Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Gempa Malang

Gempa Malang kemarin, sing kenek parah iku sing lokasine sepanjang garis lemah patahan Lumajang - Sumenep iku — yaitu daerah Dampit Kab. Malang dan Tempursari Kab. Lumajang. 

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Gempa Malang kemarin, sing kenek parah iku sing lokasine sepanjang garis lemah patahan Lumajang - Sumenep iku — yaitu daerah Dampit Kab. Malang dan Tempursari Kab. Lumajang. 

Lek daerah Malang Kota mungkin mek sekadar diayun-ayun ringan ae. Kecuali di tempat-tempat yang punya bidang lemah arah NNE SSW podho karo arah e patahan Lumajang Sumenep itu (tapi belum terpetakan karena ketutup endapan vulkanik).

Mungkin ada juga daerah-daerah sekitar Turen dan Sitiarjo (Kab. Malang) yang kena pengaruh gempa itu lebih kuat dari daerah lainnya karena dari Sitiarjo ke Turen itu ada juga patahan-patahan arah NNE SSW (patahan kali banteng, aku karo arek-arek AMC ndisik 2006 tau neliti iku), yang punya potensi jadi amplifier rambatan gelombang gempa dari Selatan.

Waktu Webinar tentang Mitigasi Bencana Gempa Tsunami Malang tanggal 30 Maret kemarin dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) aku sudah mengingatkan untuk memitigasi daerah Sumbermanjing Wetan ini dan Daerah Lumajang dimana selain masuk di area zona bidang patahan Lumajang - Sumenep juga karena kemungkinan ada endapan-endapan kuarter semi consolidated yang bisa menguatkan rambatan gelombang gempa dari arah Selatan.

Setengah jam menjelang landing Paris. Ini tadi browsing berita-berita gempa terus ingat beberapa bahan yang aku share ke masyarakat di webinar Mitigasi Bencana Malang akhir Maret wingi sebelum peluncuran album Melembutkan Batu, terus tak orat oret gambar-gambar ndik pesawat.

Mugo manfaat.

 
Gempa Malang 1.jpeg
Gempa Malang 2.jpeg
Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Semburan Gas di Kranggan Bekasi, 5 September 2020 (Kampanye Kepedulian Keselamatan Masyarakat dari Bahaya Gas-Gas Dangkal di Daerah Pemukiman, Bisnis, dan Aktivitas Sosial)

Menurut laporan dan berita, semburan setinggi 20 - 30 meter itu berlangsung lebih dari setengah hari sampai kemudian setelah dilakukan pengerukan lubang dengan batu dan pasir dan karung (?)  makin lama semburan makin mengecil, dan pada hari Minggu sore (36 jam kemudian) semburan tinggi tinggal hanya menjadi rembesan gas dan air saja di sekitar lubang asal. 

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Mungkin anda semua sudah pernah melihat video viral terlampir sejak Sabtu 5 September 2020 kemarin, yang menunjukkan kejadian semburan gas beserta air, pasir dan lumpur dari lubang pemboran air yang dilakukan di area halaman dekat dengan kolam renang di daerah Kranggan. Kalau belum, silakan tonton sekarang dan mengamati betapa meriahnya (sekaligus agak merinding terbayang bahayanya) semburan material-material dari dalam bumi itu ke udara. Menurut laporan dan berita, semburan setinggi 20 - 30 meter itu berlangsung lebih dari setengah hari sampai kemudian setelah dilakukan pengerukan lubang dengan batu dan pasir dan karung (?)  makin lama semburan makin mengecil, dan pada hari Minggu sore (36 jam kemudian) semburan tinggi tinggal hanya menjadi rembesan gas dan air saja di sekitar lubang asal. 

Apa yang terjadi?

Apa yang sebenarnya terjadi di dalam bumi penampangnya saya gambarkan di Gambar 1. Lokasi pemboran di Kranggan itu terltak 2 - 3 kilometer di tenggara dari area lapangan migas Jatinegara (JNG) di perbatasan DKI-Bekasi daerah Cipayung-Kranggan-Cibubur (Gambar 2 dan 3).

Pemboran air dalam rangka mencari sumber air (kemungkinan) untuk industri air kemasan atau untuk sumber air kolam renang atau kebutuhan lainnya tersebut dilakukan di area yang sejak delapan tahun yang lalu (2012) telah saya kampanyekan sebagai daerah bahaya gas dangkal baik lewat Facebook Januari 2012 maupun lewat presentasi ke Pemerintah DKI November 2012. 

Kampanye delapan tahun yang lalu itu bisa dibaca di sini. (Gambar 4)

Sayangnya waktu itu saya belum sempat presentasi ke pemerintah Kota Bekasi dan juga ke PemProv Jawa Barat. Saya berharap sih, lewat Facebook itu pemerintah atau orang pemerintahan Bekasi dan Jawa Barat bisa dapat info juga dan proaktif bertindak. Atau mungkin dalam bincang-bincang dengan dinas terkaitnya yang setara Pemerintah DKI sempat juga menyinggung hal tersebut ke rekannya di PemProv Jawa Barat ataupun di Kota Bekasi. Rupanya hal yang saya harapkan itu tidak terjadi, sampai kemudian terjadilah semburan gas-air-lumpur di Kranggan hari Sabtu kemarin ini.

Untuk melengkapi pemahaman anda semua, saya lampirkan juga capture dari bahan-bahan presentasi saya ke PemProv DKI DInas Industri dan Lingkungan Hidup pada November 2012, 8 tahun yang lalu (Gambar 5 dan 6).

Jadi, bagaimana kejadiannya?

Dari kronologi kejadian, menurut informasi verbal, terjadi hilang lumpur/air terlebih dulu ke dalam lubang pada waktu pemboran sampai di kedalaman 99 meter, kemudian pertama kali yang keluar adalah gas tanpa air. Setelah rembesan gas cukup lama, maka kemudian terjadi tendangan/semburan air bersama gas sampai setinggi 20 meter dengan suara bergemuruh (lihat Video) dan semburannya berwarna kehitam-hitaman.

Hilang lumpur disusul dengan tendangan/semburan itu sering dikenal dengan istilah loss and kick. Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh hisapan dari rongga batu gamping Parigi yang kemudian diikuti oleh tendangan/semburan air yang mengikut belakangan. Warna kehitam-hitaman kemungkinan disebabkan oleh pasir vulkanik Citalang/Kaliwangu yang biasanya jadi reservoir air tawar di bagian dangkal ikut tergerus dan terbawa keluar.

Fenomena serupa juga dialami oleh sumur-sumur pemboran migas di Lapangan JNG 3 - 4 kilometer di Barat Laut dari lokasi pemboran Kranggan. Tetapi, karena prosedur keselamatan lubang di pemboran migas lebih rinci dan lebih siap, maka kesemuanya itu sudah biasa diantisipasi dengan pemasangan 30” casing diikuti dengan 20” casing dan penggunaan fracseal dan berat lumpur yang tepat untuk mengatasinya. Aman-aman saja akhirnya.

Singkatnya yang terjadi adalah sumur pemboran air yang tidak dilengkapi dan dipersiapkan untuk menembus lapisan migas dangkal telah menembus kantong gas biogenik di lapisan batugamping Parigi, sehingga terjadi semburan liar gas-air-pasir dan lumpur ke permukaan atau blow out.

Apakah semburan bisa jadi seperti Lumpur Lapindo atau Bleduk Kesongo?

TIDAK! Karena di area Kranggan ini kita tidak berhadapan dengan fenomena Gunung Lumpur, tetapi fenomena gas biogenik dangkal yang terperangkap dalam Batu Gamping yang volumenya terbatas.

Gas biogenik yang terkandung di Gamping Parigi di daerah ini volumenya terbatas karena lempung penutupnya tipis dan kondisinya terpisah-pisah (kompartementalisasi) oleh patahan. Dalam dua hari saja tekanannya sudah menurun drastic, kemudian bakal merembes satu - dua bulan atau lebih lama , tergantung hubungannya dengan kompartemen lain di bawah permukaan.

Gas biogenik kompiosisinya 99% metana dan mudah terbakar.

Kemungkinan besar efek dari semburan gas di Kranggan tersebut, lapisan-lapisan akuifer air tawar yang dangkal di sekitar lokasi untuk beberapa saat akan terasa seperti tercampur / kontaminasi dengan hidrokarbon (gas metana). Hal ini akan berlangsung satu - dua bulan atau lebih, tergantung dari aktivitas rembesan gas yang masih terus terjadi di bekas lubang pemboran.

Bagaimana penanggulangannya?

Khusus untuk penanganan paska kejadian di bekas lubang bor air dan sekitarnya, sebaiknya pemilik lahan menutup lubang dengan teknik penyemenan sedemikian rupa sehingga lubang dapat tertutup permanen dan rembesan gas terhenti, sehingga tidak membahayakan area sekitar.

Selama rembesan gas masih berlangsung, harus dipasang tanda peringatan bahaya di perimeter tiga - lima meter di sekitar lubang bor, supaya tidak didekati dengan membawa percik api ataupun bara yang bisa menyulut kebakaran.

Tentunya monitoring LEL level harus terus dilakukan sampai benar-benar didapatkan nilai nol di atas lubang bor (yang saat ini ditutupi batu-batu dan tanah / karung(?) menurut info berita), barulah kemudian daerah itu dinyatakan aman.  

Bagaimana langkah ke depannya?

Untuk menghindari hal serupa terjadi lagi di masa depan, Pemerintah Bekasi maupun DKI harus secara ketat menerapkan dan monitoring persyaratan pemboran air tanah dalam untuk tidak melebihi 40 meter kedalaman khususnya di daerah Cipayung-Kranggan-Cibubur ini.   

Selain itu kampanye keselamatan aktivitas pembangunan/konstruksi/industri I daerah Cipayung-Kranggan-Cibubur ini harus terus dilakukan, terutama untuk memitigasi bahaya adanya gas dangkal di daerah ini. Disarankan dengan sangat: pengeboran air tanah tidak melebih kedalaman 60 meter. Antara 60 – 100 meter hanya ada lempung saja, tidak ada lapisan pembawa air. Kalau lebih dalam lagi, bahaya gas mengancam.

 
Gambar 1

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 2

Gambar 3

Gambar 3

Gambar 4

Gambar 4

Gambar 5

Gambar 5

Gambar 6

Gambar 6

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Gunung Lumpur Kesongo

Bleduk Kesongo atau Mud Volcano Kesongo sudah muncul di permukaan seperti itu dari ratusan tahun lalu (catatan sejarah dari prasasti kerajaan-kerajaan jawa) bahkan kemungkinan sejak beberapa (puluh) ribu tahun yang lalu (inferensi dari stratigrafi dan pelamparan lumpur serupa di Bleduk Kuwu yang sejalur dengan Bleduk Kesongo — lihat collage foto).

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Bleduk Kesongo atau Mud Volcano Kesongo sudah muncul di permukaan seperti itu dari ratusan tahun lalu (catatan sejarah dari prasasti kerajaan-kerajaan jawa) bahkan kemungkinan sejak beberapa (puluh) ribu tahun yang lalu (inferensi dari stratigrafi dan pelamparan lumpur serupa di Bleduk Kuwu yang sejalur dengan Bleduk Kesongo — lihat collage foto).

Fenomena geologi ini terjadi di jalur fisiografi yang disebut Jalur Kendeng di mana terdapat lapisan lempung/lumpur bertekanan tinggi di bawah permukaan bumi yang kalau ada bidang lemah yang bisa mereka terobos maka akan muncul ke permukaan berupa gunung-gunung lumpur tersebut. Jalur Kendeng itu melampar Barat-Timur dari daerah Sangiran-Purwodadi, ke timur di Sidoardjo, sampai ke Selat Madura di bawah air laut di utara Situbondo sana.

Air yang keluar bersama lumpur itu umumnya adalah air asin yang asalnya dari air laut yang terendapkan bersama dengan sedimen lempung/lumpur tersebut. Air asin dengan kadar borax tinggi itu sangat digemari oleh binatang-binatang — termasuk kerbau-kerbau penduduk yang digembalakan di sekitar Bleduk tersebut — karena banyak mengandung nutrient garam untuk tubuh mereka.

Kejadian serupa di Bleduk Kesongo — yaitu meletusnya lumpur dan gas untuk beberapa waktu - terjadi juga 2013 alias tujuh tahun yang laku (dari berbagai sumber berita). Dan mestinya terjadi juga setiap beberapa tahun sekali sebelumnya. Hal ini merupakan bagian dari mekanisme pelepasan tekanan yang sudah menumpuk sedemikian lama karena sumbatan sedimen-sedimen lumpur yang mulai mengeras di lubang diatrema utama setelah letusan besar sebelumnya. Kejadian ini akan terus berulang secara periodik, bahkan mungkin sampai ribuan tahun ke depan karena kondisi tektonik Jalur Kendeng tersebut memang selalu dalam keadaan tertekan dan lapisan-lapisan lumpur tekanan tinggi itu masih terus ada di bawah permukaan. 

Apa yang menyebabkan lumpurnya berwarna hitam dan kelihatan menyeramkan begitu?

Aslinya mineral-mineral lempung pembentuk lumpur tersebut, yaitu montmorillonitesmectite (dan illite: yaitu smectite yang kehilangan ikatannya dengan air), warnanya abu-abu — di permukaan... Warna hitam itu kemungkinan karena tercampur dengan karbon organik baik dari lingkungan pengendapan asalnya yang terus menjadi satu dengan lumpur tersebut di kedalaman asal ataupun karbon organik dari sedimen-sedimen di kedalaman yang lebih dangkal yang ikut terbawa/tergerus oleh gerakan naik lumpur tersebut dari kedalaman..

Kondisi reduksi yang ditandai dengan munculnya karbon-karbon organik tersebut juga yang menyebabkan banyak terbentuknya gas belerang yang keluar bersamaan dengan lumpur tersebut — selain juga kemungkinan gas metana seperti diamati di beberapa Bleduk yang lain di sepaniang jalur Mud Volcano Kendeng tersebut.

Gas belerang, panasnya temperatur lumpur, tekanan semburan lumpur dan kemugkinan gas metana yang muncul bersamaan dengan erupsi lumpur itulah yang berbahaya untuk manusia — dan kerbau-kerbau itu tentunya.

Mudah-mudahan penduduk sekitar terus menerus bisa menyesuaikan diri dengan kondisi alam yang seperti itu, apalagi kalau memang mereka secara turun temurun mereka sudah terbiasa hidup di daerah tersebut.

Apakah semburan Lumpur Kesongo ini punya potensi bencana kayak Lumpur Lapindo?

Kasus erupsi/semburan mud volcano di Kesongo ini agak berbeda dengan kasus semburan lumpur Lapindo yang akhirnya sama-sama jadi Gunung Lumpur juga (walaupun juga sama-sama berada di Jalur Kendeng). Di kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, underground blow out yang tidak bisa ditangani oleh tim pemboran akhirnya memicu terbentuknya retakan bidang lemah di bawah permukaan bumi yang nyambung sampai ke permukaan, yang kemudian jadi saluran terbebaskannya lumpur bertekanan tinggi dari dalam bumi mengalir ke permukaan jadi Gunung Lumpur baru.

Note: sebagian ahli mengatakan retakan itu terbentuk karena gempa Yogyakarta yang jauhnya 250 kilometer di arah barat daya tanpa ada retakan-retakan berarti lainnya muncul di antara kedua lokasi yang terpisah jauh itu, sehingga claim tersebut tidak begitu populer di kalangan para saintis dan praktisi migas dan kebumian. Tetapi teori itulah yang dipakai secara politis dan bisnis untuk menjelaskan dan menyelsaikan kasus Lapindo sampai saat ini. 

Nah, di Kesongo ini semburan-semburan itu untungnya bukan dipicu oleh aktifitas pemboran, tapi kemungkinan oleh karena sudah terlalu mampet-nya sumbat diatrema exising mud volcano dan terlalu kuatnya tekanan yang sudah terkumpul di bawah sumbat itu selama tujuh - delapan tahun sejak terakhir kali dia meletuskan lumpurnya. Lagi pula, di daerah Kesongo ini memang dari zaman sejarah dulu orang-orang sudah tahu bahwa gunung lumpur itu sudah ada dan mengejawantah.

Beda dengan yang di Sidoarjo. Di lokasi pemboran dan dalam radius 500 hektar yang sekarang jadi kolam gunung lumpur itu semula sama sekali tidak ada gunung lumpurnya di permukaan. Sekarang saja maka daerah itu dikenal sebagai daerah manifestasi gunung Lumpur, tapi sebelumnya adalah sawah, perumahan, pabrik, sekolah, dan jalan raya dan sebagainya yang ratusan tahun (mungkin juga ribuan tahun) sebelumnya aman-aman saja.

Apakah lokasinya selalu sama? Atau setidaknya bisakah ditandai lokasi-lokasi yang berpotensi bahaya serupa?

Lokasi jalur besarnya sama ... ya Jalur Kendeng iku. Secara lebih detail dari segmen ke segmen sangat tergantung dari (dikontrol oleh) adanya PATAHAN yang membatasi antiklin-antiklin yang inti antiklinnya di dalam bumi sana dipenuhi diapir lumpur tersebut.

Nah lewat bidang lemah patahan itulah lumpur-lumpur itu keluar-tersumbat-keluar-tersumbat dan seterusnya.

Dalam kurun waktu 100 - 200 tahun mungkin saja tempat keluarnya di bidang lemah patahan yang itu-itu saja, tapi bisa jadi 300 - 400 tahun kemudian keluarnya pindah ke segmen patahan yang lainnya tapi masih dalam satu kemenerusan dengan patahan semula, di mana sebelumnya di daerah yang baru itu patahannya masih belum terlalu lemah bidangnya (masih belum rupture lagi dari tekanan menerus setelah proses rupture sebelumnya).

Di Bleduk Kuwu ada indikasi bahwa pusat semburannya bergeser arah barat atau timur sejak beberapa ratus (ribu?) tahun yang lalu karena di kedua arah tersebut di mana tidak terdapat semburan aktif ternyata ada endapan lumpur serupa yang lebih tebal dari lokasi semburan utama. 

(Pengamatanku di Mud Volkano sepanjang Separi-Batuputih-Loahaur-Sakakanan di Kalimantan Timur juga mengkonfirmasi bahwa gunung-gunung lumpur itu berpindah-pindah lokasi aktivitas tapi tetap dalam jalur yang relatif sama.. Gunung lumpur yang aku petakan tahun 2002 di Batuputih, sekarang sudah mati dan posisi gunung lumpur yang aktifnya sekarang justru ada di bagian sebelah selatannya dan seterusnya.)

Masyarakat apa ga bisa dikasih penyuluhan akan risiko yang mungkin terjadi yo..?

Kalau mereka turun temurun dari sejak zaman nenek moyangnya memang asli dari situ kemungkinan mereka sudah paham betul dengan fenomena erupsi bledug itu.. Kehebohan yang muncul dari komentar-komentar yang keluar dari video maupun korban kerugian kerbau yang digembalakan yang sebagian belum/tidak diketemukan mungkin itu memang sudah bagian dari spontanitas pembangkitan lonceng kesadaran/kearifan lokal mereka yang sejak kejadian kemarin dan atau tujuh tahun yang lalu itu mulai meredup/terlupakan dan dengan kejadian ini mereka harusnya akan mulai waspada dalam beraktifitas di sekitar bledug tanpa harus deket-deket banget ke (bekas) pusat semburan aktifnya..

Semoga kita semua makin cerdas dan bijaksana hidup berdampingan dengan dan di lokasi-lokasi yang proses geologinya punya potensi mendatangkan bencana, seperti di Bleduk Kesongo ini.

Wassalam.

 
Lumpur Kesongo 1.jpg
Lumpur Kesongo 2.jpg
Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Catatan Akhir Tahun: Tsunami, Gempa, dan Likuefaksi (Pelajaran tak Henti-Henti untuk Bangsa yang Nggak Ngerti-Ngerti.)

Apakah selama ini rezim-rezim pemerintahan kita sudah "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia" dari bencana gempa bumi, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, banjir dan longsor dan kebakaran, seperti diamanatkan di pembukaan UUD45 di atas?

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Apakah selama ini rezim-rezim pemerintahan kita sudah "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia" dari bencana gempa bumi, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, banjir dan longsor dan kebakaran, seperti diamanatkan di pembukaan UUD45 di atas?

Belum!

Kita hanya sibuk tergopoh-gopoh menyelamatkan yang selamat, mengevakuasi yang mati, mengobati yang luka dan merehabilitasi infrastruktur yang hancur rusak karena bencana. Rezim-rezim pemerintahan kita selama ini gak begitu serius, gak begitu peduli, cenderung abai dengan mitigasi dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman/potensi bencana.

Buktinya, peringatan Prof. Katili tahun 1970 supaya Palu tidak dijadikan ibu kota/pusat pertumbuhan karena potensi bahaya gempa patahan Palu-Koro-nya pun tidak ditindaklanjuti. Sampai akhirnya kejadian Gempa-Tsunami Palu 2018 kemarin itu memakan korban seribu lebih nyawa melayang dan miliar-triliunan rupiah infrastruktur rusak hingga hancur berantakan. Jelas terlihat bahwa kita tidak melindungi segenap kehidupan rakyat Palu dan sekitarnya karena kita mengabaikan rekomendasi/usulan dari Prof. Katili itu.

Ada lagi! Peta Potensi Bahaya Likuefaksi di Palu yang dibikin 2012 oleh lembaga pemerintahan sendiri pun (Badan Geologi) tidak dipakai sebagai acuan untuk mengatur tata ruang di situ. Tidak ada program mitigasi lanjutannya. Tidak ada penegakan aturan pembuatan bangunan yang disesuaikan dengan kondisi tektonik aktif daerah tersebut. Tidak dibikin pelatihan-pelatihan massal ke masyarakat untuk menyelamatkan diri kalau ada bencana. Akibatnya, ketika sudah terjadi kejadian gempa tsunami, ribuan nyawa melayang, miliar-triliunan harta benda, rumah, dan infrastruktur hilang dan hancur berantakan. Nah, apalagi istilah yang dapat diberikan untuk respons pemerintah (pusat maupun daerah) atas peta zonasi bahaya likuefaksi yang resmi dibikin pemerintah sendiri tapi nggak pernah diimplementasi sampai terjadi bencana dan banyak korban begini kalau bukan abai, nggak peduli, dan salah langkah antisipasi? Sekali lagi jelas terlihat bahwa, pemerintah kita belum melindungi segenap kehidupan bangsa (rakyat Palu dan sekitarnya) dengan tidak menindaklanjuti peta likuefaksi tersebut.

Dan yang akhir tahun ini sedang berlangsung adalah ancaman terjangan tsunami di Selat Sunda yang menjadi kenyataan 22 Desember 2018 lalu. Itu pun dengan kemungkinan masih ada lagi “susulan”nya di hari-hari mendatang, tergantung dari ketepatan prediksi tentang ada/tiadanya material-material vulkanik Anak Krakatau yang masih bisa longsor ke laut dalam jumlah besar — meskipun katanya hari ini, 31 Desember 2018, sudah mulai reda batuk-batuknya. Korban nyawa sudah mencapai 400 – 500an dan masih mungkin bertambah karena ada yang hilang. Selain itu rusaknya bangunan rumah, hotel, dan infrastruktur umum lainnya karena terjangan tsunami bisa mencapai ratusan miliar dan mungkin triliunan untuk merehabilitasinya. Padahal, berbagai analisis ilmuwan sebelumnya sudah dipublikasikan tentang kemungkinan tsunami akibat gempa Megathrust selat Sunda (Widjokongko, 2018; Natawidjaya, 2014) ataupun akibat longsornya tubuh gunung api Anak Krakatau (Giachetti, dkk, 2012 - termasuk peneliti BPPT Dr. Budianto - Didit - Ontowiryo sebagai co-author-nya). Tapi, nggak pernah analisis-analisis dan rekomendasi-rekomendasi ilmiah sampai menjadi kebijakan yang diimplementasi jadi program-program mitigasi — sampai akhirnya kejadian bencananya datang, dan semuanya menyesali! Apakah pemerintah kita sudah melindungi segenap bangsa rakyat Banten dan Lampung dan para pelancong dari berbagai daerah di pantai-pantai Selat Sunda dari bahaya tsunami? Dari uraian di atas jawabnya jelas: Belum!!

Gak Ngerti-Ngerti Juga

Padahal seolah-olah tak henti-hentinya Allah memberikan pelajaran/peringatan ke kita supaya BENAR-BENAR MELAKUKAN MITIGASI YG BENAR, SERIUS, TERUKUR DAN ANTISIPATIF. Bukan hanya tergopoh-gopoh melakukan respons waktu terjadinya bencana, tapi bersiap dengan segala kegiatan mitigasi yang BIAYANYA JAUH LEBIH KECIL DARIPADA KERUGIAN AKIBAT BENCANA YANG SAMA SEKALI TIDAK DIANTISIPASI. Tetapi, meskipun tak henti-hentinya pelajaran diberikan kepada kita, sampai sekarang GAK NGERTI-NGERTI JUGA KITA.

Buktinya: himbauan-himbauan untuk ambil pelajaran dari bencana-bencana itu untuk segera bikin usaha mitigasi di lokasi-lokasi lain dengan prediksi rawan terhadap gempa, tsunami, dan likuefaksi pun sudah dituliskan (malah sudah diteriakkan), tapi tak kunjung dilakukan oleh pemerintah. SEMUA SIBUK MENJELASKAN APA YG TERJADI DAN PENYEBABNYA. Bahkan duit budget anggaran direlakan untuk memastikan survei-survei AFTER THE FACT yang tidak mungkin bisa menghidupkan yang mati atau menegakkan kembali bangunan-bangunan yang rusak atau ditelan bumi. Masih mending setelah itu kita rame-rame FOKUS PADA PROYEK-PROYEK REHABILITASI (itu pun masih juga ada yang dikorupsi). Tapi, kita sama sekali lupa bahwa hal serupa bisa juga terjadi di daerah-daerah lain yang sebenarnya sudah distudi oleh ilmuwan2 kita dengan berbagai tulisan paper dan buku mereka dimana-mana di forum-forum ilmiah.

Sudah Terjadi Puluhan – Belasan Tahun yang Lalu.

Bukan hanya akhir-akhir ini saja ke”nggak ngerti”an bangsa ini terjadi. Beberapa belas tahun yang lalu, peringatan dari ilmuwan peneliti tentang Megathrust Simelueu sebelum gempa tsunami Aceh 2004 pun tidak pernah sampai di pengambil kebijakan untuk ditindak-lanjuti. Padahal sebelumnya Danny Hilman Natawidjaya telah meneliti siklus periodisitas gempa-tsunami Simeuleu itu dan menjadikannya tulisan Disertasi dan juga mempresentasikannya di forum-forum ilmiah (Natawidjaya, 2004).

Masih belasan tahun yang lalu juga, peringatan dari IAGI bahwa swarming effect gempa tsunami Aceh akan merambat ke selatannya nggak diantisipasi dengan bijak oleh pemerintah hingga muncul gempa Nias, Mentawai, dan lainnya di 2005 dan tahun-tahun berikutnya.

Secara normatif sering kali himbauan pemerintah adalah, “tetap tenang dan waspada, jangan terpengaruh isu-isu yang tidak bertanggungjawab,” dan sebagainya. Tapi, tidak ada usaha-usaha fisik untuk mengurangi risiko bencana itu secara proporsional.

BKMG, BNPB, Badan Geologi

Bagaimana dengan lembaga-lembaga yang sudah dibentuk pemerintah untuk urusan bencana-bencana kebumian itu? Apakah mereka pernah belajar dari bencana-bencana itu dan makin mengerti untuk melakukan Mitigasi?

BMKG nampaknya tidak melakukan mitigasi. BMKG hanya memberitakan, kalau telah terjadi gempa, di mana dengan besaran berapa dan mengeluarkan peringatan akan ada tsunami atau tidak. Setelah gempa terjadi terus rame-rame menjelaskan itu semua karena apa (penunjaman lempeng, sesar mendatar, atau yang populer akhir-akhir ini: karena longsoran), kemudian diakhiri dengan, “tetap tenang dan waspada”.

BNPB juga usaha mitigasinya nggak pernah terekspos dan jadi bagian penting program kelembagaan karena fokusnya di Penanggulangan (walaupun ada juga bagian mitigasinya). Paling banter, setelah kejadian, BNPB akan berperan juga di rehabilitasi — meskipun kita sama-sama tahu leading sectornya di rehabilitasi itu kementerian PUPR dengan dana pembangunan sarana fisiknya.

Badan Geologi yang tupoksinya banyak terkait dengan usaha mitigasi seperti menerbitkan peta zona bahaya gunung api — yang memang sudah cukup bagus ¾ dan juga Peta Likuefaksi seperti yang di Palu itu, nampaknya juga kurang punya gigi untuk terus mendesakkan peta-peta hasil mitigasinya ke lembaga-lembaga terkait lainnya untuk ditindak-lanjuti.

Where Next?

Kalau (rezim pemerintahan) kita mengerti, maka seharusnya peringatan-peringatan bencana kebumian yang berturut-turut terjadi itu juga menyiapkan kita semua untuk melakukan mitigasi di daerah-daerah yang sudah berkali-kali diidentifikasi oleh para peneliti mempunyai potensi serupa untuk terjadi.

Kapan waktunya? Ada yang periodisitasnya sudah bisa diprediksi dengan standar deviasi 25 – 50 tahun, ada juga yang belum bisa diprediksi tapi besaran bencana (kekuatannya) sudah bisa dikira-kira akan terjadi. Kapan akan terjadi? Bisa besok pagi, bisa tiga – empat bulan lagi (pas Pemilu ?), bisa dua tahun lagi, bisa sepuluh tahun lagi. Yang jelas, mereka PASTI akan bergerak lagi.

Makanya jadi lebih penting untuk menyiapkan diri.

Bagaimana persiapan dirinya? Yang belum sepenuhnya diteliti, ayo lebih diteliti, luangkanlah uang biaya budget untuk meneliti yang hasilnya sering kali berupa tulisan di atas kertas, peta-peta, zonasi, grafik-grafik, dan sejenisnya yang bukan berupa jalan tol, jembatan, ataupun bendungan seperti yang selalu dibangga-banggakan selama ini. Meskipun begitu, hasil kertas berupa peta-peta itu bisa nantinya menyelamatkan jalan tol, jembatan, dan infrastruktur-infrastruktur mahal itu kalau benar-benar diikuti rekomendasinya.

Selain itu, kalau alat-alat peringatan dini dan alat-alat untuk meneliti belum lengkap ayo kita lengkapi. Pasang GPS di pulau-pulau kecil di depan zona subduksi untuk memonitor lengkungan vertikal yang terjadi karena menahan gerakan lempeng yang nantinya akan “pecah” energinya jadi gempa dan tsunami. Juga buoy-buoy yang harganya satu miliaran itu untuk peringatan dini tsunami. Ayo diperbaiki, diperbarui, ditambahi, terutama di daerah-daerah potensi yang akan diuraikan di bawah ini.

Dibutuhkan juga evaluasi zona-zona pemukiman dan infrastruktur umum di daerah lintasan gempa dan Zona rendaman tsunami! Kalau masih ada yang bangun di area sempadan pantai: bongkar saja dengan segala konsekuensinya.

Cek kelayakan konstruksi bangunan-bangunan di daerah-daerah potensi gempa dan tsunami. Kalau masih nggak cocok dengan kode bangunan konstruksinya maka harus diperingati, diperkuat, atau direkayasa (fisik, teknik, finansial) supaya nantinya kuat tahan goyangan gempa (dan tsunami). Kalau belum ada peta detail zonasi gempa/kode bangunan konstruksinya ya dibikinlah peta zonasi detailnya. Pakai biaya pemerintah!

Mulai lakukan latihan-latihan berkala untuk menghadapi bencana-bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi itu. Anggaran latihan-latihannya alokasikan khusus dan jangan diganggu gugat untuk dipakai lainnya. Supaya nantinya nggak banyak korban kalau bencana terjadi.

Di bawah ini daftar potensi bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di daerah-daerah yang sudah pernah distudi oleh para ilmuwan Indonesia maupun luar negeri yang disusun berdasarkan prioritas kemungkinan masifnya bencana dan kerugian yang terjadi.

Di 15 zona daerah inilah perlu difokuskan mitigasi. Sebelum telat nantinya berturut-berturut bencana itu terjadi. ITUPUN KALAU (PEMERINTAH) KITA NGERTI.

  1. Gempa - Tsunami Megathrust Mentawai (Barat Padang-Bengkulu)

  2. Gempa-Tsunami Megathrust Selat Sunda (Banten, Lampung, Bengkulu, SumBar, Jabar, DKI, Jateng, DIY, Jatim)

  3. Gempa-Tsunami Pelabuhan Ratu - Cimandiri (Sesar Mendatar Cimandiri)

  4. Gempa Sesar Mendatar Lembang

  5. Gempa Sesar Naik Surabaya - Bojonegoro

  6. Gempa dan Tsunami Sesar Naik Selat Madura

  7. Gempa dan Tsunami Palu- Koro segmen selatan ke Teluk Bone

  8. Gempa dan Tsunami Sesar Naik Offshore Sulawesi Barat (Mamuju dan sekitarnya)

  9. Gempa dan Tsunami sepanjang pantai Sulawesi Utara dari Zona penunjaman Sulawesi Utara

  10. Gempa dan Tsunami Tarakan dari Zona penunjaman Sulawesi Utara

  11. Gempa sepanjang 12 segmen Sesar Sumatra (yang di Bengkulu hari ini aktif 5.7 SR)

  12. Gempa Sesar Baribis (Jawa Barat Utara - DKI)

  13. Gempa dan Tsunami Megathrust selatan Jember - Banyuwangi

  14. Gempa dan Tsunami Megathrust Selatan Bali/Lombok/Sumbawa

  15. Gempa dan Tsunami dan Liquifaksi Sesar Sorong dan Zona Penunjaman utara Papua.

Catatan Akhir Tahun-Tsunami.jpg
Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Apakah Kejadian Gempa Lombok Bisa Merembet ke Bali terus ke Jawa Timur?

Bisa.

Jalur sesar naik Kendeng di Jawa Timur (yang membatasi zona Kendeng dengan zona Randublatung) GENESA nya atau mula kejadiannya hampir sama dengan Flores Back Arc Thrust system yang jadi tempat berlangsungnya Gempa Lombok.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Bisa.

Jalur sesar naik Kendeng di Jawa Timur (yang membatasi zona Kendeng dengan zona Randublatung) GENESA nya atau mula kejadiannya hampir sama dengan Flores Back Arc Thrust system yang jadi tempat berlangsungnya Gempa Lombok.

Mula jadi penyebabnya adalah tekanan penunjaman terus menerus dari arah selatan oleh lempeng Samudra Hindia ke bawah busur kepulauan (pulau Jawa – Nusa Tenggara) yang sempet “ditahan” oleh kehadiran jajaran gunung api di jalur magmatik tapi kemudian “lepas energi”nya karena sudah melewati “daya-tahan” jalur gunung api itu untuk menahan tekanan dari selatan itu. Hanya saja Flores Back Arc Thrust muncul di Laut Utara Flores-Sumbawa-Lombok-Bali. Kalau di Jawa Timur ekspresi permukaannya ada di sepanjang Selat Madura dan berlanjut ke darat di sepanjang Lembah Brantas-Bengawan Solo. Akar sebelah selatan dari thrust fold belt system ada di lereng-lereng utara jalur gunung api: Rinjani-Agung-Ijen-Semeru-Bromo-Arjuno Welirang-Lawu.

Di akar-akar selatan dari thrust fold belt system itulah kemarin pergerakan-pergerakan blok sesar naik terjadi dalam beberapa segmen.

Kejadian serupa bisa saja memicu pelepasan energi yang sama di lereng-lereng utara jalur gunung api Jawa Timur.

Pengamatan, kesiapsiagaan, dan mitigasi yang bisa dilakukan untuk Jawa Timur adalah dengan plotting time series keaktifan (seismisitas) gunung api aktif sepanjang jalur Ijen-Semeru-Lawu di Jawa Timur itu dan/atau dengan memasang beberapa GPS Station di titik-titik tertentu di bagian selatan zona Kendeng di utara jalur gunung api untuk melihat pola kenaikan elevasinya karena menahan tekanan dari arah selatan itu.

Kapan akan terjadi? Belum ada yang tahu bagaimana memprediksi kapan terjadinya, karena memang sampai sekarang tidak ada yang mempelajari secara khusus pergerakan patahan-patahan Kendeng di Jawa Timur itu. Lagipula, kalaupun sudah dipelajari, teuteup saja prediksi “kapan terjadinya” masih dengan pendekatan statistik probabilitas yang biasanya dinyatakan dalam skala waktu geologi: yang kisaran ketelitiannya bisa kurang/lebih 25 tahunan (kisaran ketelitian Carbon dating dikurangi kisaran ketelitian hasil regresi linear statistik kejadian gempa Kendeng sendiri).

Apakah pergerakan Flores Back Arc Thrust bisa memicu (atau “menyetrum” alias “nggarai”) pergerakan Thrust Fold Belt System Kendeng di Jawa Timur? Bisa saja. Tapi ya itu tadi, kita nggak tahu kapan hal itu bisa terjadi karena kita semua belum mempelajari aktivitas Zona Kendeng itu: geometri segmen-segmennya seperti apa, keaktifannya bagaimana, dan lain sebagainya. Jadi, apakah dia bisa “kesetrum” Gempa Lombok dalam waktu dekat ini? Kita juga belum tahu. Tapi, paling tidak, secara teori dan pemahaman Tektonik Modern kita tahu itu semua mungkin saja terjadi. Yang lebih penting: ayo ramai-ramai mulai lebih peduli! Pelajarilah itu geologi kebencanaan daerah kita sendiri. Sesar-sesar yang ada di sekitar kita musti kita teliti. Jangan kalau sudah kejadian begini baru kita ramai-ramai turun ke lapangan dan bikin justifikasi. Ayo, mitigasi! Mitigasi! Mana itu arek-arek Jawa Timur!! Ayo dimainkan rek.

Siap-siap

Siap-siap.

Tak lengkapi dengan puisi yang aku tulis tiga tahun yang lalu, ya...

Gempa Bumi dan Tsunami di Indonesia ini seperti “kematian”

Untuk apa juga memprediksi kapan kita mati.

Jauh lebih manfaat mempersiapkan diri, kapanpun mati itu jadi.
Karena mati itu pasti.

Untuk apa juga memprediksi kapan gempa dan tsunami lagi di sini.
Jauh lebih manfaat mempersiapkan diri, kapanpun peristiwa itu terjadi
Karena gempa dan tsunami di sini itu pasti.

Perkuatlah imanmu - perkuat bangunan tempat tinggalmu.

buatlah jalan ke surgamu, bangunlah jalur evakuasimu.

beramal solehlah untuk sekitarmu, perkuat sistim tanggap bencanamu.

rajin-rajinlah memakmurkan tempat ibadahmu, rajin2lah riset geologi kebencanaanmu.

Gempa bumi dan tsunami di sini seperti mati
Tak banyak manfaat waktunya diprediksi

Kalau besarannya,
lokasinya,
efek sampingnya,
hubungannya dengan sumber daya,
penyebaran gelombangnya,
run-up-nya,
inundasinya,
daerah paling amannya dan sejenisnya ¾itu semua perlu penting dan kifayah untuk diuraikan.
Karena langsung bisa kita manfaatkan untuk “menghadapinya”
Karena tidak sia-sia Allah menciptakan semuanya ....

Kalaupun toh sampai ilmumu memprediksi waktunya, manfaatkanlah baik-baik untuk yang lainnya.

Gempa bumi dan tsunami di sini seperti mati
Tak banyak manfaat waktunya diprediksi
Bersiap diri jauh lebih berguna
Daripada sibuk menduga
- kapan tiba waktunya

Read More