Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Sketsa Paris 2

Ketika bibir mulai pecah pecah, itu tandanya musim mulai berubah.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Sketsa Paris 2.jpg

Ketika bibir mulai pecah pecah, itu tandanya musim mulai berubah.

Jaket-jaket bulu mulai dipakai, termal anoman jadi penghangat badan.

Warna-warni pakaian sekarang cenderung menyuram, jadi abu-abu hitam dan warna gelap dominan.

Berbeda dengan musim gugur tahun-tahun sebelumnya, kali ini banyak toko dan warung yang waktu summer kemarin tutup liburan: *masih terus tutup* karena bangkrut. Bahkan ada yang sudah sejak musim semi sebelumnya, tidak kuat lagi hidup didera wabah.

Mestinya musim gugur ini sudah dimulai september kemarin, tapi entah kenapa kok dua - tiga mingguan di bulan itu suhu bisa sampai 33 - 34 derajat di beberapa hari tertentu; meski sama-sama kita tahu, lockdown Covid dan pengurangan drastis transportasi selama enam bulan sebelumnya mestinya bisa bikin bumi istirahat dari beban stigma memanas yang dicapkan oleh para aktivis ke musim dan cuaca.

Jadi, musim gugur kali ini, baru benar-benar dimulai bulan oktober ini.

Kota inipun akan jadi semakin coklat dan kuning, karena tumpukan daun-daun rontok dan ranting-ranting kering, diciprati hujan sebentar dan lumpur lumpur gamping*.

Selamat datang dingin.

*) note: tanah di seputaran area pusat kota Paris pada umumnya berasal dari pelapukan gamping dan pasir laut dangkal berumur eocene - oligocene dan juga endapan alluvial sungai Seine, yang kalau kena hujan warnanya jadi kuning kecoklat-coklatan. 

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Sketsa Paris 1

Di trotoar kaki lima sini, orang-orang berjalan lebih cepat dari aku.. Juga perempuan dan ibu-ibu.. Dulunya kupikir itu hanya karena musim dingin saja, tetapi selama musim panas kemarin pun ternyata mereka juga bergegas begitu, seolah-olah takut kehilangan waktu…

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

 
Sketsa Paris 1.jpg
 

Di trotoar kaki lima sini, orang-orang berjalan lebih cepat dari aku.. Juga perempuan dan ibu-ibu.. Dulunya kupikir itu hanya karena musim dingin saja, tetapi selama musim panas kemarin pun ternyata mereka juga bergegas begitu, seolah-olah takut kehilangan waktu...

Pada saat yang sama mereka bisa juga lupa waktu: satu - dua jam duduk di kafe menghabiskan satu espresso dan dua - tiga batang rokok ataupun sisha, ngobrol ngalor-ngidul-ngetan bali ngulon sambil kadang gosip sini sana waktu break makan siang ataupun sore sepulang kerja.

Lain ladang lain belalang.

Lain lubuk lain ikannya.

Belalang sini kakinya panjang.

Sekali duduk, tak henti bicara.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Pelajaran Sabtu, 26 September 2020

Butuh suara sedikit lebih keras untuk meyakinkan para profesional kebumian bahwa kalau mereka yang ahli hanya diam saja gak berani bersuara, maka politisi yang bikin kebijakan tanpa didasari pemahaman yang benar akan semakin sesat dan menyesatkan kita semua.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Butuh suara sedikit lebih keras untuk meyakinkan para profesional kebumian bahwa kalau mereka yang ahli hanya diam saja gak berani bersuara, maka politisi yang bikin kebijakan tanpa didasari pemahaman yang benar akan semakin sesat dan menyesatkan kita semua.

Jadi, kalau kita bersuara keras mengoreksi ini dan itu bukan karena kita mau berpolitik juga, tapi dalam rangka panggilan profesional intelektual untuk ikut bertanggung-jawab atas apa yang terjadi di industri ekstraktif kebumian, kebencanaan dan tata lingkungan geologi Indonesia.

Kalau kita semua berprinsip "diam adalah selemah-lemahnya iman" (apalagi yang suka sembunyi di balik tameng pameo "diam adalah emas") maka dapat dipastikan iman dan emas kita itu tidak akan cukup untuk menolong negara ini dari keterpurukan.

Hey! Bangun dan berdiri!

Nyanyikan: Di Timur Matahari!

("Surabaya" -  Album Nyanyian Malam, Konser Rakyat Leo Kristi)

Read More
Blog Admin Blog Admin

Semua Makhluk Berhak Belajar Sedimentologi

Nah, di salah satu sesi kuliah lapangan di tahun 2012, ketika aku menjelaskan ke serombongan mahasiswa tentang fenomena sekuen boundary (batas sekuen) yang bisa dilihat dari kejauhan lewat sketsa di atas kertas gambar, salah seorang mahasiswa mencoba mengambil foto sketsaku dari belakang. Hasilnya?

 
20200914.jpg
 

Dari 2001 sampai 2015 aku biasa ngajar dua - tiga kali setahun di Quarry Jalan Perjuangan belakang stadion Sempaja, Samarinda ini.

Di sini para peserta kursus maupun mahasiswa-mahasiswa aku tunjuki contoh geometri tubuh batupasir sepanjang 200 - 300 meter setinggi 25 - 30 meter yang sekarang mungkin tinggal sisa-sisa empat - lima meter dinding tebing bukit pasir saja karena terus menerus ditambang. (Note: aku mulai bikin pengukuran-penelitian di Perjuangan Quarry ini sejak tahun 1995 — aku masukkan deskripsinya dalam disertasiku juga). Dengan memahami geometrinya, maka peserta dapat merekayasa secara analogi bentuk serupa di bawah permukaan bumi, di mana mereka hanya mendapatkan satu data sumur pemboran yang menembus pasir berisi migas tersebut dan data seismik yang kadang bisa kadang gak bisa menggambarkan geometrinya secara jelas.

Demikianlah ritual pelajaran sedimentologi lapanganku itu. Aku gambar sketsanya dari kejauhan di atas kertas gambar, untuk memudahkan mereka melihat bentuk-bentuk itu dalam goresan sketsa yang aku gambarkan. Baru setelah mereka paham dari kejauhan, kemudian mereka aku minta mendekat atau menaiki tebing untuk menyentuh dan menganalisis sedimen itu langsung dari sejarak jangkauan tangan.

Nah, di salah satu sesi kuliah lapangan di tahun 2012, ketika aku menjelaskan ke serombongan mahasiswa tentang fenomena sekuen boundary (batas sekuen) yang bisa dilihat dari kejauhan lewat sketsa di atas kertas gambar, salah seorang mahasiswa mencoba mengambil foto sketsaku dari belakang. Hasilnya?

Ternyata ada peserta dari dunia lain yang ikut terekam. Aku juga baru dikasi tau anak-anak itu dua - tiga minggu setelah kejadian, karena foto itu sempet mereka edarkan dan mereka bahas penuh kehebohan sebelum akhirnya nyampe ke aku untuk dikonfirmasikan. “Bapak punya “gendongan”?”

WALAAAAAH.... Nggak lah, mungkin saja waktu itu ada peserta lokal yang setiap kali aku datang selalu memperhatikan, kali itu dia ingin dapat ilmunya lebih dalam.

Nah, kalau dihubung-hubungkan, ternyata saat 2012 itu adalah saat pertama kali aku menceritakan ke mahasiswa/peserta kuliah bahwa beberapa bulan/tahun kemarin penambangan batupasir di situ sudah mulai menyingkapkan batas sekuen Miosen Awa dengan Miosen Tengah (15,8 juta tahun yang lalu), di mana batupasir daratan dengan konglomerat dan pasirkasar silang siur langsung menumpuki sedimen lempung — batulumpur muka delta dari kedalaman sedemikian rupa sehingga diinterpretasikan waktu itu ada pengangkatan dan penggerusan yang sifatnya katastrofik (bencana).

DAN bencana itu ditandai dengan tersingkapnya tiga fosil tunggul/batang kayu dalam posisi tumbuh lengkap dengan akar menghunjam ke batas sekuen tapi terpapas/terpancung rata sekitar 1,5 meter dari dasar akar.

Fosil-fosil batang kayu itu berjarak sekitar 50 meter satu dengan lainnya, dikubur oleh lapisan konglomerat di bagian bawah berangsur menjadi batupasir kasar silang siur di bagian atasnya. Fosil-fosil kayu itu sudah ter-histometabasis menjadi petrified wood atau silicified wood dengan seluruh struktur kambium dan kulit-kulit kayunya dan akar-akarnya dan semuanya tergantikan oleh silika! Dahsyat!

Dan yang lebih dahsyat lagi. Bidang pancungan mereka yang membuat potongannya tinggal 1,5 meter itu rata halus dan sama semua tingginya.

Nah, pengetahuanku yang dangkal saat itu (dan sampai sekarang), tidak bisa menjelaskan proses geologi apa yang  bisa membuat hutan kayu zaman 15 juta tahun yang lalu bisa terpancung rata dan halus sependek 1,5 meter saja. Soal penguburannya oleh konglomerat dan kemudian perubahannya menjadi silika aku bisa menjelaskan dengan mudah bahwa itu semua jelas-jelas merupakan proses katastrofe banjir bandang melanda yang kemudian terkubur dan teraliri larutan silika cukup lama di kedalaman sana sebelum akhirnya terangkat tersingkap lagi ke permukaan sejak lima juta tahun yang lalu. Tapi soal pemancungan hutan sehingga menyisakan 1,5 meter tunggul kayu belaka dengan permukaan bidang pancung yang rata  kemungkinan proses non-geologilah yang menyebabkannya. Mungkin ada makhluk lain sebelum manusia modern ada yang melakukan pemancungan halus dan rata itu. Dari dulu juga setan, jin, dan malaikat sudah diciptakan duluan daripada manusia, ya kan?

Nah, itulah yang mulai kujelaskan ke mahasiswaku sejak 2012 kemarin. Mungkin saja karena sangat menariknya teori pemancungan hutan Miosen itu, sampai-sampai para turunan makhluk yang berasal dari jutaan tahun lalu itu muncul dan ikut menyimak ceritanya, mungkin lho... Wallahu’alam….

Yang jelas, tunggul-tunggul kayu itu sekarang sudah dijarah oleh para vandalis dan pemburu barang antik, meskipun aku sempat juga bikin surat ke Gubernur dan Dinas ESDM setempat untuk melindunginya. Dan aku lihat mereka memberi batas rafia kuning di salah satu tunggul itu beberapa bulan kemudian, tapi karena gak ada yang menjaga, setahun kemudian dan tahun-tahunsesudahnya tunggul-tunggul itu pun menghilang.. Hikkkssss….

Demikianlah ceritaku tentang semua makhluk berhak belajar sedimentologi kali ini.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Semburan Gas di Kranggan Bekasi, 5 September 2020 (Kampanye Kepedulian Keselamatan Masyarakat dari Bahaya Gas-Gas Dangkal di Daerah Pemukiman, Bisnis, dan Aktivitas Sosial)

Menurut laporan dan berita, semburan setinggi 20 - 30 meter itu berlangsung lebih dari setengah hari sampai kemudian setelah dilakukan pengerukan lubang dengan batu dan pasir dan karung (?)  makin lama semburan makin mengecil, dan pada hari Minggu sore (36 jam kemudian) semburan tinggi tinggal hanya menjadi rembesan gas dan air saja di sekitar lubang asal. 

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Mungkin anda semua sudah pernah melihat video viral terlampir sejak Sabtu 5 September 2020 kemarin, yang menunjukkan kejadian semburan gas beserta air, pasir dan lumpur dari lubang pemboran air yang dilakukan di area halaman dekat dengan kolam renang di daerah Kranggan. Kalau belum, silakan tonton sekarang dan mengamati betapa meriahnya (sekaligus agak merinding terbayang bahayanya) semburan material-material dari dalam bumi itu ke udara. Menurut laporan dan berita, semburan setinggi 20 - 30 meter itu berlangsung lebih dari setengah hari sampai kemudian setelah dilakukan pengerukan lubang dengan batu dan pasir dan karung (?)  makin lama semburan makin mengecil, dan pada hari Minggu sore (36 jam kemudian) semburan tinggi tinggal hanya menjadi rembesan gas dan air saja di sekitar lubang asal. 

Apa yang terjadi?

Apa yang sebenarnya terjadi di dalam bumi penampangnya saya gambarkan di Gambar 1. Lokasi pemboran di Kranggan itu terltak 2 - 3 kilometer di tenggara dari area lapangan migas Jatinegara (JNG) di perbatasan DKI-Bekasi daerah Cipayung-Kranggan-Cibubur (Gambar 2 dan 3).

Pemboran air dalam rangka mencari sumber air (kemungkinan) untuk industri air kemasan atau untuk sumber air kolam renang atau kebutuhan lainnya tersebut dilakukan di area yang sejak delapan tahun yang lalu (2012) telah saya kampanyekan sebagai daerah bahaya gas dangkal baik lewat Facebook Januari 2012 maupun lewat presentasi ke Pemerintah DKI November 2012. 

Kampanye delapan tahun yang lalu itu bisa dibaca di sini. (Gambar 4)

Sayangnya waktu itu saya belum sempat presentasi ke pemerintah Kota Bekasi dan juga ke PemProv Jawa Barat. Saya berharap sih, lewat Facebook itu pemerintah atau orang pemerintahan Bekasi dan Jawa Barat bisa dapat info juga dan proaktif bertindak. Atau mungkin dalam bincang-bincang dengan dinas terkaitnya yang setara Pemerintah DKI sempat juga menyinggung hal tersebut ke rekannya di PemProv Jawa Barat ataupun di Kota Bekasi. Rupanya hal yang saya harapkan itu tidak terjadi, sampai kemudian terjadilah semburan gas-air-lumpur di Kranggan hari Sabtu kemarin ini.

Untuk melengkapi pemahaman anda semua, saya lampirkan juga capture dari bahan-bahan presentasi saya ke PemProv DKI DInas Industri dan Lingkungan Hidup pada November 2012, 8 tahun yang lalu (Gambar 5 dan 6).

Jadi, bagaimana kejadiannya?

Dari kronologi kejadian, menurut informasi verbal, terjadi hilang lumpur/air terlebih dulu ke dalam lubang pada waktu pemboran sampai di kedalaman 99 meter, kemudian pertama kali yang keluar adalah gas tanpa air. Setelah rembesan gas cukup lama, maka kemudian terjadi tendangan/semburan air bersama gas sampai setinggi 20 meter dengan suara bergemuruh (lihat Video) dan semburannya berwarna kehitam-hitaman.

Hilang lumpur disusul dengan tendangan/semburan itu sering dikenal dengan istilah loss and kick. Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh hisapan dari rongga batu gamping Parigi yang kemudian diikuti oleh tendangan/semburan air yang mengikut belakangan. Warna kehitam-hitaman kemungkinan disebabkan oleh pasir vulkanik Citalang/Kaliwangu yang biasanya jadi reservoir air tawar di bagian dangkal ikut tergerus dan terbawa keluar.

Fenomena serupa juga dialami oleh sumur-sumur pemboran migas di Lapangan JNG 3 - 4 kilometer di Barat Laut dari lokasi pemboran Kranggan. Tetapi, karena prosedur keselamatan lubang di pemboran migas lebih rinci dan lebih siap, maka kesemuanya itu sudah biasa diantisipasi dengan pemasangan 30” casing diikuti dengan 20” casing dan penggunaan fracseal dan berat lumpur yang tepat untuk mengatasinya. Aman-aman saja akhirnya.

Singkatnya yang terjadi adalah sumur pemboran air yang tidak dilengkapi dan dipersiapkan untuk menembus lapisan migas dangkal telah menembus kantong gas biogenik di lapisan batugamping Parigi, sehingga terjadi semburan liar gas-air-pasir dan lumpur ke permukaan atau blow out.

Apakah semburan bisa jadi seperti Lumpur Lapindo atau Bleduk Kesongo?

TIDAK! Karena di area Kranggan ini kita tidak berhadapan dengan fenomena Gunung Lumpur, tetapi fenomena gas biogenik dangkal yang terperangkap dalam Batu Gamping yang volumenya terbatas.

Gas biogenik yang terkandung di Gamping Parigi di daerah ini volumenya terbatas karena lempung penutupnya tipis dan kondisinya terpisah-pisah (kompartementalisasi) oleh patahan. Dalam dua hari saja tekanannya sudah menurun drastic, kemudian bakal merembes satu - dua bulan atau lebih lama , tergantung hubungannya dengan kompartemen lain di bawah permukaan.

Gas biogenik kompiosisinya 99% metana dan mudah terbakar.

Kemungkinan besar efek dari semburan gas di Kranggan tersebut, lapisan-lapisan akuifer air tawar yang dangkal di sekitar lokasi untuk beberapa saat akan terasa seperti tercampur / kontaminasi dengan hidrokarbon (gas metana). Hal ini akan berlangsung satu - dua bulan atau lebih, tergantung dari aktivitas rembesan gas yang masih terus terjadi di bekas lubang pemboran.

Bagaimana penanggulangannya?

Khusus untuk penanganan paska kejadian di bekas lubang bor air dan sekitarnya, sebaiknya pemilik lahan menutup lubang dengan teknik penyemenan sedemikian rupa sehingga lubang dapat tertutup permanen dan rembesan gas terhenti, sehingga tidak membahayakan area sekitar.

Selama rembesan gas masih berlangsung, harus dipasang tanda peringatan bahaya di perimeter tiga - lima meter di sekitar lubang bor, supaya tidak didekati dengan membawa percik api ataupun bara yang bisa menyulut kebakaran.

Tentunya monitoring LEL level harus terus dilakukan sampai benar-benar didapatkan nilai nol di atas lubang bor (yang saat ini ditutupi batu-batu dan tanah / karung(?) menurut info berita), barulah kemudian daerah itu dinyatakan aman.  

Bagaimana langkah ke depannya?

Untuk menghindari hal serupa terjadi lagi di masa depan, Pemerintah Bekasi maupun DKI harus secara ketat menerapkan dan monitoring persyaratan pemboran air tanah dalam untuk tidak melebihi 40 meter kedalaman khususnya di daerah Cipayung-Kranggan-Cibubur ini.   

Selain itu kampanye keselamatan aktivitas pembangunan/konstruksi/industri I daerah Cipayung-Kranggan-Cibubur ini harus terus dilakukan, terutama untuk memitigasi bahaya adanya gas dangkal di daerah ini. Disarankan dengan sangat: pengeboran air tanah tidak melebih kedalaman 60 meter. Antara 60 – 100 meter hanya ada lempung saja, tidak ada lapisan pembawa air. Kalau lebih dalam lagi, bahaya gas mengancam.

 
Gambar 1

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 2

Gambar 3

Gambar 3

Gambar 4

Gambar 4

Gambar 5

Gambar 5

Gambar 6

Gambar 6

Read More