Tentang Air Mata
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Menyanyikan Indonesia Raya saat pengibaran bendera di ESDM tadi pagi, air mata berleleran di wajahku. Aku pun tidak berani terlalu keras menyuarakan lagu kebangsaan karena ketika kucoba : suara nyanyianku jadi gak karu-karuan di tengah isak haru, sedih, bangga, campur aduk jadi satu. Selain itu: nggak enak juga kelihatan dan didengarkan oleh pejabat-pejabat di kiri kananku yang sedang ikut upacara tujuh belasan itu.
Apa yang sebenarnya terjadi aku juga kurang tahu pasti. Tadinya ku pikir itu semacam perasaan self pity (sedih mengingat kemalangan diri) yang sepertinya mencoba "mencintai" negeri dengan berbuat secerdas mungkin untuk memperbaiki keadaan tapi ternyata tidak di"waro" oleh sang ibu pertiwi. Seolah-olah seperti perasaan cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi dipikir-pikir lebih panjang: sebenarnya bukan ibu pertiwinya yang tidak menghargai/tidak mengapresiasi/tidak me"waro" aku, tapi para pemegang kendali atas berjalan lancarnya urusan negeri ini yang tidak peduli, sehingga apa yang kulakukan untuk ibu pertiwi jadinya seperti sia-sia. Begitulah. Maka berdleweran lah air mata ketika memandang dengan haru dan bangga bendera merah putih berkibar sambil menyanyikan Indonesia raya.
Memang, sih, tidak terlalu sering aku ikutan upacara bendera 17 Agustusan seperti hari ini. Tahun lalu dan tahun sebelumnya seingatku aku di ada lapangan (delta Mahakam), jadi nggak ikut upacara di mana pun juga. Tapi tiga tahun yang lalu (2014) aku sempat juga ikut upacara bendera di RW kalau nggak salah — nah waktu itu aku juga mewek-mewek nahan tangisku karena rasa campur aduk di dadaku.
Dulu ketika masih menjadi pegawai selama 17 tahunan dari 1984-2000 sebenarnya sudah ada bibit-bibit melankolis itu setiap kali upacara bendera 17an, tapi gak sekenceng dan sekuat perasaan beberapa tahun terakhir ini. Mungkin karena makin lama aku makin tua. Atau karena terlalu banyak beban numpuk di jiwa yang terkait dengan kekecewaan-kekecewaan atas kondisi negara tapi seolah aku gak bisa melakukan apa pun juga untuk memperbaikinya. Entah lah.
Malam ini tadi juga, dalam acara peluncuran buku Napas Anak Merdeka: In Memoriam Leo Kristi; acara resmi dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza. Dan lagi-lagi air mata berdleweran di wajahku. Kadang-kadang terlintas wajah almarhum bapakku dengan seragam hitam-hitam TRIP-nya. Lalu ungkapan-ungkapan retoris itu menggema berulang-ulang di rongga kepala: "kasihan, deh, kamu Yang .... seberapa pun cintamu pada ibu pertiwi yang sedang susah ini, seberapa pun mampu kau pikir otakmu untuk membenahi karut-marutnya, tetap saja kamu harus lihat kenyataan: rohmu, jiwamu, auramu belum lah terlalu kuat untuk menerobos segala barier kepentingan oligarki bisnis politik kekuasaan yang sedang berlupa, sedang semu berbangga, sedang merasa paling benar dengan segala tindakan dan firmannya". ..... Lagi-lagi hari ini 17 Agustus 2017, aku terisak menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Bukan hanya itu saja. Sebelum acara resmi peluncuran buku Napas Anak Merdeka, di sore harinya tadi: ada sesi cerita-cerita tentang almarhum Leo Imam Sukarno yang nama kesenimanannya Leo Kristi. Dalam sesi itu lagi-lagi aku terisak dleweran air mata ketika mendengar dan menghayati cerita mbak Titik Manyar tentang pengalaman batinnya dengan Leo termasuk di saat-saat akhir sebelum meninggalnya. Aku benar-benar ditunjuki Tuhan cermin di depan mata: bagaimana tulusnya cinta kasih "memberi" dan betapa luar biasanya kekuatan cinta.
Sebenarnya bisa juga dibilang agak gak nyambung: rangkaian bendera merah putih, lagu Indonesia raya, hari kemerdekaan dan isak tangis karena mendengar cerita saat-saat terakhir hidupnya Leo. Tapi bisa juga dibilang nyambung dengan benang merah: Cinta kasih merah putih ibu pertiwi .... dan air mata.
Mumpung belum lupa dan perasaan itu masih ada, kutuliskan saja.