Blog Admin Blog Admin

Catatan Minna Minkum Nusantara

Terus waktu salah satu ibu itu bilang ke anaknya sambil nangis menyatakan dia khawatir seharian nyari anaknya kemarin, ternyata dia di Poltabes, dst, dsb, HIKKKS… Aku jadi inget bapak ibu-ku…. 

 

Aku mbrebes mili liat video ini. Bu Risma memarahi anak-anak (STM?) yang ikut demo kemarin terus ditangkepi di Poltabes (mungkin karena ikut anarkis ngelempar-lempar batu dan ngerusak-rusak? Atau melawan petugas PHH?), kemudian dibebaskan di depan orangtua mereka.

Apalagi pas Risma bilang orangtua kalian yang membersihkan kotoran kalian waktu kecil, menyuapi kalian, mengajari kalian jalan, dan sebagainya.. Terus waktu salah satu ibu itu bilang ke anaknya sambil nangis menyatakan dia khawatir seharian nyari anaknya kemarin, ternyata dia di Poltabes, dst, dsb, HIKKKS… Aku jadi inget bapak ibu-ku…. 

Terbayang bapak ibuku yang susah payah bekerja mencukupi kebutuhanku dan saudara-saudaraku sampai aku bisa mandiri seperti ini. Kebayang betapa khawatir mereka waktu dulu itu aku sering cerita ikut demo sana-sini, ke DPR beberapa kali, nyorat-nyoret jembatan penyebrangan dan tembok-tembok dan papan reklame dengan tulisan-tulisan “Gantung Soeharto”, nyanyi-nyanyi provokasi di apel siaga di lapangan Gasibu, di lapangan basket ITB, di kampus IPB, di kampus UGM, latihan malam di kampus mengenai demo mengahadapi pukulan tentara, dan lain sebagainya… Hhhhh....

Mereka sering bilang, “ati-ati Yang, wis wis wis gak usah melok-melok,” tapi aku jalan terus (meski lebih hati-hati). Kebayang betapa leganya mereka setelah aku lulus dan langsung kerja ke Kalimantan, wis gak melok-melok urusan ndik Bandung-Jakarta lagi.

Soal kecenderungan anarki demo-demo yang sekarang ini, kelihatannya sebenarnya demo mahasiswa itu tertib diatur supaya tidak anarki oleh korlap/pimpinan mereka masing-masing…. Tapi yang nggak bisa dikontrol itu yang demo ikut-ikutan atau di-ikut-ikut-kan seperti anak-anak STM itu (nggak tau termasuk golongan yang mana itu: ikut-ikutan atau dipancing supaya ikut-ikutan atau sengaja di-ikut-ikut-kan). Juga seperti preman-preman bayaran politik atau orang-orang bertato yang ketangkap di salah satu video bersama mahasiswa-mahasiswa itu dan mereka gak punya KTM. Bisa saja mereka sengaja atau ikut-ikutan jadi anarki, ngerusak sana-sini, ngelempari petugas dengan batu, bahkan bakar-bakar atau ikutan seru bakar-bakar setekah ada yang membakar, atau memang sengaja demo-demo itu disusupi oleh intel dengan tujuan tertentu (termasuk bikin rusuh) seperti dokumentasi beberapa video yang menunjukkan itu (ada perwira intel yang lagi nyamar jadi mahasiswa yang dipukuli sama polisi berseragam terus dilerai oleh intel lainnya, dsb).

Soal anarki itu, jadi inget jaman 1980 dulu. Usia-usia mahasiswa berdarah muda 18, 19, 20 tahun itu benar-benar usia penuh keinginan untuk membuktikan diri — eksistensi yang menantang. Benar-benar mudah terprovokasi. Kok anak STM, aku aja yang mahasiswa ITB dulu waktu jalan dari Salemba ke Gatsu (demo anti Soeharto 1980) juga terpancing bawa batu dan ikutan ngelempari helikopter polisi yang melayang agak rendah di atas jembatan Latuharhary Kuningan. Gak tau apa nyampe apa nggak lemparan-lemparan batu kerikil itu, tapi helikopternya sampai jatuh, tuh... Masuk koran waktu itu dan kita semua waktu itu merasa sangat bangga seolah-olah bisa menjatuhkan helikopter polisi. Gak kepikiran bahwa mungkin polisinya luka-luka dan mereka juga punya keluarga, punya anak-anak seperti kita juga. Setelah lebih dewasa 30 tahunan baru kemudian mikir, “gosh, what have we done during that time, ngelempari helikopter polisi sampai jatuh? Itu iseng-isang bisa jadi anarkis lho…" dst, dsb. Menyesal banget.

Semoga negara dan pemerintahan dan bangsa Indonesia selalu dilindungi oleh Allah SWT. Semoga pemerintah mendengar semua suara keluh kesah rakyatnya. Semoga rakyatnya (kita semua) bisa selalu menyuarakan aspirasi dengan tertib dan tidak anarki. Semoga mahasiswa kita diberi kekuatan terus untuk belajar, sukses dan sekaligus bisa bebas merdeka menyuarakan aspirasi masyarakatnya tanpa anarki. Semoga para orangtua mahasiswa tidak bosan-bosannya mengingatkan anak-anaknya supaya tidak anarki, terus berhati-hati, dan lancar belajar hingga lulus dan bisa kerja membangun negara lewat semua lini.

Semoga kita semua diselamatkan dari wabah multidimensi ini..

Minnaminkum Nusantara..

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

TDPT: Dimulai dari Mengabdi

Di acara jagongan budaya di UB Malang November 2015, Presiden Republik Jancuk Indonesia Sujiwo Tejo mengeluarkan Maklumat Kepresidenannya tentang TDPT (Tri Dharma Perguruan Tinggi).

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Di acara jagongan budaya di UB Malang November 2015, Presiden Republik Jancuk Indonesia Sujiwo Tejo mengeluarkan Maklumat Kepresidenannya tentang TDPT (Tri Dharma Perguruan Tinggi). Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ideal menurut maklumat tersebut adalah: pengabdian dulu, disusul dengan penelitian, barulah setelah itu di-sebar luaskan-lah ilmu dari hasil "pengabdian" dan "penelitian" itu melalui pendidikan. Aku langsung bertepuk tangan sorak-sorak bergembira mendapat penguatan jiwa, legitimasi, justifikasi, dan pembenaran atas apa yang selama ini aku jalani di dunia akademisi maupun praktisi.

Semua mahasiswa yang mengambil mata kuliahku, Sedimentologi dan Stratigrafi, pasti tahu betul bahwa 80% – 90% kuliahku ada di alam, di lapangan, di pantai, di sungai, di singkapan batu, di danau, di sedimen-sedimen modern dan purba, di pulau-pulau terumbu karang, di kuala-kuala, di gunung api, di delta, di teluk, di lembah, di tebing jurang menganga, di air terjun patah, di padang rumput sabana, di gumuk-gumuk pasir kering kerontang, di rawa-rawa, .... di air, di tanah, di angin, di suara, di terik, di basah, ..... di mana pun proses alam yang bisa kita indra, di situ lah kita belajar tentang bumi bersama-sama. 10% – 20% sisa waktunya barulah berupa pertemuan di kelas, UTS dan UAS : itu pun jika memang dibutuhkan untuk ada. Itu lah yang aku sebut dengan pengabdian dan penelitian sekaligus pendidikan. Kenapa bisa begitu?

Persentuhan santri dengan bumi adalah bagian dari "pengabdian" kepada bumi. Persentuhan akademisi dengan masyarakat adalah bagian dari "pengabdian" perguruan tinggi pada masyarakat. Tanpa bersentuhan tak mungkin ada rasa cinta, tak mungkin ada empati, rasa mengalami, rasa ingin memberi. Tanpa melebur tak mungkin ada pemahaman, kesejajaran, keselarasan, kesamaan frekuensi.

Setelah menyentuh, berinteraksi, karonsih, melebur jadi satu, barulah kita bisa ikut menghayati dan sekaligus melakoni aliran getaran dinamika bumi (dalam kasus ilmu-ilmu alam) dan atau aliran getaran dinamika keindahan dan kemasyarakatan (dalam kasus seni dan ilmu ilmu sosial). Pada fase inilah pengabdian itu mencapai puncaknya implementasi.

Akademisi ilmu alam akan selalu mencoba menyelaraskan getaran batin dan tingkah laku raganya dengan irama getaran gelombang alam. Dia tidak akan mengintervensi proses alam tanpa memperhitungkan substitusi dan kesetimbangan, dia tidak akan buang sampah sembarangan, dia tidak akan mengambil berlebihan - secukupnya saja untuk kelangsungan kehidupan, dalam mengekstraksi alam pun selalu ada reservasi untuk mengembalikannya ke alam dalam bentuk yang selaras dengan harmoni, dst, dsb. Dengan demikian maka para pembelajar bumi akan secara efektif dan efisien menyerap ilmu dari bumi sekaligus berinteraksi.

Akademisi seni dan ilmu sosial pun akan melakukan hal yang sama. Puncak pengabdian adalah ketika mereka dapat selaras bergerak bersama harmoni gerak sosial masyarakatnya. Gotong royong melok gotong royong, musyawaroh melok musyawaroh, njoget nembang ngendang ya ikut larut di dalamnya. Baca mantra, menghayati upacara-upacara, submit tunduk cinta pada tata-cara, nguri-uri budaya. Pada saat yang sama juga individu-individu akademisi yang umumnya punya posisi, kesanggupan dan kompetensi yang lebih dibandingkan anggota masyarakat kebanyakan secara otomatis akan memberikan aksen individual pada perkembangan budaya dan kebudayaan masyarakatnya. Lewat stimulasi individu-individu tersebut masyarakat akan makin bergerak maju. Dalam konteks tersebut mereka adalah agen pembaharuan/agen kemajuan/agen perubahan, seperti yang selama ini dipersepsikan oleh stigma positif akademisi/intelektual/sarjana. Pembicaraan tentang Menara Gading Ilmu dan Kebenaran Akademis jadi kehilangan relevansinya di sini.

Tahapan selanjutnya setelah mengabdi adalah "meneliti" atau dalam konteks TDPT adalah penelitian. Sebagai bagian dari laku ilmiah, yang jadi ciri akademisi adalah kemampuan untuk melakukan penelitian atau riset ilmiah adalah syarat mutlak. Riset Ilmiah yang dimaksudkan di sini adalah pemerian fakta empiris yang keberadaan dan hubungannya dengan fakta lainnya dapat dijelaskan keabsahan dan ke berulangnya secara sistematis dan prediktif yang kemudian disusun secara bersistem menjadi ilmu pengetahuan.

Penyerapan fakta secara indriawi bukan hanya dengan mata (seperti yang biasa dilakukan di kuliah-kuliah/diskusi konvensional di ruang kelas yang menggunakan sorotan gambar-gambar slide) tapi juga dengan rabaan, ciuman, sentuhan, kontak tubuh, pori-pori dengan media, dan, terutama, menggunakan rasa akan menyetorkan jutaan-milyaran sensasi ke dalam jiwa raga.
Jutaan – milyaran? Yupps. Otak dan rasa kita mampu menampung jutaan milyaran data-informasi tersebut. Sementara itu: yang bisa kita ungkapkan kembali baik dalam bentuk tulisan maupun pernyataan verbal kata-kata mungkin hanya satu – dua atau 100 – 200 data informasi saja dalam satu ketika. Demikian juga buku-buku teks yang ditulis oleh para profesor peneliti ilmu alam dunia ini; hanya satu per sekian dari milyaran informasi yang mereka serap di dalam pori-pori jiwa raga yang dapat mereka tuangkan dalam bentuk buku-buku itu... sisanya melebur di dalam sistem penyimpanan (ilmu) pengetahuan di dalam diri mereka.

Fenomena "satu per milyaran ekspresi dari milyaran repository" di atas harusnya kita sadari bersama, sehingga kita tidak terbengong-bengong lagi dengan cara nenek moyang leluhur yang menurunkan "ilmu" mereka lewat getaran begitu saja kepada yang mereka inginkan, bukan lewat buku ataupun kuliah berbulan-bulan lamanya. Dengan cara demikian milyaran "pengetahuan" itu dapat diturunkan dalam jumlah paket yang jauh lebih besar dari pada kalau lewat buku atau sekolah formal.

Kembali ke topik penelitian, sudah semestinya juga para akademisi penyandang TDPT memfokuskan pemahaman pada fenomena-fenomena alam maupun sosial seni budaya kemasyarakatan yang genuine (asli) di sekitar tempat mereka sendiri berada. Akademisi Indonesia harusnya terdorong untuk bisa lebih paham tentang Indonesia dengan lebih banyak fokus meneliti alam dan budaya Indonesia. Bukannya malah peneliti-peneliti asing yang berpesta-pora menikmati kemewahan kekayaan variabilitas alam dan budaya kita, sementara akademisi kita hanya pasrah nrimo ing pandum menunggu hasil-hasil penelitian tersebut, yang sering kali dilakukan dengan asumsi-asumsi dan hipotesa-hipotesa dasar non lokal alias impor dari negeri jauh, sehingga jauh panggang dari api alias gak nyambung.

Ambil contoh misalnya: bagaimana karakter Delta Sungai Mahakam kita yang sering kali dirujuk sebagai analog dari sistem minyak bumi di bawah permukaannya. Sebelum ada riset tentang Delta Mahakam kebanyakan para eksplorasionis migas menerapkan analogi Delta Missisipi di Amerika sana untuk mengevaluasi dan memprediksi keberadaan migas di bawah tanah yang terkait dengan sistem pengendapan delta. Setelah menerapkan ilmu tentang Delta Mahakam barulah usaha-usaha eksplorasi migas meningkat keberhasilannya dalam menemukan dan memproduksi migas, terutama di Kalimantan Timur sana.

Beberapa topik penelitian lainnya yang perlu dipertimbangkan untuk dieksplorasi oleh para akademisi nusantara adalah:

  1. Hubungan vulkanisme, gempa, dan atau tsunami dengan muncul dan hancurnya budaya, kebudayaan, dan atau pranata sosial (karena hanya di Indonesia yang gunung apinya meletus tiap hari, gempanya menggetarkan bumi berkali-kali, dan tsunami setiap saat bisa terjadi),

  2. Pendokumentasian dan pengelolaan unsur Tanah Jarang (Rare Earth Element) untuk material-material Super Conductor yang dari indikasi awal menunjukkan betapa berlimpahnya di Indonesia, tapi sampai saat ini belum ada usaha negara yang serius untuk menyentuhnya — pihak asing saja yang memanfaatkannya diam-diam dimana-mana;

  3. Riset dan eksplorasi kekayaan laut dangkal Sundaland (antara Sumatra Kalimantan dan Jawa) untuk sebesar-besar manfaat bangsa dan dunia;

  4. Energi dari masal alu (Indonesia ancestor's energy treasure);

  5. Menguak sejarah, kearifan dan teknologi masa lalu lewat penelitian Katastrofe Purba;

  6. Hubungan antara situs-situs megalitik dengan mineralisasi emas dan tembaga;

  7. Mantra, legenda, hikayat, mitos, dan kepercayaan-kepercayaan leluhur tentang alam dan energi di Indonesia.

Tentunya masih banyak lagi topik/judul/objek penelitian yang dapat kita gali yang spesifik Indonesia, terutama terkait dengan kearifan lokal dan kekhasan alam dan budaya/sosial negeri kita sendiri.

Hasil-hasil penelitian dan pengabdian masyarakat seperti diuraikan di atas tentunya pada saatnya harus disosialisasikan dimasyarakatkan dan diturunkan turun temurun terus menerus kepada generasi berikutnya lewat pendidikan. Itulah TDPT yang terakhir.

Dengan demikian maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Perguruan Tinggi Indonesia seharusnya juga mencakup ilmu-ilmu yang berasal dari kearifan lokal, kondisi alam lokal, budaya dan seni lokal Indonesia. Bukan hanya ilmu-ilmu yang dihasilkan dari penelitian-penelitian orang asing di negeri-negeri asing. Bukan ilmu fisika alam yang diturunkan dari karakter gletser di belahan dunia utara tapi ilmu fisika alam yang diturunkan dari karakter hujan dan kelembaban udara di khatulistiwa, fisika alam banjir-banjir bandang yang mengglontor tanah-tanah subur nusantara — bukan banjir-banjir karena aliran mendadak hujan sesaat di gurun-gurun pasir Jasirah Arabia, dst. Bukan hanya teori demokrasi berdasarkan Res Publica Yunani, tapi terutama adat musyawarah dan pranata sosial budaya suku-suku bangsa kita Indonesia.

Pada event-event yang digagas dan dilaksanakan oleh segenap simpul Jaringan Kampung Nusantara di seluruh Indonesia, ilmu-ilmu lokal, budaya-budaya lokal, seni-seni lokal, kuliner-kuliner lokal, diskusi-diskusi lokal: semuanya hidup dan berbangkit mengibarkan bendera kemerdekaannya. Merdeka untuk tidak lagi dikuasai oleh hegemoni politik bisnis seni budaya dari negara antah berantah yang membuat kita semua tercerabut dari akar kehidupan tanah air kita sendiri, yang membuat kehalusan budi dan ketajaman nalar tak bisa memecahkan masalah lokal kita sendiri. Bagaimana mungkin kita mengatasi masalah kebakaran lahan gambut di Buntoi kalau ilmu yang kita pakai berasal dari Missisipi, Luosiana atau Perancis sana? Dayak-dayak di Buntoi sana tentunya turun temurun pernah dan sudah tahu cara hidup selaras berdampingan dengan lahan gambut mereka. Kenapa musti menoleh keluar kalau di dalam banyak kearifan lokal yang bisa menyelesaikan masalah.

Maka demikianlah, sebagai akademisi perguruan tinggi dan intelektual yang bertanggung-jawab, sudah seharusnya kita camkan dan praktikkan maklumat Presiden Jancukers Indonesia Sudjiwo Tejo bahwa Tri Darma Perguruan Tinggi itu musti dimulai dari Pengabdian Masyarakat, disusul dengan Penelitian, baru kemudian digong-i dengan Pendidikan. Berputar terus bersiklus kembali ke Pengabdian Masyarakat, Penelitian, Pendidikan berikutnya sampai akhirnya lingkaran proses itu bersama-sama menggelinding maju menuju masa depan Nusantara yang gemilang.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Field Trip: Delta Mahakam dan Cekungan Kutai

Seminar lapangan tiga hari "Delta Mahakam dan Cekungan Kutai" untuk dosen-dosen Sedimentologi/Stratigrafi/Petroleum Geology seluruh Indonesia telah sukses diselenggarakan oleh GDA bekerja sama dengan Komite Eksplorasi Nasional pada 9, 10, 11 Oktober 2015 sebagai bagian dari rangkaian acara Joint Convention Balikpapan IAGI-HAGI-IATMI-IAFMI 2015.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Seminar lapangan tiga hari "Delta Mahakam dan Cekungan Kutai" untuk dosen-dosen Sedimentologi/Stratigrafi/Petroleum Geology seluruh Indonesia telah sukses diselenggarakan oleh GDA bekerja sama dengan Komite Eksplorasi Nasional pada 9, 10, 11 Oktober 2015 sebagai bagian dari rangkaian acara Joint Convention Balikpapan IAGI-HAGI-IATMI-IAFMI 2015.

Acara seminar diikuti oleh 19 dosen, delapan anggota KEN, dan enam panitia dari GDA dengan dipimpin langsung oleh Andang Bachtiar Ketua Komite Eksplorasi Nasional sekaligus geologis peneliti Delta Mahakam – Cekungan Kutai. Para peserta acara tiga hari di Samarinda dan Balikpapan itu tidak dipungut biaya alias gratis atas sponsorship dari Chevron, Ophir, dan VICO (ketiganya KKKS yang beroperasi di Kalimantan Timur) dan juga kerja sama bantuan keuangan dari Komite Eksplorasi Nasional yang saat itu juga sedang menyelenggarakan Focus Group Discussion-nya tentang Potensi Eksplorasi di Cekungan Kutai Hilir.

Dosen-dosen tersebut datang dari Unila (satu orang), Undip (dua orang), Unsoed (satu orang), Unpak (satu orang), UI (satu orang), Univ Trisakti (satu orang), STTNas (dua orang), Akprind (satu orang), STTMigas (empat orang), dan Unmul (lima orang).

Dua singkapan penting yang menunjukkan geometri dan karakter litofasies khas delta, fluvial, proses pasang surut, dan gelombang serta implikasi sekuen stratigafinya dikunjungi di hari pertama di Samarinda. Pada malam harinya diselenggarakan kuliah malam dan diskusi tentang Cekungan Kutai dan Delta Mahakam di hotel tempat menginap peserta di Samarinda.

Pada hari kedua, Sabtu 10 Oktober 2015 para dosen diajak untuk menyusuri Sungai Mahakam dengan tiga perahu sea-truck dari daerah fluvial di S.Mariam sampai ke delta front area di Muara Bujit, dari pagi jam 07:00 berangkat berakhir jam 17:00 kembali ke Samarinda. Empat lokasi didatangi dan dilakukan pengukuran batimetri, grab sampling (di Fluvial dan Upper Delta Plain) dan coring (di Delta Front dan Lower Delta Plain). Peserta belajar bagaimana karakter sedimen di berbagai depositional setting modern tersebut langsung dari alam yang sering kali tidak sesederhana simplifikasi model yang dituliskan di dalam buku-buku teks. yang paling eksotik adalah pengalaman mendarat di distributary mouth bar di delta front area "jauh di tengah laut" seolah "in the middle of nowhere" dan mendapati berbagai fenomena sedimentologi permukaan maupun bawah permukaan dangkal (dari core).

Pada hari ketiga, Minggu 11 Oktober 2015, para dosen diajak untuk naik ke gunung Batuputih titik tertinggi di Samarinda yang dibentuk oleh gawir patahan-antiklin Separi yang menyingkapkan batu gamping shelf-slope break berumur N7 – N8 di area tersebut. Diskusi pun menghangat tentang hubungan lingkungan pengendapan gamping dengan delta, kontrol struktur pada sedimentasi pro-delta dan deepwater facies dan batu gamping, dan sebagainya.

Setelah itu satu singkapan endapan arus gravitasi berdekatan dengan singkapan batu gamping itu pun diamati, diikuti dengan kunjungan dan diskusi ke singkapan Mud Volcano di sekitar area Batuputih. Model struktur, aktivitas tegangan kompresi, diapirisme dan petroleum system didiskusikan di singkapan-singkapan tersebut.

Singkapan terakhir yang dikunjungi pada field seminar ini adalah rembesan minyak di tebing patahan batu pasir Klandasan Fm di gunung Dubbs/gunung Pancur Balikpapan. Di singkapan tersebut di bahas juga geologi Wain Basin di sekitaran Balikpapan dan sejarah industri migas sejak jaman Belanda di sana. Satu fenomena sejarah perminyakan yang menarik di lokasi ini adalah pipa slotted bertahun 1939 yang dipasang oleh Belanda di dinding bendung artifisial yang dipakai untuk mengalirkan minyak yang keluar dari rembesan untuk dikontrol maupun dimanfaatkan penggunaannya.

Akhirnya acara Field Seminar singkat padat tiga hari full itu ditutup dengan makan malam bersama di Restoran Kenari Balikpapan pada Minggu 11 Oktober 2015 jam 19:00.

Salah satu komentar peserta yang menarik adalah, "Terima kasih buat GDA, KEN, terutama pak Andang terima kasih banyak Pak. Mengubah pola berfikir saya, dari text book oriented kembali menjadi apa itu geologi. Membumi.. Touch the rocks, thats the text book is."

GDA akan terus komit untuk menyelenggarakan field trip/seminar gratis untuk dosen-dosen geologi ini setiap tahun dalam rangka lebih menambah wawasan, pengalaman, dan jejaring kerja supaya dalam mendidik dan mengajar mahasiswa geologi Indonesia bapak/ibu dosen akan menjadi lebih "kaya" dan punya "warna" Indonesia.

Acara serupa di tahun-tahun sebelumnya diselenggarakan oleh GDA di JCM IAGI-HAGI Medan 2013, yaitu field trip gratis untuk para dosen geologi ke Danau Toba dan sekitarnya dan di PIT IAGI 2014 Jakarta: field trip gratis untuk para dosen geologi dan mahasiswa ke Sungai Cipamingkis, Bogor dan sekitarnya.

 InsyaAllah, kita bertemu lagi di acara serupa di PIT IAGI atau HAGI tahun 2016 mendatang!!!

 
 
Field Trip- Delta Mahakam.jpg
 
Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Tentang Eksplorasi dan SM-IAGI (dan FGMI)

Eksplorasi sumber daya geologi kita busung alias macet alias mejen alias memble salah satu penyebabnya karena kebanyakan jajaran pekerja geosain lebih menguasai software untuk mengelola data (istilah halus dari manipulasi data) sementara pengetahuan serta kemampuan analisis-sintesis geologinya sekadarnya saja.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Eksplorasi sumber daya geologi kita busung alias macet alias mejen alias memble salah satu penyebabnya karena kebanyakan jajaran pekerja geosain lebih menguasai software untuk mengelola data (istilah halus dari manipulasi data) sementara pengetahuan serta kemampuan analisis-sintesis geologinya sekadarnya saja.

Mata lulusan-lulusan baru geosains menangkap sinyal yang salah tentang kebutuhan industri ekstraktif kebumian akan tenaga eksporasionis-nya. Sinyal yang memancarkan iming-iming segera nyemplung di dunia kerja meski hanya sebagai teknisi — operator tukang klik komputer belaka yang lulusan kursus operator seminggu pun mampu memulainya.

Sinyal itu diperkuat juga sebagiannya oleh sistem pendidikan geologi instant, dalam kelas, template dan terstruktur kaku yang mengekang kebebasan berpikir dan tidak mengembangkan kognisi atas dasar pengalaman interaksi dengan batu, proses, dan bentang alam, tapi pada wejangan-wejangan.

Eksplorasi dan riset adalah dua sisi mata uang yang sama untuk membayar temuan-temuan baru sumber daya kebumian kita. Kegiatan himpunan - asosiasi profesinya mahasiswa-mahasiswa geosains kita pada umumnya terlihat keren kalau mengoperasikan software, memanipulasi data, menghitung-hitung dan merencanakan pengelolaan cadangan yang sudah ditemukan (lomba ngeklik software, lomba POD, lomba FS, dan sebagainya). Bukaannya lebih ke riset-riset dasar seperti memodelkan tektonika dan sedimentasi cekungan, metode-metode integrasi geologi permukaan dengan bawah permukaan, memahami overpressure dan gerakan fluida di cekungan dan trobosan alat-alat geofisika. Agak susah kita mengharapkan kemampuan analisis-sintesis geosains bisa berkembang secara lateral dalam situasi seperti itu. yang ada hasilnya sementara ini ya seperti yang kita sama-sama saksikan: generasi pasokan tenaga geosains baru yang lebih ahli jadi teknisi memanipulasi image bawah permukaan dan memodelkan perhitungan cadangan dan skenario pengembangan, tapi gagap dengan pertanyaan: “ke mana lagi kita harus mencari cadangan baru yang belum ditemukan?"

Seksi Mahasiswa IAGI (IAGI Student Chapter) dan FGMI (Forum GeoLogist Muda Indonesia): mohon kalau bisa mengambil porsi yang sering dilupakan oleh asosiasi profesi kebumian dan industri ekstraktif ini, yaitu porsi riset; porsi yang bener-bener geologi: back to basics, look at the rocks (kembali ke ilmu dasar, melihat batu!).

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

(Dikotomi Geologi: Sains Murni dan Sains Terapan)

Aku terheran-heran dengan dikotomi geologi sebagai sains murni dan sains terapan seperti yang dipahami oleh kaum akademisi dan para peneliti Indonesia, sementara bagiku yang lebih banyak bergerak di industri semua aspek dari geologi adalah sains terapan yang bisa langsung terkait dengan benefit maupun profit.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Aku terheran-heran dengan dikotomi geologi sebagai sains murni dan sains terapan seperti yang dipahami oleh kaum akademisi dan para peneliti Indonesia, sementara bagiku yang lebih banyak bergerak di industri semua aspek dari geologi adalah sains terapan yang bisa langsung terkait dengan benefit maupun profit.

Kalaupun toh sebagian besar geologis yang bekerja di industri ekstraksi kebumian, konstruksi, dan lingkungan mengatakan bahwa mereka tidak perlu memakai geologi dalam pekerjaan mereka sehari-hari itu dikarenakan mereka tidak benar-benar menghayati dan menguasai ilmu geologi. Mereka mengira diri mereka adalah engineer, manager, birokrat, regulator, ahli lingkungan atau bahkan politisi kebumian. Tapi ketika mereka tidak menerapkan prinsip-prinsip geologi dalam pekerjaan mereka sehari-hari sebenarnyalah mereka sekedar membonceng masuk dalam kancah tersebut sebagai geologis, kemudian selebihnya mereka adalah manusia biasa seperti yang lainnya.

Karena sebenarnya hanya ada dua golongan manusia di dunia ini: geologis dan non-geologis. Begitulah gusti Allah membuat keseimbangan di bumi. Dan para saintis di akademi maupun lembaga-lembaga penelitian itu, karena mereka tidak pernah benar-benar masuk dalam industri maka yang mereka tahu adalah kesan dan perlakuan diskriminatif para manusia biasa yang mengaku sebagai geologis itu terhadap ilmu geologi yang salah kaprah dan tersesat ke mana-mana.

Pantesan saja tidak ada terobosan konsep-konsep geologi baru Indonesia oleh orang Indonesia selama hampir empat dekade ini, karena pada kenyataannya semua peneliti dan akademisi sedang terhanyut di arus industri dan dijadikan manusia biasa oleh para proponen industrialisasi.

Read More