Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Revisi Kebijakan Energi Nasional

(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)

(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

  1. KEN (Kebijakan Energi Nasional) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah 79/2014 perlu direvisi, termasuk revisi bauran energi-nya, karena asumsi-asumsi kebijakannya sudah jauh berbeda dengan 11 tahun yang lalu ketika KEN dibuat. Yang paling mencolok adalah pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan 6.11% (2010), 8% (2015), 8% (2020), 8% (2025), 7.5% (2030), 7% (2040) dan 7% (2050) ternyata hanya berkisar di 5% saja 6% tahun terakhir ini dan tidak lebih dari 6% di empat tahun sebelumnya (Gambar 1). Dengan demikian maka proyeksi kebutuhan energi kitapun menjadi terlalu berkelebihan (Gambar 2). Akibatnya, saat ini kita oversupply dengan tenaga listrik yang membuat PLN mengalami kesulitan untuk memasarkannya.

  2. Selain itu, Kondisi Lingkungan Strategis ENERGI Nasional dan Global sudah berubah dari asumsi dasar pembuatan UU Migas 2001, UU Energi 2007 maupun  Kebijakan Energi Nasional 2009-2014. Indonesia  sudah jadi net importer minyak bumi sejak 2004, kita sudah bukan anggota OPEC lagi sejak 2007 (meskipun kemudian masuk lagi di 2014 tapi keluar lagi 2016), cadangan gas kita tiga - empat kali lipat dari cadangan minyak, potensi tersisa cekungan-cekungan migas kita lebih ke gas prone daripada oil prone, dan juga tren global energy transition from fossil to renewable energy via gas dan ESG fund untuk investasi sudah tidak memprioritaskan investasi E&P minyak bumi —lebih ke investasi gas.

  3. Oleh karena itu Kebijakan Bauran Energi kita seharusnya lebih ke gas daripada minyak bumi dan  batu bara. Gas harus lebih diutamakan, yang di 2025 Cuma 22% menjadi 32%, dan di 2050 dari 24% menjadi 34%, crude-nya jadi tinggal 15% (2025) dan 10% saja (2050) (Gambar 3).

  4. Sudah jelas bahwa kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan migas dari dalam negeri. Maka, untuk memperkuat ketahanan energi, seyogyanya kita mengadopsi strategi penguasaan aset-aset migas luar negeri langsung dari hulunya dan sekaligus kita kurangi persentase-nya dalam bauran energi; sementara batu bara yang relatif lebih berlimpah dari sumber energi primer lainnya masih tetap kita jadikan sebagai buffer (Gambar 4).

  5. Selain itu, di dalam KEN yang baru seharusnya nuklir dibikin hitam/putih: YA/TIDAK, kalau perlu lewat voting di Paripurna DPR. sehingga tegas dan tidak abu-abu seperti KEN yang sekarang ini. Kalau perlu Nuklir sebagai sumber energi  primer kita masukkan mulai 2030 sehingga pada 2050 porsinya pada bauran energi menjadi 10% atau 40 GigaWatt (Gambar 3).

  6. UU Migas kita harusnya diubah judulnya menjadi Undang Undang Gas dan Minyak Bumi (UU GASMI) —bukan lagi MIGAS tapi GASMI. Hal ini sesuai dengan kondisi inheren dari potensi hidrokarbon Indonesia dan semangat transisi energi menuju EBT via GAS. Mestinya kita lebih fokus pada pengembangan penggunaan gas daripada minyak dan memprioritaskan pembangunan infrastruktur gas. Hal ini juga selaras dengan semangat revisi KEN di mana bauran energi harusnya lebih sangat dominan gas daripada minyak.

  7. Di dalam UU Migas yang baru tupoksi badan pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS seharusnya dibuat supaya lebih memprioritaskan  E&P Gas daripada Minyak Bumi. Juga di sektor tengah dan hilirnya harus diatur sedemikian rupa supaya GAS lebih difasilitasi pengembangannya daripada minyak bumi.

  8. BUMN GASMI khusus sebagai pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS tidak dibebani dengan tupoksi mencari untung sebanyak-banyaknya dari kontrak pengusahaan E&P Migas, tapi lebih ke pemenuhan kebutuhan energi melalui GASMI untuk Indonesia (paradigma energi sebagai modal dasar penggerak pembangunan bukan sebagai penghasil revenue semata). Jadi, BUMN Khusus harus terbebas dari UU Perseroan Terbatas.

  9. Program 1 juta BOPD dan 12 BCFGPD di tahun 2030 oke saja, tapi kita tetap akan terbebani CAD karena impor minyak akan terus meningkat, kecuali mulai sekarang kita bergeser ke GAS secara radikal seperti disebutkan di poin-poin di atas.

  10. Khusus untuk kontrak migas, selain PSC Konvensional dan PSC Gross Split, coba dijajaki – ditawarkan insentif khusus untuk BASIN/PLAY OPENER, terutama untuk kontrak-kontrak migas non konvensional seperti Shale Gas dan CBM. Mereka yang jadi pionir dengan penemuan-penemuan baru di satu cekungan akan mendapatkan insentif khusus dengan split yang lebih tinggi dan sebagainya.

 
 
Gambar 1

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 2

Gambar 3

Gambar 3

Gambar 4

Gambar 4

 
Read More
Blog Admin Blog Admin

Catatan Minna Minkum Nusantara

Terus waktu salah satu ibu itu bilang ke anaknya sambil nangis menyatakan dia khawatir seharian nyari anaknya kemarin, ternyata dia di Poltabes, dst, dsb, HIKKKS… Aku jadi inget bapak ibu-ku…. 

 

Aku mbrebes mili liat video ini. Bu Risma memarahi anak-anak (STM?) yang ikut demo kemarin terus ditangkepi di Poltabes (mungkin karena ikut anarkis ngelempar-lempar batu dan ngerusak-rusak? Atau melawan petugas PHH?), kemudian dibebaskan di depan orangtua mereka.

Apalagi pas Risma bilang orangtua kalian yang membersihkan kotoran kalian waktu kecil, menyuapi kalian, mengajari kalian jalan, dan sebagainya.. Terus waktu salah satu ibu itu bilang ke anaknya sambil nangis menyatakan dia khawatir seharian nyari anaknya kemarin, ternyata dia di Poltabes, dst, dsb, HIKKKS… Aku jadi inget bapak ibu-ku…. 

Terbayang bapak ibuku yang susah payah bekerja mencukupi kebutuhanku dan saudara-saudaraku sampai aku bisa mandiri seperti ini. Kebayang betapa khawatir mereka waktu dulu itu aku sering cerita ikut demo sana-sini, ke DPR beberapa kali, nyorat-nyoret jembatan penyebrangan dan tembok-tembok dan papan reklame dengan tulisan-tulisan “Gantung Soeharto”, nyanyi-nyanyi provokasi di apel siaga di lapangan Gasibu, di lapangan basket ITB, di kampus IPB, di kampus UGM, latihan malam di kampus mengenai demo mengahadapi pukulan tentara, dan lain sebagainya… Hhhhh....

Mereka sering bilang, “ati-ati Yang, wis wis wis gak usah melok-melok,” tapi aku jalan terus (meski lebih hati-hati). Kebayang betapa leganya mereka setelah aku lulus dan langsung kerja ke Kalimantan, wis gak melok-melok urusan ndik Bandung-Jakarta lagi.

Soal kecenderungan anarki demo-demo yang sekarang ini, kelihatannya sebenarnya demo mahasiswa itu tertib diatur supaya tidak anarki oleh korlap/pimpinan mereka masing-masing…. Tapi yang nggak bisa dikontrol itu yang demo ikut-ikutan atau di-ikut-ikut-kan seperti anak-anak STM itu (nggak tau termasuk golongan yang mana itu: ikut-ikutan atau dipancing supaya ikut-ikutan atau sengaja di-ikut-ikut-kan). Juga seperti preman-preman bayaran politik atau orang-orang bertato yang ketangkap di salah satu video bersama mahasiswa-mahasiswa itu dan mereka gak punya KTM. Bisa saja mereka sengaja atau ikut-ikutan jadi anarki, ngerusak sana-sini, ngelempari petugas dengan batu, bahkan bakar-bakar atau ikutan seru bakar-bakar setekah ada yang membakar, atau memang sengaja demo-demo itu disusupi oleh intel dengan tujuan tertentu (termasuk bikin rusuh) seperti dokumentasi beberapa video yang menunjukkan itu (ada perwira intel yang lagi nyamar jadi mahasiswa yang dipukuli sama polisi berseragam terus dilerai oleh intel lainnya, dsb).

Soal anarki itu, jadi inget jaman 1980 dulu. Usia-usia mahasiswa berdarah muda 18, 19, 20 tahun itu benar-benar usia penuh keinginan untuk membuktikan diri — eksistensi yang menantang. Benar-benar mudah terprovokasi. Kok anak STM, aku aja yang mahasiswa ITB dulu waktu jalan dari Salemba ke Gatsu (demo anti Soeharto 1980) juga terpancing bawa batu dan ikutan ngelempari helikopter polisi yang melayang agak rendah di atas jembatan Latuharhary Kuningan. Gak tau apa nyampe apa nggak lemparan-lemparan batu kerikil itu, tapi helikopternya sampai jatuh, tuh... Masuk koran waktu itu dan kita semua waktu itu merasa sangat bangga seolah-olah bisa menjatuhkan helikopter polisi. Gak kepikiran bahwa mungkin polisinya luka-luka dan mereka juga punya keluarga, punya anak-anak seperti kita juga. Setelah lebih dewasa 30 tahunan baru kemudian mikir, “gosh, what have we done during that time, ngelempari helikopter polisi sampai jatuh? Itu iseng-isang bisa jadi anarkis lho…" dst, dsb. Menyesal banget.

Semoga negara dan pemerintahan dan bangsa Indonesia selalu dilindungi oleh Allah SWT. Semoga pemerintah mendengar semua suara keluh kesah rakyatnya. Semoga rakyatnya (kita semua) bisa selalu menyuarakan aspirasi dengan tertib dan tidak anarki. Semoga mahasiswa kita diberi kekuatan terus untuk belajar, sukses dan sekaligus bisa bebas merdeka menyuarakan aspirasi masyarakatnya tanpa anarki. Semoga para orangtua mahasiswa tidak bosan-bosannya mengingatkan anak-anaknya supaya tidak anarki, terus berhati-hati, dan lancar belajar hingga lulus dan bisa kerja membangun negara lewat semua lini.

Semoga kita semua diselamatkan dari wabah multidimensi ini..

Minnaminkum Nusantara..

Read More
Rilisan Cetak Admin Rilisan Cetak Admin

Blok Migas Habis Kontrak dan BUMD

Mengantisipasi berakhirnya kontrak-kontrak blok migas produksi secara berurutan dalam jumlah besar, pemerintah sigap menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15/2015 pada 11 Mei 2015. Totalnya ada kontrak 28 blok yang akan berakhir dalam kurun 2015-2021.

Dirilis pertama di Koran Tempo.
Kamis, 25 Februari 2016: Halaman 11.

Mengantisipasi berakhirnya kontrak-kontrak blok migas produksi secara berurutan dalam jumlah besar, pemerintah sigap menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15/2015 pada 11 Mei 2015. Totalnya ada kontrak 28 blok yang akan berakhir dalam kurun 2015-2021.

Aturan itu pula yang konon mulai diterapkan dalam negosiasi-negosiasi terkait dengan perpanjangan kontrak Blok Pertamina Hulu Energi Offshore North West Jawa (PHE-ONWJ) yang kontraknya akan berakhir pada 19 Januari 2017. Aturan ini juga dipakai dalam alih kelola Blok Mahakam dari Total ke Pertamina. Blok Mahakam habis kontraknya pada 31 Desember 2017.

Beberapa klausul dalam peraturan menteri tersebut yang patut diacungi jempol adalah, (1) pengutamaan Pertamina sebagai pengambil alih kelola, (2) penjaminan hak badan usaha milik daerah (BUMD) untuk ikut dalam participating interest (PI) pengelolaan, dan (3) adanya kewajiban masa transisi. Kontraktor wajib membantu calon operator selanjutnya dalam masa transisi sebelum kontrak berakhir supaya alih kelola berjalan mulus.

Terkait dengan keterlibatan BUMD dalam participating interest pengelolaan blok migas sebenarnya sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004. Tapi peraturan ini berlaku khusus untuk blok baru yang berhasil menemukan cadangan baru dan sudah disetujui plan of development (POD)-nya. Pada blok-blok tersebut—meski risiko eksplorasi relatif sudah kecil atau bahkan tidak ada kalau tidak mengebor sumur eksplorasi lagi—risiko pengembangan lapangan masih ada. Risiko itulah yang harus dikelola oleh operator dan para partner participating interest-nya, termasuk BUMD.  Itu kalau memang BUMD masuk di blok-blok seperti itu.

Paling tidak, ada dua poin yang perlu diteliti pada peraturan tadi yang berkaitan dengan BUMD dan prinsip perbedaan antara blok-blok POD baru dan blok-blok habis kontrak. Pertama, definisi BUMD, dan kedua, besaran participating interest yang diperbolehkan untuk diambil oleh BUMD.

Definisi pada Pasal 1 ayat 6 menyebutkan BUMD adalah badan usaha yang seluruh kepemilikan sahamnya atau 100 persen dimiliki oleh pemerintah daerah. Definisi BUMD penerima interest tersebut menyulitkan BUMD memenuhi kewajiban penyediaan dana sebagai pemilik interest migas, karena pada umumnya penyertaan modal pemda dalam BUMD besarannya tidak terlalu signifikan dibanding kebutuhan pendanaan dari suatu operasi perminyakan. Ini terjadi bukan saja untuk blok-blok POD baru, tapi juga untuk blok-blok produksi yang sudah habis kontrak.

Alternatif sumber pendanaan lainnya adalah meminjam, tapi untuk pinjaman pun dibutuhkan penjaminan aset cukup besar yang tidak mungkin BUMD penuhi. Cara yang paling mungkin adalah menggandeng mitra pendana dalam bentuk joint venture. Masalahnya, opsi ini dilarang dalam peraturan itu.

Penguncian definisi BUMD pada peraturan menteri itu lebih ketat daripada definisi BUMD yang ditetapkan Peraturan Pemerintah 35/2004 yang membolehkan BUMD bekerja sama dengan pihak swasta asalkan mayoritas saham masih di tangan BUMD. Patut diduga pendefinisian ini berkaitan dengan sinyalemen beberapa pejabat negara, dan bahkan akhir-akhir ini KPK, yang tidak menginginkan terjadi lagi kasus BUMD dirugikan ketika bekerja sama dengan swasta.

Yang sering dijadikan contoh adalah kasus divestasi saham PT Newmont kepada BUMD Daerah Maju Bersaing yang seolah-olah saham BUMD digadaikan oleh investor untuk mencari pinjaman. Juga penyebutan “kasus” BUMD Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam pengelolaan Blok Cepu yang seolah-olah sampai beberapa tahun di awal tidak ada serupiah pun dana mengalir ke APBD dari dividen PI tersebut.

Apa yang terjadi pada kasus-kasus di atas tentu tidak terlepas dari aspek legal bisnis perjanjian telah disepakati antara BUMD dan swasta. Jika hal tersebut dirasa merugikan BUMD, persoalan utamanya adalah lemahnya BUMD dalam proses dealing dengan mitranya. Apa yang berkembang di luar masyarakat sungguh luar biasa: terjadi persepsi bahwa seluruh BUMD merupakan BUMD yang tidak profesional dan cenderung “dikerjain” oleh mitranya. Bahkan mitra BUMD dianggap sebagai “pemburu rente” semata.

Akan lebih baik jika definisi BUMD pada peraturan menteri itu diubah menjadi seperti yang diamanatkan oleh UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.

Lalu upaya apa yang bisa dilakukan agar BUMD tidak dikerjain mitranya? Upaya lebih baik yang bisa dilakukan adalah pemerintah bisa mendorong BUMN atau konsultan nasional untuk menawarkan bantuan jasa konsultasi atau pendampingan kepada BUMD agar dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemilik interest blok migas, terutama dalam hal pendanaan. Juga jasa pendampingan dalam bernegosiasi dengan calon mitra BUMD, baik BUMN maupun swasta.

Selain itu, pemerintah bisa mendorong BUMN untuk menjadi salah satu calon alternatif mitra BUMD. Hal lain yang perlu ditilik dalam Peraturan Menteri 15/2015 adalah mengenai porsi BUMD, yang dibatasi hanya maksimal 10 persen. ADPM telah mengusulkan kepada pemerintah bahwa porsi BUMD pada blok migas yang habis kontraknya adalah minimal 15 persen.

Blok migas yang habis masa kontraknya merupakan blok migas “sisa” dari kontraktor yang telah mengeksplorasi dan mengeksploitasi selama 30 tahun, bahkan 50 tahun untuk blok yang telah diperpanjang kontraknya. Wajar jika daerah mendapatkan porsi yang besar, karena risiko sudah semakin mengecil dan sudah terlalu lama pihak “lain” menikmati bisnis komoditas energi yang notabene lokasinya di daerah tersebut. Sudah saatnya daerah diberikan privilege lebih besar.

Read More
Rilisan Cetak Admin Rilisan Cetak Admin

Eksplorasi Migas dan Kepercayaan Investor

Eksplorasi merupakan kunci utama dalam produksi minyak dan gas di masa yang akan datang. Keberhasilan eksplorasi dimulai dari akuisisi data dan evaluasi geologi yang tepat dari keseluruhan blok, kemudian diikuti dengan pengeboran beberapa sumur, melalui pengeboran inilah diharapkan setidaknya dihasilkan satu temuan. Peluang keberhasilan sebuah sumur eksplorasi adalah 7:1.

Dirilis pertama di Bisnis Indonesia
Jumat, 31 Juli 2015: Halaman 2.

Eksplorasi merupakan kunci utama dalam produksi minyak dan gas di masa yang akan datang. Keberhasilan eksplorasi dimulai dari akuisisi data dan evaluasi geologi yang tepat dari keseluruhan blok, kemudian diikuti dengan pengeboran beberapa sumur, melalui pengeboran inilah diharapkan setidaknya dihasilkan satu temuan. Peluang keberhasilan sebuah sumur eksplorasi adalah 7:1.

Sejak memulai eksplorasi sampai produksi yang pertama kali dari sebuah lok, setidaknya dibutuhkan waktu 10-15 tahun dengan biaya paling sedikit US$5 juta di blok darat dan US$30 juta di laut dangkal selama enam tahun eksplorasi. Seluruh risiko eksplorasi dan biaya eksplorasi ditanggung oleh kontraktor, dengan pengembalian atas biaya itu melalui cost recovery ketika telah berproduksi.

Dalam beberapa tahun terakhir jumlah data eksplorasi dan sumur eksplorasi menurun drastits. Sebagai bagian dari program utama Nawacita, hal ini mendapat perhatian khusus karena telah diidentifikasi sebagai salah satu kunci utama dari sebuah kesuksesan dalam industri migas. Karena itu, Menteri ESDM kemudian membentuk Komite Eksplorasi Nasional (KEN).

Salah satu masalah non-teknis yang langsung dihadapi Komite ini adalah masalah terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Selama beberapa tahun, di bawah term Production Sharing Contract (PSC), kontraktor dikenai pajak penghasilan baik atas pribadi maupun perusahaan termasuk pajak atas dividen. Pemerintah juga menerapkan assume and discharge untuk semua pajak dan retribusi yang terkait barang-barang operasi hulu migas. Hal ini memberikan keleluasaan terhadap kontraktor untuk mendapat pengembalian atas pajak dan retribusi ketika kontraktor berproduksi.

Pada Desember 2010, pemerintah mengeluarkan PP No. 79/2010 yang mengatur mengani biaya-biaya operasi yang dapat di-recover dan perlakuan atas pajak penghasilan di hulu migas. Pemerintah tidak lagi menerapkan assume and discharge untuk semua pajak di luar pajak penghasilan pribadi dan perusahaan. PP ini juga mengatur pemberian fasilitas pembebasan pajak dalam rangka impor baik untuk PSC eksplorasi maupun eksploitasi serta berdampak pada mekanisme penghitungan PBB.

Dengan penghitungan yang dilakukan berdasarkan PP ini, industri hulu migas kaget ketika terjadi penilaian PBB di pertengahan 2013 untuk blok-blok eksplorasi. Pasalnya pajak PBB dibebankan untuk seluruh wilayah kerja dan bukan hanya bagian wilayah kerja yang aktif, meski sebenarnya berdasarkan konsep PSC, kontraktor tidak pernah memiliki lahan itu. Besaran pajak yang luar biasa ini sangat tidak rasional karena nilainya melebihi nilai total biaya untuk kegiatan eksplorasi selama 6 tahun tahap eksplorasi. Karena nilai yang sangat besar ini, kontraktor akan kesulitan dalam mempertahankan keekonomiannya dan tentunya meningkatkan risiko kegiatan eksplorasi.

PENGADILAN PAJAK

Atas pembebanan pajak yang luar biasa itulah dan setelah beberapa kali melakukan diskusi dengan SKK Migas dan kontraktor, Dirjen Pajak memberikan indikasi bahwa mereka melakukan pengisian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dengan cara yang kurang tepat yang berakibat pada kesalahan hitung atas PBB dan menghasilkan nilai PBB yang sangat besar. Karena hal ini terbentuklah sebuah konsensus untuk merevisi dan melaporkan kembali SPOP. Dirjen Pajak kemudian menerbitkan Surat Edaran DJP No. 46 tahun 2013 yang berisi tentang tata cara pengisian SPOP. Berdasarkan SE 46, para kontraktor migas merevisi dan melaporkan kembali SPOP melalui SKK Migas sesuai kesepakatan. Dirjen Pajak menanggapi dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, yang menyatakan pembayaran PBB jika ada, bisa dilakukan sebelum Desember 2013.

Sayangnya Dirjen Pajak tidak melaksanakan kesepakatan yang ada. Setelah kontraktor mengirim ulang SPOP sesuai SE. Dirjen Pajak tidak pernah mengeluarkan SPPT revisi sehingga tidak ada perubahan sama sekali mengenai jumlah PBB yang sangat besar yang telah dikenakan. Karenanya semua kontraktor yang terkena dampaknya telah mengajukan keberatan pajak yang direspons oleh Dirjen Pajak dengan mengeluarkan Surat Penolakan pada triwulan ke-IV 2014. Tidak ada jalan lain, kontraktor kemudian mengajukan banding.

Pada 31 Desember 2014, dengan tujuan untuk mendukung tahap eksplorasi minyak dan gas, Menkeu mengeluarkan peraturan No. 256/PMK.011/2014 (PMK 267) yang mengatur tentang pengurangan insentif PBB di sektor migas. Hal ini berlaku pada komponen sub-permukaan dengan besaran hingga 100% dari jumlah LBT pada komponen. Insentif ini sayangnya hanya berlaku untuk 2015 dan seterusnya dan tidak berlaku surut. Penerbitan SE 46 dan juga PMK 267 menunjukkan ketidakakuratan dari penerapan PBB pada eksplorasi migas.

KEN menilai kontraktor memang tidak memenuhi kualifikasi untuk dikenakan pajak. Sebagai kontraktor, mereka tidak memiliki objek pajak, pemerintahlah yang memiliki. Pada tahap eksplorasi, kontraktor memang mengambil manfaat atas tanah/air di wilayah kerja untuk mengambil data, yang sangat terbatas pada area tertentu saja.

Pada 2013, jumlah sumur eksplorasi yang dibor adalah 101 dari 253 yang telah direncanakan untuk tahun itu. Pada 2014 terjadi penurunan, dari 250 sumur eksplorasi yang direncanakan, hanya 83 sumur eksplorasi yang aktual. Di 2015, beberapa kontraktor memutuskan untuk menyerah dan tidak lagi mau melakukan usaha eksplorasi di Indonesia.

Lagi-lagi, kegagalan eksplorasi artinya kerugian investasi dan punitive taxes tidak akan pernah bisa ditarik kembali. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan Kepres No. 2/2012 soal peningkatan produksi nasional migas.

Saat ini, kontraktor yang terkena kasus ini sibuk terlibat dalam beberapa banding, padahal seharusnya mereka turun ke lapangan mencari minyak dan gas.

Aktivitas migas adalah investasi jangka panjang, maka dari itu sangat diperlukan kepastian dalam industri migas. Dengan tidak adanya kepastian hukum, investasi hulu migas di Indonesia akan dijauhi investor. Akibatnya, tidak ada cadangan baru yang akan ditemukan, produksi migas akan terus merosot, dan negara akan kehilangan banyak lahan pekerjaan dan potensi pendapatan dari sektor ini.

Sangatlah penting Pengadilan Pajak mempertimbangkan latar belakang sejarah penilaian PBB pada 2012 dan 2013, juga keakuratan penerapan PBB pada tahap eksplorasi. Hal ini dapat membantu pemerintah kembali mendapatkan kepercayaan.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Tax bills killing drive to find new reserves in Indonesia

Exploration is the key to future oil and gas production. Successful exploration starts with proper data acquisition and geological evaluation of the whole block, followed by the drilling of a few wells, hopefully with at least one discovery.

Dirilis pertama di The Jakarata Post.

Exploration is the key to future oil and gas production. Successful exploration starts with proper data acquisition and geological evaluation of the whole block, followed by the drilling of a few wells, hopefully with at least one discovery.


In Indonesia, it takes about 10 to 15 years from the initial exploration to the first production. Historically, the chance for exploration success is about seven to one.

Typically in Indonesia, oil and gas contractors spend a minimum of US$5 million (for an onshore block) to $30 million (for a shallow water block) during the whole six years of the exploration phase. All exploration risks and costs incurred are solely borne by the contractors, to be reimbursed only when production starts.

The Energy and Mineral Resources Ministry has established the National Exploration Committee. One of the non-technical problems that readily challenged this committee is the case of the land and building tax (LBT) on the concession areas of companies still in the exploration stage.

For years, under the production sharing contract (PSC) terms, the contractors liable for income taxes, either personal or corporate income tax, included therein the dividend tax. Other taxes such as value added tax on purchased or imported goods used to conduct petroleum operations is paid on behalf of government. Since the government assumes and discharges all the taxes mentioned above and the retributions imposed, contractors will get reimbursement against production.

In December 2010, Government Regulation No. 79/2010 was enacted. It regulates recoverable operating costs and income tax treatments in upstream oil and gas. The new regulation becomes the framework of the next generation of PSC terms and conditions. After Government Regulation No. 79/2010 the government will no longer assume and discharge any taxes outside individual and corporate income taxes.

This change has an impact on the overbooking mechanism of the LBT in the blocks awarded from the year 2011 onwards. Nonetheless, no explanation regarding the LBT and its magnitude was prepared by the tax office.

As a consequence, the oil and gas industry was shocked when LBT assessments were given for exploration blocks in the middle of 2013. For example, a company with an offshore working area of about 8,000 square kilometers was taxed $26 million, or equivalent to Rp 316 billion, for the 2012 to 2013 financial year, which breaks down to $25.82 million for the surface tax component and $0.180 million for the subsurface tax component. The LBT was imposed on the whole working area instead of just the utilized parts, even though the company, as contractors, never owns the offshore area (the owner remains the government and the companies act only as the contractors).

This extraordinary amount is quite irrational as it far exceeded the total cost for petroleum exploration operations for the whole six years of the exploration phase, which for that block amounted to about $18 million. With such a huge amount, it is unlikely that the company, or in this case any oil company, will be able to maintain its economic threshold, thereby increasing the exploration risk of their specific block.

After several discussions, the Upstream Oil and Gas Regulatory Special Task Force (SKKMigas), the Directorate General of Oil and Gas (Migas) and contractors and the Directorate General of Taxation (DGT) indicated potential errors in the calculation of the Tax Object Notification Letter (Surat Pemberitahuan Obyek Pajak '€” SPOP), which arguably led to a miscalculation of the LBT surface component and hence resulted in such an extraordinary figure. A consensus was then reached to revise and resubmit the SPOP.

As follow up, the DGT issued Circular Letter (SE DJP 46 Tahun 2013), which provides guidance in filling out the SPOP. With this specific guidance, contractors revised and resubmitted the SPOP through SKKMigas. In response, the DGT Office originally planned to issue the revised Notification of Tax Due (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang '€” SPPT), paying special attention to the surface component.

Nonetheless, the resolution as promised by the DGT was not implemented. After contractors resubmitted the SPOP following the Circular Letter, the DGT never issued the revised SPPT and against instructions from SE46 no change was made to the very large amounts of the imposed LBT.

As there was no certainty on the resolution, all affected contractors filed tax objections and the DGT office responded by issuing rejection letters in the fourth quarter of 2014. Having no other alternative left, contractors proceeded to appeal the case to the tax court later in 2014 '€” each of them on an individual basis, block by block.

On Dec. 31, 2014, aiming to support the mining of oil and gas at the exploration stage, the minister of finance issued Regulation No. 267/PMK.011/2014 (PMK 267) that provides LBT reduction incentive for the oil and gas sector. It is granted on the sub-surface component and can amount to up to 100 percent of the LBT due on that component. The incentive is unfortunately only applicable for the year 2015 onwards and is not retroactive.

The issuance of SE 46 circular as well as PMK 267 ministerial decree by themselves expressed the inaccuracy in the LBT application on the oil and gas exploration. This view was also actually shared by Finance Minister Bambang Brodjonegoro when he gave his opinion to the BeritaSatu news service in January in his office, stating that '€œWe are actually wrong in imposing LBT tax on the exploration phase. How can we impose tax on something that does not exist yet?'€

Furthermore, we believe contractors actually do not qualify to be taxed since, as contractors, they do not own the tax object (in this case the land/water and building), the government does. During the exploration phase, contractors do utilize the land/water to acquire data, but only an extremely limited area of it.

This issue has impacted the industry as can be detected from the decrease in the number of exploration efforts. In 2013, the number of exploration wells that were actually drilled was 101, much less than the 258 wells planned. While in 2014 the number of exploration wells that were actually drilled dropped to 83 from the 250 planned. In 2015, some contractors decided to give up their exploration efforts in Indonesia.

Again, a lack of success in exploration means all investment is lost and such punitive taxes can never be earned back. This, of course, is not in line with the Presidential Decree No. 2 of 2012 concerning an increase in national oil and gas production.

At present time, the affected contractors are involved in multiple appeals in the Tax Court rather than out searching for oil and gas like they should be. Their management and shareholders are confused about how such a mistake could take place for such a long period and wonder what the future might bring.

Oil and gas activities are long-term investments and thus legal certainty in the oil and gas industry is a necessity. With the absence of legal certainty, the investors would shun upstream oil and gas investment in Indonesia. Consequently, no new reserves will be discovered, production of oil and natural gas will continue to decline and the country will lose many jobs and potential revenues from the oil and gas sector.

It is vitally important that the ongoing Tax Court consider the background history of 2012 and 2013 LBT assessment as well as the accuracy of the LBT application in oil and gas exploration to help the government regain contractor trust so they continue their tireless effort to explore and discover the mineral treasures of the country.

The prosperity of the nation depends on this treasure.

Read More