Bumi yang Tidak Berbohong dan Kita yang Tidak Membaca (2)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Bagian Kedua: Bencana

Kapan di sini akan ada gempa lagi?

Sampai di mana nanti tsunami menerjang kampung kami?

Kapan itu tsunami akan terjadi?

Kapan Merapi meletus lagi?

Apakah Gunung Talang juga akan menyemburkan api?

Apakah investasi kami aman terhadap gerakan tanah, longsoran, gempa, dan tsunami?

Berapa lama siklus ulang kejadiannya?

Bisakah gempa diprediksi?

Tolong kasi tahu kapan gempa terjadi jadi kita bisa siap-siap mengungsi!

Itu dia pertanyaan-pertanyaan umum yang biasanya keluar dari masyarakat Indonesia yang meskipun secara tradisional nenek moyang kita punya banyak kearifan lokal untuk diteladani tapi karena pergeseran sistim budaya dan pengaruh modernisasi kemungkinan daya tahan, pengetahuan dan aspek mitigasi bencana kebumian kita tidak begitu menancap kuat di budaya masa kini.

Para ahli bumi Indonesia bukan hanya dituntut untuk mengetahui, menemukan dan mengelola potensi anugerah sumber daya bumi, tetapi juga potensi bencananya yang perlu dimitigasi.

Tidak terlalu banyak yang bergerak di bidang ini. Nama-nama seperti Dr. Danny Hilman Natawijaya, Dr. Hamzah Latief, Dr. Irwan Meilano, Dr. Dwikorita Karnawati, Dr. Surono, Dr. Totok Hendrasto, dan beberapa lagi yang tidak tersebutkan di sini, mereka adalah para peneliti bumi yang sepi dari hura-hura temuan-temuan kekayaan bumi. Mereka mengawal anugerah bumi yang ditemukan itu dengan mitigasi bencana, dengan pengetahuan-pengetahuan tentang potensi kebencanaan bumi, untuk diterapkan pada prosedur, tata ruang dan rencana tanggap darurat.

Kita masih perlu banyak ahli-ahli seperti mereka, dan seharusnya industri ekstraksi kebumian seperti perusahaan tambang emas, tembaga, mineral, migas, geotermal dan sejenisnya itu semuanya mengambil manfaat dan bekerjasama dengan tokoh-tokoh bumi itu sedemikian rupa sehingga nikmat anugerah yang mereka tangani dapat dinikmati oleh Indonesia tanpa harus tiba-tiba hancur, hilang, musnah hanya karena mitigasi yang tidak dilakukan dan prosedur kedaruratan yang tidak dijalankan. Ada sisi anugerah, ada sisi bencana, bumi geologi Indonesia.

Dan seharusnya juga kita bisa menarik ke belakang kejadian-kejadian bencana luar biasa dekade terakhir ini, dan menyimpulkan dengan gamblang bahwa Indonesia adalah ajang instabilitas bumi dengan 129 gunung api, separuh dari 95.000 kilometer pantainya rawan terjangan tsunami, belasan ribu kilometer daratannya disayat-sayat patahan aktif siap bergerak setiap saat. Tidak ada satu pun kawasan berpenghuni berpenduduk berdaulat seperti Indonesia ini yang punya ancaman bencana begitu banyak dan bervariasi.

Kalau memang seperti itu karakterisasinya, apakah ini hanya baru terjadi akhir-akhir ini?

Tentu saja tidak. Umur penunjaman lempeng-lempeng, pembentukan patahan-patahan besar dan pembentukan gunung-gunung api di Indonesia bukan hanya baru-baru ini. Mereka paling tidak sudah terjadi sejak 45 juta tahun lalu mulai kala Eosen, berlangsung dengan puncak-puncak katastrofe di kala Oligosen (penggenangan laut 30 – 23 juta tahun yang lalu), kemudian letusan-letusan gunung api dan pengangkatan-pengangkatan daratan pada Miosen 15 juta tahun yang lalu, silih berganti hingga ketika manusia dianggap mulai ada 1,5 juta tahun yang lalu (Pleistosen), 150.000 tahun yang lalu (fosil-fosil Sangiran), letusan super-volcano Toba 75.000 tahun yang lalu yang memusnahkan hampir 95% spesies di bumi, banjir besar 11.000 – 10.000 tahun yang lalu, letusan Krakatau berkali-kali, Tambora, Rinjani di masa sejarah, semua menunjukkan bahwa dari dahulu kala sampai sekarang kejadian-kejadian itu adalah keniscayaan, sunatullah, proses geologi biasa. Karena ada kita, manusia, maka itu semua kita anggap sebagai bencana.

Implikasinya adalah: Indonesia, Nusantara, Zamrud Khatulistiwa kita, yang konon dari bagian pertama pidato ini tadi ternyata punya potensi luar biasa sumber daya buminya, ternyata juga menyimpan cerita tentang bencana-bencana yang berulang-ulang kejadiannya. Pertanyaannya: lalu kenapa sejarah modern (tertulis) peradaban kita baru dimulai abad ke-4 Masehi? Kerajaan Kalingga, Mulawarman dan sesudahnya: itulah paling jauh nenek moyang yang bisa kita runut asal usulnya dalam tulisan-tulisan sejarah kita. Lalu pada waktu Yesus atau Nabi Isa berkiprah di dunia abad ke-0, ada apakah di Indonesia? Ketika Plato berfilsafat ria abad 8 sebelum Masehi, apakah tidak ada catatan apapun tentang dan di negeri super potensi kita ini? Waktu raja-raja Firaun membangun piramida-piramida megah 3000 tahun lalu di tempat yang susah-susah di padang pasir sana, apakah nenek moyang kita leyeh-leyehan saja tinggal di gua-gua dan tidak melakukan apa-apa?

Bagi saya yang mengerti sedikit tentang ilmu bumi, kemungkinan jawabannya adalah, “kita punya masa lalu yang harusnya sama atau lebih hebat dari masa lalu bangsa-bangsa lain di dunia karena keunggulan potensi alam kita. Tetapi karena sifat siklus kebencanaan yang ada maka catatan-catatan dan peninggalan-peninggalan masa lalu itu terhapus, terkubur, terpendam oleh letusan gunung api, terjangan tsunami, goyangan gempa dan gelontoran kuburan lumpur longsoran gerakan tanah di mana-mana”.

Setiap kali kebudayaan kita maju, ada bencana yang menghancurkannya, kemudian kita mulai mengulangi segalanya dari mula, dari nol, tanpa apa-apa. Tergantung siapa yang survive pada saat bencana itu. Kalau yang selamat pada waktu kebudayaan tinggi kita dilanda bencana itu adalah tukang rumput, maka kebudayaan kita pasca bencana adalah kebudayaan tukang rumput. Kalau yang selamat dari bencana-bencana itu adalah orang-orang yang bersembunyi di gua-gua, maka kebudayaan kita berulang menjadi kebudayaan manusia gua. Dan seterusnya. Kemungkinan juga ketika Merapi meletus 1000 tahun yang lalu pada tahun 1006 dan mengubur candi Borobudur, kebanyakan arsitek, insinyur sipil dan para perencana yang pintar-pintar juga terkubur semua bersamaan dengan katastrofe purba itu. Yang selamat mungkin tukang bikin cobek yang kebetulan pergi ke Semarang untuk kunjungan ke sanak jauh. Maka ketika dia kembali ke sekitar candi didapatinya semua kehidupan musnah. Maka dimulailah kebudayaan baru Borobudur dari awal, dari membuat ukir-ukiran, cobek, dan patung-patung batu. Tak ada lagi insinyur-insinyur Gunadharma, terkubur semuanya oleh bencana.

Maka perlu juga direnungkan untuk maju ke depan. Apakah memang sebenarnya dari dulu bangsa Indonesia itu sempat berkembang maju beradab berteknologi tinggi tapi kemudian dihapus berulang-ulang catatannya oleh bencana, atau memang masa lalu kita adalah: manusia-manusia gua, manusia-manusia jaman batu, bahkan ketika di Mesir orang-orang sudah berlomba membuat bangunan-bangunan megah?

Tugas kita bersama untuk mengurai masa lalu peradaban kita. Tugas para ahli bumi juga, termasuk mengurai bencana-bencana apa saja yang menyebabkan masa lalu kita terkubur di bawah sana atau hangus menguap seperti sia-sia. Pada saat kapan saja bencana-bencana itu terjadi dan di lokasi-lokasi mana: data-data itu semua akan sangat bermanfaat bagi penyusunan kerangka mitigasi keberulangan, periodisitas, dan juga magnitude bencana yang bisa dipakai untuk mengantisipasinya ke depan. Demi masa depan bangsa yang lebih cerah.

Previous
Previous

(Merdeka!)

Next
Next

Bumi yang Tidak Berbohong dan Kita yang Tidak Membaca (1)