tahun ke depan ini, 2018 – 2021. Jangan sampai masa transisi yang pendek dan banyak masalah seperti terjadi di Blok Mahakam (transisi 2017, Pertamina investasi pemboran tapi yang melaksanakan Total) terulang kembali. Pemerintah harus banyak belajar dari situ sebagai regulator. Jangan hanya menyerahkan kepada Pertamina supaya B2B saja dengan operator existing tanpa memfasilitasi dengan regulasi yang memadai.
Catatan Penutup (di Luar Tanya Jawab):
Kalau kita lihat tiga profil produksi migas blok alih kelola terlampir, istilahnya Pertamina itu seperti mewarisi "kaki gunung". Puncak gunungnya sudah diraih dijelajahi oleh operator terdahulu. Kalaupun toh bisa menaikkan produksi, paling banter Pertamina bisa bikin bukit-bukit kecil saja di lereng dan kaki-kaki gunung produksi itu. Kecuali Pertamina bisa bikin revolusi eksplorasi-produksi, seperti orang-orang Amerika sana dengan revolusi shale oil di era 2000an awal dulu.
Di akhir 90an dulu hampir semua orang di industri migas Amerika sana bilang “kita sudah melewati oil peaks” alias puncak-puncak gunung produksi itu, tapi ternyata setelah itu di 2005 – 2014an selama sembilan – sepuluh tahun terjadi peak baru gunung produksi minyak di sana, yaitu tambahan produksi dari shale oil/gas di berbagai cekungan di Amerika.
Nah, revolusi apa yang harus dilakukan di Indonesia sini? Kita-kita, para geosaintis dan engineer yang bergerak di riset dan praktisi di industri ekstraktif energi fosil Indonesia ini harus ditantang untuk bikin revolusi itu. Termasuk (terutama) mereka-mereka yang di Pertamina!!! Bukan tidak mungkin kita akan dapatkan lagi puncak-puncak gunung baru di blok-blok alih kelola itu.
Menahan Penurunan Produksi Alih Kelola Blok Migas ke Pertamina
Ada yang nanya ke saya, “itu blok Rokan kalau dipegang Pertamina apa nggak makin turun nanti produksinya? Lihat itu sekarang – sejak lima tahun yang lalu saja sudah makin anjlok itu produksi Rokan. Apa nanti Pertamina mampu mengelolanya? Blok Mahakam aja pas dipegang Pertamina masih terus turun produksinya, ... Gimana ini?”
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Ada yang nanya ke saya, “itu blok Rokan kalau dipegang Pertamina apa nggak makin turun nanti produksinya? Lihat itu sekarang – sejak lima tahun yang lalu saja sudah makin anjlok itu produksi Rokan. Apa nanti Pertamina mampu mengelolanya? Blok Mahakam aja pas dipegang Pertamina masih terus turun produksinya, ... Gimana ini?”
Lha, iya lah, turun produksinya pas dipegang Pertamina, lha wong jauh hari sebelum serah terima saja memang disengaja turun produksinya oleh operator sebelumnya, karena belum (tidak) adanya jaminan perpanjangan kontrak dan baliknya investasi dan sebagainya.
Ya jelas saja masih akan ada beberapa saat tren penurunan itu dalam masa transisi pengelolaan oleh operator baru.
Justru sebenarnya hal itu menunjukkan kegagalan kita (dalam hal ini Ditjen Migas dan SKKMigas) dalam membuat dan melaksanakan regulasi dalam rangka memfasilitasi masa transisi itu, baik di Mahakam maupun nanti di Rokan ini. Memangnya Pertamina bisa apa sebelum berakhirnya kontrak operator sebelumnya? Secara hukum ya nggak mungkin lah Pertamina cawe-cawe sebelum kontrak mereka berakhir. Yang bisa menahan laju penurunan drastis itu ya yang bikin dan ngawasi regulasi kontrak. Nggak mungkin lah Pertamina loncat masuk ke blok itu terus nggarap langsung menahan laju penurunan di masa masa akhir kontrak, kecuali diatur/diperbolehkan oleh yang ngatur dan pemegang kontrak lama juga mau.
Sekaligus cara pandang seperti itu (Blok Mahakam produksinya turun pas dipegang Pertamina) sengaja terus menerus dihembuskan untuk jadi alasan mengundang pihak lain untuk masuk tanpa memberikan gambaran realistis bahwa sebelum pengambilalihan memang telah terjadi tren penurunan itu, malah lebih drastis, oleh operator sebelumnya. Bisa juga ekstremnya dikatakan itu adalah akibat “pembiaran” sebelum masa berakhirnya kontrak.
Tapi coba lihat setelah satu – dua tahun apakah tren tersebut masih terus turun atau naik? Lihat CPP Blok, ONWJ, WMO, tren-tren penurunan oleh operator sebelumnya itu akhirnya semuanya berhasil ditahan dan malahan mulai dinaikkan oleh Pertamina satu – dua tahun setelah serah terima.
Karena blok-blok itu sudah dioperasikan 50 tahun atau lebih oleh operator sebelumnya maka kondisinya sudah termasuk dalam kategori blok/lapangan yang matang alias mature. Dan semua pelaku migas dan pengamat yang paham tentang geologi bawah permukaan, tentang reservoir dan proses produksi lapangan migas pasti akan paham juga bahwa ketika puncak performance produksi blok/lapangan migas sudah terlampaui maka kita nggak akan mungkin mencapai tingkat produksi setinggi puncak itu lagi KECUALI DENGAN PENEMUAN - PENAMBAHAN CADANGAN BARU lewat eksplorasi maupun lewat rekayasa teknik EOR.
Waktu serah terima blok yang sudah matang alias mature itu seolah-olah Pertamina terima barang yang sedang terus menerus bocor makin parah, bukan barang utuh, apalagi barang yang sedang mengembang yang tinggal melihara saja. Jadi yang pertama dilakukan adalah mencoba menahan kebocoran itu supaya gak makin parah. Dan tentu saja tren bocornya masih akan terus ada sampai beberapa saat ke depan, sampai akhirnya mudah-mudahan semua bisa ditambal dan barang yang sudah 50 tahun lebih disedoti dan bocor itu bisa mengembang lagi — walaupun nggak akan sebesar puncak pengembangannya beberapa belas hingga puluh tahun sebelumnya.
Jadi, kalau khawatir dengan penurunan produksi Rokan, sekarang yang sedang terjadi apalagi nanti setelah dipegang Pertamina, harusnya kita perkuat keberanian dan kepintaran para regulator dan pelaksana pengawas kontrak migas existing yaitu Kementrian ESDM dan SKKMigas, supaya bisa bersiasat dan tegas dan dipatuhi oleh kontraktor rekayasa regulasi yang memungkinkan tren penurunan itu dikurangi atau diberhentikan sama sekali.
Salah satu rekayasanya waktu transisi Mahakam 2016 – 2017 yang lalu adalah membuat Peraturan Menteri yang menjamin pengembalian biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor setelah habisnya kontrak kalau belum kembali semua, dan juga membuat aturan supaya Pertamina bisa membiayai operasi pemboran setahun terakhir di masa akhir kontrak, tanpa harus ada pengenaan pajak tertentu kepada operator existing dsb.
Mudah-mudahan penjelasan-penjelasan di atas ini dapat menjernihkan kebingungan masyarakat tentang ketakutan, tuduhan, dan kekawatiran soal turunnya produksi migas kita apabila diserahkan pengelolaannya ke Pertamina.
Jangan kuatir, tapi jangan pula abai. Kita harus terus perkuat aparat pemerintahan kita supaya bisa mengurangi efek negatif dari masa transisi pengalih kelolaan blok-blok migas kita ke Pertamina, sekaligus terus menerus mengingatkan Pertamina supaya meningkatkan kesigapan dan kesiapan dua – tiga kali lipat dari penanganan New Business Development biasanya karena sensitifnya proses transisi ini bagi keberlangsungan produksi migas kita.
Kewajaran “Bi tu Bi”: Refleksi Share-Down, Spin-Off dan Divestasi
Membaca dari jauh tentang gonjang-ganjing divestasi, share-down, dan spin-off akhir-akhir ini aku jadi ingat tentang hal sama yang berulang kali terjadi secara periodik di dunia investasi energi-sumber daya mineral Indonesia.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Membaca dari jauh tentang gonjang-ganjing divestasi, share-down, dan spin-off akhir-akhir ini aku jadi ingat tentang hal sama yang berulang kali terjadi secara periodik di dunia investasi energi-sumber daya mineral Indonesia. Perulangan periode siklus apa ini? Siklus pemilu tiap lima tahun sekali! Dan gonjang-ganjingnya terjadi satu – dua tahun sebelum pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Mungkin juga siklus-periode yang sama terjadi di sektor lain; tapi karena itu semua di luar radar data, minat, dan kompetensiku, maka untuk sementara aku abaikan saja dulu.
Kenapa divestasi, spin-off, dan share-down menjelang Pemilu? Karena dalam proses-proses itu terjadi deal-deal bisnis B2B (bi tu bi) yang dianggap sebagai kewajaran kalau melibatkan: broker (yang dapat fee), konsultan (yang kadang mau jadi kepanjangan tangan hengki pengki), premium (yang bisa dibagi) , dan entertainment (untuk melancarkan negosiasi). Sebagian proceed yang dihasilkan dari kewajaran proses bisnis itu mengalir ke berbagai pihak yang berkepentingan untuk membuat semua deal itu terjadi. Apa hubungannya dengan pemilu? Nggak tahulah, tolong dipikirkan sendiri. Jangan lupa, itu semua terjadi selalu satu – dua tahun menjelang Pemilu di negeri ini. Terutama setelah masa reformasi.
Coba perhatikan; Menjelang Pemilu 2004, Pertamina menerbitkan kontrak-kontrak TAC/KSO baru sebagai pengganti TAC lama yang sebagian akan habis juga berapa tahun mendatang. Kontrak-kontrak baru PSC 2003 diterbitkan dengan term baru yang lebih menarik dan menantang ¾walaupun mulai saat itu FTP tidak dibagi dengan kontraktor.
Kemudian 2007, 2008, dan 2009. Total mulai memasukkan permohonan perpanjangan Blok Mahakam 2007 dan kelihatannya ditarik-ulur saja waktu itu. Juga pembelian-pembelian dan akuisisi besar terjadi di kurun waktu 2007 – 2009 ini. BMG Australia (yang sekarang jadi masalah) dan juga akuisisi ONWJ oleh Pertamina yang harga akuisisinya juga banyak dipertanyakan. Juga saat itu di 2007 – 2008 euphoria bikin kilang minyak baru menggebu-gebu. Banyak surat izin pembuatan kilang minyak diterbitkan dan tentunya diperjual-belikan. Dan sampai sekarang hasilnya nihil (ada satu kilang mini tapi itupun akhirnya “mati” karena regulasi). Tentunya banyak yang dapat cipratan dari jual beli izin itu: yang ditengarai semuanya dalam rangka menantang Singapura (yang punya kilang sampai 1,3 - 1,6 juta BOPD) untuk keluarin duit, mencegah itu semua terealisasi.
2012 – 2014: masih ingat dengan Brigade 200 ribu-nya Pak Dahlan Iskan? Usaha mulia untuk meningkatkan produksi Pertamina sampai tembus 200 ribu barel per hari itu ternyata nggak jalan seperti yang direncanakan. Bahkan waktu itu makan korban, ada yang dilengserkan karena gak sepaham dengan ide yang nggak mungkin terlaksana; yang akhirnya sekedar membagi-membagi kontrak KSO dengan pihak-pihak luar saja. Waktu itu 2011 – 2012 ada juga urusan blok WMO lepas kontrak dari Kodeco yang akhirnya sekarang dikelola Pertamina sendiri. Konon, sempat juga ada dua perusahaan lokal “nyasar” yang nggak ada satupun komunitas migas Indonesia pernah dengar namanya. Nyoba-nyoba beli PI, tentunya dengan penjelasan dari para penguasa waktu itu bahwa semuanya proses bi tu bi. Akhirnya nggak jadi, karena keburu diprotes rame-rame — terutama oleh Serikat Pekerja Pertamina sendiri.
Nah, sejak setahun terakhir ini sampai sekarang — menjelang Pemilu 2019 nanti — mulai marak gerakan-gerakan divestasi, spin-off, dan share-down ini. Baik di migas, energi umumnya, maupun pertambangan. Selain kemungkinan memang benar pas waktunya bertepatan dengan akan berakhirnya kontrak Freeport 2021, tapi usaha untuk ngurusi divestasi ini penuh dengan “huru-hara” keterburu-buruan yang serba mencengangkan dan menimbulkan kerutan dahi.
Juga pemberian delapan blok habis kontrak ke Pertamina yang kemudian disusul dengan mengubah aturan di mana Pertamina nggak dapat hak istimewa lagi untuk dapatkan blok produksi habis kontrak (khususnya blok Rokan yang produksinya masih sekitar 180 ribu barel per hari). Sementara itu, sudah banyak pihak swasta dengan back up pendanaan baik dari kelompok mereka sendiri ataupun dukungan dari luar negeri ngantri siap-siap ikutan partisipasi. Baik di delapan bloknya Pertamina itu maupun juga terutama di Blok Rokan yang menggiurkan. Tentunya semua proses dilakukan secara bi tu bi dengan “kewajaran-kewajaran” seperti disebutkan di awal tulisan ini tadi.
Lalu, timbul pertanyaan: apakah share-down, spin-off, dan divestasi itu bukan karena Pertamina sedang berdarah-darah karena keuangannya kegerus usaha di hilir mempertahankan harga BBM murah dan satu harga seluruh Indonesia ¾di tengah meningkatnya harga crude dunia yang sekarang sudah di atas sekitar $70 USD/bbl? Kalau dipikir-pikir ada juga faktor itunya, tapi ya itu tadi, istilah wong jowone, “Tutup Ketemu Tumbu”. Khan definisi sukses itu, “persiapan yang matang ketemu dengan kesempatan”. Nah, dalam hal ini persiapannya adalah rangkaian rencana share down, spin off dan divestasi. Kesempatannya adalah saat Pertamina disuruh mempertahankan harga BBM tetap rendah dan sama di seluruh negeri. Klop dah!
Mudah-mudahan semua proses yang sedang terjadi ini membawa kebaikan bagi negeri. Perkara ada yang coba-coba memanfaatkannya untuk nyari rezeki buat golongan atau pribadi dari proses-proses bi tu bi itu, ya, kita serahkan kepada yang berwenang untuk mengevaluasi. Apakah masih wajar saja atau sudah tidak bisa ditoleransi.
Yang aku lakukan hanya sekadar menuangkan sedikit pemahaman dan pengamatan, supaya sekelilingku jadi lebih pinter dan mengerti: nggak cuma lihat semuanya hitam dan putih.
Monggo.
(Setelah Empat Tahun jadi Presiden)
Akhirnya.... Setelah empat tahun jadi presiden, barulah Jokowi mulai “menoleh” ke migas. Pagi ini tadi presiden kita menghadiri dan membuka event tahunan migas terbesar Indonesia “IPA CONVENTION” yang ke 42, yang berlangsung 2 – 4 Mei 2018 ini.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Akhirnya.... Setelah empat tahun jadi presiden, barulah Jokowi mulai “menoleh” ke migas. Pagi ini tadi presiden kita menghadiri dan membuka event tahunan migas terbesar Indonesia “IPA CONVENTION” yang ke 42, yang berlangsung 2 – 4 Mei 2018 ini. Berturut-turut tiga tahun sebelumnya (2015, 2016, dan 2017) permintaan-permintaan untuk membuka acara IPA hanya didelegasikan ke Menko (2015), kemudian ke Menko lagi (2016), kemudian hanya ke level Menteri ESDM saja di 2017 kemarin.
Perlu juga dicatat bahwa ini semua terjadi setelah Oktober tahun lalu Jokowi menolak di depan publik ketika diminta oleh Tim Rembuk Nasional untuk jadi “panglima” energi (selain jadi “panglima” infrastruktur yang selama ini dilakukannya). Maksudnya waktu itu mbok ya beliau turun tangan langsung lebih serius membenahi masalah energi Indonesia seperti beliau turun tangan langsung di bidang infrastruktur. Alasan “keberatannya” waktu itu: mau fokus dulu di infrastruktur. Tapi rupanya dalam setengah tahun berikutnya, dengan naiknya harga minyak di atas 70$/bbl yang menekan kebijakan populis energi murah dan kebutuhannya untuk tetap eksis menjelang Pemilu 2019, Jokowi mulai sadar bahwa dia harus “mulai turun tangan” mendekati investor dan industri migas Indonesia. Mungkin karena dia juga mulai menyadari ketahanan energi kita mulai collapse.
Mudah-mudahan demikian adanya. Ada kemauan politik untuk lebih mendengarkan dan memperhatikan suara-suara dari industri migas (dan energi) Indonesia, meskipun sebagian besar itu dalam rangka memenangkan hati rakyat menjelang Pemilu 2019.
Satu lagi yang menarik; dalam sambutan pembukaannya, Jokowi juga menekankan perlunya eksplorasi dalam meningkatkan produksi migas kita ke depan, dan – ini dia serunya – dia seakan heran dan gak habis pikir (pakai geleng-geleng kepala, menurut pemberitaan CNN) kenapa tidak ada eksplorasi besar (oleh Pertamina) sejak tahun 1970 dan kenapa kegiatan eksplorasi semakin menurun saja.
Menariknya adalah setelah empat tahun berjalan seolah-olah pak presiden baru sempat mencerna data yang sebenarnya sudah bisa dicerna awal-awal pada saat dia mulai menjabat (data temuan eksplorasi Pertamina atau Indonesia sejak 1970).
Hal itulah yang kemungkinan mengakibatkan “lack of urgency - lack of crisis awareness” beliau selama ini tentang kondisi migas (dan energi juga sih) Indonesia. Kemungkinan selama ini Jokowi hanya terima laporan “selalu bagus dan aman-aman saja” tentang kondisi migas dan energi Indonesia dari para pembantunya. Mudah-mudahan kesadaran ini datangnya belum terlalu terlambat.
Ayo kita gunakan kesempatan baik ini untuk membenahi migas dan energi Indonesia. Termasuk utamanya meningkatkan eksplorasi dan produksi migas kita. Dan juga jangan lupa: peran BUMN dan BUMD Migas di dalamnya harus terus diberdayakan, diperkuat dan dibebaskan dari gangguan-gangguan politik jangka pendek kelompok kepentingan dan golongan-golongan.