Catatan Akhir Tahun: Tsunami, Gempa, dan Likuefaksi (Pelajaran tak Henti-Henti untuk Bangsa yang Nggak Ngerti-Ngerti.)
Apakah selama ini rezim-rezim pemerintahan kita sudah "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia" dari bencana gempa bumi, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, banjir dan longsor dan kebakaran, seperti diamanatkan di pembukaan UUD45 di atas?
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Apakah selama ini rezim-rezim pemerintahan kita sudah "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia" dari bencana gempa bumi, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, banjir dan longsor dan kebakaran, seperti diamanatkan di pembukaan UUD45 di atas?
Belum!
Kita hanya sibuk tergopoh-gopoh menyelamatkan yang selamat, mengevakuasi yang mati, mengobati yang luka dan merehabilitasi infrastruktur yang hancur rusak karena bencana. Rezim-rezim pemerintahan kita selama ini gak begitu serius, gak begitu peduli, cenderung abai dengan mitigasi dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman/potensi bencana.
Buktinya, peringatan Prof. Katili tahun 1970 supaya Palu tidak dijadikan ibu kota/pusat pertumbuhan karena potensi bahaya gempa patahan Palu-Koro-nya pun tidak ditindaklanjuti. Sampai akhirnya kejadian Gempa-Tsunami Palu 2018 kemarin itu memakan korban seribu lebih nyawa melayang dan miliar-triliunan rupiah infrastruktur rusak hingga hancur berantakan. Jelas terlihat bahwa kita tidak melindungi segenap kehidupan rakyat Palu dan sekitarnya karena kita mengabaikan rekomendasi/usulan dari Prof. Katili itu.
Ada lagi! Peta Potensi Bahaya Likuefaksi di Palu yang dibikin 2012 oleh lembaga pemerintahan sendiri pun (Badan Geologi) tidak dipakai sebagai acuan untuk mengatur tata ruang di situ. Tidak ada program mitigasi lanjutannya. Tidak ada penegakan aturan pembuatan bangunan yang disesuaikan dengan kondisi tektonik aktif daerah tersebut. Tidak dibikin pelatihan-pelatihan massal ke masyarakat untuk menyelamatkan diri kalau ada bencana. Akibatnya, ketika sudah terjadi kejadian gempa tsunami, ribuan nyawa melayang, miliar-triliunan harta benda, rumah, dan infrastruktur hilang dan hancur berantakan. Nah, apalagi istilah yang dapat diberikan untuk respons pemerintah (pusat maupun daerah) atas peta zonasi bahaya likuefaksi yang resmi dibikin pemerintah sendiri tapi nggak pernah diimplementasi sampai terjadi bencana dan banyak korban begini kalau bukan abai, nggak peduli, dan salah langkah antisipasi? Sekali lagi jelas terlihat bahwa, pemerintah kita belum melindungi segenap kehidupan bangsa (rakyat Palu dan sekitarnya) dengan tidak menindaklanjuti peta likuefaksi tersebut.
Dan yang akhir tahun ini sedang berlangsung adalah ancaman terjangan tsunami di Selat Sunda yang menjadi kenyataan 22 Desember 2018 lalu. Itu pun dengan kemungkinan masih ada lagi “susulan”nya di hari-hari mendatang, tergantung dari ketepatan prediksi tentang ada/tiadanya material-material vulkanik Anak Krakatau yang masih bisa longsor ke laut dalam jumlah besar — meskipun katanya hari ini, 31 Desember 2018, sudah mulai reda batuk-batuknya. Korban nyawa sudah mencapai 400 – 500an dan masih mungkin bertambah karena ada yang hilang. Selain itu rusaknya bangunan rumah, hotel, dan infrastruktur umum lainnya karena terjangan tsunami bisa mencapai ratusan miliar dan mungkin triliunan untuk merehabilitasinya. Padahal, berbagai analisis ilmuwan sebelumnya sudah dipublikasikan tentang kemungkinan tsunami akibat gempa Megathrust selat Sunda (Widjokongko, 2018; Natawidjaya, 2014) ataupun akibat longsornya tubuh gunung api Anak Krakatau (Giachetti, dkk, 2012 - termasuk peneliti BPPT Dr. Budianto - Didit - Ontowiryo sebagai co-author-nya). Tapi, nggak pernah analisis-analisis dan rekomendasi-rekomendasi ilmiah sampai menjadi kebijakan yang diimplementasi jadi program-program mitigasi — sampai akhirnya kejadian bencananya datang, dan semuanya menyesali! Apakah pemerintah kita sudah melindungi segenap bangsa rakyat Banten dan Lampung dan para pelancong dari berbagai daerah di pantai-pantai Selat Sunda dari bahaya tsunami? Dari uraian di atas jawabnya jelas: Belum!!
Gak Ngerti-Ngerti Juga
Padahal seolah-olah tak henti-hentinya Allah memberikan pelajaran/peringatan ke kita supaya BENAR-BENAR MELAKUKAN MITIGASI YG BENAR, SERIUS, TERUKUR DAN ANTISIPATIF. Bukan hanya tergopoh-gopoh melakukan respons waktu terjadinya bencana, tapi bersiap dengan segala kegiatan mitigasi yang BIAYANYA JAUH LEBIH KECIL DARIPADA KERUGIAN AKIBAT BENCANA YANG SAMA SEKALI TIDAK DIANTISIPASI. Tetapi, meskipun tak henti-hentinya pelajaran diberikan kepada kita, sampai sekarang GAK NGERTI-NGERTI JUGA KITA.
Buktinya: himbauan-himbauan untuk ambil pelajaran dari bencana-bencana itu untuk segera bikin usaha mitigasi di lokasi-lokasi lain dengan prediksi rawan terhadap gempa, tsunami, dan likuefaksi pun sudah dituliskan (malah sudah diteriakkan), tapi tak kunjung dilakukan oleh pemerintah. SEMUA SIBUK MENJELASKAN APA YG TERJADI DAN PENYEBABNYA. Bahkan duit budget anggaran direlakan untuk memastikan survei-survei AFTER THE FACT yang tidak mungkin bisa menghidupkan yang mati atau menegakkan kembali bangunan-bangunan yang rusak atau ditelan bumi. Masih mending setelah itu kita rame-rame FOKUS PADA PROYEK-PROYEK REHABILITASI (itu pun masih juga ada yang dikorupsi). Tapi, kita sama sekali lupa bahwa hal serupa bisa juga terjadi di daerah-daerah lain yang sebenarnya sudah distudi oleh ilmuwan2 kita dengan berbagai tulisan paper dan buku mereka dimana-mana di forum-forum ilmiah.
Sudah Terjadi Puluhan – Belasan Tahun yang Lalu.
Bukan hanya akhir-akhir ini saja ke”nggak ngerti”an bangsa ini terjadi. Beberapa belas tahun yang lalu, peringatan dari ilmuwan peneliti tentang Megathrust Simelueu sebelum gempa tsunami Aceh 2004 pun tidak pernah sampai di pengambil kebijakan untuk ditindak-lanjuti. Padahal sebelumnya Danny Hilman Natawidjaya telah meneliti siklus periodisitas gempa-tsunami Simeuleu itu dan menjadikannya tulisan Disertasi dan juga mempresentasikannya di forum-forum ilmiah (Natawidjaya, 2004).
Masih belasan tahun yang lalu juga, peringatan dari IAGI bahwa swarming effect gempa tsunami Aceh akan merambat ke selatannya nggak diantisipasi dengan bijak oleh pemerintah hingga muncul gempa Nias, Mentawai, dan lainnya di 2005 dan tahun-tahun berikutnya.
Secara normatif sering kali himbauan pemerintah adalah, “tetap tenang dan waspada, jangan terpengaruh isu-isu yang tidak bertanggungjawab,” dan sebagainya. Tapi, tidak ada usaha-usaha fisik untuk mengurangi risiko bencana itu secara proporsional.
BKMG, BNPB, Badan Geologi
Bagaimana dengan lembaga-lembaga yang sudah dibentuk pemerintah untuk urusan bencana-bencana kebumian itu? Apakah mereka pernah belajar dari bencana-bencana itu dan makin mengerti untuk melakukan Mitigasi?
BMKG nampaknya tidak melakukan mitigasi. BMKG hanya memberitakan, kalau telah terjadi gempa, di mana dengan besaran berapa dan mengeluarkan peringatan akan ada tsunami atau tidak. Setelah gempa terjadi terus rame-rame menjelaskan itu semua karena apa (penunjaman lempeng, sesar mendatar, atau yang populer akhir-akhir ini: karena longsoran), kemudian diakhiri dengan, “tetap tenang dan waspada”.
BNPB juga usaha mitigasinya nggak pernah terekspos dan jadi bagian penting program kelembagaan karena fokusnya di Penanggulangan (walaupun ada juga bagian mitigasinya). Paling banter, setelah kejadian, BNPB akan berperan juga di rehabilitasi — meskipun kita sama-sama tahu leading sectornya di rehabilitasi itu kementerian PUPR dengan dana pembangunan sarana fisiknya.
Badan Geologi yang tupoksinya banyak terkait dengan usaha mitigasi seperti menerbitkan peta zona bahaya gunung api — yang memang sudah cukup bagus ¾ dan juga Peta Likuefaksi seperti yang di Palu itu, nampaknya juga kurang punya gigi untuk terus mendesakkan peta-peta hasil mitigasinya ke lembaga-lembaga terkait lainnya untuk ditindak-lanjuti.
Where Next?
Kalau (rezim pemerintahan) kita mengerti, maka seharusnya peringatan-peringatan bencana kebumian yang berturut-turut terjadi itu juga menyiapkan kita semua untuk melakukan mitigasi di daerah-daerah yang sudah berkali-kali diidentifikasi oleh para peneliti mempunyai potensi serupa untuk terjadi.
Kapan waktunya? Ada yang periodisitasnya sudah bisa diprediksi dengan standar deviasi 25 – 50 tahun, ada juga yang belum bisa diprediksi tapi besaran bencana (kekuatannya) sudah bisa dikira-kira akan terjadi. Kapan akan terjadi? Bisa besok pagi, bisa tiga – empat bulan lagi (pas Pemilu ?), bisa dua tahun lagi, bisa sepuluh tahun lagi. Yang jelas, mereka PASTI akan bergerak lagi.
Makanya jadi lebih penting untuk menyiapkan diri.
Bagaimana persiapan dirinya? Yang belum sepenuhnya diteliti, ayo lebih diteliti, luangkanlah uang biaya budget untuk meneliti yang hasilnya sering kali berupa tulisan di atas kertas, peta-peta, zonasi, grafik-grafik, dan sejenisnya yang bukan berupa jalan tol, jembatan, ataupun bendungan seperti yang selalu dibangga-banggakan selama ini. Meskipun begitu, hasil kertas berupa peta-peta itu bisa nantinya menyelamatkan jalan tol, jembatan, dan infrastruktur-infrastruktur mahal itu kalau benar-benar diikuti rekomendasinya.
Selain itu, kalau alat-alat peringatan dini dan alat-alat untuk meneliti belum lengkap ayo kita lengkapi. Pasang GPS di pulau-pulau kecil di depan zona subduksi untuk memonitor lengkungan vertikal yang terjadi karena menahan gerakan lempeng yang nantinya akan “pecah” energinya jadi gempa dan tsunami. Juga buoy-buoy yang harganya satu miliaran itu untuk peringatan dini tsunami. Ayo diperbaiki, diperbarui, ditambahi, terutama di daerah-daerah potensi yang akan diuraikan di bawah ini.
Dibutuhkan juga evaluasi zona-zona pemukiman dan infrastruktur umum di daerah lintasan gempa dan Zona rendaman tsunami! Kalau masih ada yang bangun di area sempadan pantai: bongkar saja dengan segala konsekuensinya.
Cek kelayakan konstruksi bangunan-bangunan di daerah-daerah potensi gempa dan tsunami. Kalau masih nggak cocok dengan kode bangunan konstruksinya maka harus diperingati, diperkuat, atau direkayasa (fisik, teknik, finansial) supaya nantinya kuat tahan goyangan gempa (dan tsunami). Kalau belum ada peta detail zonasi gempa/kode bangunan konstruksinya ya dibikinlah peta zonasi detailnya. Pakai biaya pemerintah!
Mulai lakukan latihan-latihan berkala untuk menghadapi bencana-bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi itu. Anggaran latihan-latihannya alokasikan khusus dan jangan diganggu gugat untuk dipakai lainnya. Supaya nantinya nggak banyak korban kalau bencana terjadi.
Di bawah ini daftar potensi bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di daerah-daerah yang sudah pernah distudi oleh para ilmuwan Indonesia maupun luar negeri yang disusun berdasarkan prioritas kemungkinan masifnya bencana dan kerugian yang terjadi.
Di 15 zona daerah inilah perlu difokuskan mitigasi. Sebelum telat nantinya berturut-berturut bencana itu terjadi. ITUPUN KALAU (PEMERINTAH) KITA NGERTI.
Gempa - Tsunami Megathrust Mentawai (Barat Padang-Bengkulu)
Gempa-Tsunami Megathrust Selat Sunda (Banten, Lampung, Bengkulu, SumBar, Jabar, DKI, Jateng, DIY, Jatim)
Gempa-Tsunami Pelabuhan Ratu - Cimandiri (Sesar Mendatar Cimandiri)
Gempa Sesar Mendatar Lembang
Gempa Sesar Naik Surabaya - Bojonegoro
Gempa dan Tsunami Sesar Naik Selat Madura
Gempa dan Tsunami Palu- Koro segmen selatan ke Teluk Bone
Gempa dan Tsunami Sesar Naik Offshore Sulawesi Barat (Mamuju dan sekitarnya)
Gempa dan Tsunami sepanjang pantai Sulawesi Utara dari Zona penunjaman Sulawesi Utara
Gempa dan Tsunami Tarakan dari Zona penunjaman Sulawesi Utara
Gempa sepanjang 12 segmen Sesar Sumatra (yang di Bengkulu hari ini aktif 5.7 SR)
Gempa Sesar Baribis (Jawa Barat Utara - DKI)
Gempa dan Tsunami Megathrust selatan Jember - Banyuwangi
Gempa dan Tsunami Megathrust Selatan Bali/Lombok/Sumbawa
Gempa dan Tsunami dan Liquifaksi Sesar Sorong dan Zona Penunjaman utara Papua.
Gempa Bumi Megathrust M=8.7, Siapkah Jakarta?
(Tsunami dari Selat Sunda: YES!! Rambatan gempa dari Selat Sunda: LESS LIKELY, Rambatan dari Bayah – Pelabuhan Ratu: MORE LIKELY)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Tsunami dari Selat Sunda: YES!! Rambatan gempa dari Selat Sunda: LESS LIKELY, Rambatan dari Bayah – Pelabuhan Ratu: MORE LIKELY)
Atas pemberitaan akhir-akhir ini tentang potensi Gempa Jakarta 8.7 SR yang dirilis bersamaan dengan penyelenggaraan acara BMKG “Gempa Bumi Megathrust M=8.7, Siapkah Jakarta” Rabu, 28 Februari 2018 yang lalu, saya ingin memberikan perspektif yang mudah-mudahan bisa mengurangi kebingungan.
Isu tentang Gempa Bumi Megathrust M=8.7 mengancam DKI Jakarta ini bukan pertama kali diungkapkan sekarang-sekarang ini. Tapi pada Mei 2011 (7 tahun yang lalu) isu ini pertama kali dilontarkan oleh Andi Arif, staf khusus (stafsus) SBY bersama dengan Dr. Danny Hilman, peneliti gempa kenamaan dari LIPI setelah mereka selesai dengan pembuatan peta gempa terbaru Indonesia (lihat slide terlampir)
Beberapa hal teknis yang saya tulis pada tujuh tahun yang lalu saya ulangi lagi di sini untuk menjelaskan tentang isu tersebut.
Dari segi tektonik, bukan hanya jarak dari epicenter yang menentukan besar kecilnya pengaruh gempa dirasakan di suatu tempat. Tetapi juga apakah ada jalur-jalur patahan yang menghubungkan daerah epicenter dengan tempat tersebut..
Dalam hal potensi ancaman gempa yang epicenter-nya di terusan patahan geser Sumatra ataupun Mentawai di Selat Sunda maupun apalagi di zona penunjaman sebelah baratnya, kemungkinan besar daerah yang punya kelurusan struktur langsung dengan patahan-patahan tersebut di Banten yang mendapatkan pengaruh goncangan terbesar.
Hubungan Teluk Jakarta dengan daerah Selat Sunda nampaknya lebih difasilitasi oleh terhubungnya kedua perairan tersebut oleh kolom air Laut Jawa di antara keduanya. Sampai sekarang kita belum memperoleh bukti data adanya kelurusan patahan arah barat-timur yang menghubungkan keduanya. Dengan demikian memang ada potensi akan terjadi tsunami di Teluk Jakarta apabila ada gempa 8.7 SR di Selat Sunda dan atau zona penunjaman di sebelah baratnya. Perhitungan awal apabila terjadi gempa 8.5 SR di Selat Sunda, maka Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta akan terendam tsunami yang run up-nya sampai dengan 1 meter (Data dari simulasi Dr. Hamzah Latief: bahan sosialisasi bencana gempa-tsunami IAGI-HAGI 2005-2006).
Tetapi kecil kemungkinannya gempa 8.7 SR tersebut merambat & dirasakan dengan kekuatan yang sama di Jakarta, karena tiadanya jalur patahan barat-timur itu. Kalaupun toh dirasakan di Jakarta mungkin getarannya sudah jauh berkurang dari di pusatnya yang 8.7 SR itu. Tapi ya tetep saja goyang bergoncang. Berapa besaran MM nya? Kawan-kawan geoteknik perlu menghitungnya terutama dikaitkan dengan usaha micro zonasi kegempaan untuk kode bangunan di Jakarta.
Saya malahan melihat kemungkinan Jakarta lebih rawan "serangan" gempa dari arah selatan, yaitu dari Pelabuhan Ratu – Sukabumi dan sekitarnya. Karena sampai saat ini data gravity dan seismik menunjukkan tinggian-rendahan utama yang dibatasi patahanpatahan di daerah Jakarta arahnya utara selatan. Salah satu dari patahan itu membatasi Tinggian Tanggerang di bagian barat dari Cekungan Ciputat yang melampar ke timur sampai ke Tinggian Rengasdengklok. Patahan berarah utara selatan itu trase permukaannya di sekitar jalur S. Cisadane. Jalur patahan di bawah permukaan bisa diamati sampai ke daerah Leuwiliang Bogor, tetapi kemudian jejaknya tertutup oleh endapan vulkanik Gunung Salak. Kemungkinan jalur utara selatan lewat patahan itu bisa menerus di bawah Gunung Salak sampai akhirnya terhubung dengan daerah Sukabumi – Pelabuhan Ratu. Jika terjadi pergeseran intra plate di penunjaman lempeng selatan Pelabuhan Ratu dan getaran gempanya bisa diteruskan ke utara lewat jalur tersebut, maka Jakarta bisa-bisa ikut bergoyang. Lebih banyak bukti menunjukkan bahwa gempa-gempa di selatan Jawa Barat sering kali juga terasa meggoyangkan Jakarta (Gempa Pangandaran 2006, Gempa Tasikmalaya 2009, Gempa Sukabumi).
Tentang kemungkinan Jakarta diancam tsunami dari gempa Selat Sunda maupun volcanic activity Krakatau: catatan-catatan sejarah membuktikannya. Penelitian Tim Katastrofe Purba 2010-2011 di daerah Batujaya, Krawang (Teluk Jakarta timur) tentang penyebab terkuburnya kebudayaan prasejarah di sana (dari situs-situs arkeologinya) menunjukkan tanda-tanda bekas adanya bencana purba. Bencana purba pada lapisan-lapisan pengubur situs Batu Jaya antara abad empat – lima kemungkinan adalah Tsunami atau letusan gunung api dari Selat Sunda.
Jadi, memang kita semua harus terus bersiap. Jakarta juga tidak aman-aman banget dari potensi ancaman gempa dan apalagi tsunami. Tapi bukan gempa langsung M 8,7 di bawah Jakarta. Gempa 8,7nya bisa berasal dari Megathrust di barat Selat Sunda, bisa juga dari Megathrust di Selatan Jawa. Jakarta sendiri tidak punya potensi untuk jadi epicentrum gempa 8,7 M tersebut. Kena imbas rambatan dan kena imbas tsunaminya: IYA. Langsung digoyang oleh M 8.7: kecil kemungkinannya.
Embusan kembali isu Megathrust M 8,7 mengancam Jakarta bagus sekali untuk mengingatkan kita semua agar terus menerus meningkatkan mitigasi — pengurangan risiko bencana— bagi ibu kota negara ini. Embusan isu ini bukan pertama kalinya. Coba browsing berita-berita Mei 2011 — alias 7 tahun yang lalu. Andi Arif stafsus SBY dan juga Danny Hilman dkk juga waktu itu pertama kali mengingatkan masyarakat tentang potensi adanya pengaruh Megathrust M 8.7 ini untuk DKI Jakarta.
Ayo lebih kita kencengin mitigasi dan penelitian-penelitiannya. Tanpa riset-riset: GPS, tomografi, monitoring patahan aktif, catatan-catatan sejarah, dating endapan tsunami, koral, dan sebagainya, kita meraba dalam gelap. Dengan riset-riset mitigasi, kita jadi lebih siap; tahu segmen lempeng mana yang siap bergerak dan berapa besar besar skalanya, daerah mana yang kena, dan sebagainya. Makin banyak catatan sejarah/stratigrafi dari pemelajaran perulangan gempa-tsunami di suatu tempat, makin sempit simpangan ketidakpastian prediksi.
Kita sudah sampai pada level prediksi lokasi dan besaran gempa termasuk untuk Siberut, Padang, Selat Sunda, Jawa Selatan, dll. Tapi prediksi kapan waktunya masih banyak tanda tanya. Masih terlalu sedikit data untuk diambil regresi linier statistiknya mendapatkan kepastian dengan simpangan rendah.
Mitigasi bukan untuk menakut-nakuti, tetapi membuat orang menjadi lebih siap mengantisipasi, mengevaluasi mana yang kurang dan harus diperbaiki.
Tsunami dari Selat Sunda: YES!, Rambatan gempa dari Selat Sunda: LESS LIKELY, Rambatan dari Pelabuhan Ratu: MORE LIKELY
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Atas pemberitaan akhir-akhir ini tentang potensi Gempa Jakarta 8.7 SR yang dirilis Staf Khusus Presiden Bidang Bencana dan Bantuan Sosial (Andi Arief) dan Dr. Danny Hilman setelahnya, saya ingin memberikan perspektif yang sedikit berbeda.
Dari segi tektonik, bukan hanya jarak dari epicenter yang menentukan besar kecilnya pengaruh gempa dirasakan di suatu tempat. Tetapi juga apakah ada jalur-jalur patahan yang menghubungkan daerah epicenter dengan tempat tersebut..
Dalam hal potensi ancaman gempa yang epicenternya di terusan patahan geser Sumatra ataupun Mentawai di Selat Sunda maupun apalagi di zona penunjaman sebelah baratnya, kemungkinan besar daerah yang punya kelurusan struktur langsung dengan patahan-patahan tersebut di Banten yang mendapatkan pengaruh goncangan terbesar.
Hubungan Teluk Jakarta dengan daerah Selat Sunda nampaknya lebih difasilitasi oleh terhubungnya kedua perairan tersebut oleh kolom air Laut Jawa diantara keduanya. Sampai sekarang kita belum memperoleh bukti data adanya kelurusan patahan arah barat-timur yang menghubungkan keduanya. Dengan demikian potensi akan terjadinya tsunami sangat besar di Teluk Jakarta apabila terjadi gempa 8.7 SR Selat Sunda yang sedang diteliti ini. Perhitungan awal apabila terjadi gempa 8.5 SR di Selat Sunda, maka Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta akan terendam tsunami yang run up-nya sampai dengan satu meter.
Tetapi kecil kemungkinannya gempa 8.7SR tersebut merambat dan dirasakan dengan kekuatan yang sama di Jakarta, karena tiadanya jalur patahan barat-timur itu. Kalaupun toh dirasakan di Jakarta mungkin getarannya sudah jauh berkurang dari di pusatnya yang 8.7 SR itu. Tapi ya tetap saja goyang bergoncang. Berapa besaran MM nya? Kawan-kawan geoteknik perlu menghitungnya terutama dikaitkan dengan usaha mikro zonasi kegempaan untuk kode bangunan di Jakarta.
Saya malahan melihat kemungkinan Jakarta lebih rawan "serangan" gempa dari arah selatan, yaitu dari Pelabuhan Ratu - Sukabumi dan sekitarnya. Karena sampai saat ini data gravity dan seismik menunjukkan tinggian-rendahan utama yang dibatasi patahan-patahan di daerah Jakarta arahnya utara selatan. Salah satu dari patahan itu membatasi Tinggian Tanggerang di bagian barat dari Cekungan Ciputat yang melampar ke timur sampai ke Tinggian Rengasdengklok. Patahan berarah utara selatan itu trase permukaannya di sekitar jalur Sungai Cisadane. Jalur patahan di bawah permukaan bisa diamati sampai ke daerah Leuwiliang Bogor, tetapi kemudian jejaknya tertutup oleh endapan vulkanik Gunung Salak. Kemungkinan jalur utara selatan lewat patahan itu bisa menerus di bawah Gunung Salak sampai akhirnya terhubung dengan daerah Sukabumi - Pelabuhan Ratu. Jika terjadi pergeseran intra plate di penunjaman lempeng selatan Pelabuhan Ratu dan getaran gempanya bisa diteruskan ke utara lewat jalur tersebut, maka Jakarta bisa-bisa ikut bergoyang. Lebih banyak bukti menunjukkan bahwa gempa-gempa di selatan Jawa Barat seringkali juga terasa meggoyangkan Jakarta (Gempa Pangandaran 2006, Gempa Tasikmalaya 2009, Gempa Sukabumi).
Tentang kemungkinan Jakarta diancam tsunami dari gempa Selat Sunda maupun volcanic activity Krakatau: catatan-catatan sejarah membuktikannya. Juga akhir-akhir ini penelitian Pak Danny Hilman dan lainnya di daerah BatuJaya, Krawang (Teluk Jakarta timur) tentang penyebab terkuburnya kebudayaan pra-sejarah di sana (dari situs-situs arkeologinya) mulai menunjukkan tanda-tanda bekas adanya bencana purba. Bencana purba pada lapisan-lapisan pengubur situs Batu Jaya antara abad 4 dan 5 kemungkinan adalah Tsunami atau letusan gunung api dari Selat Sunda.
Jadi, memang kita semua harus terus bersiap. Jakarta juga tidak aman-aman banget dari potensi ancaman gempa dan apalagi tsunami. Ayo lebih kita kencengin penelitian-penelitianya. Tanpa riset-riset: GPS, tomografi, monitoring patahan aktif, catatan-catatan sejarah, dating endapan tsunami, koral dan sebagainya, kita meraba dalam gelap. Dengan riset-riset mitigasi, kita jadi lebih siap, tahu segmen lempeng mana yang siap bergerak dan berapa besar besar skalanya, daerah mana yang kena, dan sebagainya. Makin banyak catatan sejarah/stratigrafi dari pemelajaran perulangan gempa-tsunami di suatu tempat, makin sempit simpangan ketidakpastian prediksi. Kita sudah sampai pada level prediksi lokasi dan besaran gempa termasuk untuk Siberut, Padang, Selat Sunda, Jawa Selatan, dan lainnya tapi prediksi kapan waktunya masih banyak tanda tanya. Masih terlalu sedikit data untuk diambil regresi linier statistiknya mendapatkan kepastian dengan simpangan rendah.
Mitigasi bukan untuk menakut-nakuti, tetapi membuat orang menjadi lebih siap mengantisipasi, mengevaluasi mana yang kurang dan harus diperbaiki.
Bencana Kita: Gemes
Yang bisa menyelamatkan saudara-saudara kita di garis depan gempa tsunami itu bukan alat-alat canggih miliaran rupiah hasil sumbangan ataupun utang itu, tapi lebih ke kesiapan tradisi-budaya internal, pengorganisasian masyarakat, latihan-latihan, dan revisi tata ruang!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Ayolah.. Bangun, bangun, bangun! Pelajaran sudah diberikan berkali-kali oleh gusti Allah, utamanya sejak 2004 sampai sekarang. Yang bisa menyelamatkan saudara-saudara kita di garis depan gempa tsunami itu bukan alat-alat canggih miliaran rupiah hasil sumbangan ataupun utang itu, tapi lebih ke kesiapan tradisi-budaya internal, pengorganisasian masyarakat, latihan-latihan, dan revisi tata ruang!
Segala macam pelampung besi, pengukur tinggi gelombang, sensor satelit, dan jalur-jalur hotline komunikasi itu semua hanya dalam rangka mengingatkan bahwa ada tsunami setinggi X meter di daerah Y pada 5 - 20 menit mendatang. Bayangkan saja apa yang bisa dilakukan orang dalam waktu kurang dari setengah jam untuk menyelamatkan diri dan harta benda mereka? Itu semua sangat tergantung dari kesiapan tradisi-budaya, pengorganisasian, latihan-latihan, dan revisi tata ruang! Tak perlu pemberitahuan tentang bahaya tsunami setelah gempa! Setiap terjadi gempa, langsung saja lakukan seperti simulasi dan tradisi-budaya yang kita bangun bersama.
Tidak usah menunggu pemberitahuan BMKG akan ada tsunami atau tidak! Kalau saudara-saudara kita menunggu pemberitahuan tersebut akan percuma, mereka sudah akan digulung gelombang tsunami! Sudah semakin nyata dalam 4 - 5 tahun terakhir ini bahwa alat-alat canggih ETWS yang kita pasang dengan bangga di mana-mana itu tidak terlalu banyak manfaatnya. Bahkan sejak dari awal pun harusnya kita sadar bahwa alat-alat itu lebih berguna buat orang-orang yang ada di Hawaii, di India, di Madagaskar, dan di daerah-daerah di luar Indonesia, karena waktu tempuh tsunami ke tempat mereka masih lumayan cukup lama dari pusatnya di daerah kita, bisa 1 - 2 jam atau bahkan bisa 1 - 2 hari. Lha, kita yang ada di dekat pusat sumber tsunaminya (gempa), apa gunanya alat-alat itu buat kita selain beban pinjaman bantuan dan juga maintainance berkepanjangan. Untuk mengingatkan kita pun, waktu yang ada hanya 5 - 20 menit saja dari pusat-pusat gerakan gempa. Apa yang bisa kita perbuat? Lebih fokus lah pada usaha-usaha penguatan kesiapsiagaan masyarakat!