Simple Complicated Geology (Keruwetan Geologi yang Sederhana) - Sequence Stratigraphy
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Atau kesederhanaan geologi yang diruwetkan?
Sequence stratigraphy seringkali menjadi jargon yang punya konotasi kerumitan tingkat tinggi dari pencapaian pengetahuan seseorang tentang lapisan batuan dalam ruang dan waktu. Hal ini berlaku terutama pada mereka yang tersesatkan dengan mengidentikkan sequence stratigraphy dengan hafalan istilah-istilah dan template (pola), bukan pada esensi pengertian konsepnya.
Dasar utama dari metoda stratigrafi adalah korelasi, yaitu menghubung-hubungkan satuan batuan dalam ruang dan waktu, sehingga kita dapat memperoleh gambaran tentang keadaan bumi di suatu luasan area tertentu pada waktu tertentu. Demikian juga pada sequence stratigraphy. metoda yang kita pakai tetap saja menghubung-hubungkan satuan batuan, hanya saja dalam hal ini satuan tersebut kita batasi bagian atas dan bawahnya dengan batas sekuen (sequence boundary alias SB). Lha terus apa bedanya sequence boundary dengan horizon waktu yang biasanya dipakai dalam konsep/metode stratigrafi konvensional? Ah, sequence boundary itu khan hanya jargon (istilah keren) saja. Sebenarnya SB itu ya horizon waktu juga, tetapi pengertiannya lebih luas dari sekadar kesamaan waktu, karena inherent dalam SB ada juga terkandung aspek ketidak-selarasan (unconformity) dan keselarasan (conformity); di mana unit di atas dan di bawah SB boleh tidak selaras (ada rumpang waktu), boleh juga selaras (tidak ada rumpang waktu).
Seperti contohnya pada situasi muka bumi di pinggir laut sekarang ini. Coba saja perhatikan: dari gunung sampai ke pantai pada umumnya proses yang terjadi adalah gross erosional, hanya di tempat-tempat tertentu yang minority saja ada pengendapan (sedimentasi), yaitu di sungai, di danau, dan di gurun (di gurun ini pun seringkali prosesnya bisa kita kategorikan sebagai recycle-sedimentation yang provenance-nya lokal, berbeda dengan danau dan sungai yang provenance-nya bisa dari jauh-upstream). Sementara itu dari garis pantai ke arah laut lepas (yaitu di bawah erosional base-level) proses yang terjadi adalah gross depositional hanya di tempat-tempat tertentu saja terjadi erosi/pengikiran (seperti di alur-alur runnel, submarine canyon, dan tidal channel). Nah, gross-erosional processes di terrestrial (daratan) tadi akan terus menerus membentuk rumpang waktu (ketidak selarasan), sementara gross depositional processes di laut akan terus menerus membentuk keselarasan, padahal pada saat ini garis waktu korelasinya sama, yaitu saat kita bicara ini. Pada gilirannya nanti ketika hasil-hasil proses erosi dan sedimentasi itu terekam dalam bentuk lapisan batuan, maka yang terlihat adalah endapan yang "tipis" di darat dibatasi garis batas imajiner yang diakronus (mencakup beberapa satuan waktu yang hilang) yang berhubungan sebagai sequence yang sama dengan endapan yang "lebih tebal" di laut yang dibatasi garis imajiner yang sinkronous (mencakup satuan waktu yang berurutan). Note: istilah "tipis" dan "lebih tebal" saya beri quote karena belum tentu seperti itu keadaannya, terutama apabila tektonik lokal terjadi aktif di daratan sehingga membuat sedimen-sedimen di danau/sungai menjadi lebih tebal daripada di transisi atau di laut.
Pada stratigrafi konvensional pada umumnya horizon korelasi diposisikan sebagai kesamaan waktu yang direpresentasikan oleh kesamaan fosil indeks, zona kisaran, zona kemunculan, zona kepunahan dan sebagainya. Saat horizon itu "menghilang" alias tidak muncul di suatu kolom stratigrafi tertentu, maka seringkali kita membayangkan bahwa horizon itu dulu ada tapi terus tergerus oleh proses pengangkatan/erosi sesudahnya, atau tidak ada yang diendapkan di situ pada waktu horizon tersebut diendapkan di tempat lain. Yang terakhir itu istilahnya adalah hiatus. Pada prakteknya garis korelasi sering kita hentikan untuk digambarkan digerus di lokasi tersebut (untuk merepresentasikan erosional/ketidak-selarasan) atau disatukan (wedging) dengan garis korelasi kesamaan waktu yang lebih tua di bawahnya (untuk merepresentasikan hiatus). Pada sequence stratigraphy kita bebas menghubungkan horizon kesamaan waktu yang urutan atas dan bawahnya selaras tersebut dengan horizon yang merepresentasikan rumpang waktu ketidak-selarasan maupun hiatus tersebut,kita beri nama semuanya sebagai batas sequence atau sequence boundary.
Kalau boleh sedikit menukik, sebenarnya dalam suatu cekungan sedimen lebih banyak yang tidak terawetkan (not preserved) dalam ketebalan batuan sedimen daripada yang terawetkan. Lebih banyak kehilangan-kehilangan, erosi, hiatus, yang tidak terwakili dalam satu kolom ketebalan batuan sedimen, dibandingkan dengan cerita sedimentasinya sendiri.
Perlapisan sedimen, laminasi, bedding, penumpukan sedimen, stratigrafi,... kalau dipikir-pikir sebenarnya adalah cerita-cerita katastrofe, cerita-cerita soal rumpang waktu, ketidak-selarasan, diskontinuitas, dan anomali. Karena ada perubahan-perubahan itulah maka terjadi laminasi, bedding, dan seterusnya. Jika semuanya berjalan selaras saja, maka tidak akan pernah terjadi marker (penanda) yang membedakan laminasi di bawah dengan di atasnya.
Jadi sebenarnya yang disebut sebagai keselarasan yang kita bahas terjadi di laut (yang gross depostional tadi) adalah sejatinya bukan keselarasan, selama kita masih bisa melihat adanya jejak perubahan laminasi di dalamnya.
Nah, itulah sederhananya sequence stratigraphy — tidak lebih dan tidak kurang dari kesederhanaan laminasi. Percis seperti hidup kita ini. Kontinuitas sebenarnya terdiri dari diskritisasi. Kita jadi besar dan berarti, berguna bagi orang lain dan mengabdi, bisa menjadi penanda minimal bagi diri kita sendiri dan lingkungan terdekat kita kalau kita menumpuk sedimen kejiwaan kita melalui proses-proses katastrofe alias ketidak-selarasan. Seperti vaksin, semua kesulitan dan cobaan, akan mendewasakan kita: minimal di mata Tuhan, dalam mengabdi.