Revisi Kebijakan Energi Nasional
(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)
(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
KEN (Kebijakan Energi Nasional) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah 79/2014 perlu direvisi, termasuk revisi bauran energi-nya, karena asumsi-asumsi kebijakannya sudah jauh berbeda dengan 11 tahun yang lalu ketika KEN dibuat. Yang paling mencolok adalah pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan 6.11% (2010), 8% (2015), 8% (2020), 8% (2025), 7.5% (2030), 7% (2040) dan 7% (2050) ternyata hanya berkisar di 5% saja 6% tahun terakhir ini dan tidak lebih dari 6% di empat tahun sebelumnya (Gambar 1). Dengan demikian maka proyeksi kebutuhan energi kitapun menjadi terlalu berkelebihan (Gambar 2). Akibatnya, saat ini kita oversupply dengan tenaga listrik yang membuat PLN mengalami kesulitan untuk memasarkannya.
Selain itu, Kondisi Lingkungan Strategis ENERGI Nasional dan Global sudah berubah dari asumsi dasar pembuatan UU Migas 2001, UU Energi 2007 maupun Kebijakan Energi Nasional 2009-2014. Indonesia sudah jadi net importer minyak bumi sejak 2004, kita sudah bukan anggota OPEC lagi sejak 2007 (meskipun kemudian masuk lagi di 2014 tapi keluar lagi 2016), cadangan gas kita tiga - empat kali lipat dari cadangan minyak, potensi tersisa cekungan-cekungan migas kita lebih ke gas prone daripada oil prone, dan juga tren global energy transition from fossil to renewable energy via gas dan ESG fund untuk investasi sudah tidak memprioritaskan investasi E&P minyak bumi —lebih ke investasi gas.
Oleh karena itu Kebijakan Bauran Energi kita seharusnya lebih ke gas daripada minyak bumi dan batu bara. Gas harus lebih diutamakan, yang di 2025 Cuma 22% menjadi 32%, dan di 2050 dari 24% menjadi 34%, crude-nya jadi tinggal 15% (2025) dan 10% saja (2050) (Gambar 3).
Sudah jelas bahwa kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan migas dari dalam negeri. Maka, untuk memperkuat ketahanan energi, seyogyanya kita mengadopsi strategi penguasaan aset-aset migas luar negeri langsung dari hulunya dan sekaligus kita kurangi persentase-nya dalam bauran energi; sementara batu bara yang relatif lebih berlimpah dari sumber energi primer lainnya masih tetap kita jadikan sebagai buffer (Gambar 4).
Selain itu, di dalam KEN yang baru seharusnya nuklir dibikin hitam/putih: YA/TIDAK, kalau perlu lewat voting di Paripurna DPR. sehingga tegas dan tidak abu-abu seperti KEN yang sekarang ini. Kalau perlu Nuklir sebagai sumber energi primer kita masukkan mulai 2030 sehingga pada 2050 porsinya pada bauran energi menjadi 10% atau 40 GigaWatt (Gambar 3).
UU Migas kita harusnya diubah judulnya menjadi Undang Undang Gas dan Minyak Bumi (UU GASMI) —bukan lagi MIGAS tapi GASMI. Hal ini sesuai dengan kondisi inheren dari potensi hidrokarbon Indonesia dan semangat transisi energi menuju EBT via GAS. Mestinya kita lebih fokus pada pengembangan penggunaan gas daripada minyak dan memprioritaskan pembangunan infrastruktur gas. Hal ini juga selaras dengan semangat revisi KEN di mana bauran energi harusnya lebih sangat dominan gas daripada minyak.
Di dalam UU Migas yang baru tupoksi badan pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS seharusnya dibuat supaya lebih memprioritaskan E&P Gas daripada Minyak Bumi. Juga di sektor tengah dan hilirnya harus diatur sedemikian rupa supaya GAS lebih difasilitasi pengembangannya daripada minyak bumi.
BUMN GASMI khusus sebagai pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS tidak dibebani dengan tupoksi mencari untung sebanyak-banyaknya dari kontrak pengusahaan E&P Migas, tapi lebih ke pemenuhan kebutuhan energi melalui GASMI untuk Indonesia (paradigma energi sebagai modal dasar penggerak pembangunan bukan sebagai penghasil revenue semata). Jadi, BUMN Khusus harus terbebas dari UU Perseroan Terbatas.
Program 1 juta BOPD dan 12 BCFGPD di tahun 2030 oke saja, tapi kita tetap akan terbebani CAD karena impor minyak akan terus meningkat, kecuali mulai sekarang kita bergeser ke GAS secara radikal seperti disebutkan di poin-poin di atas.
Khusus untuk kontrak migas, selain PSC Konvensional dan PSC Gross Split, coba dijajaki – ditawarkan insentif khusus untuk BASIN/PLAY OPENER, terutama untuk kontrak-kontrak migas non konvensional seperti Shale Gas dan CBM. Mereka yang jadi pionir dengan penemuan-penemuan baru di satu cekungan akan mendapatkan insentif khusus dengan split yang lebih tinggi dan sebagainya.
Debat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir: You Can’t Please Everybody
Perdebatan mengenai perlu tidaknya Indonesia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sepertinya belum akan berakhir, …
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Perdebatan mengenai perlu tidaknya Indonesia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sepertinya belum akan berakhir meskipun DPR telah menyetujui Kebijakan Energi Nasional 2015 – 2050 melalui Sidang Paripurna 28 Januari 2014 yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, pada tanggal 17 Oktober 2014 oleh Presiden SBY. Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 secara tegas menyebutkan bahwa “Pemerintah akan mendahulukan potensi Energi Baru dan Terbarukan sesuai dengan nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya (energi nuklir) sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat”. Penting diketahui bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Energi Nomor 30 Tahun 2007 dalam Pasal 11 ayat 2 disebutkan bahwa PP tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN) harus melalui persetujuan DPR.
Keputusan energi nuklir sebagai “the last resort” dalam skema energi nasional kembali ditegaskan dalam Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) ke-3 pada 22 Juni 2016 lalu. Sidang yang dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo yang juga sekaligus Ketua Umum DEN, serta dihadiri pula oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Wakil Ketua Umum DEN dan jajaran Kabinet Kerja, menetapkan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) yang merupakan penjabaran Strategi, Program dan Kegiatan dari KEN. Disepakati bahwa RUEN menempatkan implementasi PLTN sebagai pilihan terakhir dalam prioritas pengembangan energi nasional. Dengan kata lain, PLTN tidak akan dibangun dalam waktu dekat ini — paling tidak sampai 2025, dan pemerintah akan mengandalkan dan memprioritaskan Energi Terbarukan dan Energi Baru non-nuklir untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Dalam arahannya, Presiden sebagai Ketua DEN juga menyetujui opsi di mana dalam waktu ke depan Pemerintah menyusun roadmap implementasi pemanfaatan nuklir, karena Indonesia masih berlimpah dengan potensi sumber daya EBT lainnya.
Pro-Kontra
Hal yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah fenomena menarik yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu hampir dua tahun sejak ditetapkannya Kebijakan Energi Nasional sebagai Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, mulai terdengar pro kontra (lagi) di level pembuat dan pengambil kebijakan tentang urgensi pembangunan PLTN di Indonesia. Di antara suara-suara tersebut tidak sedikit yang mengatakan PLTN bukan sebagai pilihan terakhir tapi segera! Bahkan sebagian anggota DPR secara lantang menyuarakan agar Pemerintah atau DEN segera mengubah - merevisi Kebijakan Eenergi Nasional tersebut.
Menilik ke belakang, Kebijakan Energi Nasional yang ada saat ini adalah merupakan hasil yang disepakati baik oleh pihak legislatif maupun eksekutif, melalui proses politik DPR 2009-2014 yang disetujui pada sidang Paripurna DPR tanggal 28 Januari 2014. Bukan sesuatu yang aneh, memang, kalau kemudian DPR atau salah satu unsur pemangku kepentingan menentang sebuah kebijakan yang sudah diambil secara demokratis pada periode sebelumnya. Itulah buah dari demokrasi kita.
Wacana mengenai urgensi pembangunan PLTN sedikit banyak telah memecah konsentrasi DEN dalam melaksanakan mandat untuk menindak-lanjuti Kebijakan Energi Nasional dengan penetapan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Terjadinya kembali perdebatan tanpa akhir mengenai PLTN sedikit banyak telah memperlambat proses penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan supervisi pembuatan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang harus dilakukan oleh DEN, sebagai tindak lanjut dari keputusan yang diambil dalam Sidang Paripurna DEN, 22 Juni lalu.
Apabila memang DPR ingin memasukkan PLTN sebagai prioritas sumber energi Indonesia, maka sebaiknya DPR 2014 – 2019 mengambil inisiatif untuk merevisi PP No. 79/2014 tersebut melalui proses politiknya. Sementara itu, DEN dapat segera menyelesaikan RUEN dan melakukan supervisi pembuatan RUED tanpa harus menunggu lagi perubahan keputusan politik tentang PLTN ini. Apabila aspirasi untuk membangun PLTN dirasakan sangat kuat, tentunya DEN 2014 – 2019 dapat melakukan proses evaluasi dan revisi KEN, (termasuk urusan nuklir jika perlu) untuk kemudian usulan-usulan revisi tersebut diajukan kembali dan disetujui lagi oleh DPR masa bakti 2014 – 2019. Begitu juga selanjutnya: jika DPR periode berikutnya 2019 – 2024 tidak setuju dengan urusan nuklir hasil rekayasa DEN dan DPR periode 2014 – 2019, silakan saja diubah lagi tetapi dengan cara yang “prosedural-konstitusional”. Dengan demikian maka hal-hal yang mengatur Energi Baru dan Terbarukan (non nuklir) dalam RUEN dan RUED tidak terganggu.
You Can’t Please Everybody
Tidak ada satu keputusan yang bisa memuaskan semua pihak. Saya dan beberapa anggota DEN lainnya menyadari hal itu dan sangat mendukung PLTN untuk segera dibangun di Indonesia, namun kami juga menghormati keputusan “PLTN as the last resort” yang diambil melalui proses demokrasi yang panjang dan melelahkan. Namun catatan yang paling penting adalah percepatan penyediaan energi Indonesia yang sudah diambang krisis.
Berikut adalah terjemahan rumusan KEN dalam RUEN terkait dengan energi nuklir, antara lain:
Pemerintah akan tetap membangun reaktor nuklir skala laboratorium sebagai reaktor daya eksperimen untuk mengakomodasi dan mengembangkan keahlian para ahli nuklir Indonesia;
Pemerintah akan mendorong kerja sama dan hubungan internasional dalam nuklir agar tidak ketinggalan dari sisi penguasaan teknologi;
Pemerintah akan mengalokasikan dana yang cukup untuk mendorong riset-riset di bidang energi nuklir.