Tidak Ada Intrusi Air Laut di Bawah Monas (+ Teluk Jakarta adalah Tinggian Tektonik yang Bikin Jakarta “Turun” Terus)
Tidak pernah terjadi intrusi air laut ke dalam lapisan air tanah tertekan di Jakarta, apalagi sampai di bawah Monas. Yang terjadi malah sebaliknya: banyak air tawar keluar (discharged) sebagai mata-air di pantai dan Teluk Jakarta.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Tidak pernah terjadi intrusi air laut ke dalam lapisan air tanah tertekan di Jakarta, apalagi sampai di bawah Monas. Yang terjadi malah sebaliknya: banyak air tawar keluar (discharged) sebagai mata-air di pantai dan Teluk Jakarta. Kandungan air agak payau di air tanah dalam adalah karena percampuran dengan air perasan dari lempung-lempung pengapit di atas dan di bawah akuifer karena proses kompaksi biasa, bukan karena intrusi air laut. Data isotop juga menunjang kesimpulan tersebut. Di pinggiran laut seperti di Muara Baru sampai ke Ancol, tentu saja, air tanah bebas dangkal dan air permukaan dipengaruhi oleh pasang surut air laut di sana.
Sebenarnya sejak 2002 (sepuluh tahun yang lalu) hasil penelitian ITB dan LIPI tersebut telah disosialisasikan, dan selama sepuluh tahun terakhir ini hasil-hasil isotop dan pemetaan sifat kimia air tanah seluruh daerah DKI makin menguatkan kesimpulan tersebut. Sayang cara mengkomunikasikan hal ini ke masyarakat agak kurang pas sehingga infonya tidak sampai.
Pada lapisan yang di"dating"sebagai "Mid-Holocene" atau sekitar empat - lima ribu tahun yang lalu, garis pantai mundur sampai di selatan Monas yang menyebabkan diendapkannya lapisan sedimen laut dengan air asin di dalamnya. Kalau kasusnya seperti itu maka memang air di dalam akuifer tersebut sudah asin dari asalnya, dan sering disebut juga sebagai "connate water". Kedalaman lapisan-lapisan tersebut lebih dari 300 - 400 meter di daerah Jakarta Pusat dan makin mendangkal ke selatan.·
Demikianlah sebagian catatan dari Focused Group Discussion Peluang dan Tantangan Ruang Bawah Tanah DKI Jakarta yang diikuti oleh sekitar 20 pakar geologi, geofisika, geoteknik, geodesi, geodinamik, konstruksi, air tanah, dan kegempaan pada 20 Desember 2012 yang lalu, di Jakarta.
Hadir di acara tersebut: Prof Jan Sopaheluwakan (LIPI), Prof Hasanuddin Z. Abidin (ITB), Prof. Herman Moechtar (Badan Geologi), Dr. Asrurifak mewakili Prof Masyhur Irsyam (ITB), Dr. Agus Handoyo (ITB), Dr. Andang Bachtiar (Exploration Tahunink Tank Indonesia), Dr. Agus Guntoro (Trisakti), Dr. Danny Hilman (LIPI), Irm Ali Djambak MT (Trisakti), Ir. Wahyu Budi (Badan Geologi), Dr. Imam Sadisun (ITB), Dr. Widjojo Prakoso (UI), Dr. Firdaus Ali (UI), Prof Robert Delinom (LIPI), Ir. Rovicky D.P MSi (IAGI), wakil2 dari Kimpraswil, BMKG dan BIG-Bakosurtanal.
Catatan penting lainnya adalah:
Teluk Jakarta adalah tinggian lokal, sementara dari pantai teluk ke arah darat ke selatannya adalah rendahannya yaitu "West Ciputat Low". Oleh karena itu meskipun ada 13 sungai mengalir membawa sedimen ke arah Teluk Jakarta tapi di teluk Jakarta tidak terbentuk delta, karena sedimen-sedimen yang dibawa sungai-sungai itu sebagian besarnya diendapkan di rendahan Ciputat Barat yaitu di daratan Jakarta yang secara geomorfologi disebut sebagai Dataran Banjir Jakarta. Maka ketika masuk ke Teluk Jakarta sungai-sungai itu hanya menyisakan suspensi halus dan arus sungai yang lemah.
Rencana pembangunan sea wall di Teluk Jakarta seharusnya memperhitungkan konstelasi tektonik sedimentasi tersebut. Sea wall harus dibangun di blok yang selalu naik yang mungkin terletak menjorok ke dalam teluk, bukan di lokasi pantai yang sekarang. Kalau posisinya tidak tepat maka dalam jangka panjang (lebih dari 50 tahun) sea wall itu juga akan terus tenggelam.
Demikian juga reklamasi (peng-urug-an) Teluk Jakarta seyogyanya memperhitungkan garis batas tinggian_rendahan tersebut. Kalau posisi area yang di-urug ada di selatan garis batas maka reklamasi akan ambles-turun terus. Hasil survei GPS Prof. Hasanuddin ITB juga menunjukkan penurunan maksimum di bagian selatan daerah Muara Baru sampai ke Ancol. Kebijakan reklamasi harus dimodifikasi, dikawal dengan mendelineasi daerah-daerah yang akan sia-sia saja kalau direklamasi.
DKI Jakarta - Aktif secara Tektonik?
P. Seribusebagai kelurusan utara dari tinggian Ciputat-Tangerang selalu bergerak naik secara tektonik; teras-teras terumbu yang berkembang di kepulauan Seribu itu adalah buktinya. Demikian juga daerah sepanjang garis imajiner Ciputat-Ujung Teluk Naga: itu adalah daerah yang selalu naik. Teras sungai di sepanjang aliran S. Cisadane membuktikan gerak tektonik naik tersebut. Adanya slicken side, offset, pergeseran di sedimen Pleistosen Jakarta membuktikan patahan Jakarta bisa aktif sewaktu-waktu dalam masa kuarter ini.
Sebagai tindakan preventif mitigasi bencana gempa bumi dengan adanya indikasi patahan aktif tersebut, saat ini sedang diusahakan untuk membuat mikro-zonasi gempa di Jakarta sampai ke level 4 yaitu skala 1:25.000. Dengan demikian, bangunan yang didirikan di DKI Jakarta nantinya bisa mengacu pada peta mikro-zonasi tersebut untuk desain dan konstruksinya sehingga ramah gempa.
Merujuk pada konstelasi tektonik Tersier dan kuarter yang ada, secara geologi teknik masa depan DKI adalah Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu yang merupakan daerah tinggian yang lebih aman daripada dataran banjir Jakarta yang selalu turun.
Jakarta Turun: Bukan Hanya Karena Kompaksi Sedimen Kuarter dan Disedot Air Tanahnya!
Jakarta turun: bukan hanya karena kompaksi sedimen kuarter dan disedot air tanahnya, tapi juga karena tidak ada delta besar di teluknya! Jakarta lebih cocok dikatakan berada di atas dataran banjir sungai-sungai pantai atau “coastal river flood plain” dari pada berada di atas delta.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Jakarta turun: bukan hanya karena kompaksi sedimen kuarter dan disedot air tanahnya, tapi juga karena tidak ada delta besar di teluknya! Jakarta lebih cocok dikatakan berada di atas dataran banjir sungai-sungai pantai atau “coastal river flood plain” dari pada berada di atas delta.
Delta? Ah, yang benar saja!! Bahwa metropolitan Jakarta dibangun di atas endapan banjir 13 sungai yang masuk ke Teluk Jakarta, itu bukan berarti bahwa Jakarta berada di atas delta. Ada terrestrial inputs (sungai-sungai)? Iya! Ada standing body of water? Teluk Jakarta: iya! Ada positive feature? Nah, ini dia: dari referensi titik nol garis pantai yang mana kita ukur positive feature itu?
Lagipula nampaknya pantai Teluk Jakarta itu lebih cocok dikatakan mundur, daripada maju. Paling tidak itulah yang bisa kita simpulkan saat menyimak dataran Sundaland versi Mollengraaf yang menggambarkan alur-alur sungai di utara Jawa, timur Sumatra, barat dan selatan Kalimantan sepuluh sampai lima ribu tahun yang lalu. Kenaikan muka air laut secara bertahap telah mendorong garis pantai jauh ke darat sampai akhirnya sekarang menjadi pantai dari Cilincing sampai Cengkareng.
Terus kenapa pula ada yang menyebutkan Jakarta sebagai kota delta? Dimasukkannya kota ini ke dalam kota delta memang kelihatannya agak-agak memaksa atau malahan a-geomorfologis (tidak sesuai dengan kaidah geomorfologi). Mungkin bagi mereka memang yang lebih penting adalah kota dan sungai-sungainya bukan deltanya.
Kalau Sidoardjo aslinya memang kota delta, atau lebih terkenal dengan istilah deltras, mungkin singkatan dari delta sungai Brantas. Atau Sanga-Sana dan Kutai Lama: itu dia kota-kota kecamatan di head of passes Mahakam delta (ssst, siapa pula yang nanya tentang Delta Brantas dan Mahakam? Sudahlah: fokus pada Jakarta yang disebut-sebut di beberapa tulisan sebagai delta itu. Ah, nggak, koq, aku hanya coba membandingkan dengan yang “real deltaic cities” asli Indonesia. Itu saja.)
Aneh juga ya, kenapa dengan adanya 13 sungai mengalir ke arah dan masuk Teluk Jakarta koq tidak terbentuk delta besar-besaran di sana? Nah, ini dia. Lagi-lagi kita harus mencari jawabannya pada pengetahuan tentang sedimentologi, sequence stratigraphy, dan akhirnya tektonik daerah Jakarta ini.
Baru sadar ternyata ada rahasia besar tektonika Jakarta. Dengan 13 sungai besar yang masuk perairan teluk, kenapa koq tidak juga terjadi delta, pada ke mana sedimen-sedimen yang diangkut dari gunung-gunung di Bogor Puncak Cianjur? Kuncinya di tektonika: Cekungan Ciputat yang turun, Platform Seribu yang naik, tidak ada ruang akomodasi di teluk, dataran banjir jakarta terus turun dan memerangkap sedimen dari 13 sungai besarnya. Jakarta turun: bukan hanya karena kompaksi sedimen kuarter dan disedot air tanahnya!