The Clinckers = Tuffaceous Rocks Associated with Burning Coals

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Mohon berhati-hati dengan interpretasi fenomena batuan bersifat tufaan yang berada di sekitar interval batu bara yang sudah teralterasi, terutama di Miocene coal di Cekungan Kutai.

Memang belum ada satu pun dipublikasikan paper yang khusus membahas tentang masalah ini di daerah tersebut, tetapi saat aku masih bergentayangan bersama tim pemetaan regional VICO 1991-1998 di daerah Kutai (hilir dan hulu), penelitian khusus yang cukup intensif tentang gejala tersebut telah kami lakukan untuk menjawab keanehan kontradiksi antara penyebaran tuffaceous rock tersebut dengan sejarah vulkanisme di Miocene sendiri (yang tidak klop).

Prof. Sukendar Asikin, juga almarhum Prof. Rubini, sempat kami ajak juga jalan-jalan melihat berbagai fenomena tuffaceous rock tersebut, paling tidak di sembilan lokasi yang berhasil kami petakan di seputaran aliran S. Mahakam, bahkan dengan menggunakan bantuan magnetometer, karena sebagian besar produknya juga sampai berupa grape stone basalt yang berongga-rongga yang punya kemagnetan tinggi. Salah satu lokasi di Loa Tebu dekat Tenggarong malahan dideskripsikan sebagai "welded-tuff" oleh para pakar petrologi yang kami ajak ekskursi ke sana.

Secara asosiasi, semua fenomena tuffaceous rock (sampai ke scoriae grape stone basalt) itu didapatkan di sekitar daerah (atau dekat kontak dengan) batu bara yang terbakar; bahkan di delapan dari sembilan lokasi yang kami teliti asap batu bara terbakar itu terus menerus mengepul bertahun-tahun. Batu bara-batu bara yang terbakar itu pada umumnya tersingkap di permukaan, tapi ada pula yang terkubur agak dalam di bawah permukaan, yang mana asapnya terus menampakkan diri keluar dari rekahan-rekahan di sekitar lokasi tersebut. Ciri umum lainnya adalah dijumpainya banyak lapisan kemerahan seperti genteng ("kreweng" bahasa jawa) di sekitar daerah kontak antara batu bara terbakar tersebut dengan lempung di sekitarnya.

Kami juga berhasil mencoba merekayasa proses yang kemungkinan terjadi akibat kontak panas tersebut dengan lempung, yaitu dengan mengambil contoh lempung abu-abu yang masih segar pada suatu singkapan di daerah Mutiara (Samboja) pada jarak sekitar 10 meter dari batu bara yang terbakar, di mana terjadi urut-urutan perubahan warna menjauhi batu bara dari hitam keras seperti kerak, menjadi putih seperti tuffa, menjadi merah kecoklatan, kemudian menjadi lempung segar abu-abu. Lempung abu-abu yang segar itulah yang kami sampling, kami bawa ke laboratorium DIM di Soekarno Hatta. Kemudian bekerja sama dengan kawan-kawan periset DIM waktu itu, kami panaskan lempung tersebut secara bertahap dari 100 sampai 600 degree celcius dalam tungku tertutup, di mana pada 200, 400 dan 600 degree kami ambil hasil prosesnya. Dan hasilnya menunjukkan urut-urutan yang sama dengan yang kami lihat di lapangan. Secara petrografis deskripsi dari batuan-batuan ubahan itu adalah basalt, tuff, tuffaceous clays, dan atau tuffaceous sandstone di mana didapatkan komponen-komponen gelas yang jelas dalam sayatan. Tetapi secara genesa, kami tahu persis bahwa itu semua adalah hasil laboratorium dan juga hasil sampling di lapangan dekat kontak dengan batu bara terbakar tadi.

Kalau kita menyelisik literatur, fenomena seperti ini sudah dikenali orang sejak awal abad 20 dalam bentuk publikasi oleh Bastin (1905) di Journal Geology untuk daerah Eastern Wyoming. Mereka menyebutnya sebagai clinkers. Banyak paper yang ditulis tentang clinkers yang berhubungan dengan coal di Fort Union formation yang terbakar dan mengubah sedimen-sedimen di sekitarnya di daerah Wiliston (Montana), dan Powder River Basin (Wyoming). Waktu itu counterpart kami di VICO juga banyak membawakan paper dari Wyoming dan Montana untuk referensi laporan internal diintegrasikan dengan hasil riset kita. Fenomena batu bara terbakar menghasilkan tuffaceous rocks ini juga dideskripsikan sebagai tuffa dengan tanda tanya oleh Land & Jones (1987) untuk batu bara-batu bara di Samarinda (Land, D.H., dan C.M. Jones, 1987, Coal geology and exploration part of the Tertiary Kutai Basin in East Kalimantan, Indonesia: in Scott, A. (ed.): Coal and coal bearing strata: Recent advances, Geological Society Special Publication no. 32, 235-255).

Kesimpulan kami pada waktu itu, tuffaceous rock tersebut adalah efek dari burning coals karena sifat self combustability-nya (biasanya ash content-nya tinggi); jadi kita tidak perlu khawatir dengan anomali-anomali "volcanisme" pada Misoen Tengah dan Miosen Akhir yang hampir saja menjadi dispute kalau waktu itu kita kontraskan dengan data-data vulkanik daerah hulunya Kutai dan juga penyebarannya yang ternyata hanya lokal-lokal saja. Apakah hal serupa terjadi juga di Eosen dan juga di Barito: saya belum pernah lakukan riset secara khusus. Tapi di Tarakan, saya banyak melihat fenomena serupa juga di Tabul, Meliat, dan Tarakan Fm.

Mudah-mudahan bermanfaat.

———

From: Noel Pranoto
To: economicgeology@yahoogroups.com
Sent: Friday, June 18, 2010 6:58 PM
Subject: Re: [economicgeology] Washability test

Pak Kamsul,
Sebagai latar belakang, kehadiran tuffaceous rock di sekitar batubara sering terjadi pada Tertiary coal di Indonesia. Setidaknya ini bisa diamati pada Eosen dan Miosen coal di Cekungan Barito, Asam-asam dan Pasir. Bahkan di Cekungan Pasir rata-rata mineral matter (sering disederhanakan sebagai "ash" saja) yg terdapat pada batubara berasal dari volcanic airborne tuffaceous yg terendapkan bersama-sama seam batubara. Di kalangan coal geologist kita sering menyebut "tonstein", suatu lapisan tuffaceous di sekiar interval batubara yg sudah teralterasi namun masih bisa terlihat jelas "glass shard"-nya pada sayatan petrografi. Tonstein ini seperti yg kita duga sangat berguna sebagai penanda (marker) dalam korelasi lapisan batubara karena distribusinya yg luas/lateral.

Kembali ke pada washability, sepanjang ada perbedaan densitas maka washability test (dan langkah selanjutnya adl simulasi wash plant) dapat digunakan untuk menguji seberapa efektif "ketercucian" tadi. Tuffaceous rocks densitasnya relatif masih lebih tinggi daripada batubara namun yg umumnya sering bermasalah dlm proses benefisiasi adl besar butir dan ini bukan hanya berlaku untuk batuan tuffaceous tapi batuan lain dan material lain spt tanah/soil. Saya bukan metalurgist tapi kasarnya jika butiran pengotor ini sangat kecil maka suspensi pada sink/float test tidak terbentuk dan material ini akan terbawa menjadi produk.

Kembali ke pertanyaan Pak Kamsul, intinya uji ini masih bisa digunakan jika pengotornya infil material klastik halus. Uji yg digunakan utk butiran halus ini (fine, >0.75mm) adl froth floatation.

Semoga membantu.

Salam,
Noel

Previous
Previous

Pertanyaan-Pertanyaan

Next
Next

Tentang Variasi “Kematangan” Batu Bara Umur Sama (Pendekatan Analisis Cekungan Migas)