Blok Migas Habis Kontrak dan BUMD
Dirilis pertama di Koran Tempo.
Kamis, 25 Februari 2016: Halaman 11.
Mengantisipasi berakhirnya kontrak-kontrak blok migas produksi secara berurutan dalam jumlah besar, pemerintah sigap menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15/2015 pada 11 Mei 2015. Totalnya ada kontrak 28 blok yang akan berakhir dalam kurun 2015-2021.
Aturan itu pula yang konon mulai diterapkan dalam negosiasi-negosiasi terkait dengan perpanjangan kontrak Blok Pertamina Hulu Energi Offshore North West Jawa (PHE-ONWJ) yang kontraknya akan berakhir pada 19 Januari 2017. Aturan ini juga dipakai dalam alih kelola Blok Mahakam dari Total ke Pertamina. Blok Mahakam habis kontraknya pada 31 Desember 2017.
Beberapa klausul dalam peraturan menteri tersebut yang patut diacungi jempol adalah, (1) pengutamaan Pertamina sebagai pengambil alih kelola, (2) penjaminan hak badan usaha milik daerah (BUMD) untuk ikut dalam participating interest (PI) pengelolaan, dan (3) adanya kewajiban masa transisi. Kontraktor wajib membantu calon operator selanjutnya dalam masa transisi sebelum kontrak berakhir supaya alih kelola berjalan mulus.
Terkait dengan keterlibatan BUMD dalam participating interest pengelolaan blok migas sebenarnya sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004. Tapi peraturan ini berlaku khusus untuk blok baru yang berhasil menemukan cadangan baru dan sudah disetujui plan of development (POD)-nya. Pada blok-blok tersebut—meski risiko eksplorasi relatif sudah kecil atau bahkan tidak ada kalau tidak mengebor sumur eksplorasi lagi—risiko pengembangan lapangan masih ada. Risiko itulah yang harus dikelola oleh operator dan para partner participating interest-nya, termasuk BUMD. Itu kalau memang BUMD masuk di blok-blok seperti itu.
Paling tidak, ada dua poin yang perlu diteliti pada peraturan tadi yang berkaitan dengan BUMD dan prinsip perbedaan antara blok-blok POD baru dan blok-blok habis kontrak. Pertama, definisi BUMD, dan kedua, besaran participating interest yang diperbolehkan untuk diambil oleh BUMD.
Definisi pada Pasal 1 ayat 6 menyebutkan BUMD adalah badan usaha yang seluruh kepemilikan sahamnya atau 100 persen dimiliki oleh pemerintah daerah. Definisi BUMD penerima interest tersebut menyulitkan BUMD memenuhi kewajiban penyediaan dana sebagai pemilik interest migas, karena pada umumnya penyertaan modal pemda dalam BUMD besarannya tidak terlalu signifikan dibanding kebutuhan pendanaan dari suatu operasi perminyakan. Ini terjadi bukan saja untuk blok-blok POD baru, tapi juga untuk blok-blok produksi yang sudah habis kontrak.
Alternatif sumber pendanaan lainnya adalah meminjam, tapi untuk pinjaman pun dibutuhkan penjaminan aset cukup besar yang tidak mungkin BUMD penuhi. Cara yang paling mungkin adalah menggandeng mitra pendana dalam bentuk joint venture. Masalahnya, opsi ini dilarang dalam peraturan itu.
Penguncian definisi BUMD pada peraturan menteri itu lebih ketat daripada definisi BUMD yang ditetapkan Peraturan Pemerintah 35/2004 yang membolehkan BUMD bekerja sama dengan pihak swasta asalkan mayoritas saham masih di tangan BUMD. Patut diduga pendefinisian ini berkaitan dengan sinyalemen beberapa pejabat negara, dan bahkan akhir-akhir ini KPK, yang tidak menginginkan terjadi lagi kasus BUMD dirugikan ketika bekerja sama dengan swasta.
Yang sering dijadikan contoh adalah kasus divestasi saham PT Newmont kepada BUMD Daerah Maju Bersaing yang seolah-olah saham BUMD digadaikan oleh investor untuk mencari pinjaman. Juga penyebutan “kasus” BUMD Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam pengelolaan Blok Cepu yang seolah-olah sampai beberapa tahun di awal tidak ada serupiah pun dana mengalir ke APBD dari dividen PI tersebut.
Apa yang terjadi pada kasus-kasus di atas tentu tidak terlepas dari aspek legal bisnis perjanjian telah disepakati antara BUMD dan swasta. Jika hal tersebut dirasa merugikan BUMD, persoalan utamanya adalah lemahnya BUMD dalam proses dealing dengan mitranya. Apa yang berkembang di luar masyarakat sungguh luar biasa: terjadi persepsi bahwa seluruh BUMD merupakan BUMD yang tidak profesional dan cenderung “dikerjain” oleh mitranya. Bahkan mitra BUMD dianggap sebagai “pemburu rente” semata.
Akan lebih baik jika definisi BUMD pada peraturan menteri itu diubah menjadi seperti yang diamanatkan oleh UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.
Lalu upaya apa yang bisa dilakukan agar BUMD tidak dikerjain mitranya? Upaya lebih baik yang bisa dilakukan adalah pemerintah bisa mendorong BUMN atau konsultan nasional untuk menawarkan bantuan jasa konsultasi atau pendampingan kepada BUMD agar dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemilik interest blok migas, terutama dalam hal pendanaan. Juga jasa pendampingan dalam bernegosiasi dengan calon mitra BUMD, baik BUMN maupun swasta.
Selain itu, pemerintah bisa mendorong BUMN untuk menjadi salah satu calon alternatif mitra BUMD. Hal lain yang perlu ditilik dalam Peraturan Menteri 15/2015 adalah mengenai porsi BUMD, yang dibatasi hanya maksimal 10 persen. ADPM telah mengusulkan kepada pemerintah bahwa porsi BUMD pada blok migas yang habis kontraknya adalah minimal 15 persen.
Blok migas yang habis masa kontraknya merupakan blok migas “sisa” dari kontraktor yang telah mengeksplorasi dan mengeksploitasi selama 30 tahun, bahkan 50 tahun untuk blok yang telah diperpanjang kontraknya. Wajar jika daerah mendapatkan porsi yang besar, karena risiko sudah semakin mengecil dan sudah terlalu lama pihak “lain” menikmati bisnis komoditas energi yang notabene lokasinya di daerah tersebut. Sudah saatnya daerah diberikan privilege lebih besar.