Uncertain Future? (Let’s Make it More Certain, Then)
Bagi yang masih ragu tentang apa yang akan terjadi dengan energi kita di masa depan, you are not alone. Saya juga kok.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
“.....Oil and gas exploration and development faces an uncertain future that is not driven by supply and demand but rather public perception and acceptance; this is an industry-wide challenge that we are best-equipped to navigate together.....”
Di atas itu adalah cuplikan pesan Presiden AAPG (Rick Fritz) pada email ke anggota AAPG sebagai pengantar rencana Penggabungan (Merger) AAPG dan SPE, Selasa 25 Mei 2021.
Bagi yang masih ragu tentang apa yang akan terjadi dengan energi kita di masa depan, you are not alone. Saya juga kok. Tapi dari cuplikan di atas itu paling tidak kita tahu bahwa ada yang sedang bergerak mengantisipasi ketidakpastian itu. Asosiasi profesional migas dunia seperti AAPG Itu kelihatannya sudah mahfum dan siap bertindak untuk memitigasi dampak buruknya bagi profesi petroleum geologist, salah satunya dengan cara merger dengan asosiasi para insinyur perminyakan dunia yaitu SPE alias Society of Petroleum Engineer.
Terus, bagaimana kita-kita di Indonesia mengantisipasinya? Bagaimana ISPG/IAGI? Bagaimana IATMI, HAGI dan IPA? Bagaimana SKK Migas, Ditjen Migas, ESDM? Kok kelihatannya sampai sekarang tenang-tenang saja? Wacana tentang akan berakhirnya era migas itu sesekali muncul di komunikasi media sosial, tetapi jarang ada yang mau membahasnya berkepanjangan. Isu itu sering tenggelam oleh hiruk pikuk diskusi technicalities saling berbagi pengalaman dan semangat untuk terus bergerak di gemerlap semu dunia migas Indonesia (dan dunia?).
Kebijakan Energi yang Obsolete
Suasana gemerlap semu itu diakibatkan oleh implementasi kebijakan energi Indonesia yang unik sekaligus obsolete. Unik karena cara implementasinya seperti Sisipius Mendorong Bongkah Batu ke Atas Bukit, obsolete karena asumsi dasar kebijakan itu adalah situasi dan aspirasi Indonesia dan dunia tahun 2009 —yang bahkan sebelum pandemi ini pun sudah jauh berbeda dengan kondisi nyata, apalagi setelah 1,5 tahun pandemi ini.
KEN (Kebijakan Energi Nasional) kita masih MELENAKAN para energi-fossilis karena rencana resmi negara dan kenyataannya dari sisi supply-demand: kita masih akan terus ngeyel memakai minyak bumi di bauran energi, yakni: 25% di 2025 dan 20% di 2050.
Selain itu masih berkobar-kobar juga tekad dan usaha untuk memproduksi 1 juta BOPD 2030. Walau dengan itu pun kita masih akan tekor 1,2 juta BOPD dari sisi supply (total demand 2,2 juta per 2030), sehingga masih harus terus mengandalkan impor.
Aspirasi hijau dari berbagai kalangan NGO terus menggedor, tapi pemerintah kita dan sebagian besar pebisnis nasional plus makelar-makelar politik bisnis pencari rente, nampaknya masih ingin terus menikmati gurihnya duit minyak bumi. Bahkan (apalagi) ketika kita harus net-impor minyak bumi itu sejak 2004 yang lalu, maka makin banyaklah peluang bisnis dan pencarian rentenya.
Di panggung dunia, IEA merekomendasikan untuk menghentikan eksplorasi minyak bumi (dan batu bara) mulai 2025 untuk bisa mencapai target Zero Emission di 2050. Di dalam negeri fenomena hengkangnya para Majors (Oil Compamy) dari Indonesia juga musti dijadikan alarm untuk bersegera dengan antisipasi ke depan. Shell mau keluar dari Masela, Chevron mundur dari IDD, dan terakhir Conoco Philip Mei kemarin mengumumkan bahwa mereka akan pergi dari Blok Koridor.
Suara-suara dari masyarakat yang mengingatkan untuk segera merombak Kebijakan Energi Nasional dalam tiga - empat tahun terakhir ini kelihatannya belum direspon secara mendasar. Ada usaha improvisasi positif berupa: pembuatan Grand Strategy Energi Nasional, yang dalam tata urutan nomenklatur istilah dan perundangan formal tidak dikenal positioning-nya. GSEN merupakan usaha untuk tidak jadi Sisipius, oke lah. Tapi bahkan di dalam GSEN itu pun kita masih berhadapan dengan Obsoleteness yang sama terkait dengan Kebijakan Energi Nasional. Salah satunya: Bauran Energi yang masih keukeuh mau pakai Minyak Bumi lebih banyak daripada Gas di 2025 maupun 2050.
Masih Selalu Ada Niche untuk Minyak Bumi?
Ada yang berpendapat: tidak mengapa dunia sedang berubah menuju Energi Terbarukan, tapi kan minyak bumi masih akan terus dipakai, bukan sebagai pemain utama, tetapi pemain cadangan. Dan sebagai bahan baku, minyak bumi juga masih akan terus dipakai untuk jadi produk-produk petrokimia yang bermanfaat bagi umat manusia tanpa harus bikin emisi sebesar kalau dia dipakai sebagai sumber energi. Masih ada lah “niche” itu. Masih ada ruang bergerak itu. Beberapa perusahaan minyak mediocre dan kecil (yang jarang atau tidak pernah masuk di radar pemberitaan dunia) mencoba menyikapi situasi dengan memanfaatkan “niche” itu.
Tetapi kita juga tahu: “niche” —ruang khusus untuk terus menyuplai minyak dengan segala implikasi keuntungan bisnisnya itu akan diperebutkan oleh banyak pihak. Termasuk terutamanya oleh negara/perusahaan surplus minyak bumi. Dan kita sama-sama tahu, Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Surplus dari mana? Lha, wong kita net import minyak bumi je, sejak 17 tahun yang lalu.
Jadi Bagaimana Sebaiknya Kita Bertransisi Energi?
Kelihatannya mulai ada kesadaran di atas sana. Ide tentang perombakan-perubahan menuju Transisi Energi yang di depan sananya masih tidak pasti itu mulai diwacanakan di beberapa kelompok yang concern dengan energi Indonesia sejak awal pandemi 2020 yang lalu. Salah satunya di kelompok Bimasena yang dikomandani begawan energi kita Prof Subroto. Beberapa kali Bimasena mengadakan acara membahas bagaimana kita harus merombak regulasi menuju Transisi Energi. Mereka menyuarakan usulannya ke pemerintah secara resmi. Juga aktivis-aktivis ET di asosiasi-asosiasi METI, AESI, API, ASELI, APAMSI, dan sebagainya, tak henti-henti,nya selama pandemi 2020 sampai sekarang ini menggedor ruang publik webinar kita dengan materi2 penyadaran perlunya perombakan-perubahan regulasi menyangkut Transisi Energi ini.
Usaha pemerintah (ESDM) membuat Grand Strategi Energi di akhir 2020 dan mengemasnya dalam regulasi resmi (sampai sekarang belum keluar Perpresnya?) termasuk antisipasi yang perlu diacungi jempol, meskipun masih belum menjawab permasalahan secara konkret dalam bentuk eksekusi. RUPTL 2021-2030 juga lebih menekankan prioritas pembangkitan listrik dari PLTP (panas bumi) dan PLTA (air), meskipun masih banyak protes/ketidakpuasan dari para aktivis ET karena batu bara yang “kotor” masih tetap menjadi andalan —tidak juga ada rencana phase out-nya yang jelas.
Yang paling mutakhir: awal Juli kemarin ini DEN (Dewan Energi Nasional) mulai menyusun Peta Jalan Transisi Energi Menuju Energi Bersih yang jadi program utama mereka periode 2021-2025 ini. Dari segi tata urutan regulasi, mestinya sih peta jalan itu akan mengubah, merivisi, merombak PP79/2014 Kebijakan Energi Nasional termasuk di dalamnya mengubah bauran energi kita. Mudah-mudahan.
Tapi tetap saja gerakan-gerakan antisipasi yang saya uraikan di atas itu masih terkesan di atas kertas, rencana, peta jalan, imbauan, usulan, rekomendasi, wacana dan sejenisnya. IMPLEMENTASI-nya butuh infrastruktur kelembagaan dan politik dan aktor-aktornya yang paham, militan, dan konsisten menjalankan apa yang ada di atas kertas itu semua. Pengalaman kita dengan KEN (Kebijakan Energi Nasional, PP 79/2014) dan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional, Perpres 22/2017), keduanya seringkali hanya jadi rujukan verbal formal tanpa kekuatan mengikat yang berarti. Para pemimpin (sektor maupun sentral) yang kebetulan tidak begitu memahami dan atau menyerap roh inti dari aturan-aturan itu seringkali malahan bikin aturan pelaksana yang bertabrakan atau malah menindas aturan-aturan tertulis itu, demi pragmatisme kebutuhan sesaat anggaran-keekonomian yang jalan pintasnya dengan melanggar aturan-aturan besar tersebut. Soal batu bara misalnya, sampai sekarang angka-angka yang ada di KEN maupun RUEN itu nggak pernah ditaati, dilangkahi begitu saja.
Jadi? Reformasi juga lah itu kelembagaan dan para pemimpin eksekusinya. Atau, minimal, kita harus didik mereka terus menerus untuk bisa paham dan militan menjalankan rencana-rencana besar ini. Tapi, kalau sudah di atas sana, harusnya kita nggak perlu lagi lah mendidik orang-orang itu. Kan mestinya mereka adalah orang-orang pilihan yang mumpuni. Kecuali kalau memang sistemnya adalah sekadar bagi-bagi jatah balas jasa pasukan tanpa memperhitungkan kompetensi. Mau bagaimana lagi?
Gas! Gas! Gas! (Gaskeun Poll Gaes)
Di atas itu tadi baru usulan di tataran/level Kebijakan Energi besarnya. Bagaimana dengan usulan di sektor Energi MiGas yang di pembukaan tulisan kita jadikan referensi? Bagaimana harusnya kita bersikap di urusan MiGas ini?
Menyadari bahwa cadangan gas kita dua - tiga kali lipat dari cadangan minyak bumi (data 2020 ESDM gas 62.4 TCF, minyak bumi 4.2 BBO) dan potensi temuan baru cekungan-cekungan kita lebih banyak gas-nya daripada minyak bumi, maka sebaiknya kita lebih memprioritaskan gas daripada minyak bumi dalam rencana bauran energi Indonesia. Bauran gas versus minyak dengan perbandingan 25% : 20% di 2025 dan 20% : 22% di 2050 harus berani kita ubah menjadi 15% : 30% di 2025 dan 5% : 47% di 2050, misalnya. Tentunya perhitungan rincinya akan tergantung dari berapa banyak kita berani mengurangi pemakaian batu bara dan juga memasukkan nuklir sebagai sumber energi dalam bauran tersebut.
Nah, sambil merombak bauran energi dalam Kebijakan Energi Nasional supaya lebih ke gas daripada minyak dalam transisi energi ini, maka pada saat yang bersamaan kita harus terus menerus secara militan menjalankan paradigma Energi Sebagai Modal Dasar Pembangunan Bukan Sebagai Penghasil Revenue Semata dalam mengeksekusi persetujuan-persetujuan POD maupun terutama dalam merencanakan dan membangun infrastruktur-infrastruktur gas di Indonesia.
Untuk POD yang butuh insentif, berikan terus insentif-insentif itu. Terutama untuk POD-POD lapangan gas. Kalau perlu bahkan kurangi bagian pendapatan negara asalkan di mid-stream maupun hilirnya produk migas tersebut dapat memicu multiplier efek yang menghasilkan gain ekonomi yang lebih besar bagi negara.
Untuk infrastruktur gas, akan sangat ideal kalau Presiden perintahkan supaya sebagian besar pipa-pipa regional dan juga terminal-terminal regas dibangun dengan biaya/investasi pemerintah. Infrastruktur energi musti diperlakukan sebagai infrastruktur dasar ekonomi seperti jalan raya, pelabuhan dan jembatan.
18 BCFPD Gas 2030
Selain dua hal di atas, mari kita rombak sama-sama target 1 juta BOPD dan 12 BCFGPD di 2030 menjadi 18 BCFPD Gas 2030. Yang 1 juta minyak bumi itu kita substitusi dengan 6 miliar kaki kubik gas, ditambahkan pada target awal 12 miliar kaki kubik menjadi total 18 miliar.
Target produksi minyak buminya bagaimana? Gak usah dibikin targetnya. Toh, nantinya di 2030 kebutuhan minyak bumi di pembangkitan listrik maupun di bbm kendaraan transportasi darat akan jauh berkurang disesuaikan dengan target baru bauran energi kita yang lebih dominan ke gas daripada minyak. Tentunya juga target substitusi kendaraan ber-bbm dengan kendaraan listrik musti secara ketat diimplementasikan. Kalau keseluruhan operator kontrak migas di bawah SKKmigas berhasil discovery sampai bisa produksi 1 juta BOPD di 2030 itu ya alhamdulillah. Kalau nggak tercapai ya gak apa-apa.
Mudah-mudahan saja perhitungan baru bauran energi kita di 2030 (yang saya asumsikan akan dikerjakan oleh DEN periode ini dalam kerja Pembuatan Peta Jalan Transisi Energi) mencukupkan kebutuhan minyak bumi kita hanya dari produksi dalam negeri sehingga tidak perlu sampai import segala. Kalaupun mendatangkan dari luar negeri cukup dengan mengambil alokasi minyak bumi yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan migas nasional yang beroperasi di luar negeri, terutama Pertamina.
Gas di Indonesia Timur Masih Oke
Dalam konteks menggantikan target 1 juta BOPD jadi tambahan 6 BCFGPD pada target gas, maka menjadi penting untuk memaknai hasil pertemuan para ahli senior G&G Indonesia yang dikoordinir oleh ESDM baru-baru ini yang mengindikasikan banyak daerah di Indonesia Timur lebih gas-prone daripada oil-prone. Dan karena target 2030 adalah minyak bumi maka para ahli itu menyarankan untuk tidak fokus pada daerah-daerah yang banyak tersebut, tapi cukup di lima area yang kemungkinan masih ada minyaknya, yaitu: Seram, Timor, Warim, Salawati Trend, dan Buton.
Dengan perubahan target minyak menjadi gas seperti diusulkan di atas, maka alternatif area pencarian sumber hidrokarbon baru di Indonesia Timur tersebut jadi lebih banyak. Bahkan daerah-daerah yang sudah dicoret dari daftar seperti Arafura Selatan, Selaru, Boka, Gas di Mamberamo, Kelanjutan Trend Gas PNG ke daerah Warim Papua, semuanya dapat dijadikan target program eksplorasi masif lewat penawaran-penawaran blok baru dengan data-data baru dari KKP dan tentunya terms baru yang lebih menarik.
Biogenik, Non Konvensional, Basement, Vulkanik, Pra-Tersier, dan Hidrat
Dalam rangka Transisi Energi dari Energi Fossil menjadi Energi Terbarukan MELALUI GAS, kita perlu menengok ulang apa saja yang pernah diusulkan berbagai stakeholder migas beberapa tahun terakhir ini untuk mengakselerasi eksplorasi di Indonesia. Salah satunya adalah menggalakkan riset-riset (dasar dan terapan) G&G&E yang terkait dengan gas biogenik, migas non konvensional, migas di batuan dasar, migas di cekungan yang tertutup vulkanik, stratigrafi dan sistim minyak bumi pra tersier dan juga tentang gas hidrat.
Aspek gas dari berbagai objek riset tersebut di atas sangat dominan, meskipun tentunya masih ada juga alternatif mendapatkan minyak bumi dari reservoir non konvensional, dari batuan dasar, vulkanik dan atau di batuan pra-tersier Indonesia Barat. Revival (menghidupkan kembali) semangat riset di lembaga-lembaga riset dan perguruan tinggi kita terkait dengan objek-objek penelitian tersebut akan langsung meng-upgrade usaha kita bersama mengawal transisi energi ini menjadi relatif lebih pasti daripada statusnya yang sekarang ini.
Usaha-usaha terobosan kreatif sedang dilakukan oleh SKKMigas dan ESDM untuk memungkinkan kita semua memulai riset - eksplorasi migas konvensional, kelihatannya dimulai dari blok Rokan. Mudah-mudahan saja lancar.
Discovery cadangan gas raksasa di batuan dasar di Kaliberau Dalam oleh Repsol dua tahun yang lalu juga memberikan sinyal positif kepada pemerintah untuk terus mendukung dan memfasilitasi riset-riset dan eksplorasi terkait dengan basement reservoir kita. Mudah-mudahan saja dana riset untuk Badan Geologi dan Lemigas lebih ditingkatkan untuk menyasar obyek-obyek riset energi migas strategis itu. Kerjasama antara perusahaan kontraktor migas dengan lembaga riset dan perguruan tinggi memanfaatkan dana KKP mereka diharapkan juga dapat menyasar topik-topik strategis migas tersebut.
Halo Asosiasi Profesi
Uraian berbagai pemikiran terkait dengan transisi energi, migas dan kepastian masa depannya di atas itu akhirnya kembali ke sebagian pertanyaan di awal tulisan. Apa yang sudah (dan akan) dilakukan asosiasi profesi kita seperti ISPG/IAGI, HAGI, IATMI, IAFMI, dan chapter-chapter Indonesia dari Asosiasi-Asosiasi Permigasan dunia dalam rangka mengantisipasi ketidakpastian masa depan industri migas dunia (dan Indonesia) itu?
Apakah perlu meniru AAPG dan SPE dengan menggabungkan ISPG, IATMI, IAFMI dalam komunitas migas Indonesia? Atau jalan saja terus seperti sekarang ini dengan konsekuensi makin berkurangnya resources dana dan SDM karena persaingan pencarian volunteer dan sponsor yang makin ketat karena berkurangnya aktivitas industri migas kita?
Tentunya dari segi program peningkatan kompetensi dan advokasi regulasi terkait profesi, perlu juga dipertimbangkan berbagai uraian/analisis tentang gerak langkah dunia (dan Indonesia) di era transisi energi ini. Kompetensi-kompetensi terkait dengan gas, migas non konvensional, hidrat, dan terutama Energi Terbarukan perlu untuk mulai diprioritaskan. Prinsip-prinsip teknis bawah tanah dan permukaan terkait CCSU (Carbon Capture Storage and Usage) mustinya juga mulai banyak disasar dalam diskusi-diskusi dan acara-acara temu teknis.
Khusus untuk IAGI atau HAGI yang spektrum keprofesiannya lebih luas dari sekadar migas, perlu dipertimbangkan untuk mendiversifikasi kegiatan jadi lebih beragam. Keahlian rekayasa geosains seperti geoteknik dan hidrogeologi konstruksi fasilitas energi, geologi & geofisika lingkungan, teknologi injeksi/pembuangan limbah berbahaya di permukaan dan bawah permukaan, kesemuanya jadi penting untuk dijadikan fokus baru kegiatan keprofesian dalam rangka mengantisipasi berkurangnya peran migas kita ke depan.
Catatan Penutup
Jaman dominasi minyak bumi di Indonesia sudah berakhir. Yang masih terus mengandalkan minyak bumi untuk ketahanan energi Indonesia berarti tidak membaca perubahan data potensi G&G&E migas kita dan tidak peka terhadap luka sejarah politik energi dan keuangan negara yang diakibatkan oleh status net-impor minyak bumi Indonesia sejak 2004 (17 tahun lalu) sampai zaman pandemi 2021 ini. Kita masuk ke transisi energi menuju pemakaian energi terbarukan yang lebih bersih melalui fase utilisasi gas yang lebih mendominasi daripada minyak bumi dan insyaallah akan bisa mencapai dominasi ET 30, 40, 50 tahun dari sekarang ini.
Biarpun zaman batu, zaman perunggum dan jaman besi sudah berakhir, tetapi sampai sekarang manusia juga masih terus memakai batu, perunggu, dan besi untuk kehidupan sehari-hari. Dominasi minyak bumi di Indonesia memang sudah berakhir. Tetapi apakah profesi geologist, geophysicist dan engineer E&P minyak bumi di negeri kita juga segera berakhir, tergantung pada bagaimana kita semua mengantisipasinya.
Ketidakpastian masa depan industri dan profesional migas di Indonesia dapat lebih kita pastikan dengan menggariskan tegas rencana langkah perubahan dan mulai melangkah sekarang, bukan sekadar berwacana.
Monggo.
Thanks, DEN
Thanks DEN (Dewan Energi Nasional) and congrats for the first Plenary Meeting (Sidang Paripurna) with the President after three years vacant.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Thanks DEN (Dewan Energi Nasional) and congrats for the first Plenary Meeting (Sidang Paripurna) with the President after three years vacant.
About the stopping of fuel and lpg import in 2030: it’s gonna be tough, though, but it’s doable as long as President and his inner circle know for sure what the enablers are, and what does it take to have all those enablers realized.
Those will include radical deregulation of energy/oil and gas laws, and their follow up GR (PP) —including PP KEN (Kebijakan Energi Nasional) which have to be revised and (of course) Presidential Decree Perpres RUEN (Rencana Umum Energi Nasional), and most importantly: Minister Regulations (PerMen), which many times in the past did not really match with spirit of the regulation above them but always forced to apply.
Salam,
Andang BACHTIAR
DEN 2014 - 2017
Revisi Kebijakan Energi Nasional
(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)
(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
KEN (Kebijakan Energi Nasional) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah 79/2014 perlu direvisi, termasuk revisi bauran energi-nya, karena asumsi-asumsi kebijakannya sudah jauh berbeda dengan 11 tahun yang lalu ketika KEN dibuat. Yang paling mencolok adalah pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan 6.11% (2010), 8% (2015), 8% (2020), 8% (2025), 7.5% (2030), 7% (2040) dan 7% (2050) ternyata hanya berkisar di 5% saja 6% tahun terakhir ini dan tidak lebih dari 6% di empat tahun sebelumnya (Gambar 1). Dengan demikian maka proyeksi kebutuhan energi kitapun menjadi terlalu berkelebihan (Gambar 2). Akibatnya, saat ini kita oversupply dengan tenaga listrik yang membuat PLN mengalami kesulitan untuk memasarkannya.
Selain itu, Kondisi Lingkungan Strategis ENERGI Nasional dan Global sudah berubah dari asumsi dasar pembuatan UU Migas 2001, UU Energi 2007 maupun Kebijakan Energi Nasional 2009-2014. Indonesia sudah jadi net importer minyak bumi sejak 2004, kita sudah bukan anggota OPEC lagi sejak 2007 (meskipun kemudian masuk lagi di 2014 tapi keluar lagi 2016), cadangan gas kita tiga - empat kali lipat dari cadangan minyak, potensi tersisa cekungan-cekungan migas kita lebih ke gas prone daripada oil prone, dan juga tren global energy transition from fossil to renewable energy via gas dan ESG fund untuk investasi sudah tidak memprioritaskan investasi E&P minyak bumi —lebih ke investasi gas.
Oleh karena itu Kebijakan Bauran Energi kita seharusnya lebih ke gas daripada minyak bumi dan batu bara. Gas harus lebih diutamakan, yang di 2025 Cuma 22% menjadi 32%, dan di 2050 dari 24% menjadi 34%, crude-nya jadi tinggal 15% (2025) dan 10% saja (2050) (Gambar 3).
Sudah jelas bahwa kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan migas dari dalam negeri. Maka, untuk memperkuat ketahanan energi, seyogyanya kita mengadopsi strategi penguasaan aset-aset migas luar negeri langsung dari hulunya dan sekaligus kita kurangi persentase-nya dalam bauran energi; sementara batu bara yang relatif lebih berlimpah dari sumber energi primer lainnya masih tetap kita jadikan sebagai buffer (Gambar 4).
Selain itu, di dalam KEN yang baru seharusnya nuklir dibikin hitam/putih: YA/TIDAK, kalau perlu lewat voting di Paripurna DPR. sehingga tegas dan tidak abu-abu seperti KEN yang sekarang ini. Kalau perlu Nuklir sebagai sumber energi primer kita masukkan mulai 2030 sehingga pada 2050 porsinya pada bauran energi menjadi 10% atau 40 GigaWatt (Gambar 3).
UU Migas kita harusnya diubah judulnya menjadi Undang Undang Gas dan Minyak Bumi (UU GASMI) —bukan lagi MIGAS tapi GASMI. Hal ini sesuai dengan kondisi inheren dari potensi hidrokarbon Indonesia dan semangat transisi energi menuju EBT via GAS. Mestinya kita lebih fokus pada pengembangan penggunaan gas daripada minyak dan memprioritaskan pembangunan infrastruktur gas. Hal ini juga selaras dengan semangat revisi KEN di mana bauran energi harusnya lebih sangat dominan gas daripada minyak.
Di dalam UU Migas yang baru tupoksi badan pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS seharusnya dibuat supaya lebih memprioritaskan E&P Gas daripada Minyak Bumi. Juga di sektor tengah dan hilirnya harus diatur sedemikian rupa supaya GAS lebih difasilitasi pengembangannya daripada minyak bumi.
BUMN GASMI khusus sebagai pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS tidak dibebani dengan tupoksi mencari untung sebanyak-banyaknya dari kontrak pengusahaan E&P Migas, tapi lebih ke pemenuhan kebutuhan energi melalui GASMI untuk Indonesia (paradigma energi sebagai modal dasar penggerak pembangunan bukan sebagai penghasil revenue semata). Jadi, BUMN Khusus harus terbebas dari UU Perseroan Terbatas.
Program 1 juta BOPD dan 12 BCFGPD di tahun 2030 oke saja, tapi kita tetap akan terbebani CAD karena impor minyak akan terus meningkat, kecuali mulai sekarang kita bergeser ke GAS secara radikal seperti disebutkan di poin-poin di atas.
Khusus untuk kontrak migas, selain PSC Konvensional dan PSC Gross Split, coba dijajaki – ditawarkan insentif khusus untuk BASIN/PLAY OPENER, terutama untuk kontrak-kontrak migas non konvensional seperti Shale Gas dan CBM. Mereka yang jadi pionir dengan penemuan-penemuan baru di satu cekungan akan mendapatkan insentif khusus dengan split yang lebih tinggi dan sebagainya.
Debat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir: You Can’t Please Everybody
Perdebatan mengenai perlu tidaknya Indonesia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sepertinya belum akan berakhir, …
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Perdebatan mengenai perlu tidaknya Indonesia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sepertinya belum akan berakhir meskipun DPR telah menyetujui Kebijakan Energi Nasional 2015 – 2050 melalui Sidang Paripurna 28 Januari 2014 yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, pada tanggal 17 Oktober 2014 oleh Presiden SBY. Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 secara tegas menyebutkan bahwa “Pemerintah akan mendahulukan potensi Energi Baru dan Terbarukan sesuai dengan nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya (energi nuklir) sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat”. Penting diketahui bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Energi Nomor 30 Tahun 2007 dalam Pasal 11 ayat 2 disebutkan bahwa PP tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN) harus melalui persetujuan DPR.
Keputusan energi nuklir sebagai “the last resort” dalam skema energi nasional kembali ditegaskan dalam Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) ke-3 pada 22 Juni 2016 lalu. Sidang yang dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo yang juga sekaligus Ketua Umum DEN, serta dihadiri pula oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Wakil Ketua Umum DEN dan jajaran Kabinet Kerja, menetapkan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) yang merupakan penjabaran Strategi, Program dan Kegiatan dari KEN. Disepakati bahwa RUEN menempatkan implementasi PLTN sebagai pilihan terakhir dalam prioritas pengembangan energi nasional. Dengan kata lain, PLTN tidak akan dibangun dalam waktu dekat ini — paling tidak sampai 2025, dan pemerintah akan mengandalkan dan memprioritaskan Energi Terbarukan dan Energi Baru non-nuklir untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Dalam arahannya, Presiden sebagai Ketua DEN juga menyetujui opsi di mana dalam waktu ke depan Pemerintah menyusun roadmap implementasi pemanfaatan nuklir, karena Indonesia masih berlimpah dengan potensi sumber daya EBT lainnya.
Pro-Kontra
Hal yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah fenomena menarik yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu hampir dua tahun sejak ditetapkannya Kebijakan Energi Nasional sebagai Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, mulai terdengar pro kontra (lagi) di level pembuat dan pengambil kebijakan tentang urgensi pembangunan PLTN di Indonesia. Di antara suara-suara tersebut tidak sedikit yang mengatakan PLTN bukan sebagai pilihan terakhir tapi segera! Bahkan sebagian anggota DPR secara lantang menyuarakan agar Pemerintah atau DEN segera mengubah - merevisi Kebijakan Eenergi Nasional tersebut.
Menilik ke belakang, Kebijakan Energi Nasional yang ada saat ini adalah merupakan hasil yang disepakati baik oleh pihak legislatif maupun eksekutif, melalui proses politik DPR 2009-2014 yang disetujui pada sidang Paripurna DPR tanggal 28 Januari 2014. Bukan sesuatu yang aneh, memang, kalau kemudian DPR atau salah satu unsur pemangku kepentingan menentang sebuah kebijakan yang sudah diambil secara demokratis pada periode sebelumnya. Itulah buah dari demokrasi kita.
Wacana mengenai urgensi pembangunan PLTN sedikit banyak telah memecah konsentrasi DEN dalam melaksanakan mandat untuk menindak-lanjuti Kebijakan Energi Nasional dengan penetapan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Terjadinya kembali perdebatan tanpa akhir mengenai PLTN sedikit banyak telah memperlambat proses penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan supervisi pembuatan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang harus dilakukan oleh DEN, sebagai tindak lanjut dari keputusan yang diambil dalam Sidang Paripurna DEN, 22 Juni lalu.
Apabila memang DPR ingin memasukkan PLTN sebagai prioritas sumber energi Indonesia, maka sebaiknya DPR 2014 – 2019 mengambil inisiatif untuk merevisi PP No. 79/2014 tersebut melalui proses politiknya. Sementara itu, DEN dapat segera menyelesaikan RUEN dan melakukan supervisi pembuatan RUED tanpa harus menunggu lagi perubahan keputusan politik tentang PLTN ini. Apabila aspirasi untuk membangun PLTN dirasakan sangat kuat, tentunya DEN 2014 – 2019 dapat melakukan proses evaluasi dan revisi KEN, (termasuk urusan nuklir jika perlu) untuk kemudian usulan-usulan revisi tersebut diajukan kembali dan disetujui lagi oleh DPR masa bakti 2014 – 2019. Begitu juga selanjutnya: jika DPR periode berikutnya 2019 – 2024 tidak setuju dengan urusan nuklir hasil rekayasa DEN dan DPR periode 2014 – 2019, silakan saja diubah lagi tetapi dengan cara yang “prosedural-konstitusional”. Dengan demikian maka hal-hal yang mengatur Energi Baru dan Terbarukan (non nuklir) dalam RUEN dan RUED tidak terganggu.
You Can’t Please Everybody
Tidak ada satu keputusan yang bisa memuaskan semua pihak. Saya dan beberapa anggota DEN lainnya menyadari hal itu dan sangat mendukung PLTN untuk segera dibangun di Indonesia, namun kami juga menghormati keputusan “PLTN as the last resort” yang diambil melalui proses demokrasi yang panjang dan melelahkan. Namun catatan yang paling penting adalah percepatan penyediaan energi Indonesia yang sudah diambang krisis.
Berikut adalah terjemahan rumusan KEN dalam RUEN terkait dengan energi nuklir, antara lain:
Pemerintah akan tetap membangun reaktor nuklir skala laboratorium sebagai reaktor daya eksperimen untuk mengakomodasi dan mengembangkan keahlian para ahli nuklir Indonesia;
Pemerintah akan mendorong kerja sama dan hubungan internasional dalam nuklir agar tidak ketinggalan dari sisi penguasaan teknologi;
Pemerintah akan mengalokasikan dana yang cukup untuk mendorong riset-riset di bidang energi nuklir.
Kesaksian 20 Hari
Minggu yang lalu dan bahkan sejak awal September 2016 beredar berita dan kesaksian tentang betapa dalam 20 hari, antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016, pemerintah kita telah berhasil menyelamatkan uang negara miliaran dolar, …
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Dirilis dengan suntingan di Opinikatadata.co.id.
Minggu yang lalu dan bahkan sejak awal September 2016 beredar berita dan kesaksian tentang betapa dalam 20 hari, antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016, pemerintah kita telah berhasil menyelamatkan uang negara miliaran dolar dari industri migas dan beberapa keputusan revolusioner telah dikeluarkan oleh Pemerintah dalam 20 hari itu sehingga bisa menggerakkan industri migas/energi di Indonesia. Klaim-klaim itu terutama menyangkut 4 hal yaitu: 1. Blok Masela, 2. Proyek IDD Selat Makassar, 3. Blok Migas Natuna Timur, dan 4. PP79/2010. Anehnya sampai sekarang tidak ada konfirmasi ataupun bantahan resmi dari pihak-pihak terkait tentang benar-tidaknya klaim-klaim tersebut.
Sebagai bagian dari pertanggungjawaban moral atas pengetahuan dan akal budi yang dianugerahkan oleh Allah SWT, saya terpanggil untuk menuliskan hal-hal berikut untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat dan juga penguatan kepada sahabat-sahabat saya dari Houston yang kebetulan mendapatkan cobaan masuk ke dalam pusaran karut-marut pengelolaan energi kita. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai kontribusi dan sekaligus dukungan kepada Pemerintah dan Negara untuk bersama-sama memperbaiki tata kelola energi/migas Indonesia melalui sharing penjelasan-penjelasan sebagai berikut:
Setahu saya, sampai saat ini tidak ada satu pun dari pihak Inpex (sebagai pihak yang akan mengerjakan proyeknya) yang mengiyakan/setuju bahwa anggaran Masela yang 22 miliar dolar sudah bisa diturunkan sampai 14 Milyar dolar, dan sama sekali tidak ada pertemuan khusus yang membahas dan mengambil kesepakatan tentang hal itu antara ESDM dengan Inpex maupun dengan SKKMigas yang nantinya mengawasi pelaksanaan proyek itu. Bedakan antara "punya pendapat bahwa biaya bisa diturunkan sampai 14 miliar" dengan "bisa menurunkan biaya Masela sampai 14 miliar". Siapa pun (dengan pengetahuan dan pengalaman bahkan kurang dari 20 tahun dan lokalan dalam negeri saja) bisa saja membuat hitung-hitungan tapi masalahnya: apakah hitung-hitungan itu bisa dilaksanakan oleh pelaksana proyeknya nantinya atau tidak? Selama belum dilakukan persetujuan – negosiasi, klaim bahwa seseorang bisa menurunkan biaya dari 22 menjadi 14 miliar itu jadi klaim yang menggelikan!! (Kawan-kawan wakil rakyat yang percaya begitu saja dengan klaim itu akhirnya jadi nampak menggelikan juga.)
Klaim bahwa dalam 20 hari seorang individu (juga) telah berjasa menurunkan harga proyek IDD dari 12 miliar dolar menjadi 9 miliar dolar juga klaim yang absurd dan mengada-ada. Karena, sama dengan klaim soal Masela, sampai saat ini tidak ada satu pun pihak Chevron yang merasa sudah pernah bicara dan negosiasi dengan ESDM maupun SKKMigas membahas tentang dan setuju dengan penurunan biaya IDD proyek tersebut. Bahwa proyek yang seolah "ditinggalkan" oleh Chevron dua tahun lalu karena tidak beraninya pemerintah memutuskan naik dari 9 ke 12 miliar dolar itu sekarang dievaluasi ulang sehingga kemungkinan bisa "masuk" dengan harga tetap 9 miliar dolar: itu wajar-wajar saja karena dua – tiga tahun lalu harga minyak masih di atas 100 dolar sementara sekarang sudah berkisar 35 – 45 dolar per barel. Jadi, sekali lagi, siapa pun yang mengevaluasi ulang harga IDD proyek pasti juga akan keluar dengan harga yang relatif lebih rendah dari harga dua – tiga tahun yang lalu, karena services juga sudah "turun" harganya mengikuti turunnya harga minyak dunia. Tetapi apakah bisa turun sampai 9 miliar dolar lagi: itu masih harus didiskusikan dengan pihak Chevron sebagai pelaksana. Dan tentunya dalam 20 hari dari akhir Juli sampai pertengahan Agustus kita sama-sama tahu: tidak ada negosiasi meeting itu dilakukan oleh pemerintah dengan Chevron. Sekali lagi: itu adalah klaim yang menggelikan. (Dan lagi-lagi, yang percaya dengan klaim itu kalau memang dia paham dengan urusan migas pasti dia hanya bercanda saja — karena lucu, atau memang yang percaya itu gak ngerti dengan urusan migas sama sekali babar blass.)
Soal klaim bahwa dalam kurun waktu 20 hari antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016 sudah terjadi satu kali pertemuan antara ESDM, Pertamina, dan partner-partnernya di Blok Natuna Timur yang menyepakati PSC contract-nya juga adalah klaim yang mengada-ada. Yang jelas: Selasa 23 Agustus ada perintah mendadak dari ESDM untuk menyelesaikan PSC Contract East Natuna paling lambat 1 September 2016, yang kemudian pada Rabu 24 Agustus tim-tim dari Pertamina, Exxon, SKKMigas, dan lainnya tergopoh-gopoh datang ke Yogyakarta diundang oleh petinggi-petinggi Ditjen Migas untuk merundingkan PSC Contract tersebut. Lagi-lagi, tentunya, perundingan itu gak beres juga dalam sehari itu. Kalau memang beneran antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016 sudah disepakati PSC Contract East Natuna, ngapain juga ada perintah dari ESDM supaya diselesaikan 1 September dan ngapain juga semua tergopoh-gopoh meeting di Yogyakarta 24 Agustus itu. Lagi-lagi klaim bahwa East Natuna PSC sudah diselesaikan dalam 20 hari antara 27 Juli sampai 15 Agustus merupakan klaim yang menggelikan, dan anehnya tidak ada satu pun tulisan terbuka yang mempertanyakannya. Ajaib.
Yang lebih bombastis lagi adalah klaim bahwa PP79/2010 (yang selama lima tahun terakhir ini menjadi hantu penyebab menurunnya minat eksplorasi dan eksploitasi investor-investor migas di Indonesia) telah disepakati revisinya dan tinggal tandatangan Presiden Jokowi saja nampaknya sampai sekarang hanya jadi klaim angin surga saja. Masih diperlukan usaha negosiasi politik birokrasi inter-departemen terutama dengan Kementrian Keuangan untuk bisa keluar dengan pasal-pasal revisi PP79/2010 yang disetujui dua belah pihak (ESDM dan Kemenkeu). Bahwa Kementrian Keuangan mulai ambil langkah serius untuk duduk bersama ESDM membahas revisi PP79/2010, itu pun sebenarnya hasil kerja keras dari ESDM dari Mei 2015 sampai Juli 2016 yang lalu di mana lewat Komite Eksplorasi Nasional secara resmi ESDM tak henti-hentinya menyuarakan "Cabut PP79/2010 supaya usaha E&P Migas Indonesia bisa bangkit kembali". Kemenko Ekonominya, Pak Darmin Nasution, mulai bikin Tim Khusus revisi PP79/2010 setelah pidato Pak Darmin di IPA Convention Mei 2016. BKFnya Kementrian Keuangan juga mulai serius membahas tentang kemungkinan revisi tersebut setelah FGD-FGD Komite Eksplorasi Nasional pada kurun waktu Januari sampai Juni 2016. Itu pun sampai sekarang (12 September 2016) belum ada kata sepakat dari Kementrian Keuangan untuk penghapusan pasal-pasal krusial dalam PP79/2010, meskipun berkali-kali (hampir tiap minggu dalam tiga minggu terakhir ini) selalu diumumkan bahwa "minggu depan insyaallah revisi PP79/2010 sudah ditekan presiden". Industri Migas Indonesia harap-harap cemas menunggu realisasi janji klaim ini dari ESDM dan Kemenkeu.
Mudah-mudahan tulisan di atas bisa dijadikan penyemangat oleh para eksekutif (maupun legislatif wakil rakyat) dalam membangun industri energi/migas Indonesia ke depan. Dalam hal ini, paling tidak, para penyelenggara negara kita itu jadi lebih waspada dan kritis dengan klaim-klaim sepihak yang belum tentu benar adanya. Kalaupun klaim-klaim itu benar, paling tidak dimohonkan untuk segera mengumumkan hasil akhir resminya dalam bentuk dokumen-dokumen negara maupun perjanjian-perjanjian yang mengikat dan bisa disaksikan oleh dan meyakinkan seluruh rakyat Indonesia.
Allahuakbar, allahuakbar, walillahilhamd.