Thanks, DEN
Thanks DEN (Dewan Energi Nasional) and congrats for the first Plenary Meeting (Sidang Paripurna) with the President after three years vacant.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Thanks DEN (Dewan Energi Nasional) and congrats for the first Plenary Meeting (Sidang Paripurna) with the President after three years vacant.
About the stopping of fuel and lpg import in 2030: it’s gonna be tough, though, but it’s doable as long as President and his inner circle know for sure what the enablers are, and what does it take to have all those enablers realized.
Those will include radical deregulation of energy/oil and gas laws, and their follow up GR (PP) —including PP KEN (Kebijakan Energi Nasional) which have to be revised and (of course) Presidential Decree Perpres RUEN (Rencana Umum Energi Nasional), and most importantly: Minister Regulations (PerMen), which many times in the past did not really match with spirit of the regulation above them but always forced to apply.
Salam,
Andang BACHTIAR
DEN 2014 - 2017
Gas! Gas! Gas!
Sudah saatnya pemerintah lebih fokus pada gas daripada minyak bumi. Ketua Umum ADPMET (Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan) Ridwan Kamil dan Sekjen (Andang Bachtiar) dalam RDP dengan Komisi 7 DPR-RI, 5 April 2021.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Sudah saatnya pemerintah lebih fokus pada gas daripada minyak bumi. Ketua Umum ADPMET (Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan) Ridwan Kamil dan Sekjen (Andang Bachtiar) dalam RDP dengan Komisi 7 DPR-RI, 5 April 2021.
Selain sebagai jalan antara (transisi) dari energi fosil ke energi terbarukan, kenyataannya kita punya cadangan gas empat kali lebih banyak dari cadangan minyak bumi dan potensi sumber daya migas kita ke depan jauh lebih banyak gas-nya daripada minyak bumi-nya.
Oleh karena itu Bauran Energi (Energy Mix) kita harusnya juga dikoreksi: Gas harus lebih dominan digunakan daripada Minyak Bumi dan UU Migas kita ubah namanya jadi UU GasMi.
Gempa Malang
Gempa Malang kemarin, sing kenek parah iku sing lokasine sepanjang garis lemah patahan Lumajang - Sumenep iku — yaitu daerah Dampit Kab. Malang dan Tempursari Kab. Lumajang.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Gempa Malang kemarin, sing kenek parah iku sing lokasine sepanjang garis lemah patahan Lumajang - Sumenep iku — yaitu daerah Dampit Kab. Malang dan Tempursari Kab. Lumajang.
Lek daerah Malang Kota mungkin mek sekadar diayun-ayun ringan ae. Kecuali di tempat-tempat yang punya bidang lemah arah NNE SSW podho karo arah e patahan Lumajang Sumenep itu (tapi belum terpetakan karena ketutup endapan vulkanik).
Mungkin ada juga daerah-daerah sekitar Turen dan Sitiarjo (Kab. Malang) yang kena pengaruh gempa itu lebih kuat dari daerah lainnya karena dari Sitiarjo ke Turen itu ada juga patahan-patahan arah NNE SSW (patahan kali banteng, aku karo arek-arek AMC ndisik 2006 tau neliti iku), yang punya potensi jadi amplifier rambatan gelombang gempa dari Selatan.
Waktu Webinar tentang Mitigasi Bencana Gempa Tsunami Malang tanggal 30 Maret kemarin dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) aku sudah mengingatkan untuk memitigasi daerah Sumbermanjing Wetan ini dan Daerah Lumajang dimana selain masuk di area zona bidang patahan Lumajang - Sumenep juga karena kemungkinan ada endapan-endapan kuarter semi consolidated yang bisa menguatkan rambatan gelombang gempa dari arah Selatan.
Setengah jam menjelang landing Paris. Ini tadi browsing berita-berita gempa terus ingat beberapa bahan yang aku share ke masyarakat di webinar Mitigasi Bencana Malang akhir Maret wingi sebelum peluncuran album Melembutkan Batu, terus tak orat oret gambar-gambar ndik pesawat.
Mugo manfaat.
Revisi Kebijakan Energi Nasional
(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)
(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
KEN (Kebijakan Energi Nasional) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah 79/2014 perlu direvisi, termasuk revisi bauran energi-nya, karena asumsi-asumsi kebijakannya sudah jauh berbeda dengan 11 tahun yang lalu ketika KEN dibuat. Yang paling mencolok adalah pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan 6.11% (2010), 8% (2015), 8% (2020), 8% (2025), 7.5% (2030), 7% (2040) dan 7% (2050) ternyata hanya berkisar di 5% saja 6% tahun terakhir ini dan tidak lebih dari 6% di empat tahun sebelumnya (Gambar 1). Dengan demikian maka proyeksi kebutuhan energi kitapun menjadi terlalu berkelebihan (Gambar 2). Akibatnya, saat ini kita oversupply dengan tenaga listrik yang membuat PLN mengalami kesulitan untuk memasarkannya.
Selain itu, Kondisi Lingkungan Strategis ENERGI Nasional dan Global sudah berubah dari asumsi dasar pembuatan UU Migas 2001, UU Energi 2007 maupun Kebijakan Energi Nasional 2009-2014. Indonesia sudah jadi net importer minyak bumi sejak 2004, kita sudah bukan anggota OPEC lagi sejak 2007 (meskipun kemudian masuk lagi di 2014 tapi keluar lagi 2016), cadangan gas kita tiga - empat kali lipat dari cadangan minyak, potensi tersisa cekungan-cekungan migas kita lebih ke gas prone daripada oil prone, dan juga tren global energy transition from fossil to renewable energy via gas dan ESG fund untuk investasi sudah tidak memprioritaskan investasi E&P minyak bumi —lebih ke investasi gas.
Oleh karena itu Kebijakan Bauran Energi kita seharusnya lebih ke gas daripada minyak bumi dan batu bara. Gas harus lebih diutamakan, yang di 2025 Cuma 22% menjadi 32%, dan di 2050 dari 24% menjadi 34%, crude-nya jadi tinggal 15% (2025) dan 10% saja (2050) (Gambar 3).
Sudah jelas bahwa kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan migas dari dalam negeri. Maka, untuk memperkuat ketahanan energi, seyogyanya kita mengadopsi strategi penguasaan aset-aset migas luar negeri langsung dari hulunya dan sekaligus kita kurangi persentase-nya dalam bauran energi; sementara batu bara yang relatif lebih berlimpah dari sumber energi primer lainnya masih tetap kita jadikan sebagai buffer (Gambar 4).
Selain itu, di dalam KEN yang baru seharusnya nuklir dibikin hitam/putih: YA/TIDAK, kalau perlu lewat voting di Paripurna DPR. sehingga tegas dan tidak abu-abu seperti KEN yang sekarang ini. Kalau perlu Nuklir sebagai sumber energi primer kita masukkan mulai 2030 sehingga pada 2050 porsinya pada bauran energi menjadi 10% atau 40 GigaWatt (Gambar 3).
UU Migas kita harusnya diubah judulnya menjadi Undang Undang Gas dan Minyak Bumi (UU GASMI) —bukan lagi MIGAS tapi GASMI. Hal ini sesuai dengan kondisi inheren dari potensi hidrokarbon Indonesia dan semangat transisi energi menuju EBT via GAS. Mestinya kita lebih fokus pada pengembangan penggunaan gas daripada minyak dan memprioritaskan pembangunan infrastruktur gas. Hal ini juga selaras dengan semangat revisi KEN di mana bauran energi harusnya lebih sangat dominan gas daripada minyak.
Di dalam UU Migas yang baru tupoksi badan pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS seharusnya dibuat supaya lebih memprioritaskan E&P Gas daripada Minyak Bumi. Juga di sektor tengah dan hilirnya harus diatur sedemikian rupa supaya GAS lebih difasilitasi pengembangannya daripada minyak bumi.
BUMN GASMI khusus sebagai pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS tidak dibebani dengan tupoksi mencari untung sebanyak-banyaknya dari kontrak pengusahaan E&P Migas, tapi lebih ke pemenuhan kebutuhan energi melalui GASMI untuk Indonesia (paradigma energi sebagai modal dasar penggerak pembangunan bukan sebagai penghasil revenue semata). Jadi, BUMN Khusus harus terbebas dari UU Perseroan Terbatas.
Program 1 juta BOPD dan 12 BCFGPD di tahun 2030 oke saja, tapi kita tetap akan terbebani CAD karena impor minyak akan terus meningkat, kecuali mulai sekarang kita bergeser ke GAS secara radikal seperti disebutkan di poin-poin di atas.
Khusus untuk kontrak migas, selain PSC Konvensional dan PSC Gross Split, coba dijajaki – ditawarkan insentif khusus untuk BASIN/PLAY OPENER, terutama untuk kontrak-kontrak migas non konvensional seperti Shale Gas dan CBM. Mereka yang jadi pionir dengan penemuan-penemuan baru di satu cekungan akan mendapatkan insentif khusus dengan split yang lebih tinggi dan sebagainya.
Grand Strategy Energi Indonesia dan Produksi dari Blok Migas BUMN di Luar Negeri
Hari ini, 5 Desember 2020, saya mencatat ada indikasi terobosan baru terkait dengan profil suplai minyak mentah nasional dalam draft grand strategy energi Indonesia yang di-share oleh Sekjen DEN di acara WEBINAR Refleksi Akhir Tahun: Kebijakan Pertambangan dan Energi di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Hukum Pertambangan dan Energi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Hari ini, 5 Desember 2020, saya mencatat ada indikasi terobosan baru terkait dengan profil suplai minyak mentah nasional dalam draft Grand Strategy Energi Indonesia yang di-share oleh Sekjen DEN di acara WEBINAR Refleksi Akhir Tahun: Kebijakan Pertambangan dan Energi di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Hukum Pertambangan dan Energi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya.
Di dalam grafik profil suplai minyak mentah tersebut dimasukkan juga produksi dari blok migas hasil akuisisi BUMN migas Indonesia di luar negeri dalam skema produksi crude Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selama ini belum pernah produksi migas BUMN Indonesia di luar negeri dimasukkan dalam skema produksi migas Indonesia secara keseluruhan. Di dalam buku KELANI (Kebijakan Energi Luar Negeri) yang diterbitkan Dewan Energi Nasional tahun 2019 sebenarnya telah diusulkan untuk memasukkan produksi migas Pertamina dari blok-blok mereka di Luar Negeri ke dalam skema profil produksi migas nasional Indonesia. Nampaknya baru akhir tahun 2020 ini usulan tersebut dapat diformalkan dalam Grand Strategy Energi yang terbaru ini. Seperti ditulis dalam buku KELANI tersebut, negara-negara tetangga (Malaysia maupun Thailand) telah lama memasukkan produksi migas mereka dari blok-blok migas luar negerinya ke dalam profil produksi migas nasional. Indonesia saja yang sampai 2019 belum melakukannya.
IMEF (Indonesia Mining and Energy Forum) pernah juga menyuarakan pentingnya akuisisi blok migas luar negeri tersebut terutama untuk ikut meringankan tekanan defisit neraca perdagangan yang diakibatkan oleh impor minyak mentah yang dominan. Pada diskusi publik 19 Agustus 2019 yang bertajuk “Masukan Untuk Arah Baru Kebijakan Energi dan Pertambangan Jokowi Jilid 2”, IMEF menyatakan bahwa salah satu solusi jangka menengah dan panjang dalam rangka mengatasi masalah impor minyak bumi Indonesia (yang terutama akan makin parah di 2025 - 2030 nanti) adalah dengan menguasai cadangan-cadangan migas di luar Indonesia langsung dari hulunya, yaitu lewat penguasaan blok-blok migas dunia oleh Pertamina ataupun BUMN lainnya. Dengan demikian maka volume impor minyak kita akan tergantikan oleh pengiriman entitlement ke Indonesia yang akan meringankan beban defisit neraca perdagangan kita.
Di dalam uraian tabel strategi tersebut terlihat bahwa angka produksi minyak bumi dari akuisisi Luar Negeri adalah: 142 KBOPD di 2020, 121 KBOPD di 2025, 80 KBOPD di 2030 dan 35 KBOPD di 2040. Terlihat bahwa asumsi yang digunakan dalam memasukkan angka-angka tersebut sangat konservatif, yaitu penurunan produksi 3% dari 2020 ke 2025 dan selanjutnya penurunan produksi 8% dari 2025 sampai ke 2040. Seolah-olah tidak ada akuisisi baru dan tidak ada penemuan penemuan baru dari aset-aset blok migas Luar Negeri tersebut. Meskipun konservatif, usaha terobosan ini patut diacungi jempol dan memang sudah seharusnya dari 10 - 11 tahun yang lalu dilakukan oleh Indonesia, yaitu sejak Pertamina mulai mengakuisisi blok-blok migas Luar Negeri mereka di 2009.
Terkait dengan masuknya produksi minyak bumi dari akuisisi luar negeri itu ke dalam profil produksi migas kita versi Grand Strategy Energy, perlu diingatkan ke pemerintah untuk segera menindak-lanjutinya dengan membuat peraturan khusus terkait dengan bea-impor. Minyak mentah yang dibawa oleh BUMN dari blok migas mereka di luar negeri itu kalau memungkinkan di-exempt atau dikecualikan dari beban bea impor, karena sejatinya kita membawa masuk barang kita sendiri yang kita dapatkan dari luar negeri dan dengan demikian biaya keseluruhannya menjadi lebih murah sehingga rakyat dapat lebih menjangkau harga energi yang dihasilkannya.