Kewajaran “Bi tu Bi”: Refleksi Share-Down, Spin-Off dan Divestasi

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Membaca dari jauh tentang gonjang-ganjing divestasi, share-down, dan spin-off akhir-akhir ini aku jadi ingat tentang hal sama yang berulang kali terjadi secara periodik di dunia investasi energi-sumber daya mineral Indonesia. Perulangan periode siklus apa ini? Siklus pemilu tiap lima tahun sekali! Dan gonjang-ganjingnya terjadi satu – dua tahun sebelum pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Mungkin juga siklus-periode yang sama terjadi di sektor lain; tapi karena itu semua di luar radar data, minat, dan kompetensiku, maka untuk sementara aku abaikan saja dulu.

Kenapa divestasi, spin-off, dan share-down menjelang Pemilu? Karena dalam proses-proses itu terjadi deal-deal bisnis B2B (bi tu bi) yang dianggap sebagai kewajaran kalau melibatkan: broker (yang dapat fee), konsultan (yang kadang mau jadi kepanjangan tangan hengki pengki), premium (yang bisa dibagi) , dan entertainment (untuk melancarkan negosiasi). Sebagian proceed yang dihasilkan dari kewajaran proses bisnis itu mengalir ke berbagai pihak yang berkepentingan untuk membuat semua deal itu terjadi. Apa hubungannya dengan pemilu? Nggak tahulah, tolong dipikirkan sendiri. Jangan lupa, itu semua terjadi selalu satu – dua tahun menjelang Pemilu di negeri ini. Terutama setelah masa reformasi.

Coba perhatikan; Menjelang Pemilu 2004, Pertamina menerbitkan kontrak-kontrak TAC/KSO baru sebagai pengganti TAC lama yang sebagian akan habis juga berapa tahun mendatang. Kontrak-kontrak baru PSC 2003 diterbitkan dengan term baru yang lebih menarik dan menantang ¾walaupun mulai saat itu FTP tidak dibagi dengan kontraktor.

Kemudian 2007, 2008, dan 2009. Total mulai memasukkan permohonan perpanjangan Blok Mahakam 2007 dan kelihatannya ditarik-ulur saja waktu itu. Juga pembelian-pembelian dan akuisisi besar terjadi di kurun waktu 2007 – 2009 ini. BMG Australia (yang sekarang jadi masalah) dan juga akuisisi ONWJ oleh Pertamina yang harga akuisisinya juga banyak dipertanyakan. Juga saat itu di 2007 – 2008 euphoria bikin kilang minyak baru menggebu-gebu. Banyak surat izin pembuatan kilang minyak diterbitkan dan tentunya diperjual-belikan. Dan sampai sekarang hasilnya nihil (ada satu kilang mini tapi itupun akhirnya “mati” karena regulasi). Tentunya banyak yang dapat cipratan dari jual beli izin itu: yang ditengarai semuanya dalam rangka menantang Singapura (yang punya kilang sampai 1,3 - 1,6 juta BOPD) untuk keluarin duit, mencegah itu semua terealisasi.

2012 – 2014: masih ingat dengan Brigade 200 ribu-nya Pak Dahlan Iskan? Usaha mulia untuk meningkatkan produksi Pertamina sampai tembus 200 ribu barel per hari itu ternyata nggak jalan seperti yang direncanakan. Bahkan waktu itu makan korban, ada yang dilengserkan karena gak sepaham dengan ide yang nggak mungkin terlaksana; yang akhirnya sekedar membagi-membagi kontrak KSO dengan pihak-pihak luar saja. Waktu itu 2011 – 2012 ada juga urusan blok WMO lepas kontrak dari Kodeco yang akhirnya sekarang dikelola Pertamina sendiri. Konon, sempat juga ada dua perusahaan lokal “nyasar” yang nggak ada satupun komunitas migas Indonesia pernah dengar namanya. Nyoba-nyoba beli PI, tentunya dengan penjelasan dari para penguasa waktu itu bahwa semuanya proses bi tu bi. Akhirnya nggak jadi, karena keburu diprotes rame-rame — terutama oleh Serikat Pekerja Pertamina sendiri.

Nah, sejak setahun terakhir ini sampai sekarang — menjelang Pemilu 2019 nanti — mulai marak gerakan-gerakan divestasi, spin-off, dan share-down ini. Baik di migas, energi umumnya, maupun pertambangan. Selain kemungkinan memang benar pas waktunya bertepatan dengan akan berakhirnya kontrak Freeport 2021, tapi usaha untuk ngurusi divestasi ini penuh dengan “huru-hara” keterburu-buruan yang serba mencengangkan dan menimbulkan kerutan dahi.

Juga pemberian delapan blok habis kontrak ke Pertamina yang kemudian disusul dengan  mengubah aturan di mana Pertamina nggak dapat hak istimewa lagi untuk dapatkan blok produksi habis kontrak (khususnya blok Rokan yang produksinya masih sekitar 180 ribu barel per hari). Sementara itu, sudah banyak pihak swasta dengan back up pendanaan baik dari kelompok mereka sendiri ataupun dukungan dari luar negeri ngantri siap-siap ikutan partisipasi. Baik di delapan bloknya Pertamina itu maupun juga terutama di Blok Rokan yang menggiurkan. Tentunya semua proses dilakukan secara bi tu bi dengan “kewajaran-kewajaran” seperti disebutkan di awal tulisan ini tadi.

Lalu, timbul pertanyaan: apakah share-down, spin-off, dan divestasi itu bukan karena Pertamina sedang berdarah-darah karena keuangannya kegerus usaha di hilir mempertahankan harga BBM murah dan satu harga seluruh Indonesia ¾di tengah meningkatnya harga crude dunia yang sekarang sudah di atas sekitar $70 USD/bbl? Kalau dipikir-pikir ada juga faktor itunya, tapi ya itu tadi, istilah wong jowone, “Tutup Ketemu Tumbu”. Khan definisi sukses itu, “persiapan yang matang ketemu dengan kesempatan”. Nah, dalam hal ini persiapannya adalah rangkaian rencana share down, spin off dan divestasi. Kesempatannya adalah saat Pertamina disuruh mempertahankan harga BBM tetap rendah dan sama di seluruh negeri. Klop dah!

Mudah-mudahan semua proses yang sedang terjadi ini membawa kebaikan bagi negeri. Perkara ada yang coba-coba memanfaatkannya untuk nyari rezeki buat golongan atau pribadi dari proses-proses bi tu bi itu, ya, kita serahkan kepada yang berwenang untuk mengevaluasi. Apakah masih wajar saja atau sudah tidak bisa ditoleransi.

Yang aku lakukan hanya sekadar menuangkan sedikit pemahaman dan pengamatan, supaya sekelilingku jadi lebih pinter dan mengerti: nggak cuma lihat semuanya hitam dan putih.

Monggo.

Previous
Previous

Piramida Kontroversi Freeport Papua (1)

Next
Next

Tentang Video Viral Ceramah Cak Nun Tentang Energi dan Tanah Air yang Ditelanjangi