Gunung Lumpur Kesongo

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Bleduk Kesongo atau Mud Volcano Kesongo sudah muncul di permukaan seperti itu dari ratusan tahun lalu (catatan sejarah dari prasasti kerajaan-kerajaan jawa) bahkan kemungkinan sejak beberapa (puluh) ribu tahun yang lalu (inferensi dari stratigrafi dan pelamparan lumpur serupa di Bleduk Kuwu yang sejalur dengan Bleduk Kesongo — lihat collage foto).

Fenomena geologi ini terjadi di jalur fisiografi yang disebut Jalur Kendeng di mana terdapat lapisan lempung/lumpur bertekanan tinggi di bawah permukaan bumi yang kalau ada bidang lemah yang bisa mereka terobos maka akan muncul ke permukaan berupa gunung-gunung lumpur tersebut. Jalur Kendeng itu melampar Barat-Timur dari daerah Sangiran-Purwodadi, ke timur di Sidoardjo, sampai ke Selat Madura di bawah air laut di utara Situbondo sana.

Air yang keluar bersama lumpur itu umumnya adalah air asin yang asalnya dari air laut yang terendapkan bersama dengan sedimen lempung/lumpur tersebut. Air asin dengan kadar borax tinggi itu sangat digemari oleh binatang-binatang — termasuk kerbau-kerbau penduduk yang digembalakan di sekitar Bleduk tersebut — karena banyak mengandung nutrient garam untuk tubuh mereka.

Kejadian serupa di Bleduk Kesongo — yaitu meletusnya lumpur dan gas untuk beberapa waktu - terjadi juga 2013 alias tujuh tahun yang laku (dari berbagai sumber berita). Dan mestinya terjadi juga setiap beberapa tahun sekali sebelumnya. Hal ini merupakan bagian dari mekanisme pelepasan tekanan yang sudah menumpuk sedemikian lama karena sumbatan sedimen-sedimen lumpur yang mulai mengeras di lubang diatrema utama setelah letusan besar sebelumnya. Kejadian ini akan terus berulang secara periodik, bahkan mungkin sampai ribuan tahun ke depan karena kondisi tektonik Jalur Kendeng tersebut memang selalu dalam keadaan tertekan dan lapisan-lapisan lumpur tekanan tinggi itu masih terus ada di bawah permukaan. 

Apa yang menyebabkan lumpurnya berwarna hitam dan kelihatan menyeramkan begitu?

Aslinya mineral-mineral lempung pembentuk lumpur tersebut, yaitu montmorillonitesmectite (dan illite: yaitu smectite yang kehilangan ikatannya dengan air), warnanya abu-abu — di permukaan... Warna hitam itu kemungkinan karena tercampur dengan karbon organik baik dari lingkungan pengendapan asalnya yang terus menjadi satu dengan lumpur tersebut di kedalaman asal ataupun karbon organik dari sedimen-sedimen di kedalaman yang lebih dangkal yang ikut terbawa/tergerus oleh gerakan naik lumpur tersebut dari kedalaman..

Kondisi reduksi yang ditandai dengan munculnya karbon-karbon organik tersebut juga yang menyebabkan banyak terbentuknya gas belerang yang keluar bersamaan dengan lumpur tersebut — selain juga kemungkinan gas metana seperti diamati di beberapa Bleduk yang lain di sepaniang jalur Mud Volcano Kendeng tersebut.

Gas belerang, panasnya temperatur lumpur, tekanan semburan lumpur dan kemugkinan gas metana yang muncul bersamaan dengan erupsi lumpur itulah yang berbahaya untuk manusia — dan kerbau-kerbau itu tentunya.

Mudah-mudahan penduduk sekitar terus menerus bisa menyesuaikan diri dengan kondisi alam yang seperti itu, apalagi kalau memang mereka secara turun temurun mereka sudah terbiasa hidup di daerah tersebut.

Apakah semburan Lumpur Kesongo ini punya potensi bencana kayak Lumpur Lapindo?

Kasus erupsi/semburan mud volcano di Kesongo ini agak berbeda dengan kasus semburan lumpur Lapindo yang akhirnya sama-sama jadi Gunung Lumpur juga (walaupun juga sama-sama berada di Jalur Kendeng). Di kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, underground blow out yang tidak bisa ditangani oleh tim pemboran akhirnya memicu terbentuknya retakan bidang lemah di bawah permukaan bumi yang nyambung sampai ke permukaan, yang kemudian jadi saluran terbebaskannya lumpur bertekanan tinggi dari dalam bumi mengalir ke permukaan jadi Gunung Lumpur baru.

Note: sebagian ahli mengatakan retakan itu terbentuk karena gempa Yogyakarta yang jauhnya 250 kilometer di arah barat daya tanpa ada retakan-retakan berarti lainnya muncul di antara kedua lokasi yang terpisah jauh itu, sehingga claim tersebut tidak begitu populer di kalangan para saintis dan praktisi migas dan kebumian. Tetapi teori itulah yang dipakai secara politis dan bisnis untuk menjelaskan dan menyelsaikan kasus Lapindo sampai saat ini. 

Nah, di Kesongo ini semburan-semburan itu untungnya bukan dipicu oleh aktifitas pemboran, tapi kemungkinan oleh karena sudah terlalu mampet-nya sumbat diatrema exising mud volcano dan terlalu kuatnya tekanan yang sudah terkumpul di bawah sumbat itu selama tujuh - delapan tahun sejak terakhir kali dia meletuskan lumpurnya. Lagi pula, di daerah Kesongo ini memang dari zaman sejarah dulu orang-orang sudah tahu bahwa gunung lumpur itu sudah ada dan mengejawantah.

Beda dengan yang di Sidoarjo. Di lokasi pemboran dan dalam radius 500 hektar yang sekarang jadi kolam gunung lumpur itu semula sama sekali tidak ada gunung lumpurnya di permukaan. Sekarang saja maka daerah itu dikenal sebagai daerah manifestasi gunung Lumpur, tapi sebelumnya adalah sawah, perumahan, pabrik, sekolah, dan jalan raya dan sebagainya yang ratusan tahun (mungkin juga ribuan tahun) sebelumnya aman-aman saja.

Apakah lokasinya selalu sama? Atau setidaknya bisakah ditandai lokasi-lokasi yang berpotensi bahaya serupa?

Lokasi jalur besarnya sama ... ya Jalur Kendeng iku. Secara lebih detail dari segmen ke segmen sangat tergantung dari (dikontrol oleh) adanya PATAHAN yang membatasi antiklin-antiklin yang inti antiklinnya di dalam bumi sana dipenuhi diapir lumpur tersebut.

Nah lewat bidang lemah patahan itulah lumpur-lumpur itu keluar-tersumbat-keluar-tersumbat dan seterusnya.

Dalam kurun waktu 100 - 200 tahun mungkin saja tempat keluarnya di bidang lemah patahan yang itu-itu saja, tapi bisa jadi 300 - 400 tahun kemudian keluarnya pindah ke segmen patahan yang lainnya tapi masih dalam satu kemenerusan dengan patahan semula, di mana sebelumnya di daerah yang baru itu patahannya masih belum terlalu lemah bidangnya (masih belum rupture lagi dari tekanan menerus setelah proses rupture sebelumnya).

Di Bleduk Kuwu ada indikasi bahwa pusat semburannya bergeser arah barat atau timur sejak beberapa ratus (ribu?) tahun yang lalu karena di kedua arah tersebut di mana tidak terdapat semburan aktif ternyata ada endapan lumpur serupa yang lebih tebal dari lokasi semburan utama. 

(Pengamatanku di Mud Volkano sepanjang Separi-Batuputih-Loahaur-Sakakanan di Kalimantan Timur juga mengkonfirmasi bahwa gunung-gunung lumpur itu berpindah-pindah lokasi aktivitas tapi tetap dalam jalur yang relatif sama.. Gunung lumpur yang aku petakan tahun 2002 di Batuputih, sekarang sudah mati dan posisi gunung lumpur yang aktifnya sekarang justru ada di bagian sebelah selatannya dan seterusnya.)

Masyarakat apa ga bisa dikasih penyuluhan akan risiko yang mungkin terjadi yo..?

Kalau mereka turun temurun dari sejak zaman nenek moyangnya memang asli dari situ kemungkinan mereka sudah paham betul dengan fenomena erupsi bledug itu.. Kehebohan yang muncul dari komentar-komentar yang keluar dari video maupun korban kerugian kerbau yang digembalakan yang sebagian belum/tidak diketemukan mungkin itu memang sudah bagian dari spontanitas pembangkitan lonceng kesadaran/kearifan lokal mereka yang sejak kejadian kemarin dan atau tujuh tahun yang lalu itu mulai meredup/terlupakan dan dengan kejadian ini mereka harusnya akan mulai waspada dalam beraktifitas di sekitar bledug tanpa harus deket-deket banget ke (bekas) pusat semburan aktifnya..

Semoga kita semua makin cerdas dan bijaksana hidup berdampingan dengan dan di lokasi-lokasi yang proses geologinya punya potensi mendatangkan bencana, seperti di Bleduk Kesongo ini.

Wassalam.

 
Lumpur Kesongo 1.jpg
Lumpur Kesongo 2.jpg
Previous
Previous

Kesaksian (Kalau-Maka)

Next
Next

(Eksperimen Anak Muda, Intervensi Orang Tua)