Jakarta Turun: Bukan Hanya Karena Kompaksi Sedimen Kuarter dan Disedot Air Tanahnya!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Jakarta turun: bukan hanya karena kompaksi sedimen kuarter dan disedot air tanahnya, tapi juga karena tidak ada delta besar di teluknya! Jakarta lebih cocok dikatakan berada di atas dataran banjir sungai-sungai pantai atau “coastal river flood plain” dari pada berada di atas delta.
Delta? Ah, yang benar saja!! Bahwa metropolitan Jakarta dibangun di atas endapan banjir 13 sungai yang masuk ke Teluk Jakarta, itu bukan berarti bahwa Jakarta berada di atas delta. Ada terrestrial inputs (sungai-sungai)? Iya! Ada standing body of water? Teluk Jakarta: iya! Ada positive feature? Nah, ini dia: dari referensi titik nol garis pantai yang mana kita ukur positive feature itu?
Lagipula nampaknya pantai Teluk Jakarta itu lebih cocok dikatakan mundur, daripada maju. Paling tidak itulah yang bisa kita simpulkan saat menyimak dataran Sundaland versi Mollengraaf yang menggambarkan alur-alur sungai di utara Jawa, timur Sumatra, barat dan selatan Kalimantan sepuluh sampai lima ribu tahun yang lalu. Kenaikan muka air laut secara bertahap telah mendorong garis pantai jauh ke darat sampai akhirnya sekarang menjadi pantai dari Cilincing sampai Cengkareng.
Terus kenapa pula ada yang menyebutkan Jakarta sebagai kota delta? Dimasukkannya kota ini ke dalam kota delta memang kelihatannya agak-agak memaksa atau malahan a-geomorfologis (tidak sesuai dengan kaidah geomorfologi). Mungkin bagi mereka memang yang lebih penting adalah kota dan sungai-sungainya bukan deltanya.
Kalau Sidoardjo aslinya memang kota delta, atau lebih terkenal dengan istilah deltras, mungkin singkatan dari delta sungai Brantas. Atau Sanga-Sana dan Kutai Lama: itu dia kota-kota kecamatan di head of passes Mahakam delta (ssst, siapa pula yang nanya tentang Delta Brantas dan Mahakam? Sudahlah: fokus pada Jakarta yang disebut-sebut di beberapa tulisan sebagai delta itu. Ah, nggak, koq, aku hanya coba membandingkan dengan yang “real deltaic cities” asli Indonesia. Itu saja.)
Aneh juga ya, kenapa dengan adanya 13 sungai mengalir ke arah dan masuk Teluk Jakarta koq tidak terbentuk delta besar-besaran di sana? Nah, ini dia. Lagi-lagi kita harus mencari jawabannya pada pengetahuan tentang sedimentologi, sequence stratigraphy, dan akhirnya tektonik daerah Jakarta ini.
Baru sadar ternyata ada rahasia besar tektonika Jakarta. Dengan 13 sungai besar yang masuk perairan teluk, kenapa koq tidak juga terjadi delta, pada ke mana sedimen-sedimen yang diangkut dari gunung-gunung di Bogor Puncak Cianjur? Kuncinya di tektonika: Cekungan Ciputat yang turun, Platform Seribu yang naik, tidak ada ruang akomodasi di teluk, dataran banjir jakarta terus turun dan memerangkap sedimen dari 13 sungai besarnya. Jakarta turun: bukan hanya karena kompaksi sedimen kuarter dan disedot air tanahnya!