Eksplorasi Migas dan Kepercayaan Investor

Dirilis pertama di Bisnis Indonesia
Jumat, 31 Juli 2015: Halaman 2.

Eksplorasi merupakan kunci utama dalam produksi minyak dan gas di masa yang akan datang. Keberhasilan eksplorasi dimulai dari akuisisi data dan evaluasi geologi yang tepat dari keseluruhan blok, kemudian diikuti dengan pengeboran beberapa sumur, melalui pengeboran inilah diharapkan setidaknya dihasilkan satu temuan. Peluang keberhasilan sebuah sumur eksplorasi adalah 7:1.

Sejak memulai eksplorasi sampai produksi yang pertama kali dari sebuah lok, setidaknya dibutuhkan waktu 10-15 tahun dengan biaya paling sedikit US$5 juta di blok darat dan US$30 juta di laut dangkal selama enam tahun eksplorasi. Seluruh risiko eksplorasi dan biaya eksplorasi ditanggung oleh kontraktor, dengan pengembalian atas biaya itu melalui cost recovery ketika telah berproduksi.

Dalam beberapa tahun terakhir jumlah data eksplorasi dan sumur eksplorasi menurun drastits. Sebagai bagian dari program utama Nawacita, hal ini mendapat perhatian khusus karena telah diidentifikasi sebagai salah satu kunci utama dari sebuah kesuksesan dalam industri migas. Karena itu, Menteri ESDM kemudian membentuk Komite Eksplorasi Nasional (KEN).

Salah satu masalah non-teknis yang langsung dihadapi Komite ini adalah masalah terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Selama beberapa tahun, di bawah term Production Sharing Contract (PSC), kontraktor dikenai pajak penghasilan baik atas pribadi maupun perusahaan termasuk pajak atas dividen. Pemerintah juga menerapkan assume and discharge untuk semua pajak dan retribusi yang terkait barang-barang operasi hulu migas. Hal ini memberikan keleluasaan terhadap kontraktor untuk mendapat pengembalian atas pajak dan retribusi ketika kontraktor berproduksi.

Pada Desember 2010, pemerintah mengeluarkan PP No. 79/2010 yang mengatur mengani biaya-biaya operasi yang dapat di-recover dan perlakuan atas pajak penghasilan di hulu migas. Pemerintah tidak lagi menerapkan assume and discharge untuk semua pajak di luar pajak penghasilan pribadi dan perusahaan. PP ini juga mengatur pemberian fasilitas pembebasan pajak dalam rangka impor baik untuk PSC eksplorasi maupun eksploitasi serta berdampak pada mekanisme penghitungan PBB.

Dengan penghitungan yang dilakukan berdasarkan PP ini, industri hulu migas kaget ketika terjadi penilaian PBB di pertengahan 2013 untuk blok-blok eksplorasi. Pasalnya pajak PBB dibebankan untuk seluruh wilayah kerja dan bukan hanya bagian wilayah kerja yang aktif, meski sebenarnya berdasarkan konsep PSC, kontraktor tidak pernah memiliki lahan itu. Besaran pajak yang luar biasa ini sangat tidak rasional karena nilainya melebihi nilai total biaya untuk kegiatan eksplorasi selama 6 tahun tahap eksplorasi. Karena nilai yang sangat besar ini, kontraktor akan kesulitan dalam mempertahankan keekonomiannya dan tentunya meningkatkan risiko kegiatan eksplorasi.

PENGADILAN PAJAK

Atas pembebanan pajak yang luar biasa itulah dan setelah beberapa kali melakukan diskusi dengan SKK Migas dan kontraktor, Dirjen Pajak memberikan indikasi bahwa mereka melakukan pengisian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dengan cara yang kurang tepat yang berakibat pada kesalahan hitung atas PBB dan menghasilkan nilai PBB yang sangat besar. Karena hal ini terbentuklah sebuah konsensus untuk merevisi dan melaporkan kembali SPOP. Dirjen Pajak kemudian menerbitkan Surat Edaran DJP No. 46 tahun 2013 yang berisi tentang tata cara pengisian SPOP. Berdasarkan SE 46, para kontraktor migas merevisi dan melaporkan kembali SPOP melalui SKK Migas sesuai kesepakatan. Dirjen Pajak menanggapi dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, yang menyatakan pembayaran PBB jika ada, bisa dilakukan sebelum Desember 2013.

Sayangnya Dirjen Pajak tidak melaksanakan kesepakatan yang ada. Setelah kontraktor mengirim ulang SPOP sesuai SE. Dirjen Pajak tidak pernah mengeluarkan SPPT revisi sehingga tidak ada perubahan sama sekali mengenai jumlah PBB yang sangat besar yang telah dikenakan. Karenanya semua kontraktor yang terkena dampaknya telah mengajukan keberatan pajak yang direspons oleh Dirjen Pajak dengan mengeluarkan Surat Penolakan pada triwulan ke-IV 2014. Tidak ada jalan lain, kontraktor kemudian mengajukan banding.

Pada 31 Desember 2014, dengan tujuan untuk mendukung tahap eksplorasi minyak dan gas, Menkeu mengeluarkan peraturan No. 256/PMK.011/2014 (PMK 267) yang mengatur tentang pengurangan insentif PBB di sektor migas. Hal ini berlaku pada komponen sub-permukaan dengan besaran hingga 100% dari jumlah LBT pada komponen. Insentif ini sayangnya hanya berlaku untuk 2015 dan seterusnya dan tidak berlaku surut. Penerbitan SE 46 dan juga PMK 267 menunjukkan ketidakakuratan dari penerapan PBB pada eksplorasi migas.

KEN menilai kontraktor memang tidak memenuhi kualifikasi untuk dikenakan pajak. Sebagai kontraktor, mereka tidak memiliki objek pajak, pemerintahlah yang memiliki. Pada tahap eksplorasi, kontraktor memang mengambil manfaat atas tanah/air di wilayah kerja untuk mengambil data, yang sangat terbatas pada area tertentu saja.

Pada 2013, jumlah sumur eksplorasi yang dibor adalah 101 dari 253 yang telah direncanakan untuk tahun itu. Pada 2014 terjadi penurunan, dari 250 sumur eksplorasi yang direncanakan, hanya 83 sumur eksplorasi yang aktual. Di 2015, beberapa kontraktor memutuskan untuk menyerah dan tidak lagi mau melakukan usaha eksplorasi di Indonesia.

Lagi-lagi, kegagalan eksplorasi artinya kerugian investasi dan punitive taxes tidak akan pernah bisa ditarik kembali. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan Kepres No. 2/2012 soal peningkatan produksi nasional migas.

Saat ini, kontraktor yang terkena kasus ini sibuk terlibat dalam beberapa banding, padahal seharusnya mereka turun ke lapangan mencari minyak dan gas.

Aktivitas migas adalah investasi jangka panjang, maka dari itu sangat diperlukan kepastian dalam industri migas. Dengan tidak adanya kepastian hukum, investasi hulu migas di Indonesia akan dijauhi investor. Akibatnya, tidak ada cadangan baru yang akan ditemukan, produksi migas akan terus merosot, dan negara akan kehilangan banyak lahan pekerjaan dan potensi pendapatan dari sektor ini.

Sangatlah penting Pengadilan Pajak mempertimbangkan latar belakang sejarah penilaian PBB pada 2012 dan 2013, juga keakuratan penerapan PBB pada tahap eksplorasi. Hal ini dapat membantu pemerintah kembali mendapatkan kepercayaan.

Previous
Previous

(Era Elpiji)

Next
Next

Tax bills killing drive to find new reserves in Indonesia