Bumi yang Tidak Berbohong dan Kita yang Tidak Membaca (1)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Bagian Pertama: Anugrah

Apakah negara kita kaya emas? Apakah negara kita kaya migas? Apakah masih ada lagi cadangan di bawah sana? Bagaimana dengan panas bumi berlimpah yang tidak bisa diekspor tapi juga tak kunjung termanfaatkan segera? Apakah kita mampu mengeksplorasi dan mengelola sumber daya bumi kita sendiri? Apakah kita punya teknologi dan modal untuk dirisikokan menggali bumi mencari kemanfaatan alam untuk anak-anak negeri?

Pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya jadi aneh ketika keluar dari pembicaraan, pernyatan atau tulisan pejabat-pejabat yang mengurusi kekayaan negeri khususnya di bidang sumber daya kebumian/geologi seperti, mineral, batu bara, migas, panas bumi, air, energi, dan sejenisnya. Dan lebih parah lagi kalau ternyata para ahli kebumian-lah yang nyeletuk dan berkeluh kesah dengan nada-nada serupa hampir sama seperti terungkap dalam kurun waktu tujuh - delapan tahun terakhir ini. Ketika harta karun migas di bawah blok Cepu lama terpaksa kita relakan untuk dioperasikan bangsa lain, ketika kita kebingungan mempertahankan tingkat produksi migas dengan usaha tambal-sulam sedot-pompa cadangan tua yang sudah uzur dan terlunta-lunta, ketika tak satu pun kebijakan negeri ini berani berisiko menambah data: mengeksplorasi sendiri tanah airnya sendiri, ketika renegosiasi hanya dimaknai dengan perubahan royalty dan kepemilikan saham, ketika kontrak-kontrak blok-blok migas besar sudah mendekati dan kita tidak percaya atas kemampuan sendiri dan tetap mengelu-elukan orang asing dengan modal dan teknologi.

Ada dua jenis kategori anugerah kekayaan bumi: kategori pertama adalah sumber daya (resources) dan kategori kedua adalah cadangan (reserves). Sumber daya masih belum diketemukan, cadangan sudah diketemukan. Lalu timbul pertanyaan: bagaimana mungkin sesuatu yang belum ditemukan disebut sebagai sumber daya? Mungkin saja. Tanda-tanda alam dan bumi yang bicara, yang dalam bahasa geologi sering disebut sebagai indikasi sistem minyak bumi, sistem metalogeni, sistem hidrotermal panas bumi dan sistem cekungan sedimen pembawa batu bara — kesemuanya bisa dibaca dan dipahami oleh ahli bumi sehingga bisa dihitung sampai ke potensinya.

Ketidaktahuan kita tentang potensi sumber daya bumi yang masih terpendam dan belum ditemukan seringkali menyesatkan diri kita sendiri maupun rakyat kebanyakan yang lebih tidak mengerti lagi. Tataran kependekaran ahli bumi yang hanya mengacu/merujuk pada potensi mineral, migas, emas, batu bara, dan geotermal yang sudah ketemu dan yang kasat mata di atas muka bumi saja adalah tataran ilmu tenaga luar gwa-kang, belum sampai ke tenaga dalam alias lwee-kang. Sudah seharusnya para ahli bumi Indonesia tidak hanya menggunakan “tenaga luar”nya untuk mengelola tanah air Indonesia dengan apa yang sudah ada, tapi juga “tenaga dalam”nya untuk menemukan cadangan baru dari sumber daya yang ada: mencerahkan harapan ke depan, menata perencanaan energi dan kebutuhan hidup berbudaya lebih baik berdasarkan pengetahuan tentang apa yang kita punya. Pengetahuan kita sendiri, bukan hanya pengetahuan yang disumbang dan didiktekan oleh orang-orang asing tentang bumi kita.

Pengetahuan mereka penting, tapi lebih penting lagi adalah pengetahuan kita. Karena kalau mereka yang menguasai pengetahuan itu, otomatis mereka akan punya kendali terhadap apa yang kita punya. Kalau kita yang menguasai, sebaliknya, kita lah yang punya kendali atas apa yang kita punya. Sangat sederhana dan sarat logika. Jadi, kalau kita tidak berani bersiasat untuk berisiko eksplorasi melengkapi data-data sumber daya kebumian Indonesia, lalu malah sebaliknya kalah siasat dengan merelakan orang-orang asing begitu saja dengan bebasnya bikin survei tentang apa-apa yang ada di bumi kita tanpa kita mampu bargaining dengan mereka, maka beginilah jadinya: kita lihat dalam sepuluh tahun terakhir ini, kebanyakan data-data spec survey kita dikuasai oleh pihak asing. Kalau pun ada indikasi sistem minyak bumi atau pun metalogeni yang muncul dari data-data eksplorasi baru itu, tentu saja pihak-pihak tersebut akan lebih mudah menegosiasikannya ke kita. Siapa yang menguasai informasi, dia menguasai meja!

Jadi, marilah kita membaca bumi kita sendiri, bukan hanya yang kasat mata, tapi juga yang tidak terlihat di bawah sana. Bumi Indonesia telah bicara bahwa ada 86 cekungan migas di pangkuannya yang 18 diantaranya sudah terbukti menghasilkan, sementara sisanya masih jauh dari kita mengerti karena hampir kita tidak punya nyali untuk eksplorasi. Belum lagi pada versi resmi pemerintah ada 128 cekungan itu di Indonesia. Nah, apakah kita mau membaca tanda-tanda itu seterusnya? Atau kita hanya ber-puas diri di 18 cekungan saja? Tentu saja mereka yang kurang kuat visinya untuk melihat ke dalam dan ke depan akan selalu bilang: hei, minyak kita habis, migas kita makin menipis, ayo berhemat dan segera berganti model penggunaan energi. Ungkapan-ungkapan yang sangat bagus dipakai untuk membangkitkan semangat diversifikasi, mengurangi/menghapus subsidi, dan menumbuhkan persaingan kemajuan energi-energi alternatif terbarukan dan sejenisnya di negeri ini. Tapi sayang ungkapan-ungkapan itu tidak diarahkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menggalakkan eksplorasi! Eksplorasi! Eksplorasi! Mencari! Mencari! Mencari!

Kalaupun krisis energi kita ini dipakai untuk menstimulasi eksplorasi, rangkaian panjangnya seringkali dilupakan, yaitu harus dibangun dulu tradisi dan kebiasaan dan dididik pendekar-pendekar eksplorasinya. Coba kita tengok kuil-kuil perguruan tinggi kita, apakah mereka menghasilkan pendekar-pendekar eksplorasi? Nope! Yang kita lihat mereka malahan banyak memasok industri dengan tenaga-tenaga baut dan sekrup untuk mengoperasikan program-software dan kerjaan-kerjaan rutin yang nir-kreativiti! Bagaimana pusat-pusat riset Perguruan Tinggi? Setali tiga uang: di urusan sumber daya kebumian ini, lebih banyak mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang non-riset terobosan, tapi lebih ke pesanan pekerjaan rutin industri yang coba diserap oleh Perguran Tinggi. Tentu saja menguntungkan kedua belah pihak, karena harganya murah bagi industri tapi tetap merupakan pendapatan berarti bagi perguran tinggi yang disuruh pemerintah untuk berbisnis menghidupi diri sendiri. O, gusti, mau ke mana kita ini?

Kalau tidak salah dengar pesan paling baru dari pimpinan negeri ini adalah: eksplorasi! Kita semua berdebar-debar kegirangan mendengarnya. Mudah-mudahan implikasinya pun dia mengerti. Termasuk tidak begitu mudah menyerahkan pengelolaan aset-aset cadangan mineral dan migas yang habis kontrak begitu saja ke orang-orang asing hanya karena mau bargaining sesuatu yang lain atau malah lebih parah lagi: karena takut bangsa sendiri tidak mampu mengurusi. Lho? Apa hubungan eksplorasi dengan habisnya kontrak-kontrak blok migas utama dan juga renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan kita? Kalau pun toh harus tawar-menawar, kita minta saja mereka yang masih ingin mengangkangi operasional kekayaan kita itu dengan iming-iming masih boleh cawe-cawe (tentunya tidak sebagai operator lagi) tapi dengan syarat keluarkan duit, tenaga, teknologi, dan sejenisnya yang terkait risiko-risiko tinggi untuk bantu kita eksplorasi, tanpa embel-embel apa-apa lagi. Bantu saja. Nyumbang. Tidak boleh lebih.

Previous
Previous

Bumi yang Tidak Berbohong dan Kita yang Tidak Membaca (2)

Next
Next

Logika dan Mentalitas Bangsa Terjajah: