Gempa Malang
Gempa Malang kemarin, sing kenek parah iku sing lokasine sepanjang garis lemah patahan Lumajang - Sumenep iku — yaitu daerah Dampit Kab. Malang dan Tempursari Kab. Lumajang.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Gempa Malang kemarin, sing kenek parah iku sing lokasine sepanjang garis lemah patahan Lumajang - Sumenep iku — yaitu daerah Dampit Kab. Malang dan Tempursari Kab. Lumajang.
Lek daerah Malang Kota mungkin mek sekadar diayun-ayun ringan ae. Kecuali di tempat-tempat yang punya bidang lemah arah NNE SSW podho karo arah e patahan Lumajang Sumenep itu (tapi belum terpetakan karena ketutup endapan vulkanik).
Mungkin ada juga daerah-daerah sekitar Turen dan Sitiarjo (Kab. Malang) yang kena pengaruh gempa itu lebih kuat dari daerah lainnya karena dari Sitiarjo ke Turen itu ada juga patahan-patahan arah NNE SSW (patahan kali banteng, aku karo arek-arek AMC ndisik 2006 tau neliti iku), yang punya potensi jadi amplifier rambatan gelombang gempa dari Selatan.
Waktu Webinar tentang Mitigasi Bencana Gempa Tsunami Malang tanggal 30 Maret kemarin dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) aku sudah mengingatkan untuk memitigasi daerah Sumbermanjing Wetan ini dan Daerah Lumajang dimana selain masuk di area zona bidang patahan Lumajang - Sumenep juga karena kemungkinan ada endapan-endapan kuarter semi consolidated yang bisa menguatkan rambatan gelombang gempa dari arah Selatan.
Setengah jam menjelang landing Paris. Ini tadi browsing berita-berita gempa terus ingat beberapa bahan yang aku share ke masyarakat di webinar Mitigasi Bencana Malang akhir Maret wingi sebelum peluncuran album Melembutkan Batu, terus tak orat oret gambar-gambar ndik pesawat.
Mugo manfaat.
Catatan Akhir Tahun: Tsunami, Gempa, dan Likuefaksi (Pelajaran tak Henti-Henti untuk Bangsa yang Nggak Ngerti-Ngerti.)
Apakah selama ini rezim-rezim pemerintahan kita sudah "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia" dari bencana gempa bumi, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, banjir dan longsor dan kebakaran, seperti diamanatkan di pembukaan UUD45 di atas?
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Apakah selama ini rezim-rezim pemerintahan kita sudah "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia" dari bencana gempa bumi, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, banjir dan longsor dan kebakaran, seperti diamanatkan di pembukaan UUD45 di atas?
Belum!
Kita hanya sibuk tergopoh-gopoh menyelamatkan yang selamat, mengevakuasi yang mati, mengobati yang luka dan merehabilitasi infrastruktur yang hancur rusak karena bencana. Rezim-rezim pemerintahan kita selama ini gak begitu serius, gak begitu peduli, cenderung abai dengan mitigasi dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman/potensi bencana.
Buktinya, peringatan Prof. Katili tahun 1970 supaya Palu tidak dijadikan ibu kota/pusat pertumbuhan karena potensi bahaya gempa patahan Palu-Koro-nya pun tidak ditindaklanjuti. Sampai akhirnya kejadian Gempa-Tsunami Palu 2018 kemarin itu memakan korban seribu lebih nyawa melayang dan miliar-triliunan rupiah infrastruktur rusak hingga hancur berantakan. Jelas terlihat bahwa kita tidak melindungi segenap kehidupan rakyat Palu dan sekitarnya karena kita mengabaikan rekomendasi/usulan dari Prof. Katili itu.
Ada lagi! Peta Potensi Bahaya Likuefaksi di Palu yang dibikin 2012 oleh lembaga pemerintahan sendiri pun (Badan Geologi) tidak dipakai sebagai acuan untuk mengatur tata ruang di situ. Tidak ada program mitigasi lanjutannya. Tidak ada penegakan aturan pembuatan bangunan yang disesuaikan dengan kondisi tektonik aktif daerah tersebut. Tidak dibikin pelatihan-pelatihan massal ke masyarakat untuk menyelamatkan diri kalau ada bencana. Akibatnya, ketika sudah terjadi kejadian gempa tsunami, ribuan nyawa melayang, miliar-triliunan harta benda, rumah, dan infrastruktur hilang dan hancur berantakan. Nah, apalagi istilah yang dapat diberikan untuk respons pemerintah (pusat maupun daerah) atas peta zonasi bahaya likuefaksi yang resmi dibikin pemerintah sendiri tapi nggak pernah diimplementasi sampai terjadi bencana dan banyak korban begini kalau bukan abai, nggak peduli, dan salah langkah antisipasi? Sekali lagi jelas terlihat bahwa, pemerintah kita belum melindungi segenap kehidupan bangsa (rakyat Palu dan sekitarnya) dengan tidak menindaklanjuti peta likuefaksi tersebut.
Dan yang akhir tahun ini sedang berlangsung adalah ancaman terjangan tsunami di Selat Sunda yang menjadi kenyataan 22 Desember 2018 lalu. Itu pun dengan kemungkinan masih ada lagi “susulan”nya di hari-hari mendatang, tergantung dari ketepatan prediksi tentang ada/tiadanya material-material vulkanik Anak Krakatau yang masih bisa longsor ke laut dalam jumlah besar — meskipun katanya hari ini, 31 Desember 2018, sudah mulai reda batuk-batuknya. Korban nyawa sudah mencapai 400 – 500an dan masih mungkin bertambah karena ada yang hilang. Selain itu rusaknya bangunan rumah, hotel, dan infrastruktur umum lainnya karena terjangan tsunami bisa mencapai ratusan miliar dan mungkin triliunan untuk merehabilitasinya. Padahal, berbagai analisis ilmuwan sebelumnya sudah dipublikasikan tentang kemungkinan tsunami akibat gempa Megathrust selat Sunda (Widjokongko, 2018; Natawidjaya, 2014) ataupun akibat longsornya tubuh gunung api Anak Krakatau (Giachetti, dkk, 2012 - termasuk peneliti BPPT Dr. Budianto - Didit - Ontowiryo sebagai co-author-nya). Tapi, nggak pernah analisis-analisis dan rekomendasi-rekomendasi ilmiah sampai menjadi kebijakan yang diimplementasi jadi program-program mitigasi — sampai akhirnya kejadian bencananya datang, dan semuanya menyesali! Apakah pemerintah kita sudah melindungi segenap bangsa rakyat Banten dan Lampung dan para pelancong dari berbagai daerah di pantai-pantai Selat Sunda dari bahaya tsunami? Dari uraian di atas jawabnya jelas: Belum!!
Gak Ngerti-Ngerti Juga
Padahal seolah-olah tak henti-hentinya Allah memberikan pelajaran/peringatan ke kita supaya BENAR-BENAR MELAKUKAN MITIGASI YG BENAR, SERIUS, TERUKUR DAN ANTISIPATIF. Bukan hanya tergopoh-gopoh melakukan respons waktu terjadinya bencana, tapi bersiap dengan segala kegiatan mitigasi yang BIAYANYA JAUH LEBIH KECIL DARIPADA KERUGIAN AKIBAT BENCANA YANG SAMA SEKALI TIDAK DIANTISIPASI. Tetapi, meskipun tak henti-hentinya pelajaran diberikan kepada kita, sampai sekarang GAK NGERTI-NGERTI JUGA KITA.
Buktinya: himbauan-himbauan untuk ambil pelajaran dari bencana-bencana itu untuk segera bikin usaha mitigasi di lokasi-lokasi lain dengan prediksi rawan terhadap gempa, tsunami, dan likuefaksi pun sudah dituliskan (malah sudah diteriakkan), tapi tak kunjung dilakukan oleh pemerintah. SEMUA SIBUK MENJELASKAN APA YG TERJADI DAN PENYEBABNYA. Bahkan duit budget anggaran direlakan untuk memastikan survei-survei AFTER THE FACT yang tidak mungkin bisa menghidupkan yang mati atau menegakkan kembali bangunan-bangunan yang rusak atau ditelan bumi. Masih mending setelah itu kita rame-rame FOKUS PADA PROYEK-PROYEK REHABILITASI (itu pun masih juga ada yang dikorupsi). Tapi, kita sama sekali lupa bahwa hal serupa bisa juga terjadi di daerah-daerah lain yang sebenarnya sudah distudi oleh ilmuwan2 kita dengan berbagai tulisan paper dan buku mereka dimana-mana di forum-forum ilmiah.
Sudah Terjadi Puluhan – Belasan Tahun yang Lalu.
Bukan hanya akhir-akhir ini saja ke”nggak ngerti”an bangsa ini terjadi. Beberapa belas tahun yang lalu, peringatan dari ilmuwan peneliti tentang Megathrust Simelueu sebelum gempa tsunami Aceh 2004 pun tidak pernah sampai di pengambil kebijakan untuk ditindak-lanjuti. Padahal sebelumnya Danny Hilman Natawidjaya telah meneliti siklus periodisitas gempa-tsunami Simeuleu itu dan menjadikannya tulisan Disertasi dan juga mempresentasikannya di forum-forum ilmiah (Natawidjaya, 2004).
Masih belasan tahun yang lalu juga, peringatan dari IAGI bahwa swarming effect gempa tsunami Aceh akan merambat ke selatannya nggak diantisipasi dengan bijak oleh pemerintah hingga muncul gempa Nias, Mentawai, dan lainnya di 2005 dan tahun-tahun berikutnya.
Secara normatif sering kali himbauan pemerintah adalah, “tetap tenang dan waspada, jangan terpengaruh isu-isu yang tidak bertanggungjawab,” dan sebagainya. Tapi, tidak ada usaha-usaha fisik untuk mengurangi risiko bencana itu secara proporsional.
BKMG, BNPB, Badan Geologi
Bagaimana dengan lembaga-lembaga yang sudah dibentuk pemerintah untuk urusan bencana-bencana kebumian itu? Apakah mereka pernah belajar dari bencana-bencana itu dan makin mengerti untuk melakukan Mitigasi?
BMKG nampaknya tidak melakukan mitigasi. BMKG hanya memberitakan, kalau telah terjadi gempa, di mana dengan besaran berapa dan mengeluarkan peringatan akan ada tsunami atau tidak. Setelah gempa terjadi terus rame-rame menjelaskan itu semua karena apa (penunjaman lempeng, sesar mendatar, atau yang populer akhir-akhir ini: karena longsoran), kemudian diakhiri dengan, “tetap tenang dan waspada”.
BNPB juga usaha mitigasinya nggak pernah terekspos dan jadi bagian penting program kelembagaan karena fokusnya di Penanggulangan (walaupun ada juga bagian mitigasinya). Paling banter, setelah kejadian, BNPB akan berperan juga di rehabilitasi — meskipun kita sama-sama tahu leading sectornya di rehabilitasi itu kementerian PUPR dengan dana pembangunan sarana fisiknya.
Badan Geologi yang tupoksinya banyak terkait dengan usaha mitigasi seperti menerbitkan peta zona bahaya gunung api — yang memang sudah cukup bagus ¾ dan juga Peta Likuefaksi seperti yang di Palu itu, nampaknya juga kurang punya gigi untuk terus mendesakkan peta-peta hasil mitigasinya ke lembaga-lembaga terkait lainnya untuk ditindak-lanjuti.
Where Next?
Kalau (rezim pemerintahan) kita mengerti, maka seharusnya peringatan-peringatan bencana kebumian yang berturut-turut terjadi itu juga menyiapkan kita semua untuk melakukan mitigasi di daerah-daerah yang sudah berkali-kali diidentifikasi oleh para peneliti mempunyai potensi serupa untuk terjadi.
Kapan waktunya? Ada yang periodisitasnya sudah bisa diprediksi dengan standar deviasi 25 – 50 tahun, ada juga yang belum bisa diprediksi tapi besaran bencana (kekuatannya) sudah bisa dikira-kira akan terjadi. Kapan akan terjadi? Bisa besok pagi, bisa tiga – empat bulan lagi (pas Pemilu ?), bisa dua tahun lagi, bisa sepuluh tahun lagi. Yang jelas, mereka PASTI akan bergerak lagi.
Makanya jadi lebih penting untuk menyiapkan diri.
Bagaimana persiapan dirinya? Yang belum sepenuhnya diteliti, ayo lebih diteliti, luangkanlah uang biaya budget untuk meneliti yang hasilnya sering kali berupa tulisan di atas kertas, peta-peta, zonasi, grafik-grafik, dan sejenisnya yang bukan berupa jalan tol, jembatan, ataupun bendungan seperti yang selalu dibangga-banggakan selama ini. Meskipun begitu, hasil kertas berupa peta-peta itu bisa nantinya menyelamatkan jalan tol, jembatan, dan infrastruktur-infrastruktur mahal itu kalau benar-benar diikuti rekomendasinya.
Selain itu, kalau alat-alat peringatan dini dan alat-alat untuk meneliti belum lengkap ayo kita lengkapi. Pasang GPS di pulau-pulau kecil di depan zona subduksi untuk memonitor lengkungan vertikal yang terjadi karena menahan gerakan lempeng yang nantinya akan “pecah” energinya jadi gempa dan tsunami. Juga buoy-buoy yang harganya satu miliaran itu untuk peringatan dini tsunami. Ayo diperbaiki, diperbarui, ditambahi, terutama di daerah-daerah potensi yang akan diuraikan di bawah ini.
Dibutuhkan juga evaluasi zona-zona pemukiman dan infrastruktur umum di daerah lintasan gempa dan Zona rendaman tsunami! Kalau masih ada yang bangun di area sempadan pantai: bongkar saja dengan segala konsekuensinya.
Cek kelayakan konstruksi bangunan-bangunan di daerah-daerah potensi gempa dan tsunami. Kalau masih nggak cocok dengan kode bangunan konstruksinya maka harus diperingati, diperkuat, atau direkayasa (fisik, teknik, finansial) supaya nantinya kuat tahan goyangan gempa (dan tsunami). Kalau belum ada peta detail zonasi gempa/kode bangunan konstruksinya ya dibikinlah peta zonasi detailnya. Pakai biaya pemerintah!
Mulai lakukan latihan-latihan berkala untuk menghadapi bencana-bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi itu. Anggaran latihan-latihannya alokasikan khusus dan jangan diganggu gugat untuk dipakai lainnya. Supaya nantinya nggak banyak korban kalau bencana terjadi.
Di bawah ini daftar potensi bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di daerah-daerah yang sudah pernah distudi oleh para ilmuwan Indonesia maupun luar negeri yang disusun berdasarkan prioritas kemungkinan masifnya bencana dan kerugian yang terjadi.
Di 15 zona daerah inilah perlu difokuskan mitigasi. Sebelum telat nantinya berturut-berturut bencana itu terjadi. ITUPUN KALAU (PEMERINTAH) KITA NGERTI.
Gempa - Tsunami Megathrust Mentawai (Barat Padang-Bengkulu)
Gempa-Tsunami Megathrust Selat Sunda (Banten, Lampung, Bengkulu, SumBar, Jabar, DKI, Jateng, DIY, Jatim)
Gempa-Tsunami Pelabuhan Ratu - Cimandiri (Sesar Mendatar Cimandiri)
Gempa Sesar Mendatar Lembang
Gempa Sesar Naik Surabaya - Bojonegoro
Gempa dan Tsunami Sesar Naik Selat Madura
Gempa dan Tsunami Palu- Koro segmen selatan ke Teluk Bone
Gempa dan Tsunami Sesar Naik Offshore Sulawesi Barat (Mamuju dan sekitarnya)
Gempa dan Tsunami sepanjang pantai Sulawesi Utara dari Zona penunjaman Sulawesi Utara
Gempa dan Tsunami Tarakan dari Zona penunjaman Sulawesi Utara
Gempa sepanjang 12 segmen Sesar Sumatra (yang di Bengkulu hari ini aktif 5.7 SR)
Gempa Sesar Baribis (Jawa Barat Utara - DKI)
Gempa dan Tsunami Megathrust selatan Jember - Banyuwangi
Gempa dan Tsunami Megathrust Selatan Bali/Lombok/Sumbawa
Gempa dan Tsunami dan Liquifaksi Sesar Sorong dan Zona Penunjaman utara Papua.
Apakah Kejadian Gempa Lombok Bisa Merembet ke Bali terus ke Jawa Timur?
Bisa.
Jalur sesar naik Kendeng di Jawa Timur (yang membatasi zona Kendeng dengan zona Randublatung) GENESA nya atau mula kejadiannya hampir sama dengan Flores Back Arc Thrust system yang jadi tempat berlangsungnya Gempa Lombok.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Bisa.
Jalur sesar naik Kendeng di Jawa Timur (yang membatasi zona Kendeng dengan zona Randublatung) GENESA nya atau mula kejadiannya hampir sama dengan Flores Back Arc Thrust system yang jadi tempat berlangsungnya Gempa Lombok.
Mula jadi penyebabnya adalah tekanan penunjaman terus menerus dari arah selatan oleh lempeng Samudra Hindia ke bawah busur kepulauan (pulau Jawa – Nusa Tenggara) yang sempet “ditahan” oleh kehadiran jajaran gunung api di jalur magmatik tapi kemudian “lepas energi”nya karena sudah melewati “daya-tahan” jalur gunung api itu untuk menahan tekanan dari selatan itu. Hanya saja Flores Back Arc Thrust muncul di Laut Utara Flores-Sumbawa-Lombok-Bali. Kalau di Jawa Timur ekspresi permukaannya ada di sepanjang Selat Madura dan berlanjut ke darat di sepanjang Lembah Brantas-Bengawan Solo. Akar sebelah selatan dari thrust fold belt system ada di lereng-lereng utara jalur gunung api: Rinjani-Agung-Ijen-Semeru-Bromo-Arjuno Welirang-Lawu.
Di akar-akar selatan dari thrust fold belt system itulah kemarin pergerakan-pergerakan blok sesar naik terjadi dalam beberapa segmen.
Kejadian serupa bisa saja memicu pelepasan energi yang sama di lereng-lereng utara jalur gunung api Jawa Timur.
Pengamatan, kesiapsiagaan, dan mitigasi yang bisa dilakukan untuk Jawa Timur adalah dengan plotting time series keaktifan (seismisitas) gunung api aktif sepanjang jalur Ijen-Semeru-Lawu di Jawa Timur itu dan/atau dengan memasang beberapa GPS Station di titik-titik tertentu di bagian selatan zona Kendeng di utara jalur gunung api untuk melihat pola kenaikan elevasinya karena menahan tekanan dari arah selatan itu.
Kapan akan terjadi? Belum ada yang tahu bagaimana memprediksi kapan terjadinya, karena memang sampai sekarang tidak ada yang mempelajari secara khusus pergerakan patahan-patahan Kendeng di Jawa Timur itu. Lagipula, kalaupun sudah dipelajari, teuteup saja prediksi “kapan terjadinya” masih dengan pendekatan statistik probabilitas yang biasanya dinyatakan dalam skala waktu geologi: yang kisaran ketelitiannya bisa kurang/lebih 25 tahunan (kisaran ketelitian Carbon dating dikurangi kisaran ketelitian hasil regresi linear statistik kejadian gempa Kendeng sendiri).
Apakah pergerakan Flores Back Arc Thrust bisa memicu (atau “menyetrum” alias “nggarai”) pergerakan Thrust Fold Belt System Kendeng di Jawa Timur? Bisa saja. Tapi ya itu tadi, kita nggak tahu kapan hal itu bisa terjadi karena kita semua belum mempelajari aktivitas Zona Kendeng itu: geometri segmen-segmennya seperti apa, keaktifannya bagaimana, dan lain sebagainya. Jadi, apakah dia bisa “kesetrum” Gempa Lombok dalam waktu dekat ini? Kita juga belum tahu. Tapi, paling tidak, secara teori dan pemahaman Tektonik Modern kita tahu itu semua mungkin saja terjadi. Yang lebih penting: ayo ramai-ramai mulai lebih peduli! Pelajarilah itu geologi kebencanaan daerah kita sendiri. Sesar-sesar yang ada di sekitar kita musti kita teliti. Jangan kalau sudah kejadian begini baru kita ramai-ramai turun ke lapangan dan bikin justifikasi. Ayo, mitigasi! Mitigasi! Mana itu arek-arek Jawa Timur!! Ayo dimainkan rek.
Siap-siap
Siap-siap.
Tak lengkapi dengan puisi yang aku tulis tiga tahun yang lalu, ya...
Gempa Bumi dan Tsunami di Indonesia ini seperti “kematian”
Untuk apa juga memprediksi kapan kita mati.
Jauh lebih manfaat mempersiapkan diri, kapanpun mati itu jadi.
Karena mati itu pasti.Untuk apa juga memprediksi kapan gempa dan tsunami lagi di sini.
Jauh lebih manfaat mempersiapkan diri, kapanpun peristiwa itu terjadi
Karena gempa dan tsunami di sini itu pasti.Perkuatlah imanmu - perkuat bangunan tempat tinggalmu.
buatlah jalan ke surgamu, bangunlah jalur evakuasimu.
beramal solehlah untuk sekitarmu, perkuat sistim tanggap bencanamu.
rajin-rajinlah memakmurkan tempat ibadahmu, rajin2lah riset geologi kebencanaanmu.
Gempa bumi dan tsunami di sini seperti mati
Tak banyak manfaat waktunya diprediksiKalau besarannya,
lokasinya,
efek sampingnya,
hubungannya dengan sumber daya,
penyebaran gelombangnya,
run-up-nya,
inundasinya,
daerah paling amannya dan sejenisnya ¾itu semua perlu penting dan kifayah untuk diuraikan.
Karena langsung bisa kita manfaatkan untuk “menghadapinya”
Karena tidak sia-sia Allah menciptakan semuanya ....Kalaupun toh sampai ilmumu memprediksi waktunya, manfaatkanlah baik-baik untuk yang lainnya.
Gempa bumi dan tsunami di sini seperti mati
Tak banyak manfaat waktunya diprediksi
Bersiap diri jauh lebih berguna
Daripada sibuk menduga
- kapan tiba waktunya
Gempa Bumi Megathrust M=8.7, Siapkah Jakarta?
(Tsunami dari Selat Sunda: YES!! Rambatan gempa dari Selat Sunda: LESS LIKELY, Rambatan dari Bayah – Pelabuhan Ratu: MORE LIKELY)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Tsunami dari Selat Sunda: YES!! Rambatan gempa dari Selat Sunda: LESS LIKELY, Rambatan dari Bayah – Pelabuhan Ratu: MORE LIKELY)
Atas pemberitaan akhir-akhir ini tentang potensi Gempa Jakarta 8.7 SR yang dirilis bersamaan dengan penyelenggaraan acara BMKG “Gempa Bumi Megathrust M=8.7, Siapkah Jakarta” Rabu, 28 Februari 2018 yang lalu, saya ingin memberikan perspektif yang mudah-mudahan bisa mengurangi kebingungan.
Isu tentang Gempa Bumi Megathrust M=8.7 mengancam DKI Jakarta ini bukan pertama kali diungkapkan sekarang-sekarang ini. Tapi pada Mei 2011 (7 tahun yang lalu) isu ini pertama kali dilontarkan oleh Andi Arif, staf khusus (stafsus) SBY bersama dengan Dr. Danny Hilman, peneliti gempa kenamaan dari LIPI setelah mereka selesai dengan pembuatan peta gempa terbaru Indonesia (lihat slide terlampir)
Beberapa hal teknis yang saya tulis pada tujuh tahun yang lalu saya ulangi lagi di sini untuk menjelaskan tentang isu tersebut.
Dari segi tektonik, bukan hanya jarak dari epicenter yang menentukan besar kecilnya pengaruh gempa dirasakan di suatu tempat. Tetapi juga apakah ada jalur-jalur patahan yang menghubungkan daerah epicenter dengan tempat tersebut..
Dalam hal potensi ancaman gempa yang epicenter-nya di terusan patahan geser Sumatra ataupun Mentawai di Selat Sunda maupun apalagi di zona penunjaman sebelah baratnya, kemungkinan besar daerah yang punya kelurusan struktur langsung dengan patahan-patahan tersebut di Banten yang mendapatkan pengaruh goncangan terbesar.
Hubungan Teluk Jakarta dengan daerah Selat Sunda nampaknya lebih difasilitasi oleh terhubungnya kedua perairan tersebut oleh kolom air Laut Jawa di antara keduanya. Sampai sekarang kita belum memperoleh bukti data adanya kelurusan patahan arah barat-timur yang menghubungkan keduanya. Dengan demikian memang ada potensi akan terjadi tsunami di Teluk Jakarta apabila ada gempa 8.7 SR di Selat Sunda dan atau zona penunjaman di sebelah baratnya. Perhitungan awal apabila terjadi gempa 8.5 SR di Selat Sunda, maka Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta akan terendam tsunami yang run up-nya sampai dengan 1 meter (Data dari simulasi Dr. Hamzah Latief: bahan sosialisasi bencana gempa-tsunami IAGI-HAGI 2005-2006).
Tetapi kecil kemungkinannya gempa 8.7 SR tersebut merambat & dirasakan dengan kekuatan yang sama di Jakarta, karena tiadanya jalur patahan barat-timur itu. Kalaupun toh dirasakan di Jakarta mungkin getarannya sudah jauh berkurang dari di pusatnya yang 8.7 SR itu. Tapi ya tetep saja goyang bergoncang. Berapa besaran MM nya? Kawan-kawan geoteknik perlu menghitungnya terutama dikaitkan dengan usaha micro zonasi kegempaan untuk kode bangunan di Jakarta.
Saya malahan melihat kemungkinan Jakarta lebih rawan "serangan" gempa dari arah selatan, yaitu dari Pelabuhan Ratu – Sukabumi dan sekitarnya. Karena sampai saat ini data gravity dan seismik menunjukkan tinggian-rendahan utama yang dibatasi patahanpatahan di daerah Jakarta arahnya utara selatan. Salah satu dari patahan itu membatasi Tinggian Tanggerang di bagian barat dari Cekungan Ciputat yang melampar ke timur sampai ke Tinggian Rengasdengklok. Patahan berarah utara selatan itu trase permukaannya di sekitar jalur S. Cisadane. Jalur patahan di bawah permukaan bisa diamati sampai ke daerah Leuwiliang Bogor, tetapi kemudian jejaknya tertutup oleh endapan vulkanik Gunung Salak. Kemungkinan jalur utara selatan lewat patahan itu bisa menerus di bawah Gunung Salak sampai akhirnya terhubung dengan daerah Sukabumi – Pelabuhan Ratu. Jika terjadi pergeseran intra plate di penunjaman lempeng selatan Pelabuhan Ratu dan getaran gempanya bisa diteruskan ke utara lewat jalur tersebut, maka Jakarta bisa-bisa ikut bergoyang. Lebih banyak bukti menunjukkan bahwa gempa-gempa di selatan Jawa Barat sering kali juga terasa meggoyangkan Jakarta (Gempa Pangandaran 2006, Gempa Tasikmalaya 2009, Gempa Sukabumi).
Tentang kemungkinan Jakarta diancam tsunami dari gempa Selat Sunda maupun volcanic activity Krakatau: catatan-catatan sejarah membuktikannya. Penelitian Tim Katastrofe Purba 2010-2011 di daerah Batujaya, Krawang (Teluk Jakarta timur) tentang penyebab terkuburnya kebudayaan prasejarah di sana (dari situs-situs arkeologinya) menunjukkan tanda-tanda bekas adanya bencana purba. Bencana purba pada lapisan-lapisan pengubur situs Batu Jaya antara abad empat – lima kemungkinan adalah Tsunami atau letusan gunung api dari Selat Sunda.
Jadi, memang kita semua harus terus bersiap. Jakarta juga tidak aman-aman banget dari potensi ancaman gempa dan apalagi tsunami. Tapi bukan gempa langsung M 8,7 di bawah Jakarta. Gempa 8,7nya bisa berasal dari Megathrust di barat Selat Sunda, bisa juga dari Megathrust di Selatan Jawa. Jakarta sendiri tidak punya potensi untuk jadi epicentrum gempa 8,7 M tersebut. Kena imbas rambatan dan kena imbas tsunaminya: IYA. Langsung digoyang oleh M 8.7: kecil kemungkinannya.
Embusan kembali isu Megathrust M 8,7 mengancam Jakarta bagus sekali untuk mengingatkan kita semua agar terus menerus meningkatkan mitigasi — pengurangan risiko bencana— bagi ibu kota negara ini. Embusan isu ini bukan pertama kalinya. Coba browsing berita-berita Mei 2011 — alias 7 tahun yang lalu. Andi Arif stafsus SBY dan juga Danny Hilman dkk juga waktu itu pertama kali mengingatkan masyarakat tentang potensi adanya pengaruh Megathrust M 8.7 ini untuk DKI Jakarta.
Ayo lebih kita kencengin mitigasi dan penelitian-penelitiannya. Tanpa riset-riset: GPS, tomografi, monitoring patahan aktif, catatan-catatan sejarah, dating endapan tsunami, koral, dan sebagainya, kita meraba dalam gelap. Dengan riset-riset mitigasi, kita jadi lebih siap; tahu segmen lempeng mana yang siap bergerak dan berapa besar besar skalanya, daerah mana yang kena, dan sebagainya. Makin banyak catatan sejarah/stratigrafi dari pemelajaran perulangan gempa-tsunami di suatu tempat, makin sempit simpangan ketidakpastian prediksi.
Kita sudah sampai pada level prediksi lokasi dan besaran gempa termasuk untuk Siberut, Padang, Selat Sunda, Jawa Selatan, dll. Tapi prediksi kapan waktunya masih banyak tanda tanya. Masih terlalu sedikit data untuk diambil regresi linier statistiknya mendapatkan kepastian dengan simpangan rendah.
Mitigasi bukan untuk menakut-nakuti, tetapi membuat orang menjadi lebih siap mengantisipasi, mengevaluasi mana yang kurang dan harus diperbaiki.
(Gempa Wingi Opo Ora Terdeteksi Sa'durunge?)
Yang, gempa wingi opo ora terdeteksi sa'durunge? Suwun.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Nanang):
Yang, gempa wingi opo ora terdeteksi sa'durunge? Suwun.
(Yayang):
Alat pendeteksi datangnya gempa iku gak onok sing spesifik langsung, Nang. Gak koyok letusan gunung api sing iso dideteksi gejala awal-e beberapa hari-minggu sebelumnya. Memprediksi - mendeteksi aktivitas segmen patahan yang mengakibatkan gempa dilakukan saintis dengan cara mempelajari statistika daur ulang dan besaran kejadian gempa (seismisitas) di suatu segmen patahan tertentu dan kalau ada duit ya dengan pemasangan alat GPS real time untuk mendeteksi anomali pergerakan skala mikro. Nah di segmen onshore Aceh yang bergerak kemarin itu belum ada data khusus GPS tersebut dan tidak ada yang secara khusus mempelajari daur ulangnya. Ada puluhan segmen serupa di sepanjang jalur sesar Sumatra, sementara ahli gempa dan fasilitas riset kita paling bisa meng-handle kurang dari lima segmen saja untuk waktu yang sama. Bisa dibayangkan: setiap saat kita akan selalu "caught by surprise" oleh gempa-gempa serupa!
(Nanang):
Cukup memprihatinkan yo ... Suwun infone Yang.
(Yayang):
Mangkakno sing luwih penting maneh iku sakjan-e nyiapno awak, keluarga, bangunan, lingkungan supaya pas gempa iku teko: omah-e kuat gak ambruk, awak dewe gak panik, fasiltas-fasilitas umum kuat-aman gak terganggu! Iku ngono kabeh sing disebut: Penguatan kapasitas dan penurunan kerentanan dhadi bagian-e mitigasi. Wong-wong matek iku dhuduk kenek gempa-ne, tapi ke-brugh-an omah, bangunan, plus kesamber tsunami lek ndik pinggir pantai. Dhadi, lek omah-e, bangunan-e wis bener lokasi dan konstruksi-ne, terus wis tersedia bangunan-bangunan penyelamat dari terjangan tsunami, terus sistim-e iso dilatih terus - insyaAllah korban akan berkurang! Iku ngono kabeh tetep hulu-ne: butuh riset tentang gempa di segmen-segmen tertentu tersebut. Tanpa info dari riset tersebut, para insinyur bangunan dan tata ruang gak akan iso bener ngrancang dan nggawe bangunan-bangunan aman tahan gempa!!! Ngono lho, rek!