TDPT: Dimulai dari Mengabdi
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Di acara jagongan budaya di UB Malang November 2015, Presiden Republik Jancuk Indonesia Sujiwo Tejo mengeluarkan Maklumat Kepresidenannya tentang TDPT (Tri Dharma Perguruan Tinggi). Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ideal menurut maklumat tersebut adalah: pengabdian dulu, disusul dengan penelitian, barulah setelah itu di-sebar luaskan-lah ilmu dari hasil "pengabdian" dan "penelitian" itu melalui pendidikan. Aku langsung bertepuk tangan sorak-sorak bergembira mendapat penguatan jiwa, legitimasi, justifikasi, dan pembenaran atas apa yang selama ini aku jalani di dunia akademisi maupun praktisi.
Semua mahasiswa yang mengambil mata kuliahku, Sedimentologi dan Stratigrafi, pasti tahu betul bahwa 80% – 90% kuliahku ada di alam, di lapangan, di pantai, di sungai, di singkapan batu, di danau, di sedimen-sedimen modern dan purba, di pulau-pulau terumbu karang, di kuala-kuala, di gunung api, di delta, di teluk, di lembah, di tebing jurang menganga, di air terjun patah, di padang rumput sabana, di gumuk-gumuk pasir kering kerontang, di rawa-rawa, .... di air, di tanah, di angin, di suara, di terik, di basah, ..... di mana pun proses alam yang bisa kita indra, di situ lah kita belajar tentang bumi bersama-sama. 10% – 20% sisa waktunya barulah berupa pertemuan di kelas, UTS dan UAS : itu pun jika memang dibutuhkan untuk ada. Itu lah yang aku sebut dengan pengabdian dan penelitian sekaligus pendidikan. Kenapa bisa begitu?
Persentuhan santri dengan bumi adalah bagian dari "pengabdian" kepada bumi. Persentuhan akademisi dengan masyarakat adalah bagian dari "pengabdian" perguruan tinggi pada masyarakat. Tanpa bersentuhan tak mungkin ada rasa cinta, tak mungkin ada empati, rasa mengalami, rasa ingin memberi. Tanpa melebur tak mungkin ada pemahaman, kesejajaran, keselarasan, kesamaan frekuensi.
Setelah menyentuh, berinteraksi, karonsih, melebur jadi satu, barulah kita bisa ikut menghayati dan sekaligus melakoni aliran getaran dinamika bumi (dalam kasus ilmu-ilmu alam) dan atau aliran getaran dinamika keindahan dan kemasyarakatan (dalam kasus seni dan ilmu ilmu sosial). Pada fase inilah pengabdian itu mencapai puncaknya implementasi.
Akademisi ilmu alam akan selalu mencoba menyelaraskan getaran batin dan tingkah laku raganya dengan irama getaran gelombang alam. Dia tidak akan mengintervensi proses alam tanpa memperhitungkan substitusi dan kesetimbangan, dia tidak akan buang sampah sembarangan, dia tidak akan mengambil berlebihan - secukupnya saja untuk kelangsungan kehidupan, dalam mengekstraksi alam pun selalu ada reservasi untuk mengembalikannya ke alam dalam bentuk yang selaras dengan harmoni, dst, dsb. Dengan demikian maka para pembelajar bumi akan secara efektif dan efisien menyerap ilmu dari bumi sekaligus berinteraksi.
Akademisi seni dan ilmu sosial pun akan melakukan hal yang sama. Puncak pengabdian adalah ketika mereka dapat selaras bergerak bersama harmoni gerak sosial masyarakatnya. Gotong royong melok gotong royong, musyawaroh melok musyawaroh, njoget nembang ngendang ya ikut larut di dalamnya. Baca mantra, menghayati upacara-upacara, submit tunduk cinta pada tata-cara, nguri-uri budaya. Pada saat yang sama juga individu-individu akademisi yang umumnya punya posisi, kesanggupan dan kompetensi yang lebih dibandingkan anggota masyarakat kebanyakan secara otomatis akan memberikan aksen individual pada perkembangan budaya dan kebudayaan masyarakatnya. Lewat stimulasi individu-individu tersebut masyarakat akan makin bergerak maju. Dalam konteks tersebut mereka adalah agen pembaharuan/agen kemajuan/agen perubahan, seperti yang selama ini dipersepsikan oleh stigma positif akademisi/intelektual/sarjana. Pembicaraan tentang Menara Gading Ilmu dan Kebenaran Akademis jadi kehilangan relevansinya di sini.
Tahapan selanjutnya setelah mengabdi adalah "meneliti" atau dalam konteks TDPT adalah penelitian. Sebagai bagian dari laku ilmiah, yang jadi ciri akademisi adalah kemampuan untuk melakukan penelitian atau riset ilmiah adalah syarat mutlak. Riset Ilmiah yang dimaksudkan di sini adalah pemerian fakta empiris yang keberadaan dan hubungannya dengan fakta lainnya dapat dijelaskan keabsahan dan ke berulangnya secara sistematis dan prediktif yang kemudian disusun secara bersistem menjadi ilmu pengetahuan.
Penyerapan fakta secara indriawi bukan hanya dengan mata (seperti yang biasa dilakukan di kuliah-kuliah/diskusi konvensional di ruang kelas yang menggunakan sorotan gambar-gambar slide) tapi juga dengan rabaan, ciuman, sentuhan, kontak tubuh, pori-pori dengan media, dan, terutama, menggunakan rasa akan menyetorkan jutaan-milyaran sensasi ke dalam jiwa raga.
Jutaan – milyaran? Yupps. Otak dan rasa kita mampu menampung jutaan milyaran data-informasi tersebut. Sementara itu: yang bisa kita ungkapkan kembali baik dalam bentuk tulisan maupun pernyataan verbal kata-kata mungkin hanya satu – dua atau 100 – 200 data informasi saja dalam satu ketika. Demikian juga buku-buku teks yang ditulis oleh para profesor peneliti ilmu alam dunia ini; hanya satu per sekian dari milyaran informasi yang mereka serap di dalam pori-pori jiwa raga yang dapat mereka tuangkan dalam bentuk buku-buku itu... sisanya melebur di dalam sistem penyimpanan (ilmu) pengetahuan di dalam diri mereka.
Fenomena "satu per milyaran ekspresi dari milyaran repository" di atas harusnya kita sadari bersama, sehingga kita tidak terbengong-bengong lagi dengan cara nenek moyang leluhur yang menurunkan "ilmu" mereka lewat getaran begitu saja kepada yang mereka inginkan, bukan lewat buku ataupun kuliah berbulan-bulan lamanya. Dengan cara demikian milyaran "pengetahuan" itu dapat diturunkan dalam jumlah paket yang jauh lebih besar dari pada kalau lewat buku atau sekolah formal.
Kembali ke topik penelitian, sudah semestinya juga para akademisi penyandang TDPT memfokuskan pemahaman pada fenomena-fenomena alam maupun sosial seni budaya kemasyarakatan yang genuine (asli) di sekitar tempat mereka sendiri berada. Akademisi Indonesia harusnya terdorong untuk bisa lebih paham tentang Indonesia dengan lebih banyak fokus meneliti alam dan budaya Indonesia. Bukannya malah peneliti-peneliti asing yang berpesta-pora menikmati kemewahan kekayaan variabilitas alam dan budaya kita, sementara akademisi kita hanya pasrah nrimo ing pandum menunggu hasil-hasil penelitian tersebut, yang sering kali dilakukan dengan asumsi-asumsi dan hipotesa-hipotesa dasar non lokal alias impor dari negeri jauh, sehingga jauh panggang dari api alias gak nyambung.
Ambil contoh misalnya: bagaimana karakter Delta Sungai Mahakam kita yang sering kali dirujuk sebagai analog dari sistem minyak bumi di bawah permukaannya. Sebelum ada riset tentang Delta Mahakam kebanyakan para eksplorasionis migas menerapkan analogi Delta Missisipi di Amerika sana untuk mengevaluasi dan memprediksi keberadaan migas di bawah tanah yang terkait dengan sistem pengendapan delta. Setelah menerapkan ilmu tentang Delta Mahakam barulah usaha-usaha eksplorasi migas meningkat keberhasilannya dalam menemukan dan memproduksi migas, terutama di Kalimantan Timur sana.
Beberapa topik penelitian lainnya yang perlu dipertimbangkan untuk dieksplorasi oleh para akademisi nusantara adalah:
Hubungan vulkanisme, gempa, dan atau tsunami dengan muncul dan hancurnya budaya, kebudayaan, dan atau pranata sosial (karena hanya di Indonesia yang gunung apinya meletus tiap hari, gempanya menggetarkan bumi berkali-kali, dan tsunami setiap saat bisa terjadi),
Pendokumentasian dan pengelolaan unsur Tanah Jarang (Rare Earth Element) untuk material-material Super Conductor yang dari indikasi awal menunjukkan betapa berlimpahnya di Indonesia, tapi sampai saat ini belum ada usaha negara yang serius untuk menyentuhnya — pihak asing saja yang memanfaatkannya diam-diam dimana-mana;
Riset dan eksplorasi kekayaan laut dangkal Sundaland (antara Sumatra Kalimantan dan Jawa) untuk sebesar-besar manfaat bangsa dan dunia;
Energi dari masal alu (Indonesia ancestor's energy treasure);
Menguak sejarah, kearifan dan teknologi masa lalu lewat penelitian Katastrofe Purba;
Hubungan antara situs-situs megalitik dengan mineralisasi emas dan tembaga;
Mantra, legenda, hikayat, mitos, dan kepercayaan-kepercayaan leluhur tentang alam dan energi di Indonesia.
Tentunya masih banyak lagi topik/judul/objek penelitian yang dapat kita gali yang spesifik Indonesia, terutama terkait dengan kearifan lokal dan kekhasan alam dan budaya/sosial negeri kita sendiri.
Hasil-hasil penelitian dan pengabdian masyarakat seperti diuraikan di atas tentunya pada saatnya harus disosialisasikan dimasyarakatkan dan diturunkan turun temurun terus menerus kepada generasi berikutnya lewat pendidikan. Itulah TDPT yang terakhir.
Dengan demikian maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Perguruan Tinggi Indonesia seharusnya juga mencakup ilmu-ilmu yang berasal dari kearifan lokal, kondisi alam lokal, budaya dan seni lokal Indonesia. Bukan hanya ilmu-ilmu yang dihasilkan dari penelitian-penelitian orang asing di negeri-negeri asing. Bukan ilmu fisika alam yang diturunkan dari karakter gletser di belahan dunia utara tapi ilmu fisika alam yang diturunkan dari karakter hujan dan kelembaban udara di khatulistiwa, fisika alam banjir-banjir bandang yang mengglontor tanah-tanah subur nusantara — bukan banjir-banjir karena aliran mendadak hujan sesaat di gurun-gurun pasir Jasirah Arabia, dst. Bukan hanya teori demokrasi berdasarkan Res Publica Yunani, tapi terutama adat musyawarah dan pranata sosial budaya suku-suku bangsa kita Indonesia.
Pada event-event yang digagas dan dilaksanakan oleh segenap simpul Jaringan Kampung Nusantara di seluruh Indonesia, ilmu-ilmu lokal, budaya-budaya lokal, seni-seni lokal, kuliner-kuliner lokal, diskusi-diskusi lokal: semuanya hidup dan berbangkit mengibarkan bendera kemerdekaannya. Merdeka untuk tidak lagi dikuasai oleh hegemoni politik bisnis seni budaya dari negara antah berantah yang membuat kita semua tercerabut dari akar kehidupan tanah air kita sendiri, yang membuat kehalusan budi dan ketajaman nalar tak bisa memecahkan masalah lokal kita sendiri. Bagaimana mungkin kita mengatasi masalah kebakaran lahan gambut di Buntoi kalau ilmu yang kita pakai berasal dari Missisipi, Luosiana atau Perancis sana? Dayak-dayak di Buntoi sana tentunya turun temurun pernah dan sudah tahu cara hidup selaras berdampingan dengan lahan gambut mereka. Kenapa musti menoleh keluar kalau di dalam banyak kearifan lokal yang bisa menyelesaikan masalah.
Maka demikianlah, sebagai akademisi perguruan tinggi dan intelektual yang bertanggung-jawab, sudah seharusnya kita camkan dan praktikkan maklumat Presiden Jancukers Indonesia Sudjiwo Tejo bahwa Tri Darma Perguruan Tinggi itu musti dimulai dari Pengabdian Masyarakat, disusul dengan Penelitian, baru kemudian digong-i dengan Pendidikan. Berputar terus bersiklus kembali ke Pengabdian Masyarakat, Penelitian, Pendidikan berikutnya sampai akhirnya lingkaran proses itu bersama-sama menggelinding maju menuju masa depan Nusantara yang gemilang.