Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Catatan Akhir Tahun: Tsunami, Gempa, dan Likuefaksi (Pelajaran tak Henti-Henti untuk Bangsa yang Nggak Ngerti-Ngerti.)

Apakah selama ini rezim-rezim pemerintahan kita sudah "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia" dari bencana gempa bumi, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, banjir dan longsor dan kebakaran, seperti diamanatkan di pembukaan UUD45 di atas?

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Apakah selama ini rezim-rezim pemerintahan kita sudah "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia" dari bencana gempa bumi, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, banjir dan longsor dan kebakaran, seperti diamanatkan di pembukaan UUD45 di atas?

Belum!

Kita hanya sibuk tergopoh-gopoh menyelamatkan yang selamat, mengevakuasi yang mati, mengobati yang luka dan merehabilitasi infrastruktur yang hancur rusak karena bencana. Rezim-rezim pemerintahan kita selama ini gak begitu serius, gak begitu peduli, cenderung abai dengan mitigasi dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman/potensi bencana.

Buktinya, peringatan Prof. Katili tahun 1970 supaya Palu tidak dijadikan ibu kota/pusat pertumbuhan karena potensi bahaya gempa patahan Palu-Koro-nya pun tidak ditindaklanjuti. Sampai akhirnya kejadian Gempa-Tsunami Palu 2018 kemarin itu memakan korban seribu lebih nyawa melayang dan miliar-triliunan rupiah infrastruktur rusak hingga hancur berantakan. Jelas terlihat bahwa kita tidak melindungi segenap kehidupan rakyat Palu dan sekitarnya karena kita mengabaikan rekomendasi/usulan dari Prof. Katili itu.

Ada lagi! Peta Potensi Bahaya Likuefaksi di Palu yang dibikin 2012 oleh lembaga pemerintahan sendiri pun (Badan Geologi) tidak dipakai sebagai acuan untuk mengatur tata ruang di situ. Tidak ada program mitigasi lanjutannya. Tidak ada penegakan aturan pembuatan bangunan yang disesuaikan dengan kondisi tektonik aktif daerah tersebut. Tidak dibikin pelatihan-pelatihan massal ke masyarakat untuk menyelamatkan diri kalau ada bencana. Akibatnya, ketika sudah terjadi kejadian gempa tsunami, ribuan nyawa melayang, miliar-triliunan harta benda, rumah, dan infrastruktur hilang dan hancur berantakan. Nah, apalagi istilah yang dapat diberikan untuk respons pemerintah (pusat maupun daerah) atas peta zonasi bahaya likuefaksi yang resmi dibikin pemerintah sendiri tapi nggak pernah diimplementasi sampai terjadi bencana dan banyak korban begini kalau bukan abai, nggak peduli, dan salah langkah antisipasi? Sekali lagi jelas terlihat bahwa, pemerintah kita belum melindungi segenap kehidupan bangsa (rakyat Palu dan sekitarnya) dengan tidak menindaklanjuti peta likuefaksi tersebut.

Dan yang akhir tahun ini sedang berlangsung adalah ancaman terjangan tsunami di Selat Sunda yang menjadi kenyataan 22 Desember 2018 lalu. Itu pun dengan kemungkinan masih ada lagi “susulan”nya di hari-hari mendatang, tergantung dari ketepatan prediksi tentang ada/tiadanya material-material vulkanik Anak Krakatau yang masih bisa longsor ke laut dalam jumlah besar — meskipun katanya hari ini, 31 Desember 2018, sudah mulai reda batuk-batuknya. Korban nyawa sudah mencapai 400 – 500an dan masih mungkin bertambah karena ada yang hilang. Selain itu rusaknya bangunan rumah, hotel, dan infrastruktur umum lainnya karena terjangan tsunami bisa mencapai ratusan miliar dan mungkin triliunan untuk merehabilitasinya. Padahal, berbagai analisis ilmuwan sebelumnya sudah dipublikasikan tentang kemungkinan tsunami akibat gempa Megathrust selat Sunda (Widjokongko, 2018; Natawidjaya, 2014) ataupun akibat longsornya tubuh gunung api Anak Krakatau (Giachetti, dkk, 2012 - termasuk peneliti BPPT Dr. Budianto - Didit - Ontowiryo sebagai co-author-nya). Tapi, nggak pernah analisis-analisis dan rekomendasi-rekomendasi ilmiah sampai menjadi kebijakan yang diimplementasi jadi program-program mitigasi — sampai akhirnya kejadian bencananya datang, dan semuanya menyesali! Apakah pemerintah kita sudah melindungi segenap bangsa rakyat Banten dan Lampung dan para pelancong dari berbagai daerah di pantai-pantai Selat Sunda dari bahaya tsunami? Dari uraian di atas jawabnya jelas: Belum!!

Gak Ngerti-Ngerti Juga

Padahal seolah-olah tak henti-hentinya Allah memberikan pelajaran/peringatan ke kita supaya BENAR-BENAR MELAKUKAN MITIGASI YG BENAR, SERIUS, TERUKUR DAN ANTISIPATIF. Bukan hanya tergopoh-gopoh melakukan respons waktu terjadinya bencana, tapi bersiap dengan segala kegiatan mitigasi yang BIAYANYA JAUH LEBIH KECIL DARIPADA KERUGIAN AKIBAT BENCANA YANG SAMA SEKALI TIDAK DIANTISIPASI. Tetapi, meskipun tak henti-hentinya pelajaran diberikan kepada kita, sampai sekarang GAK NGERTI-NGERTI JUGA KITA.

Buktinya: himbauan-himbauan untuk ambil pelajaran dari bencana-bencana itu untuk segera bikin usaha mitigasi di lokasi-lokasi lain dengan prediksi rawan terhadap gempa, tsunami, dan likuefaksi pun sudah dituliskan (malah sudah diteriakkan), tapi tak kunjung dilakukan oleh pemerintah. SEMUA SIBUK MENJELASKAN APA YG TERJADI DAN PENYEBABNYA. Bahkan duit budget anggaran direlakan untuk memastikan survei-survei AFTER THE FACT yang tidak mungkin bisa menghidupkan yang mati atau menegakkan kembali bangunan-bangunan yang rusak atau ditelan bumi. Masih mending setelah itu kita rame-rame FOKUS PADA PROYEK-PROYEK REHABILITASI (itu pun masih juga ada yang dikorupsi). Tapi, kita sama sekali lupa bahwa hal serupa bisa juga terjadi di daerah-daerah lain yang sebenarnya sudah distudi oleh ilmuwan2 kita dengan berbagai tulisan paper dan buku mereka dimana-mana di forum-forum ilmiah.

Sudah Terjadi Puluhan – Belasan Tahun yang Lalu.

Bukan hanya akhir-akhir ini saja ke”nggak ngerti”an bangsa ini terjadi. Beberapa belas tahun yang lalu, peringatan dari ilmuwan peneliti tentang Megathrust Simelueu sebelum gempa tsunami Aceh 2004 pun tidak pernah sampai di pengambil kebijakan untuk ditindak-lanjuti. Padahal sebelumnya Danny Hilman Natawidjaya telah meneliti siklus periodisitas gempa-tsunami Simeuleu itu dan menjadikannya tulisan Disertasi dan juga mempresentasikannya di forum-forum ilmiah (Natawidjaya, 2004).

Masih belasan tahun yang lalu juga, peringatan dari IAGI bahwa swarming effect gempa tsunami Aceh akan merambat ke selatannya nggak diantisipasi dengan bijak oleh pemerintah hingga muncul gempa Nias, Mentawai, dan lainnya di 2005 dan tahun-tahun berikutnya.

Secara normatif sering kali himbauan pemerintah adalah, “tetap tenang dan waspada, jangan terpengaruh isu-isu yang tidak bertanggungjawab,” dan sebagainya. Tapi, tidak ada usaha-usaha fisik untuk mengurangi risiko bencana itu secara proporsional.

BKMG, BNPB, Badan Geologi

Bagaimana dengan lembaga-lembaga yang sudah dibentuk pemerintah untuk urusan bencana-bencana kebumian itu? Apakah mereka pernah belajar dari bencana-bencana itu dan makin mengerti untuk melakukan Mitigasi?

BMKG nampaknya tidak melakukan mitigasi. BMKG hanya memberitakan, kalau telah terjadi gempa, di mana dengan besaran berapa dan mengeluarkan peringatan akan ada tsunami atau tidak. Setelah gempa terjadi terus rame-rame menjelaskan itu semua karena apa (penunjaman lempeng, sesar mendatar, atau yang populer akhir-akhir ini: karena longsoran), kemudian diakhiri dengan, “tetap tenang dan waspada”.

BNPB juga usaha mitigasinya nggak pernah terekspos dan jadi bagian penting program kelembagaan karena fokusnya di Penanggulangan (walaupun ada juga bagian mitigasinya). Paling banter, setelah kejadian, BNPB akan berperan juga di rehabilitasi — meskipun kita sama-sama tahu leading sectornya di rehabilitasi itu kementerian PUPR dengan dana pembangunan sarana fisiknya.

Badan Geologi yang tupoksinya banyak terkait dengan usaha mitigasi seperti menerbitkan peta zona bahaya gunung api — yang memang sudah cukup bagus ¾ dan juga Peta Likuefaksi seperti yang di Palu itu, nampaknya juga kurang punya gigi untuk terus mendesakkan peta-peta hasil mitigasinya ke lembaga-lembaga terkait lainnya untuk ditindak-lanjuti.

Where Next?

Kalau (rezim pemerintahan) kita mengerti, maka seharusnya peringatan-peringatan bencana kebumian yang berturut-turut terjadi itu juga menyiapkan kita semua untuk melakukan mitigasi di daerah-daerah yang sudah berkali-kali diidentifikasi oleh para peneliti mempunyai potensi serupa untuk terjadi.

Kapan waktunya? Ada yang periodisitasnya sudah bisa diprediksi dengan standar deviasi 25 – 50 tahun, ada juga yang belum bisa diprediksi tapi besaran bencana (kekuatannya) sudah bisa dikira-kira akan terjadi. Kapan akan terjadi? Bisa besok pagi, bisa tiga – empat bulan lagi (pas Pemilu ?), bisa dua tahun lagi, bisa sepuluh tahun lagi. Yang jelas, mereka PASTI akan bergerak lagi.

Makanya jadi lebih penting untuk menyiapkan diri.

Bagaimana persiapan dirinya? Yang belum sepenuhnya diteliti, ayo lebih diteliti, luangkanlah uang biaya budget untuk meneliti yang hasilnya sering kali berupa tulisan di atas kertas, peta-peta, zonasi, grafik-grafik, dan sejenisnya yang bukan berupa jalan tol, jembatan, ataupun bendungan seperti yang selalu dibangga-banggakan selama ini. Meskipun begitu, hasil kertas berupa peta-peta itu bisa nantinya menyelamatkan jalan tol, jembatan, dan infrastruktur-infrastruktur mahal itu kalau benar-benar diikuti rekomendasinya.

Selain itu, kalau alat-alat peringatan dini dan alat-alat untuk meneliti belum lengkap ayo kita lengkapi. Pasang GPS di pulau-pulau kecil di depan zona subduksi untuk memonitor lengkungan vertikal yang terjadi karena menahan gerakan lempeng yang nantinya akan “pecah” energinya jadi gempa dan tsunami. Juga buoy-buoy yang harganya satu miliaran itu untuk peringatan dini tsunami. Ayo diperbaiki, diperbarui, ditambahi, terutama di daerah-daerah potensi yang akan diuraikan di bawah ini.

Dibutuhkan juga evaluasi zona-zona pemukiman dan infrastruktur umum di daerah lintasan gempa dan Zona rendaman tsunami! Kalau masih ada yang bangun di area sempadan pantai: bongkar saja dengan segala konsekuensinya.

Cek kelayakan konstruksi bangunan-bangunan di daerah-daerah potensi gempa dan tsunami. Kalau masih nggak cocok dengan kode bangunan konstruksinya maka harus diperingati, diperkuat, atau direkayasa (fisik, teknik, finansial) supaya nantinya kuat tahan goyangan gempa (dan tsunami). Kalau belum ada peta detail zonasi gempa/kode bangunan konstruksinya ya dibikinlah peta zonasi detailnya. Pakai biaya pemerintah!

Mulai lakukan latihan-latihan berkala untuk menghadapi bencana-bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi itu. Anggaran latihan-latihannya alokasikan khusus dan jangan diganggu gugat untuk dipakai lainnya. Supaya nantinya nggak banyak korban kalau bencana terjadi.

Di bawah ini daftar potensi bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di daerah-daerah yang sudah pernah distudi oleh para ilmuwan Indonesia maupun luar negeri yang disusun berdasarkan prioritas kemungkinan masifnya bencana dan kerugian yang terjadi.

Di 15 zona daerah inilah perlu difokuskan mitigasi. Sebelum telat nantinya berturut-berturut bencana itu terjadi. ITUPUN KALAU (PEMERINTAH) KITA NGERTI.

  1. Gempa - Tsunami Megathrust Mentawai (Barat Padang-Bengkulu)

  2. Gempa-Tsunami Megathrust Selat Sunda (Banten, Lampung, Bengkulu, SumBar, Jabar, DKI, Jateng, DIY, Jatim)

  3. Gempa-Tsunami Pelabuhan Ratu - Cimandiri (Sesar Mendatar Cimandiri)

  4. Gempa Sesar Mendatar Lembang

  5. Gempa Sesar Naik Surabaya - Bojonegoro

  6. Gempa dan Tsunami Sesar Naik Selat Madura

  7. Gempa dan Tsunami Palu- Koro segmen selatan ke Teluk Bone

  8. Gempa dan Tsunami Sesar Naik Offshore Sulawesi Barat (Mamuju dan sekitarnya)

  9. Gempa dan Tsunami sepanjang pantai Sulawesi Utara dari Zona penunjaman Sulawesi Utara

  10. Gempa dan Tsunami Tarakan dari Zona penunjaman Sulawesi Utara

  11. Gempa sepanjang 12 segmen Sesar Sumatra (yang di Bengkulu hari ini aktif 5.7 SR)

  12. Gempa Sesar Baribis (Jawa Barat Utara - DKI)

  13. Gempa dan Tsunami Megathrust selatan Jember - Banyuwangi

  14. Gempa dan Tsunami Megathrust Selatan Bali/Lombok/Sumbawa

  15. Gempa dan Tsunami dan Liquifaksi Sesar Sorong dan Zona Penunjaman utara Papua.

Catatan Akhir Tahun-Tsunami.jpg
Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Longsor Cipularang: Jangan Keburu Salahkan Petani!

Lagipula haknya petani untuk buka lahan dan bertani kalau memang itu daerah/tanah mereka sendiri dan bukan tanahnya Jasamarga.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Terlalu dini dan menggampangkan dan terkesan cari kambing hitam sembarangan kalau pihak Jasamarga (Dit Ops: Hasanuddin dalam wawancara dengan El Shinta pagi ini 13 Februari pukul 07:00) menyimpulkan longsornya tebing jalan tol Cipularang kilometer 100 – 300 disebabkan pembukaan lahan oleh petani/penduduk di daerah hulu/atasnya sehingga membuat run-off lebih besar ke area tersebut membebani massa tanah/batuan di tebing mereka.

Mustinya kita para insinyur dan geotechnician introspeksi dulu melihat dan mengevaluasi konstruksi penanganan longsor serupa di tempat yang sama delapan tahun yang lalu: apakah ada kekurangan? Apakah ada area kritis pergerakan tanah yang terlewati yang luput tidak diperkuat — di-grouting? Apakah patahan dan bidang gelinciran lempung Subang di situ benar-benar hanya yang kita ketahui delapan tahun lalu atau sudah berkembang meluas atau memang dari asalnya memang lebih luas tapi tidak kita capture pada waktu itu? Barulah dari situ kalau memang semuanya nampak oke, cari penyebab dari luarnya. Ini belum apa-apa sudah menyalahkan petani/penduduk di daerah hulu. Waduh, kalau saya jadi petaninya, saya akan protes keras!!! Lagipula haknya petani untuk buka lahan dan bertani kalau memang itu daerah/tanah mereka sendiri dan bukan tanahnya Jasamarga. Koq dihimbau-himbau untuk tidak sembarangan buka tanah di sekitar daerah tol Cipularang? Gak fair.

IAGI, HATTI, ayo turunkan tim geoteknik dan insinyur sipil independent ke lapangan. Bantu Jasamarga untuk lebih rasional dan smart mengelola infrastruktur mereka, demi kepentingan rakyat banyak. Jangan asal tuduh ke petani saja. Coba rekam struktur tanah dangkal di sana pake GPR dan Superstring Geoelectrical Survey supaya ngga meraba-raba lagi tentang struktur geologi dinamis di sana sehingga penanganannya juga once for all — jangka panjang, bukan tiap tujuh – delapan tahun longsor lagi.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Bumi yang Tidak Berbohong dan Kita yang Tidak Membaca (2)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Bagian Kedua: Bencana

Kapan di sini akan ada gempa lagi?

Sampai di mana nanti tsunami menerjang kampung kami?

Kapan itu tsunami akan terjadi?

Kapan Merapi meletus lagi?

Apakah Gunung Talang juga akan menyemburkan api?

Apakah investasi kami aman terhadap gerakan tanah, longsoran, gempa, dan tsunami?

Berapa lama siklus ulang kejadiannya?

Bisakah gempa diprediksi?

Tolong kasi tahu kapan gempa terjadi jadi kita bisa siap-siap mengungsi!

Itu dia pertanyaan-pertanyaan umum yang biasanya keluar dari masyarakat Indonesia yang meskipun secara tradisional nenek moyang kita punya banyak kearifan lokal untuk diteladani tapi karena pergeseran sistim budaya dan pengaruh modernisasi kemungkinan daya tahan, pengetahuan dan aspek mitigasi bencana kebumian kita tidak begitu menancap kuat di budaya masa kini.

Para ahli bumi Indonesia bukan hanya dituntut untuk mengetahui, menemukan dan mengelola potensi anugerah sumber daya bumi, tetapi juga potensi bencananya yang perlu dimitigasi.

Tidak terlalu banyak yang bergerak di bidang ini. Nama-nama seperti Dr. Danny Hilman Natawijaya, Dr. Hamzah Latief, Dr. Irwan Meilano, Dr. Dwikorita Karnawati, Dr. Surono, Dr. Totok Hendrasto, dan beberapa lagi yang tidak tersebutkan di sini, mereka adalah para peneliti bumi yang sepi dari hura-hura temuan-temuan kekayaan bumi. Mereka mengawal anugerah bumi yang ditemukan itu dengan mitigasi bencana, dengan pengetahuan-pengetahuan tentang potensi kebencanaan bumi, untuk diterapkan pada prosedur, tata ruang dan rencana tanggap darurat.

Kita masih perlu banyak ahli-ahli seperti mereka, dan seharusnya industri ekstraksi kebumian seperti perusahaan tambang emas, tembaga, mineral, migas, geotermal dan sejenisnya itu semuanya mengambil manfaat dan bekerjasama dengan tokoh-tokoh bumi itu sedemikian rupa sehingga nikmat anugerah yang mereka tangani dapat dinikmati oleh Indonesia tanpa harus tiba-tiba hancur, hilang, musnah hanya karena mitigasi yang tidak dilakukan dan prosedur kedaruratan yang tidak dijalankan. Ada sisi anugerah, ada sisi bencana, bumi geologi Indonesia.

Dan seharusnya juga kita bisa menarik ke belakang kejadian-kejadian bencana luar biasa dekade terakhir ini, dan menyimpulkan dengan gamblang bahwa Indonesia adalah ajang instabilitas bumi dengan 129 gunung api, separuh dari 95.000 kilometer pantainya rawan terjangan tsunami, belasan ribu kilometer daratannya disayat-sayat patahan aktif siap bergerak setiap saat. Tidak ada satu pun kawasan berpenghuni berpenduduk berdaulat seperti Indonesia ini yang punya ancaman bencana begitu banyak dan bervariasi.

Kalau memang seperti itu karakterisasinya, apakah ini hanya baru terjadi akhir-akhir ini?

Tentu saja tidak. Umur penunjaman lempeng-lempeng, pembentukan patahan-patahan besar dan pembentukan gunung-gunung api di Indonesia bukan hanya baru-baru ini. Mereka paling tidak sudah terjadi sejak 45 juta tahun lalu mulai kala Eosen, berlangsung dengan puncak-puncak katastrofe di kala Oligosen (penggenangan laut 30 – 23 juta tahun yang lalu), kemudian letusan-letusan gunung api dan pengangkatan-pengangkatan daratan pada Miosen 15 juta tahun yang lalu, silih berganti hingga ketika manusia dianggap mulai ada 1,5 juta tahun yang lalu (Pleistosen), 150.000 tahun yang lalu (fosil-fosil Sangiran), letusan super-volcano Toba 75.000 tahun yang lalu yang memusnahkan hampir 95% spesies di bumi, banjir besar 11.000 – 10.000 tahun yang lalu, letusan Krakatau berkali-kali, Tambora, Rinjani di masa sejarah, semua menunjukkan bahwa dari dahulu kala sampai sekarang kejadian-kejadian itu adalah keniscayaan, sunatullah, proses geologi biasa. Karena ada kita, manusia, maka itu semua kita anggap sebagai bencana.

Implikasinya adalah: Indonesia, Nusantara, Zamrud Khatulistiwa kita, yang konon dari bagian pertama pidato ini tadi ternyata punya potensi luar biasa sumber daya buminya, ternyata juga menyimpan cerita tentang bencana-bencana yang berulang-ulang kejadiannya. Pertanyaannya: lalu kenapa sejarah modern (tertulis) peradaban kita baru dimulai abad ke-4 Masehi? Kerajaan Kalingga, Mulawarman dan sesudahnya: itulah paling jauh nenek moyang yang bisa kita runut asal usulnya dalam tulisan-tulisan sejarah kita. Lalu pada waktu Yesus atau Nabi Isa berkiprah di dunia abad ke-0, ada apakah di Indonesia? Ketika Plato berfilsafat ria abad 8 sebelum Masehi, apakah tidak ada catatan apapun tentang dan di negeri super potensi kita ini? Waktu raja-raja Firaun membangun piramida-piramida megah 3000 tahun lalu di tempat yang susah-susah di padang pasir sana, apakah nenek moyang kita leyeh-leyehan saja tinggal di gua-gua dan tidak melakukan apa-apa?

Bagi saya yang mengerti sedikit tentang ilmu bumi, kemungkinan jawabannya adalah, “kita punya masa lalu yang harusnya sama atau lebih hebat dari masa lalu bangsa-bangsa lain di dunia karena keunggulan potensi alam kita. Tetapi karena sifat siklus kebencanaan yang ada maka catatan-catatan dan peninggalan-peninggalan masa lalu itu terhapus, terkubur, terpendam oleh letusan gunung api, terjangan tsunami, goyangan gempa dan gelontoran kuburan lumpur longsoran gerakan tanah di mana-mana”.

Setiap kali kebudayaan kita maju, ada bencana yang menghancurkannya, kemudian kita mulai mengulangi segalanya dari mula, dari nol, tanpa apa-apa. Tergantung siapa yang survive pada saat bencana itu. Kalau yang selamat pada waktu kebudayaan tinggi kita dilanda bencana itu adalah tukang rumput, maka kebudayaan kita pasca bencana adalah kebudayaan tukang rumput. Kalau yang selamat dari bencana-bencana itu adalah orang-orang yang bersembunyi di gua-gua, maka kebudayaan kita berulang menjadi kebudayaan manusia gua. Dan seterusnya. Kemungkinan juga ketika Merapi meletus 1000 tahun yang lalu pada tahun 1006 dan mengubur candi Borobudur, kebanyakan arsitek, insinyur sipil dan para perencana yang pintar-pintar juga terkubur semua bersamaan dengan katastrofe purba itu. Yang selamat mungkin tukang bikin cobek yang kebetulan pergi ke Semarang untuk kunjungan ke sanak jauh. Maka ketika dia kembali ke sekitar candi didapatinya semua kehidupan musnah. Maka dimulailah kebudayaan baru Borobudur dari awal, dari membuat ukir-ukiran, cobek, dan patung-patung batu. Tak ada lagi insinyur-insinyur Gunadharma, terkubur semuanya oleh bencana.

Maka perlu juga direnungkan untuk maju ke depan. Apakah memang sebenarnya dari dulu bangsa Indonesia itu sempat berkembang maju beradab berteknologi tinggi tapi kemudian dihapus berulang-ulang catatannya oleh bencana, atau memang masa lalu kita adalah: manusia-manusia gua, manusia-manusia jaman batu, bahkan ketika di Mesir orang-orang sudah berlomba membuat bangunan-bangunan megah?

Tugas kita bersama untuk mengurai masa lalu peradaban kita. Tugas para ahli bumi juga, termasuk mengurai bencana-bencana apa saja yang menyebabkan masa lalu kita terkubur di bawah sana atau hangus menguap seperti sia-sia. Pada saat kapan saja bencana-bencana itu terjadi dan di lokasi-lokasi mana: data-data itu semua akan sangat bermanfaat bagi penyusunan kerangka mitigasi keberulangan, periodisitas, dan juga magnitude bencana yang bisa dipakai untuk mengantisipasinya ke depan. Demi masa depan bangsa yang lebih cerah.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Tsunami dari Selat Sunda: YES!, Rambatan gempa dari Selat Sunda: LESS LIKELY, Rambatan dari Pelabuhan Ratu: MORE LIKELY

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Atas pemberitaan akhir-akhir ini tentang potensi Gempa Jakarta 8.7 SR yang dirilis Staf Khusus Presiden Bidang Bencana dan Bantuan Sosial (Andi Arief) dan Dr. Danny Hilman setelahnya, saya ingin memberikan perspektif yang sedikit berbeda.

Dari segi tektonik, bukan hanya jarak dari epicenter yang menentukan besar kecilnya pengaruh gempa dirasakan di suatu tempat. Tetapi juga apakah ada jalur-jalur patahan yang menghubungkan daerah epicenter dengan tempat tersebut..

Dalam hal potensi ancaman gempa yang epicenternya di terusan patahan geser Sumatra ataupun Mentawai di Selat Sunda maupun apalagi di zona penunjaman sebelah baratnya, kemungkinan besar daerah yang punya kelurusan struktur langsung dengan patahan-patahan tersebut di Banten yang mendapatkan pengaruh goncangan terbesar.

Hubungan Teluk Jakarta dengan daerah Selat Sunda nampaknya lebih difasilitasi oleh terhubungnya kedua perairan tersebut oleh kolom air Laut Jawa diantara keduanya. Sampai sekarang kita belum memperoleh bukti data adanya kelurusan patahan arah barat-timur yang menghubungkan keduanya. Dengan demikian potensi akan terjadinya tsunami sangat besar di Teluk Jakarta apabila terjadi gempa 8.7 SR Selat Sunda yang sedang diteliti ini. Perhitungan awal apabila terjadi gempa 8.5 SR di Selat Sunda, maka Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta akan terendam tsunami yang run up-nya sampai dengan satu meter.

Tetapi kecil kemungkinannya gempa 8.7SR tersebut merambat dan dirasakan dengan kekuatan yang sama di Jakarta, karena tiadanya jalur patahan barat-timur itu. Kalaupun toh dirasakan di Jakarta mungkin getarannya sudah jauh berkurang dari di pusatnya yang 8.7 SR itu. Tapi ya tetap saja goyang bergoncang. Berapa besaran MM nya? Kawan-kawan geoteknik perlu menghitungnya terutama dikaitkan dengan usaha mikro zonasi kegempaan untuk kode bangunan di Jakarta.

Saya malahan melihat kemungkinan Jakarta lebih rawan "serangan" gempa dari arah selatan, yaitu dari Pelabuhan Ratu - Sukabumi dan sekitarnya. Karena sampai saat ini data gravity dan seismik menunjukkan tinggian-rendahan utama yang dibatasi patahan-patahan di daerah Jakarta arahnya utara selatan. Salah satu dari patahan itu membatasi Tinggian Tanggerang di bagian barat dari Cekungan Ciputat yang melampar ke timur sampai ke Tinggian Rengasdengklok. Patahan berarah utara selatan itu trase permukaannya di sekitar jalur Sungai Cisadane. Jalur patahan di bawah permukaan bisa diamati sampai ke daerah Leuwiliang Bogor, tetapi kemudian jejaknya tertutup oleh endapan vulkanik Gunung Salak. Kemungkinan jalur utara selatan lewat patahan itu bisa menerus di bawah Gunung Salak sampai akhirnya terhubung dengan daerah Sukabumi - Pelabuhan Ratu. Jika terjadi pergeseran intra plate di penunjaman lempeng selatan Pelabuhan Ratu dan getaran gempanya bisa diteruskan ke utara lewat jalur tersebut, maka Jakarta bisa-bisa ikut bergoyang. Lebih banyak bukti menunjukkan bahwa gempa-gempa di selatan Jawa Barat seringkali juga terasa meggoyangkan Jakarta (Gempa Pangandaran 2006, Gempa Tasikmalaya 2009, Gempa Sukabumi).

Tentang kemungkinan Jakarta diancam tsunami dari gempa Selat Sunda  maupun volcanic activity Krakatau: catatan-catatan sejarah membuktikannya. Juga akhir-akhir ini penelitian Pak Danny Hilman dan lainnya di daerah BatuJaya, Krawang (Teluk Jakarta timur) tentang penyebab terkuburnya kebudayaan pra-sejarah di sana (dari situs-situs arkeologinya) mulai menunjukkan tanda-tanda bekas adanya bencana purba. Bencana purba pada lapisan-lapisan pengubur situs Batu Jaya antara abad 4 dan 5 kemungkinan adalah Tsunami atau letusan gunung api dari Selat Sunda.

Jadi, memang kita semua harus terus bersiap. Jakarta juga tidak aman-aman banget dari potensi ancaman gempa dan apalagi tsunami. Ayo lebih kita kencengin penelitian-penelitianya. Tanpa riset-riset: GPS, tomografi, monitoring patahan aktif, catatan-catatan sejarah, dating endapan tsunami, koral dan sebagainya, kita meraba dalam gelap. Dengan riset-riset mitigasi, kita jadi lebih siap, tahu segmen lempeng mana yang siap bergerak dan berapa besar besar skalanya, daerah mana yang kena, dan sebagainya. Makin banyak catatan sejarah/stratigrafi dari pemelajaran perulangan gempa-tsunami di suatu tempat, makin sempit simpangan ketidakpastian prediksi. Kita sudah sampai pada level prediksi lokasi dan besaran gempa termasuk untuk Siberut, Padang, Selat Sunda, Jawa Selatan, dan lainnya tapi prediksi kapan waktunya masih banyak tanda tanya. Masih terlalu sedikit data untuk diambil regresi linier statistiknya mendapatkan kepastian dengan simpangan rendah.

Mitigasi bukan untuk menakut-nakuti, tetapi membuat orang menjadi lebih siap mengantisipasi, mengevaluasi mana yang kurang dan harus diperbaiki.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Jangan Termakan Isu Tentang Prediksi Gempa Jakarta

(Tentang SMS/BBM/email yang mengatakan jakarta akan dilanda gempa dalam dua - tiga hari ini.)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

(Tentang SMS/BBM/email yang mengatakan jakarta akan dilanda gempa dalam dua - tiga hari ini.)

Pertama, sampai saat ini tidak ada satu pun ilmu prediksi kuantitatif gempa yang punya standar deviasi bisa sampai harian seperti itu. Jangan lagi bicara harian, wong bulanan aja gak bisa koq; paling banter tergantung dari data statistik dan karakter gempanya orang bisa memperkirakan plus minus 10 - 25 tahunan. Itu semua karena data dasar temporal statistik gempa kita juga masih terbatas pada dua - tiga  abad terakhir ini saja yang lengkap, selebihnya sampai zaman prasejarah orang hanya menginferensi dari cerita-cerita/catatan-catatan sejarah-prasejarah saja. Dan rekurensi/kehadiran kembali gempa-gempa yang dihasilkan oleh release dari terkuncinya gerakan lempeng/kerak bumi/blok batuan sampai sekarang hanya bisa dicatat setiap ratusan (100 sampai dengan 300 tahun sekali), makanya standar deviasi-nya juga tinggi (separuh dari 100an yaitu 50 tahunan). Jadi kalau ada orang yang bisa menyatakan akan ada gempa dalam hitungan hari, itu bukan pakai ilmu geologi/seismologi kuantitatif. Mungkin pakai ilmu lain seperti paranormal, metafisika, atau malahan ngaco dan memang sengaja nakut-nakuti.

Kedua, soal jakarta bakal dilanda gempa besar seperti Mexico atau kalau ada gempa di laut selatan maka jakarta akan terguncang hebat; belum ada satu pun indikasi/data yang menunjukkan jakarta dilewati atau berbatasan dengan patahan aktif. Jadi chance-nya untuk terkena imbas dari rambatan gempa yang berasal dari epicenter di selatan Jawa dan barat Lampung kecil saja karena gak ada patah penghubungnya ke daerah-daerah tersebut. Yang kita kenal di bawah Monas memang ada patahan arah utara selatan yang nyambung ke Teluk Jakarta, tapi berhenti hanya sampai Ciputat. Setelah itu ke selatannya lagi di tutupi endapan vulkanik Gunung Salak Gede Pangrango. Inilah kemungkinannya patahan yang bisa diaktifkan oleh gempa-gempa dari Selatan tapi tetap dengan ketidakpastian apakah dia menerus ke daerah Bogor - Sukabumi atau tidak... Dari analisis tektonik regional arah-arah kelurusan patahan utara selatan Ciputat ini tidak berhubungan dengan patahan-patahan yang berasal dari pantai selatan seperti Patahan Cimandiri - sepanjang Sungai Cimandiri. Jadi kalau daerah selatan terkena atau jadi pusat gempa, gempanya tidak akan dirambatkan ke utara (Jakarta) tapi besar kemungkinan malah ke timur sepanjang patahan Sungai Cimandiri tersebut, yaitu ke daerah yang selama ini memang sering dilanda gempa seperti Sukabumi dan Cianjur selatan.

Soal patahan Cimandiri menurut klasifikasi nomenklatur neotektonik dia termasuk patahan aktif, sebab kita bisa lihat bahwa di sepanjang tepinya banyak sekali dijumpai air terjun. Statusnya sebenarnya sama dengan Patahan Opak yang akhirnya bergerak kenceng di gempa Yogya 2006, Patahan Grindulu di Pacitan, dan Patahan Lumajang di Jawa Timur. Tapi arahnya bukan ke jakarta, malahan ke Bandung yang di daerah Citatah patahan ini juga membentuk offset parallel dengan Patahan Lembang. Jadi kalau ada trigger dari Laut di Selatan Sukabumi pas di sekitar ujung Sungai Cimandiri di Pelabuhan Ratu, maka gelombang gempanya akan disalurkan malahan ke Bandung, bukan ke jakarta.

Tapi ya itu tadi seperti saya sebutkan di awal, tidak ada yang bisa memprediksi sampai hitungan hari (bahkan beberapa tahun juga gak bisa) bahwa akan ada gempa besar di selatan dalam waktu dekat. Jadi, waspada memang perlu, tapi jangan sampai panik dan dipanikkan oleh berita yang gak jelas dasar ilmiahnya seperti itu.

Hidup bersama bahaya gempa, bukan berarti panik dan ngaco informasi, tapi tetap waspada, mengusahakan semua bangunan kita aman dan ramah gempa, dan juga tau tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi bahaya gempa ketika terjadi. Bukan dengan panik dan ikut pula kena provokasi menyebarkan berita-berita gak berdasar ilmiah tersebut.

Read More