Bukan Karena “Gila” ke Lapangan, …
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Tapi prihatin karena belajar geologi makin Ke sini makin tidak menyentuh batu.
(Catatan penyerta foto-foto gunung turun Kali Babon, Semarang)
Saat anak-anak geologi UNDIP mengontak aku awal November yang lalu lewat Syawal (ini figur trans-kampus yang gak pernah liren) terus ditindak-lanjuti oleh Naru (Perhimagi), Dwandari (AAPGSC), dan kemudian Dinan dan Alfeus, mereka menyarankan topikku tentang sedimentologi. Karena aku berdiam diri (bukan karena marah atau cuek, tapi karena saking gak sempetnya mbales email/SMS), pada akhirnya mereka menyerahkan ke aku topik ceramah/kuliah sehari ku itu. Kasarnya, suka-suka akulah.
Sebenarnya pada waktu itu aku memang mau gampangnya saja, bersiap-siap dengan ceramah sedimentologi di kelas. Tapi, tiba-tiba terlintas bayangan tentang suasana kelas mata-mata lapar informasi yang dari waktu ke waktu selalu dikuliahi teori dan gambar-gambar tentang batu, dengan hanya setiap semester sekali pergi ke lapangan waktu menutup perkuliahan, padahal di sekeliling mereka teronggok batu-batu, lapisan, bentang alam, dan proses sungai, laut, kuala, gunung api yang memanggil-manggil untuk diurai dipelajari. Tiba-tiba aku merasa malu kalau lagi-lagi memberikan kuliah dengan gambar-gambar sorot foto-foto dan sketsa-sketsa tentang geologi, padahal dengan gampang seharusnya mereka bisa menyentuhnya di sekitar kampus mereka sendiri.
Maka, ku SMS mereka: topikku tentang "Back to Basics: Look at the Rocks”, temui aku di singkapan-singkapan terdekat di sekitar kampus kalian. Kita bicara geologi di sana, langsung di lapangan! Aku dapat info dari Syawal tentang Gunung Turun, Kali Babon, dan Mangunharjo. Bagus! Kita main-main ke sana saja. Tidak satu pun dari tiga lokasi itu yang pernah ku datangi. Tapi aku yakin, dengan seizin Allah, aku bisa berdiskusi dan membuka mataku sendiri (minimal) dan mata mereka semua dengan menyentuh batu-batu dan melihat proses-proses geologi di sana. Mungkin mereka agak terkaget-kaget dengan tantanganku itu. Aku bilang ke mereka, gak perlu repot-repot. Jemput aku di airport Ahmad Yani jam 7:30 pagi 21 November, dan sorenya jam 15:00 antarkan aku kembali ke airport. Itu saja. Selebihnya, kalian atur sendiri, mau datang ke lapangan jalan kaki, naik motor, atau naik mobil, terserah! Bawa kertas A1 atau A3 dan spidol banyak-banyak. O.ya.. Tolong siapkan juga payung!
Begitulah, maka Sabtu 21 November 2009 aku bersama Retno dan Gesit naik Garuda pagi-pagi ke Semarang. Retno bawa video recorder-nya seperti biasanya, Gesit bawa seperangkat gadget pemotretannya. Mendarat di Ahmad Yani, Dian dan satu kawan mahasiswi dan Wildan the driver sudah siap menjemput kami, membawa kami langsung ke lokasi pertama di Gunung Turun. Ajakan/tawaran sarapan kami tolak, karena rasanya kami sudah kenyang sarapan di pesawat.
Gunung Turun ada di daerah tinggian sebelah selatan Semarang sejajar dengan Gombel. Di hamparan dataran tinggi ini tiba-tiba mencuat satu bentuk meruncing gunung batu. Hmmm, aksen yang menyenangkan. Seperti umumnya gusti Allah anugrahkan ke kita. Dalam monotony rutinitas hidup, tusukan-tusukan runcing bukit-bukit masalah, membuat keindahan kebesaran jiwa terasah. Maka, masuklah dari jalan raya sekitar 500 meter-an, dan di Gunung Turun ini orang-orang sedang aktif menambang batu andesit, katanya untuk kebutuhan konstruksi jalan tol Semarang - Solo. Setengah melingkar bukit, digigit matahari jam 8 pagi, serombongan anak-anak muda 30 - 40 orang menyebar setengah lingkaran. Kami mulai ritual membaca ayat-ayat, berdialog dengan singkapan. Permainan logika sederhana mengantarkan acara mengenali regolith - lapukan batuan di lereng singkapan dan membedakannya dengan breksi lapuk biasa. Semua memegang batu, semua menyentuh batu!! Jangan hanya dilihat dari jauh!! Terobosan andesit porfir di sini mineralnya gede-gede banget. Dengan mata telanjang dan loupe perbesaran kecil pun sudah nyaman menyapa. Ada xenolith (batuan samping) yang nasibnya terpuruk terbawa dalam aliran massa magma membeku bersama-sama batu-batu muda. Nampaknya banyak rongga scoriae di xenolith-nya: Kali Getas-kah dia? Ada bidang sesar, rabalah dia, rasakan lembutnya gerakannya, rasakan kasarnya hentakan lawan arahnya. Dan rekah-rekah pun tak terlewatkan: semua teraba, rekah terbuka, rekah tertutup. Kalau kau tahu arah rekah-rekah itu, kalau kau tahu arah gerak sesar itu, apakah terus hidupmu jadi mulia bertaburkan rossete diagram dan schmidt net? Arah-arah membuat kita terjaga, lebih waspada menghadapi bencana. Arah-arah juga (seringkali) jadi andalan pencarian mineral yang dipasrah-endapkan oleh intrusi-intrusi purba, memanjakan kita dengan gemerlap logam mulia dan sejenisnya. Jadi, jangan sepelekan statistik. Lebih-lebih lagi jangan abaikan intuisi....
Berkali kali Alfeus memperingatkan soal waktu. Nampaknya dia memang ada di rombongan itu khusus untuk menjagaku supaya taat jadwal, taat waktu. Makasih, Alfeus. Lewat setengah jam dari alokasi, jam 10, Gunung Turun kita sudahi. Berkumpul di tempat parkir "mobil-nya" Wildan, semua ngampar buka bekal sarapan.
Sesi kedua dari gerilya lapangan ini berlangsung di Kali Babon, beberapa kilometer di sekitar kampus Undip di Tembalang. Pergerakan dari Gunung Turun ke Kali Babon memakan waktu kurang lebih setengah jam-an, memakai dua mobil dan belasan sepeda motor. Cuaca panas ntang-ntang: ini fungsi pertama payung, melindungi kepala saat panas terik, mungkin sekitar jam 11-an. Menuruni dua - tiga meter tebing Kali Babon, sempat ku lirik kerumunan burrow yang menonjol di lapisan 20 sentimeter batu pasir kasar vulkanik gampingan, mungkin Formasi Kerek. Ledge singkapan dari pinggiran tebing sungai itu memanjang menyebrangi sungai seolah-oleh membentuk dinding yang dulunya hendak membendung Kali Babon (atau outcrop ini ada dulu, baru kemudian Kali Babon mengais-ngais jalan meretas menembus dinding kecil singkapan batu pasir ini.). Dialog ku segera terinterupsi karena anak-anak jaket merah maroon itu sudah menunggu di bantaran, tengah, dan seberang sungai mencari tanda-tanda, hendak berkumpul di manakah kita?
Baiklah, kita berkumpul di seberang sungai, meloncat-loncati batu-batu, sebagian air menciprati sepatu, tak apa. Dan mulailah cerita tentang sungai, proses-prosesnya, komponen-komponennya, dan sedimennya. Ada endapan bar yang memanjang di tepi sungai penuh dengan kerikil kerakal yang berjajar searah, ada juga endapan teras yang terangkat di belakang kita, dan yang di kejauhan membentuk (dibentuk jadi) sawah-sawah. Lalu gambaran tentang point bar dan thalweg, lateral accretion dan progradation, confined - unconfined, bertubi-tubi kutumpahkan di udara (dengan gerak-gerak tangan), di kertas A3 (dengan spidol), dan di sekitar kita (menunjuk dengan ujung jariku). Ambil kerakal itu, tanyakan dari mana asalnya? Tak terlalu jauh dia mengembara, dari dataran tinggi selatan Semarang, hendak melawat ke lautan, terdampar di endapan penahan (bar) melalui mekanisme saluran (channel). Ada teras berarti ada tektonik. Ingat itu baik-baik: tidak ada yang mengangkat tanpa maksud dan asal mula. Semua pasti ada penyebabnya. "..tidak sia-sia tuhan menciptakan ini semua...".
Maka berikutnya, berpindah lah kerumunan ke tonjolan memanjang singkapan batu pasir (yang tadi kusebut sebagai ledge itu. This is the ancient rock time! Semua mata dipersilakan menelanjangi channel (saluran) dan menyentuhnya pelan-pelan di sepanjang bidang gerusannya. Rasakan! Rasakan! Bagaimana kekuatan energi gerus itu menciptakan bentukan saluran, sebelum diendapkannya pasir-pasir vulkanik karbonatan di atasnya. Semua memperhatikan, bagaimana sampai bisa ada dua satuan di situ, mengkasar ke atas di bagian bawah, digerus, kemudian menghalus ke atas di bagian atasnya. Sebenarnya saat itu aku sedang berancang-ancang untuk cerita soal proses, sebelum sampai ke lingkungan pengendapan, koq, ndhilalah kersaning Allah,... udahan mak bresssshhhh tepat jam 12:30 (sebelumnya sih sudah ada tanda-tanda, mendung mulai menggantung, dan anak-anak yang berenang-renang di kali mulai beranjak pergi, suara guruh dari kejauhan mengancang-ancang, mungkin juga suara air bandang dari ketinggian).
Maka berhumbalanganlah kami semua basah kuyup kehujanan, meskipun ada payung-payung, meskipun ada jas hujan, teteuup saja tak kuat melawan. Terlalu deras itu hujan. Semua menepi, berkumpul di satu rumah kecil penduduk sekitar 200 meter dari pinggiran sungai. Hujan masih berlangsung terus sampai setengah jam dengan derasnya. Akhirnya diputuskan: baiklah, kita tutup saja acara. Aku, Retno, dan Gesit dibawa Wildan basah kuyub dalam kijang ke suatu guest house dejat kampus, untuk bersih-bersih, mandi dan berganti pakaian. Yang lainnya bubaran, mengejar menuju lokasi penutupan (ya guest house itulah kira-kira tempat penutupannya).
Sekitar 14.30 sore, disaksikan oleh tukang bakso di depan guest house, anak-anak Geologi Undip berjaket merah maroon yang gagah berani dan basah kuyup itu membentuk setengah lingkaran, mengerumuni pembawa acara, menutup rangkaian kuliah lapangan, memberikan plakat kaca tajam ke aku untuk kubawa pulang. Weeeeewww, benar-benar kuliah yang menyegarkan.
Semarang, aku akan datang lagi, menuntaskan perjumpaan!!!! Bukan hanya sekadar mengingatkan anak-anak muda itu untuk selalu menyentuh batuan dan proses alam, tapi ternyata gambaran ayat-ayat yang tak terselesaikan itu, terus menerus memanggil, untuk diuraikan... Subhanallah...