Catatan Merah Putih, Diponegoro, dan Sequence Boundary
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Pagi ini aku email mas Agung KBRI Paris, “Upacara 17an di KBRI jam berapa?”
Sesampai ku di kantor jam 9:00 muncul jawaban email (dia sedang di Makkah naik haji, pantesan agak lama mbalesnya) dan info bahwa upacara 17an mulai jam 10:00 dan acara akan berlangsung sampai jam 13:00. Terima kasih mas Agung, semoga jadi haji mabrur. Aku pun segera bergegas nyengklak metro tekok kantor nang KBRI.
Ndik ngarep e gerbang KBRI 9:35 — sepi. Aku nanya ke penjaga, “Mas, ada upacara 17an?” “Ada pak, tapi bukan di sini, di Wisma Duta Boulevard Bineau,” “Waduh, jauh nggak, ya? “40 menitan dari sini pake kereta! Sekarang dah mulai kayaknya. Tapi ada ramah tamahnya koq pak, sampai siang.”
Tak pikir-pikir... Yo wislah, tak balik kantor ae. Upacara dewe ndik kantor. Tadi itu karepku mau ikutan bersama orang-orang sebangsa di luar negeri ini menyempatkan diri menghormat bendera menyanyikan Indonesia Raya sambil meresapi rasa syukur mendalam karena kita MERDEKA!!
Apalagi dalam satu – dua minggu terakhir ini aku sedang galau gak karuan moco buku Kuasa Ramalan e Peter Carey sing nyritakno Perang Jawa Diponegoro 1825 – 1830 dan kondisi sebelumnya dan kondisi sesudahnya sampai meninggalnya wong hebat iku. Aku galau dan getem-getem koq sampek begitunya ya sikap para penjajah itu dan sampek begitunya juga sikap raja-raja Jawa waktu itu. Opo iyo se asline sifat bangsaku koyok ngono? Kenopo koq gak setiap wong Indonesia iku koyok Ronggo, koyok Diponegoro? Misal e aku orip jaman iku mungkin aku udah dari awal-awal mati enom karena berontak, malah mungkin gak sempet melok pasukan e Diponegoro nglawan londo, karena mati disikan. Makanya sekarang ini makin tambah-tambah syukurku karena kita MERDEKA! Nggak ada lagi londo-londo penjajah iku!
Tapi beneran gitu nggak ya? Kenapa koq aku gak sregh beberapa tahun terakhir ini? Bahkan di upacara 17an tahun lalu di ESDM aku sempet mbrebes mili, ngrasakno kabeh iki. Dan ternyata jawabannya sebagian aku dapatkan setelah aku baca babad Diponegoro berbagai versi iku. Aku makin menyadari: Catatan-catatan tentang hubungan keraton, agama, dan penjajah itu, seperti terulang lagi situasinya sekarang-sekarang ini. Penjajahnya siapa? Siapa yang ribut di keraton? Agama diklaim siapa? Aku ada di mana? Sejarah seperti selalu mengulangi tragedinya sendiri. Seperti juga siklus bumi. Kalau mau memecah siklus itu, kita harus jadi anomali, jadi bagian dari sequence boundary!!!
Sampai di kantor kembali, aku injak bumi. Dunia nyata yang sedang aku hadapi.
Maka aku gambarkan bendera, aku print Garuda Pancasila, aku nyanyikan Indonesia Raya. Di ruang kerja kantorku sendiri. Sebagai ganti upacara yang tak sempat aku ikuti di KBRI.
Terima kasih ya Allah: atas kemerdekaan ini.