Semua Makhluk Berhak Belajar Sedimentologi

 
20200914.jpg
 

Dari 2001 sampai 2015 aku biasa ngajar dua - tiga kali setahun di Quarry Jalan Perjuangan belakang stadion Sempaja, Samarinda ini.

Di sini para peserta kursus maupun mahasiswa-mahasiswa aku tunjuki contoh geometri tubuh batupasir sepanjang 200 - 300 meter setinggi 25 - 30 meter yang sekarang mungkin tinggal sisa-sisa empat - lima meter dinding tebing bukit pasir saja karena terus menerus ditambang. (Note: aku mulai bikin pengukuran-penelitian di Perjuangan Quarry ini sejak tahun 1995 — aku masukkan deskripsinya dalam disertasiku juga). Dengan memahami geometrinya, maka peserta dapat merekayasa secara analogi bentuk serupa di bawah permukaan bumi, di mana mereka hanya mendapatkan satu data sumur pemboran yang menembus pasir berisi migas tersebut dan data seismik yang kadang bisa kadang gak bisa menggambarkan geometrinya secara jelas.

Demikianlah ritual pelajaran sedimentologi lapanganku itu. Aku gambar sketsanya dari kejauhan di atas kertas gambar, untuk memudahkan mereka melihat bentuk-bentuk itu dalam goresan sketsa yang aku gambarkan. Baru setelah mereka paham dari kejauhan, kemudian mereka aku minta mendekat atau menaiki tebing untuk menyentuh dan menganalisis sedimen itu langsung dari sejarak jangkauan tangan.

Nah, di salah satu sesi kuliah lapangan di tahun 2012, ketika aku menjelaskan ke serombongan mahasiswa tentang fenomena sekuen boundary (batas sekuen) yang bisa dilihat dari kejauhan lewat sketsa di atas kertas gambar, salah seorang mahasiswa mencoba mengambil foto sketsaku dari belakang. Hasilnya?

Ternyata ada peserta dari dunia lain yang ikut terekam. Aku juga baru dikasi tau anak-anak itu dua - tiga minggu setelah kejadian, karena foto itu sempet mereka edarkan dan mereka bahas penuh kehebohan sebelum akhirnya nyampe ke aku untuk dikonfirmasikan. “Bapak punya “gendongan”?”

WALAAAAAH.... Nggak lah, mungkin saja waktu itu ada peserta lokal yang setiap kali aku datang selalu memperhatikan, kali itu dia ingin dapat ilmunya lebih dalam.

Nah, kalau dihubung-hubungkan, ternyata saat 2012 itu adalah saat pertama kali aku menceritakan ke mahasiswa/peserta kuliah bahwa beberapa bulan/tahun kemarin penambangan batupasir di situ sudah mulai menyingkapkan batas sekuen Miosen Awa dengan Miosen Tengah (15,8 juta tahun yang lalu), di mana batupasir daratan dengan konglomerat dan pasirkasar silang siur langsung menumpuki sedimen lempung — batulumpur muka delta dari kedalaman sedemikian rupa sehingga diinterpretasikan waktu itu ada pengangkatan dan penggerusan yang sifatnya katastrofik (bencana).

DAN bencana itu ditandai dengan tersingkapnya tiga fosil tunggul/batang kayu dalam posisi tumbuh lengkap dengan akar menghunjam ke batas sekuen tapi terpapas/terpancung rata sekitar 1,5 meter dari dasar akar.

Fosil-fosil batang kayu itu berjarak sekitar 50 meter satu dengan lainnya, dikubur oleh lapisan konglomerat di bagian bawah berangsur menjadi batupasir kasar silang siur di bagian atasnya. Fosil-fosil kayu itu sudah ter-histometabasis menjadi petrified wood atau silicified wood dengan seluruh struktur kambium dan kulit-kulit kayunya dan akar-akarnya dan semuanya tergantikan oleh silika! Dahsyat!

Dan yang lebih dahsyat lagi. Bidang pancungan mereka yang membuat potongannya tinggal 1,5 meter itu rata halus dan sama semua tingginya.

Nah, pengetahuanku yang dangkal saat itu (dan sampai sekarang), tidak bisa menjelaskan proses geologi apa yang  bisa membuat hutan kayu zaman 15 juta tahun yang lalu bisa terpancung rata dan halus sependek 1,5 meter saja. Soal penguburannya oleh konglomerat dan kemudian perubahannya menjadi silika aku bisa menjelaskan dengan mudah bahwa itu semua jelas-jelas merupakan proses katastrofe banjir bandang melanda yang kemudian terkubur dan teraliri larutan silika cukup lama di kedalaman sana sebelum akhirnya terangkat tersingkap lagi ke permukaan sejak lima juta tahun yang lalu. Tapi soal pemancungan hutan sehingga menyisakan 1,5 meter tunggul kayu belaka dengan permukaan bidang pancung yang rata  kemungkinan proses non-geologilah yang menyebabkannya. Mungkin ada makhluk lain sebelum manusia modern ada yang melakukan pemancungan halus dan rata itu. Dari dulu juga setan, jin, dan malaikat sudah diciptakan duluan daripada manusia, ya kan?

Nah, itulah yang mulai kujelaskan ke mahasiswaku sejak 2012 kemarin. Mungkin saja karena sangat menariknya teori pemancungan hutan Miosen itu, sampai-sampai para turunan makhluk yang berasal dari jutaan tahun lalu itu muncul dan ikut menyimak ceritanya, mungkin lho... Wallahu’alam….

Yang jelas, tunggul-tunggul kayu itu sekarang sudah dijarah oleh para vandalis dan pemburu barang antik, meskipun aku sempat juga bikin surat ke Gubernur dan Dinas ESDM setempat untuk melindunginya. Dan aku lihat mereka memberi batas rafia kuning di salah satu tunggul itu beberapa bulan kemudian, tapi karena gak ada yang menjaga, setahun kemudian dan tahun-tahunsesudahnya tunggul-tunggul itu pun menghilang.. Hikkkssss….

Demikianlah ceritaku tentang semua makhluk berhak belajar sedimentologi kali ini.

Previous
Previous

Pelajaran Sabtu, 26 September 2020

Next
Next

Semburan Gas di Kranggan Bekasi, 5 September 2020 (Kampanye Kepedulian Keselamatan Masyarakat dari Bahaya Gas-Gas Dangkal di Daerah Pemukiman, Bisnis, dan Aktivitas Sosial)