Debat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir: You Can’t Please Everybody

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Perdebatan mengenai perlu tidaknya Indonesia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sepertinya belum akan berakhir meskipun DPR telah menyetujui Kebijakan Energi Nasional 2015 – 2050 melalui Sidang Paripurna 28 Januari 2014 yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, pada tanggal 17 Oktober 2014 oleh Presiden SBY. Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 secara tegas menyebutkan bahwa “Pemerintah akan mendahulukan potensi Energi Baru dan Terbarukan sesuai dengan nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya (energi nuklir) sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat”. Penting diketahui bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Energi Nomor 30 Tahun 2007 dalam Pasal 11 ayat 2 disebutkan bahwa PP tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN) harus melalui persetujuan DPR.

Keputusan energi nuklir sebagai “the last resort” dalam skema energi nasional kembali ditegaskan dalam Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) ke-3 pada 22 Juni 2016 lalu. Sidang yang dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo yang juga sekaligus Ketua Umum DEN, serta dihadiri pula oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Wakil Ketua Umum DEN dan jajaran Kabinet Kerja, menetapkan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) yang merupakan penjabaran Strategi, Program dan Kegiatan dari KEN. Disepakati bahwa RUEN menempatkan implementasi PLTN sebagai pilihan terakhir dalam prioritas pengembangan energi nasional. Dengan kata lain, PLTN tidak akan dibangun dalam waktu dekat ini — paling tidak sampai 2025, dan pemerintah akan mengandalkan dan memprioritaskan Energi Terbarukan dan Energi Baru non-nuklir untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Dalam arahannya, Presiden sebagai Ketua DEN juga menyetujui opsi di mana dalam waktu ke depan Pemerintah menyusun roadmap implementasi pemanfaatan nuklir, karena Indonesia masih berlimpah dengan potensi sumber daya EBT lainnya.

Pro-Kontra

Hal yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah fenomena menarik yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu hampir dua tahun sejak ditetapkannya Kebijakan Energi Nasional sebagai Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, mulai terdengar pro kontra (lagi) di level pembuat dan pengambil kebijakan tentang urgensi pembangunan PLTN di Indonesia. Di antara suara-suara tersebut tidak sedikit yang mengatakan PLTN bukan sebagai pilihan terakhir tapi segera! Bahkan sebagian anggota DPR secara lantang menyuarakan agar Pemerintah atau DEN segera mengubah - merevisi Kebijakan Eenergi Nasional tersebut.

Menilik ke belakang, Kebijakan Energi Nasional yang ada saat ini adalah merupakan hasil yang disepakati baik oleh pihak legislatif maupun eksekutif, melalui proses politik DPR 2009-2014 yang disetujui pada sidang Paripurna DPR tanggal 28 Januari 2014. Bukan sesuatu yang aneh, memang, kalau kemudian DPR atau salah satu unsur pemangku kepentingan menentang sebuah kebijakan yang sudah diambil secara demokratis pada periode sebelumnya. Itulah buah dari demokrasi kita.

Wacana mengenai urgensi pembangunan PLTN sedikit banyak telah memecah konsentrasi DEN dalam melaksanakan mandat untuk menindak-lanjuti Kebijakan Energi Nasional dengan penetapan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Terjadinya kembali perdebatan tanpa akhir mengenai PLTN sedikit banyak telah memperlambat proses penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan supervisi pembuatan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang harus dilakukan oleh DEN, sebagai tindak lanjut dari keputusan yang diambil dalam Sidang Paripurna DEN, 22 Juni lalu.

Apabila memang DPR ingin memasukkan PLTN sebagai prioritas sumber energi Indonesia, maka sebaiknya DPR 2014 – 2019 mengambil inisiatif untuk merevisi PP No. 79/2014 tersebut melalui proses politiknya. Sementara itu, DEN dapat segera menyelesaikan RUEN dan melakukan supervisi pembuatan RUED tanpa harus menunggu lagi perubahan keputusan politik tentang PLTN ini. Apabila aspirasi untuk membangun PLTN dirasakan sangat kuat, tentunya DEN 2014 – 2019 dapat melakukan proses evaluasi dan revisi KEN, (termasuk urusan nuklir jika perlu) untuk kemudian usulan-usulan revisi tersebut diajukan kembali dan disetujui lagi oleh DPR masa bakti 2014 – 2019. Begitu juga selanjutnya: jika DPR periode berikutnya 2019 – 2024 tidak setuju dengan urusan nuklir hasil rekayasa DEN dan DPR periode 2014 – 2019, silakan saja diubah lagi tetapi dengan cara yang “prosedural-konstitusional”. Dengan demikian maka hal-hal yang mengatur Energi Baru dan Terbarukan (non nuklir) dalam RUEN dan RUED tidak terganggu.

You Can’t Please Everybody

Tidak ada satu keputusan yang bisa memuaskan semua pihak. Saya dan beberapa anggota DEN lainnya menyadari hal itu dan sangat mendukung PLTN untuk segera dibangun di Indonesia, namun kami juga menghormati keputusan “PLTN as the last resort” yang diambil melalui proses demokrasi yang panjang dan melelahkan. Namun catatan yang paling penting adalah percepatan penyediaan energi Indonesia yang sudah diambang krisis.

Berikut adalah terjemahan rumusan KEN dalam RUEN terkait dengan energi nuklir, antara lain:

  1. Pemerintah akan tetap membangun reaktor nuklir skala laboratorium sebagai reaktor daya eksperimen untuk mengakomodasi dan mengembangkan keahlian para ahli nuklir Indonesia;

  2. Pemerintah akan mendorong kerja sama dan hubungan internasional dalam nuklir agar tidak ketinggalan dari sisi penguasaan teknologi;

  3. Pemerintah akan mengalokasikan dana yang cukup untuk mendorong riset-riset di bidang energi nuklir.

Previous
Previous

(Mengenai “Menkeu Sri Sindir Arcandra Tahar”)

Next
Next

Kesaksian 20 Hari