Piramida Kontroversi Freeport Papua (2)
Kalimat kuncinya, “the Government will not unreasonably withhold or delay such approval.” Kalimat kunci itulah nampaknya yang akan dipakai sebagai senjata Freeport kalau nanti mereka nuntut di arbitrase, apabila kontrak diputuskan secara sepihak diakhiri di 2021.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Aspek Hukum dan Regulasi
Naah, ini dia! Di jenjang aspek hukum dan regulasi ini banyak banget yang sudah berpendapat, terutama menyangkut implikasi dari Kontrak Karya antara GOI dengan FMI di Pasal 31 ayat 1:
Subject to the provisions herein contained, this Agreement shall have an initial term of 30 years from the date of the signing of this Agreement; provided that the Company shall be entitled to apply for two successive ten year extensions of such term, subject to Government approval. The Government will not unreasonably withhold or delay such approval. Such application by the Company may be made at any time during the term of this Agreement, including any prior extension.
Kalimat kuncinya, “the Government will not unreasonably withhold or delay such approval.” Kalimat kunci itulah nampaknya yang akan dipakai sebagai senjata Freeport kalau nanti mereka nuntut di arbitrase, apabila kontrak diputuskan secara sepihak diakhiri di 2021.
Sebagai orang yang tidak ahli dengan permainan kata-kata hukum saya hanya bisa berharap para ahli hukum kita yang kelihatan jago-jago bicara ketika tayang di ILCnya Karni Ilyas itu siap kerja keras mengeksplorasi kemungkinan kelemahan dan atau alternatif interpretasi dari kalimat-kalimat perjanjian hukum itu.
Mudah-mudahan para ahli hukum yang masuk di tim pemerintah kita nggak sekedar ngambil gampangnya dan terima begitu saja pasal (ayat penyandera) itu sebagai bagian dari nasib akibat kesalahan rejim masa lalu yang bikin perjanjian aneh itu.
Harapan dan doa saya sebagai orang awam hukum ini bukan tanpa sebab. Banyak komentar dan tulisan beredar di media sosial yang main langsung saja menyatakan: “nanti kalau kita kalah di arbitrase kita harus bayar lebih banyak lagi, makanya nggak usah ke arbitrase,” atau “nanti kalau di arbitrase urusannya jadi berkepanjangan,” atau “posisi kita lemah, kita pasti kalah.”
Saya jadi miris, koq sebegitu saja mental sebagian dari kita. Kerja dan bikin persiapan aja belum tapi sudah jiper duluan, sudah merasa kalah duluan. Piye to iki?! Ayo dong, kerja! Kerja! Kerja! Janganlah kita cuma mau enak dan gampangnya saja.
Eh, ngomong-ngomong, kalau kalah di arbitrase apa iya kita harus bayar juga? Khan yang diarbitrasikan bukan tuntutan uang, tapi tuntutan untuk memperpanjang kontrak sampai 2041. Kalau kalah khan tinggal memperpanjang saja. Paling kita bayar pengacara saja. Hotman Paris sudah bersedia mau gratisan membela Jeniffer Dunn, masa beliau gak tergugah untuk bela Indonesia di arbitrase soal Freeport ini kalau memang diperlukan, hehehehehe...
NAH, seperti yang sudah saya sebutkan di awal tulisan ini, tidak terlalu banyak lagi aspirasi yang bisa saya share di jenjang hukum dan regulasi ini selain masalah inti pasal 31 ayat 1 itu tadi. Selain karena memang sudah terlalu crowded dan banyak yang bicara, juga karena tahu diri: bukan praktisi hukum, bukan ahli mengutak-atik pasal, maka cukup saya sampaikan saja aspirasi-aspirasi. Tapi pada dasarnya, sekali lagi, kalau mengikuti semangat dan nuansa dua jenjang yang saya bahas rinci di bawah jenjang ini tadi maka seharusnya di jenjang hukum dan regulasi ini geometri piramida tetap bisa dibikin kotak untuk memperjuangkan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia, termasuk khususnya rakyat Papua.
Aspek Bisnis-Ekonomi
Untuk melengkapi gambaran geometri piramida kasus divestasi Freeport dari sayatan jenjang bisnis dan ekonomi ini, saya lampirkan tanya jawab ringkas dari dinding Facebook seorang geologis yang hampir 99% isinya mewakili aspirasi/pendapat saya. Namanya Casdira; meskipun dia kerja di perusahaan minyak, tetapi karena terbiasa berdiskusi meluaskan wawasan dan melatih pemikiran kritis sejak jaman mahasiswa maka tulisan-tulisannya patut untuk dicermati. Beberapa poin yang saya tambahi/koreksi, saya kasi catatan khususnya. Cekidot:
Mengapa Gak Tunggu Sampai 2021?
Komentar dan jawaban imajiner Casdira ditulis di dalam kurung atas postingan Stafsus MenESDM soal Freeport yang dinomorkan.
Mengapa pemerintah harus keluar duit gede untuk divestasi saham Freeport Indonesia? Mengapa tidak tunggu sampai kontrak habis tahun 2021 dan tambang Grasberg di Mimika, Papua, bisa diambil gratis?
(Casdira: Setuju.)
Menunggu sampai kontrak habis tahun 2021 berarti mempertahankan Kontrak Karya (KK) sampai habis masa berlakunya tahun 2021. Semua ketentuan dalam KK harus dipatuhi oleh para pihak yaitu Pemerintah RI dan PT Freeport Indonesia (PTFI).
(Casdira: Setuju, tidak ada isu.)
Merujuk pada KK, maka ketika masa kontrak habis tahun 2021, tambang Grassberg di Mimika tidak kembali ke pemerintah RI secara gratis. Yang kembali gratis adalah tambangnya, sementara infrastruktur dan asetnya tidak bisa diambil gratis.
(Casdira: Ya, gratis area tambangnya, dengan nilai cadangan tersisa sekitar 41 miliar dolar (ref: Petrominer). Aset terbesar industri ekstraktif adalah reserves-nya, bukan infrastruktur di permukaannya.)
(Note ADB: Perhitungan yang saya lakukan pada laporan tahunan Freeport 31 Desember 2017 menghasilkan angka cadangan tersisa sampai 2041 sejumlah 152 miliar dolar, bukan 41.)
Pasal 22 ayat 1 Kontrak Karya mengatur jika perjanjian tidak diperpanjang maka semua kekayaan milik perusahaan yang bergerak atau tidak bergerak yang terdapat di wilayah-wilayah proyek harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga atau nilai pasar TIDAK LEBIH RENDAH DARI NILAI BUKU.
(Casdira: tentu. Nilai buku saat ini pasti jauh lebih rendah daripada nilai awal investasi, karena sudah didepresiasi bertahun-tahun. Di tahun 2021 mestinya nilainya lebih rendah lagi, kecuali ada investasi baru sebelum 2021.)
Nilai buku PTFI berdasarkan laporan keuangan audited sekitar US$6 miliar, atau sekitar Rp 84 triliun dengan nilai tukar dolar Rp 14.000. Pemerintah juga harus membeli pembangkit listrik di lokasi yang nilainya sekitar Rp 2 triliun.
(Casdira: Nilai infrastruktur di permukaannya jauh di bawah nilai cadangan tersisa di bawah permukaan Grassberg yang sekitar 41 miliar dolar (Note ADB: 152 miliar dolar). Dengan cadangan tersisa yang 100% akan balik ke negara, nilai 6 miliar dolar masih sangat ekonomis.)
Dengan kata lain jika menunggu kontrak berakhir dan tidak diperpanjang tahun 2021, Pemerintah RI harus keluar dana sekurangnya Rp 86 triliun.
(Casdira: Begini perbandingannya. Saat ini pemerintah akan mengeluarkan uang 54 Triliun "hanya" untuk 51% saham PT FI. Kalau kita membeli 100% saham PT FI dengan angka deal pemerintah saat ini, berarti nilainya sekitar 108 triliun. Itu TIDAK untuk keseluruhan interest di tambang Grassberg, karena masih ada partisipasi interest Rio Tinto 40%. Belum lagi sisa cadangannya yang 41 miliar dolar itu (Note ADB: 152 miliar dolar) masih akan terus 'dibagi' dengan PT FI sampai 2041. Nilainya bisa lebih dari 20 miliar dolar (Note ADB: 76 miliar dolar) yang harus 'dibagi' dengan PT FI dan Rio Tinto. Jauh lebih rugi.)
Dengan kata lain, Freeport atau tambang Grasberg TIDAK BISA DIAMBIL GRATIS tahun 2021. Ini soal Kontrak Karya, bukan kontrak rumah atau ngusir maling dari rumah.
(Casdira: Area tambangnya gratis, dengan reserves 41 miliar dolar (Note ADB: 152 miliar dolar). Kembali ke kita 100%. Kita "hanya" mengganti infrastruktur di permukaannya sebesar 6 miliar dolar, yang nilainya jauh di bawah nilai cadangan emas-tembaga tersisa yang ada di sana. Kita tidak sedang "mengusir" pengontrak, kita hanya memberitahu bahwa kontrak akan habis dan pemilik ingin memakainya sendiri.)
Selain itu, KK juga memuat pasal yang bisa diinterpretasikan berbeda tentang perpanjangan kontrak, yaitu Pasal 31 ayat 2.
(Casdira: Sebetulnya setelah 2021 kita masih bisa MENGAJAK PT FI mengelola Grassberg. PT FI punya kontribusi aset permukaan, Indonesia punya reserves emas. Tinggal buat kesepakatan yang win-win. Jangan lose terus buat Indonesia.)
PTFI bisa menginterpretasikan berhak mengajukan perpanjangan 2X10 tahun dan pemerintah tidak akan menahan dan menunda persetujuan perpanjangan secara tidak wajar.
(Casdira: PT FI berhak mengajukan, dan setelah lebih dari 50 tahun menikmati, Indonesia punya alasan yang SANGAT WAJAR untuk bisa ikut menikmati kekayaan alamnya, yang selama 50 tahun diboyong keluar negeri terus-terusan tanpa kita pernah menikmati emas kita sendiri, selain dalam bentuk lembaran-lembaran kertas berstempel Federal Reserves dari royalti dan pajak, serta sedikit deviden.)
Jika pemerintah menafsirkan berbeda dan tidak memperpanjang kontrak, besar kemungkinan perbedaan interpretasi tersebut akan dibawa ke arbitrase internasional.
(Casdira: Arbitrase adalah senjata andalan multinasional company untuk menekan host country. Perlu diingat, kita tidak sedang "merebut" hak PT FI di tengah jalan, layaknya nasionalisasi yang dilakukan Chavez di Venezuela. Indonesia sebagai tuan rumah dengan sangat baik menghormati kontrak karya sampai berjalan 50 tahun. PT FI sudah menikmati keuntungan usaha yang wajar. Tidak dirugikan sama sekali. Namun, sebagaimana perusahaan, maunya kan untung teruuuussss sampai 70 tahun, bila perlu nambah 20 tahun lagi menjadi 90 tahun.)
Lepas dari soal menang atau kalah, penyelesaian melalui arbitrase menyebabkan ketidakpastian operasi yang membahayakan kelangsungan tambang, serta ongkos sosial ekonomi yang amat besar.
(Casdira: Kalau langkah kita tegas dan posisi kita jelas sejak awal, tidak ada yang namanya ketidakpastian operasi. Yang bikin keputusan strategis menjadi lama karena biasanya banyak kepentingan yang bermain. Ini sesungguhnya yang paling menyebabkan ketidakpastian iklim investasi: tata kelola pemerintahan yang buruk.)
Di bawah rezim KK, menunggu sampai kontrak berakhir tahun 2021 dan tidak memperpanjangnya, selain lebih mahal juga menempatkan kedua pihak dalam situasi LOSE LOSE SOLUTION, dan memburamkan iklim investasi nasional.
(Casdira: Membeli 51% saham PT FI saat ini jelas win-lose. Win bagi PT FI dan lose bagi Indonesia. Membiarkan KK sampai 2021, lalu Grassberg kita kelola dengan MENGAJAK PT FI adalah solusi win-win yang sebenarnya. Paling maksimal, untuk transisi alih kelola, kita bisa farm-in 10-15%, dengan menempatkan personil kunci di organisasi untuk persiapan alih kelola.)
Langkah divestasi saham yang ditempuh pemerintah akan mengakhiri rezim KK dan menggantinya dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pemerintah lewat Inalum menguasai mayoritas saham PTFI, PTFI akan membangun smelter dalam 5 tahun, dan penerimaan pemerintah lebih tinggi.
(Casdira: Cerita akan membangun smelter dalam lima tahun ini selalu berulang, sejak UU Minerba 2009 disahkan. Sampai 9 tahun kemudian (2018), ceritanya masih sama: dalam lima tahun.....)
Ongkos yang dikeluarkan untuk divestasi, 3,85 miliar dolar (sekitar 54 triliun rupiah) lebih murah dibanding harus mengganti aset dan infrastruktur PTFI sebesar 6 miliar dolar atau sekitar 84 triliun rupiah.
(Casdira: Perlu diingat, nilai 3,85 miliar dolar itu HANYA untuk 51% saham PT FI. Nilai 100% sahamnya berarti 7,7 miliar dolar. Itu pun belum keseluruhan penguasaan tambang Grassberg. Jelas jauh lebih mahal dari 6 miliar dolar yang baru akan kita keluarkan 4 tahun lagi untuk membayar instalasi permukaan PT FI (lalu 100% reserves emasnya kita nikmati sendiri). Itu belum memperhitungkan time value of money.)
Bagi PTFI, divestasi akan menjamin kelangsungan usaha sekurangnya 2X10 tahun sejak 2021 dan adanya jaminan kepastian investasi.
(Casdira: Sebetulnya Indonesia tetap bisa memberikan kepastian: setelah 2021, PT FI akan tetap DIAJAK mengelola Grassberg, infrastruktur permukaan bisa dianggap kontribusi modal PT FI, tetapi bukan TETAP MENGUASAI Grassberg.)
Inilah jalan alot yang ditempuh Tim Perunding Pemerintah untuk mengimplementasikan arahan Presiden Jokowi, bahwa kedua pihak harus mendapatkan WIN WIN SOLUTION dan iklim investasi nasional tetap kondusif.
(Casdira: Yang memperburuk iklim investasi itu tata kelola pemerintahan yang buruk, maraknya perburuan rente, dan ketidakjelasan policy. Kita tidak sedang "mengusir" investor. PT FI sebagai investor sudah sangat diperlakukan cukup baik dan menerima keuntungan yang wajar selama 50 tahun. Kita hanya sedang bersiap mengurusi harta kekayaan kita sendiri. Itu pun kita masih boleh MENGAJAK investor dengan "upah" keuntungan yang wajar.)
Puncak Piramida: Pendekatan Kekuasaan dan Politik
Yang terbaca dari gegap gempita proses negosiasi perpanjangan izin dan divestasi Freeport ini dari jaman SBY akhir sampai zaman Jokowi SS (Sudirman Said) sampai Jokowi IJ (Ignasius Jonan); antara lain adalah:
Pemerintah kita nggak mau punya masalah dengan Amerika; nggak mau dicitrakan terlalu nasionalistis seolah-olah mau menasionalisasikan sumber daya alamnya seperti Venezuelanya Chavez. Pemerintah kita takut “dijadikan Amerika” seperti Venezuela.
Aku yo wedhi sakjan-e, tapi seperti uraian tanya jawab Casdira: kita ini bukan mau menasionalisasi sumber daya alam kita seperti Venezuela tapi kita hanya menagih kembali hak pengusahaan atas sumber daya alam kita pada saat habisnya kontrak nanti, dan seterusnya. Jadi... yo wani ae wis, khan kita bisa ngomong baik-baik sama mereka soal ini.
Pada saat yang sama pemerintah incumbent juga takut menjadi tidak populer di mata rakyat kalau terkesan terlalu mengalah dan menurut saja atas tekanan dan permintaan-permintaan dari pihak asing baik itu korporasi multinasional seperti Freeport, maupun back up orang-orang pemerintahan asing atas korporasi-korporasi itu kalaupun ada. Maka diperkuatlah kampanye kampanye keberhasilan yang beberapa kali akibatnya justru membuat masyarakat kebingungan. Karena belum deal sudah dikatakan deal, belum sepakat sudah dikatakan sepakat, belum beres - dikatakan sudah beres tinggal masalah legal saja — dan sebagainya, dan seterusnya.
Solusi yang ditawarkan untuk tetap mengakomodasi Freeport pasca 2021 tanpa harus buru-buru beli 51% saham lewat konversi PI Rio Tinto yang harganya nggak pernah mau diturunkan itu mestinya bisa dipertimbangkan untuk tetap kelihatan OK di mata rakyat tapi OK jugalah di mata investor. Jadi bukannya terima begitu saja angka-angka dari Rio Tinto maupun Freeport yang nggak bisa diubah.
Apapun yang sudah dijabarkan, diuraikan, dibikin geometrinya oleh peletak-peletak dasar bangunan piramida di bawahnya, semuanya sangat tergantung dari Pak Jokowi, lewat Pak Jonan, Bu Sri Mulyani, dan Bu Rini Sumarno untuk menarik ujung piramida atasnya ke arah mana. Apakah piramida menclegh yang puncak tertingginya agak mengsle (bergeser) dari dasar kotak paling bawah, atau piramida tinggi sempurna yang titik puncaknya terproyeksikan persis di tengah-tengah kotak dasarnya?
Kita semua mendoakan semoga para negosiator pemegang amanah rakyat Indonesia — khususnya Papua — yang saat ini musti menyelesaikan proses tunangan dengan Freeport supaya menjadi pernikahan yang lebih menguntungkan bangsa dan negara (termasuk urusan lingkungannya) selalu mendapatkan hidayah dari yang Maha Punya Sumber Daya.
Dan mereka semua mau mendengar, membaca, dan memahami bangunan-bangunan dasar piramida masalah yang sedang mereka tangani bersama, sehingga bisa membawa titik puncak piramida ke arah yang lebih bermanfaat buat bangsa dan negara. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi, golongan, apalagi partai ataupun “sekadar” demi kelanjutan pemerintahan belaka.
Piramida Kontroversi Freeport Papua (1)
Kontroversi kasus divestasi Freeport yang lagi rame akhir-akhir ini: urusannya bukan semata-mata mana yang benar mana yang salah, atau 1 + 1 = 2, tapi siapa yang punya kuasa dan siapa yang menanggung risikonya. Fakta dasar boleh sama, tapi “kebenaran” puncaknya bisa berbeda-beda. Sekali lagi: tergantung siapa yang punya kuasa. Seperti piramida.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Kontroversi kasus divestasi Freeport yang lagi rame akhir-akhir ini: urusannya bukan semata-mata mana yang benar mana yang salah, atau 1 + 1 = 2, tapi siapa yang punya kuasa dan siapa yang menanggung risikonya. Fakta dasar boleh sama, tapi “kebenaran” puncaknya bisa berbeda-beda. Sekali lagi: tergantung siapa yang punya kuasa. Seperti piramida.
Piramida itu dasarnya kotak dan bidang-bidang vertikalnya segitiga; idealnya sama sisi tapi bisa juga hanya sama kaki, bahkan bisa nggak sama semua. Dengan dasar fakta yang sama, kita bisa tarik puncak piramida yang berbeda posisi dan tingginya, tergantung bagaimana kita mengonstruksikan bidang-bidang vertikal segitiganya.
Piramida ideal kalau kita sayat mendatar di setiap jenjangnya akan selalu kita dapatkan kotak sempurna: yang makin ke atas makin mengecil luasannya dan akhirnya menjadi titik tertinggi piramida. Tapi kalau terjadi distorsi, sayatan mendatar yang kita potongkan di jenjang-jenjang atasnya tidak akan berbentuk kotak sempurna.
Seperti juga kontroversi Blok Rokan (yang kemungkinan akan diserahkan kepada Chevron lagi), kontroversi Blok Mahakam beberapa tahun lalu (yang sampai sekarang kayaknya masih mau diutak utik lagi?), gonjang-ganjing penguasaan Blok Cepu 2005 (yang akhirnya dikelola Exxon), kontroversi Kontrak Migas Gross Split vs. Cost Recovery, Subsidi BBM vs. Non Subsidi, BBM Satu Harga vs. Kerugian Pertamina, Holding BUMN Energi/Migas/Gas/Tambang yang sebagian menentang (kemarin juga jadi bagian dari aspirasi demo serikat pekerja Pertamina), Harga EBT yang harus bersaing dan murah, Kilang gas Masela offshore vs. onshore, dsb. Semua itu urusannya adalah urusan puncak piramida politik dan kekuasaan, jauh dari urusan teknis di jenjang bawahnya. Apalagi basic natural science yang jadi kotak dasarnya!
Makanya ketika para geologist dan mining engineer angkat bicara soal Freeport ini, bukan bidang mereka sehari-sehari yang mereka bahas tapi urusan hukum dan bisnis di jenjang atasnya yang mereka celotehkan. Kadang-kadang ada juga yang sampai menyentuh analisis politik, kekuasaan, dan konspirasi. Tapi buru-buru mereka dibully, jangan ngomong diluar kompetensi! Nah loe. Padahal boleh dibilang seolah-olah nggak ada yang punya “kompetensi” menyeluruh terkait hal ini kecuali para pemegang titik puncak piramida: para penguasa dan penentu kebijakan di negeri ini. Lebih seru lagi sering kali yang memprotes dan membully itu justru lebih nggak tau urusannya apa, bahkan secuil metodologi pun terkait urusan mineral, tambang dan pengusahaannya sama sekali nggak mereka kuasai. Malah kadang-kadang mereka berasal dari piramida yang berbeda.
Maka ketika ada yang mengusulkan, “serahkan kepada ahlinya,” tersadarlah kita bahwa sejatinya tidak ada satu pun dari kita yang layak disebut sebagai ahli karena permasalahan Freeport ini seperti piramida multi-jenjang multi-dimensi. Yang ujung-ujung atasnya nggletek yo balik iku-iku maneh, kekuasaan dan politik oligarki.
Agak di bawah sedikit dari ujung piramida iku, Bisni, Ekonomi, dan Keuntungan. Di bawahnya lagi, Hukum dan Regulasi. Yang paling bawah barulah analisa-analisa teknik yang jadi alat semata-mata. Kalau mau naroh satu lapisan lagi paling bawah dari dimensi masalah multi-jenjang ini, itulah jenjang para periset - saintis yang konsepnya dipakai oleh para ahli teknik. Boleh dibilang mereka lah yang jadi rujukan dari semua masalah. Tapi, orang-orang di dasar ini sama sekali nggak punya kuasa menentukan pucuk-puncuk piramidanya.
Dalam kasus kontroversial seperti Freeport ini selalu ada pembenaran dari setiap argumen yang saling berlawanan; di setiap jenjangnya dan di setiap sayatan mendatar di atas dasarnya. Yang jarang dituliskan terang-terangan adalah pembenaran paling atasnya, Politik dan Kekuasaan. Bahkan malahan sering kali “diingkari” daripada dinyatakan terus terang.
Saya coba menuliskan sesuatu terkait jenjang-jenjang dasar piramida masalah kontrak karya dan divestasi Freeport, untuk melengkapi pemahaman dari mereka yang sibuk membahas jenjang-jenjang piramida di bagian atas sampai ke puncaknya.
Kotak Dasar Piramida: Apa yang Ada di Bawah Tanah
Piramida-piramida masalah dan penyelesaiannya itu pada dasarnya dibangun di atas KOTAK fakta-fakta scientific yang kurang lebih sama. Misal, ada sumber daya tembaga dan emas di bawah area Freeport sana; semua pasti setuju tentang hal itu. Ada pula yang menyatakan ada Uranium segala. Tapi bagi yang paham geologi mineral dan teknologi ekstraksi, kadarnya sangat tidak memungkinkan untuk jadi ekonomis dengan teknologi yang “publicly available” saat ini.
Terdapatnya sumber daya menyebar di bawah tanah dan untuk mengambilnya harus dengan teknologi underground mining pun “fakta”nya hampir semuanya sama dan tidak terlalu banyak diperdebatkan.
Jumlah sumber daya Freeport yang bisa dijadikan cadangan pun nggak terlalu jadi masalah, uwakeh pokok e. Sak ndhayak! Kita terima saja lah laporan tahunan Freeport yang mestinya sudah diverifikasi oleh Competent Person untuk kepentingan bursa saham. Di laporan 31 Desember 2017 itu disebutkan ada 33.9 juta ons emas dan 38.8 miliar pon tembaga yang bisa ditambang sampai 2041. Totalnya kalau didolarkan dengan harga komoditi sekarang adalah ekuivalen dengan (minimal) 152 miliar dolar atau setara dengan Rp 2,200 triliun.
Untuk membayangkan kekayaan mineral di area Freeport di Papua itu mari kita bandingkan dengan kekayaan sisa Blok Migas Mahakam yang juga sudah pernah dikelola 50 tahun oleh Kontraktor. Waktu diambil alih Pertamina, itung-itungan sisa gasnya 5 Tcf. Kalau harga gas $6/MMBtu, maka cadangan Blok Mahakam itu setara dengan 30.4 miliar dolar atau sekitar seperlima-nya kekayaan mineral di area Freeport Papua sana. Itu pun dengan gegap gempita akhirnya kita operasikan sendiri lewat BUMN kita Pertamina. Alhamdulillah.
Masih ada lagi kah selain itu? ADA! Namanya “Mineralized Material” yaitu bijih-bijih dengan kadar lebih rendah yang kalau harga bijih merangkak naik maka mereka bisa ikut ditambang dan atau diproses. Di buku laporan tahunan Freeport itu disebutkan jumlahnya 18.4 miliar pon atau setara dengan 51 miliar dolar.
Yang nggak dilaporkan Freeport di bukunya itu adalah jumlah sumber daya yang bisa ditambang beyond 2041. Karena memang nggak boleh ngasih harapan yang kepastiannya masih kecil menurut aturan bursa. Tentunya potensi itu masih lebih banyak lagi. Apakah kita/pemerintah Indonesia tahu berapa sumber dayanya beyond 2041? Patut untuk diragukan kalau kita punya datanya. Meskipun dalam aturan mereka harus masukin laporan secara berkala termasuk hasil eksplorasinya, koq rasanya selama ini nggak ada praktiknya di mana kumpeni-kumpeni pemegang KK/KP yang sekarang jadi IUP itu melaporkan sumber daya sekumplit-kumplitnya, apa adanya.
Rasanya koq agak kurang yakin para negosiator pemerintah mengapresiasi secara mendalam aspek-aspek sains dan teknis besaran kekayaan didasar piramida itu. Kalau mereka apresiasi mestinya mereka sadar. Lha wong kekayaan bangsa yang nilainya seperlima sampai sepertujuhnya Freeport aja kita perjuangkan koq (Blok Migas Mahakam), apalagi yang lebih gede ini. Mestinya ya harus lebih mati-matian.
Jenjang Teknis Penambangan: Trapesium Masalah
Ok. Nah, di atas aspek dasar sains dan teknis bawah permukaan itu tadi, ada aspek teknik penambangan di jenjang piramida berikutnya. Di jenjang ini saya mulai melihat ada distorsi sayatan mendatar piramida. Bukan lagi kotak sempurna, tapi sudah mulai memanjang memendek sisi-sisinya nggak sama. Mungkin hampir jadi dasar trapesium nantinya. Apa penyebabnya?
Sebagian penghuni sayatan piramida jenjang bisnis dan jenjang politis yang notabene posisinya di atas jenjang teknis ini sering kali mengklaim bahwa teknik penambangan di area penambangan Freeport di Papua itu sedemikian canggih dan rumitnya, sehingga kalau Freeport pergi dari sana maka tidak ada pihak manapun yang mampu melanjutkannya dengan sempurna. Kita orang Indonesia belum mampu melakukannya, perlu transisi, dan sebaginya. Karena teknologi itu milik Freeport, jadi kalau Freeport pergi maka tak ada lagi akses kepada teknologi canggih itu. Malah, lebih parah lagi, ada yang mengatakan begitu proses penambangan berhenti maka tambang bawah tanah akan ambruk seketika dan harta karun kita yang miliaran dolar di bawah sana akan hilang selamanya.
Kita mesti lebih berhati-hati dalam menerima klaim dari atas tentang bentuk jenjang teknis ini sedemikian rupa sehingga tidak jadi geli sendiri — ketawa sendiri seperti stand-up comedy yang gagal audisi. Kalau nggak hati-hati, maka bukan kotak lagi sayatan piramida di sini, tapi empat persegi panjang atau dasar trapesium yang semua sisinya nggak sama paniangnya.
Coba kita tanya ke para ahli penambangan. Apa komentar mereka terkait dengan teknologi dan operasionalisasi tambang di Freeport Papua ini, terus kita bahas dalam kaitannya dengan klaim-klaim di atas tadi?
Hengky Rumbino, VP Underground Mine Operation yang asli Papua mengatakan, "tambang bawah tanah juga lebih dari 90% dijalankan oleh anak-anak Indonesia. Tantangan yang kita punya, tambang bawah tanah kita termasuk dalam. Kita menambang di kedalaman 1.6 kilometer di bawah tanah. Tantangannya bagaimana memastikan kestabilan batuan, bagaimana penambangan dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya kecelakaan. Tantangan paling besar adalah menambang di kedalaman dan meledakkan batuan," ujarnya. “Tantangan pasti unik, karena kita beroperasi di medan yang sangat ekstrem, membutuhkan ketangguhan operator yang baik dengan perubahan iklim drastis, fatigue issue, orang cepat lelah, kondisi alam berubah-ubah. Tapi kita mampu, tambang sebesar itu bisa dioperasikan oleh insinyur-insinyur Indonesia," kata Hengky kepada detikfinance.
Saya beri cuplikan dua kalimat kunci utama dari komentar ahli tambang asli Papua di atas tadi untuk memberikan keseimbangan informasi atas klaim kalangan atas tentang teknik penambangan Freeport:
“Tambang bawah tanah juga lebih dari 90% dijalankan oleh anak-anak Indonesia.“
“Tapi kita mampu, tambang sebesar itu bisa dioperasikan oleh insinyur-insinyur Indonesia,"
Kalau masih belum yakin juga dengan betapa nggak berdasarnya klaim-klaim dari atas itu, saya tambahkan cuplikan percakapan di chat WhatsApp berikut ini dengan Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia:
“Rek, sebagai Ketua Perhapi (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia): kalau sampeyan ditanya rakyat: sebenarnya MAMPU NGGAK orang2 Indonesia menerapkan - menjalankan teknologi yg dipakai selama ini di underground mining Freeport Papua (Block Caving dsb) untuk meneruskan operasi tambang Freeport itu? Tulung kasi pencerahan rek. Anggep aja aku mewakili masyarakat. Soal e aku durung krungu suarane Perhapi resmi dalam kasus gede iki. Bbrp kenalanku di sana, anak2 tambang dr Yogja : mereka bilang: SIAPA TAKUT?!! Mereka merasa mampu je. Cumak bos2 nya nggak ada yg berani speak up.”
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ... yak opo kabare Kanjeng Mas Andang? Kalau aku pribadi bilang ya mampu dong. Wong dari dulu sampai sekarang yang mengerjakan ya orang Indonesia juga kok.”
Nah, yok opo koen sak-iki?
Memang mereka semua nggak bilang bahwa kalau Freeport pergi maka dengan mulus operasi akan terus berjalan seperti semula, tapi dari keyakinan para ahli itu cukuplah bagi kita semua untuk menyadari bahwa klaim-klaim pesimis fatalis katastrofe dari kalangan atas tentang ketakutan akan tidak berlangsungnya lagi operasi tambang Freeport di Papua kalau dioperasikan oleh Indonesia (Perusahaan, Manajemen, dan Para Ahli dari Indonesia) adalah klaim-klaim yang agak kurang logis. Kecuali kalau Freeport pergi dan orang-orang Indonesia yang sekarang kerja di sana ikut Freeport semua balik ke Amerika. Apa ya begitu naif asumsi kita? Nggak lah.
Apakah Freeport punya hak/klaim/paten atas teknologi penambangannya sehingga kalau mereka pergi maka teknologinya nggak boleh dipakai lagi kalau nggak bayar ke mereka (dan bayarnya mahal sekali)? Terus terang saya meragukan hal itu. Mungkin ada di antara kawan-kawan ahli pertambangan yang bisa menambahkan di sini. Setahu saya sampai saat ini nggak ada hak paten khusus tentang teknologi penambangan bawah tanah yang disebut metoda Block Caving itu. Kecuali mungkin saat-saat ini, dalam rangka mengantisipasi negosiasi ke depan, pihak Freeport sedang berusaha mendaftarkannya ke pihak-pihak otoritas paten di manapun yang mereka mau.
OK, mudah-mudahan sekarang jadi lebih jelas lagi anatomi geometri terdistorsi dari piramida kontroversi tentang divestasi Freeport ini; khususnya tentang Teknik Penambangan yang kelihatannya bikin ngeri kalangan bisnis, birokrasi, dan politisi itu. Yang kuatirnya, karena ketidakpahaman dan kengerian gak berpengatahuan itulah akhirnya mereka ambil keputusan-keputusan yang bikin menclagh-menclegh bentuk piramida kita ini.
Ada satu tambahan rujukan lagi. Waktu rame-ramenya usaha untuk memosisikan Pertamina sebagai operator blok Mahakam-pun kampanye hitam tentang ketidakmampuan bangsa Indonesia dan penonjolan kehebatan teknologi, Total pun terus menerus dilakukan persis seperti yang terjadi sekarang ini di kasus Freeport. Seolah kalau Total pergi maka semua teknologi dan sistim operasi blok Mahakam akan mandegh, saking canggih dan spesifiknya teknologi dan sifat propietary “hak paten” Total atas teknologi itu. Seriusan lho, ada yang bilang seperti itu. Kenyataannya: meskipun sempat mengalami anjlok produksi, tetap saja sampai sekarang migas Blok Mahakam masih terus kita nikmati, padahal sekarang sudah dioperasikan Pertamina mulai awal tahun ini.
Ayolah, janganlah para ahli hukum, ahli bisnis, ahli keuangan, ahli politik bangsa Indonesia ini sampai mengulang kesalahan yang sama di urusan Freeport ini, yaitu tidak percaya sama kemampuan perusahaan dan personel ahli bangsa sendiri. Jadi menggelikan kalau tren ketidakpahaman teknologi oleh kalangan pengambil keputusan ini terus dibiarkan terjadi.