(Setelah Empat Tahun jadi Presiden)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Akhirnya.... Setelah empat tahun jadi presiden, barulah Jokowi mulai “menoleh” ke migas. Pagi ini tadi presiden kita menghadiri dan membuka event tahunan migas terbesar Indonesia “IPA CONVENTION” yang ke 42, yang berlangsung 2 – 4 Mei 2018 ini. Berturut-turut tiga tahun sebelumnya (2015, 2016, dan 2017) permintaan-permintaan untuk membuka acara IPA hanya didelegasikan ke Menko (2015), kemudian ke Menko lagi (2016), kemudian hanya ke level Menteri ESDM saja di 2017 kemarin.
Perlu juga dicatat bahwa ini semua terjadi setelah Oktober tahun lalu Jokowi menolak di depan publik ketika diminta oleh Tim Rembuk Nasional untuk jadi “panglima” energi (selain jadi “panglima” infrastruktur yang selama ini dilakukannya). Maksudnya waktu itu mbok ya beliau turun tangan langsung lebih serius membenahi masalah energi Indonesia seperti beliau turun tangan langsung di bidang infrastruktur. Alasan “keberatannya” waktu itu: mau fokus dulu di infrastruktur. Tapi rupanya dalam setengah tahun berikutnya, dengan naiknya harga minyak di atas 70$/bbl yang menekan kebijakan populis energi murah dan kebutuhannya untuk tetap eksis menjelang Pemilu 2019, Jokowi mulai sadar bahwa dia harus “mulai turun tangan” mendekati investor dan industri migas Indonesia. Mungkin karena dia juga mulai menyadari ketahanan energi kita mulai collapse.
Mudah-mudahan demikian adanya. Ada kemauan politik untuk lebih mendengarkan dan memperhatikan suara-suara dari industri migas (dan energi) Indonesia, meskipun sebagian besar itu dalam rangka memenangkan hati rakyat menjelang Pemilu 2019.
Satu lagi yang menarik; dalam sambutan pembukaannya, Jokowi juga menekankan perlunya eksplorasi dalam meningkatkan produksi migas kita ke depan, dan – ini dia serunya – dia seakan heran dan gak habis pikir (pakai geleng-geleng kepala, menurut pemberitaan CNN) kenapa tidak ada eksplorasi besar (oleh Pertamina) sejak tahun 1970 dan kenapa kegiatan eksplorasi semakin menurun saja.
Menariknya adalah setelah empat tahun berjalan seolah-olah pak presiden baru sempat mencerna data yang sebenarnya sudah bisa dicerna awal-awal pada saat dia mulai menjabat (data temuan eksplorasi Pertamina atau Indonesia sejak 1970).
Hal itulah yang kemungkinan mengakibatkan “lack of urgency - lack of crisis awareness” beliau selama ini tentang kondisi migas (dan energi juga sih) Indonesia. Kemungkinan selama ini Jokowi hanya terima laporan “selalu bagus dan aman-aman saja” tentang kondisi migas dan energi Indonesia dari para pembantunya. Mudah-mudahan kesadaran ini datangnya belum terlalu terlambat.
Ayo kita gunakan kesempatan baik ini untuk membenahi migas dan energi Indonesia. Termasuk utamanya meningkatkan eksplorasi dan produksi migas kita. Dan juga jangan lupa: peran BUMN dan BUMD Migas di dalamnya harus terus diberdayakan, diperkuat dan dibebaskan dari gangguan-gangguan politik jangka pendek kelompok kepentingan dan golongan-golongan.