Tsunami dari Selat Sunda: YES!, Rambatan gempa dari Selat Sunda: LESS LIKELY, Rambatan dari Pelabuhan Ratu: MORE LIKELY

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Atas pemberitaan akhir-akhir ini tentang potensi Gempa Jakarta 8.7 SR yang dirilis Staf Khusus Presiden Bidang Bencana dan Bantuan Sosial (Andi Arief) dan Dr. Danny Hilman setelahnya, saya ingin memberikan perspektif yang sedikit berbeda.

Dari segi tektonik, bukan hanya jarak dari epicenter yang menentukan besar kecilnya pengaruh gempa dirasakan di suatu tempat. Tetapi juga apakah ada jalur-jalur patahan yang menghubungkan daerah epicenter dengan tempat tersebut..

Dalam hal potensi ancaman gempa yang epicenternya di terusan patahan geser Sumatra ataupun Mentawai di Selat Sunda maupun apalagi di zona penunjaman sebelah baratnya, kemungkinan besar daerah yang punya kelurusan struktur langsung dengan patahan-patahan tersebut di Banten yang mendapatkan pengaruh goncangan terbesar.

Hubungan Teluk Jakarta dengan daerah Selat Sunda nampaknya lebih difasilitasi oleh terhubungnya kedua perairan tersebut oleh kolom air Laut Jawa diantara keduanya. Sampai sekarang kita belum memperoleh bukti data adanya kelurusan patahan arah barat-timur yang menghubungkan keduanya. Dengan demikian potensi akan terjadinya tsunami sangat besar di Teluk Jakarta apabila terjadi gempa 8.7 SR Selat Sunda yang sedang diteliti ini. Perhitungan awal apabila terjadi gempa 8.5 SR di Selat Sunda, maka Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta akan terendam tsunami yang run up-nya sampai dengan satu meter.

Tetapi kecil kemungkinannya gempa 8.7SR tersebut merambat dan dirasakan dengan kekuatan yang sama di Jakarta, karena tiadanya jalur patahan barat-timur itu. Kalaupun toh dirasakan di Jakarta mungkin getarannya sudah jauh berkurang dari di pusatnya yang 8.7 SR itu. Tapi ya tetap saja goyang bergoncang. Berapa besaran MM nya? Kawan-kawan geoteknik perlu menghitungnya terutama dikaitkan dengan usaha mikro zonasi kegempaan untuk kode bangunan di Jakarta.

Saya malahan melihat kemungkinan Jakarta lebih rawan "serangan" gempa dari arah selatan, yaitu dari Pelabuhan Ratu - Sukabumi dan sekitarnya. Karena sampai saat ini data gravity dan seismik menunjukkan tinggian-rendahan utama yang dibatasi patahan-patahan di daerah Jakarta arahnya utara selatan. Salah satu dari patahan itu membatasi Tinggian Tanggerang di bagian barat dari Cekungan Ciputat yang melampar ke timur sampai ke Tinggian Rengasdengklok. Patahan berarah utara selatan itu trase permukaannya di sekitar jalur Sungai Cisadane. Jalur patahan di bawah permukaan bisa diamati sampai ke daerah Leuwiliang Bogor, tetapi kemudian jejaknya tertutup oleh endapan vulkanik Gunung Salak. Kemungkinan jalur utara selatan lewat patahan itu bisa menerus di bawah Gunung Salak sampai akhirnya terhubung dengan daerah Sukabumi - Pelabuhan Ratu. Jika terjadi pergeseran intra plate di penunjaman lempeng selatan Pelabuhan Ratu dan getaran gempanya bisa diteruskan ke utara lewat jalur tersebut, maka Jakarta bisa-bisa ikut bergoyang. Lebih banyak bukti menunjukkan bahwa gempa-gempa di selatan Jawa Barat seringkali juga terasa meggoyangkan Jakarta (Gempa Pangandaran 2006, Gempa Tasikmalaya 2009, Gempa Sukabumi).

Tentang kemungkinan Jakarta diancam tsunami dari gempa Selat Sunda  maupun volcanic activity Krakatau: catatan-catatan sejarah membuktikannya. Juga akhir-akhir ini penelitian Pak Danny Hilman dan lainnya di daerah BatuJaya, Krawang (Teluk Jakarta timur) tentang penyebab terkuburnya kebudayaan pra-sejarah di sana (dari situs-situs arkeologinya) mulai menunjukkan tanda-tanda bekas adanya bencana purba. Bencana purba pada lapisan-lapisan pengubur situs Batu Jaya antara abad 4 dan 5 kemungkinan adalah Tsunami atau letusan gunung api dari Selat Sunda.

Jadi, memang kita semua harus terus bersiap. Jakarta juga tidak aman-aman banget dari potensi ancaman gempa dan apalagi tsunami. Ayo lebih kita kencengin penelitian-penelitianya. Tanpa riset-riset: GPS, tomografi, monitoring patahan aktif, catatan-catatan sejarah, dating endapan tsunami, koral dan sebagainya, kita meraba dalam gelap. Dengan riset-riset mitigasi, kita jadi lebih siap, tahu segmen lempeng mana yang siap bergerak dan berapa besar besar skalanya, daerah mana yang kena, dan sebagainya. Makin banyak catatan sejarah/stratigrafi dari pemelajaran perulangan gempa-tsunami di suatu tempat, makin sempit simpangan ketidakpastian prediksi. Kita sudah sampai pada level prediksi lokasi dan besaran gempa termasuk untuk Siberut, Padang, Selat Sunda, Jawa Selatan, dan lainnya tapi prediksi kapan waktunya masih banyak tanda tanya. Masih terlalu sedikit data untuk diambil regresi linier statistiknya mendapatkan kepastian dengan simpangan rendah.

Mitigasi bukan untuk menakut-nakuti, tetapi membuat orang menjadi lebih siap mengantisipasi, mengevaluasi mana yang kurang dan harus diperbaiki.

Previous
Previous

Sedimen Berjanji (Bukan Qasidah Barzanji)

Next
Next

Penghargaan PBB untuk Juara Dunia Mitigasi Bencana untuk Indonesia: Lumpur Lapindo Bagaimana?