Blok Migas Habis Kontrak dan BUMD
Mengantisipasi berakhirnya kontrak-kontrak blok migas produksi secara berurutan dalam jumlah besar, pemerintah sigap menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15/2015 pada 11 Mei 2015. Totalnya ada kontrak 28 blok yang akan berakhir dalam kurun 2015-2021.
Dirilis pertama di Koran Tempo.
Kamis, 25 Februari 2016: Halaman 11.
Mengantisipasi berakhirnya kontrak-kontrak blok migas produksi secara berurutan dalam jumlah besar, pemerintah sigap menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15/2015 pada 11 Mei 2015. Totalnya ada kontrak 28 blok yang akan berakhir dalam kurun 2015-2021.
Aturan itu pula yang konon mulai diterapkan dalam negosiasi-negosiasi terkait dengan perpanjangan kontrak Blok Pertamina Hulu Energi Offshore North West Jawa (PHE-ONWJ) yang kontraknya akan berakhir pada 19 Januari 2017. Aturan ini juga dipakai dalam alih kelola Blok Mahakam dari Total ke Pertamina. Blok Mahakam habis kontraknya pada 31 Desember 2017.
Beberapa klausul dalam peraturan menteri tersebut yang patut diacungi jempol adalah, (1) pengutamaan Pertamina sebagai pengambil alih kelola, (2) penjaminan hak badan usaha milik daerah (BUMD) untuk ikut dalam participating interest (PI) pengelolaan, dan (3) adanya kewajiban masa transisi. Kontraktor wajib membantu calon operator selanjutnya dalam masa transisi sebelum kontrak berakhir supaya alih kelola berjalan mulus.
Terkait dengan keterlibatan BUMD dalam participating interest pengelolaan blok migas sebenarnya sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004. Tapi peraturan ini berlaku khusus untuk blok baru yang berhasil menemukan cadangan baru dan sudah disetujui plan of development (POD)-nya. Pada blok-blok tersebut—meski risiko eksplorasi relatif sudah kecil atau bahkan tidak ada kalau tidak mengebor sumur eksplorasi lagi—risiko pengembangan lapangan masih ada. Risiko itulah yang harus dikelola oleh operator dan para partner participating interest-nya, termasuk BUMD. Itu kalau memang BUMD masuk di blok-blok seperti itu.
Paling tidak, ada dua poin yang perlu diteliti pada peraturan tadi yang berkaitan dengan BUMD dan prinsip perbedaan antara blok-blok POD baru dan blok-blok habis kontrak. Pertama, definisi BUMD, dan kedua, besaran participating interest yang diperbolehkan untuk diambil oleh BUMD.
Definisi pada Pasal 1 ayat 6 menyebutkan BUMD adalah badan usaha yang seluruh kepemilikan sahamnya atau 100 persen dimiliki oleh pemerintah daerah. Definisi BUMD penerima interest tersebut menyulitkan BUMD memenuhi kewajiban penyediaan dana sebagai pemilik interest migas, karena pada umumnya penyertaan modal pemda dalam BUMD besarannya tidak terlalu signifikan dibanding kebutuhan pendanaan dari suatu operasi perminyakan. Ini terjadi bukan saja untuk blok-blok POD baru, tapi juga untuk blok-blok produksi yang sudah habis kontrak.
Alternatif sumber pendanaan lainnya adalah meminjam, tapi untuk pinjaman pun dibutuhkan penjaminan aset cukup besar yang tidak mungkin BUMD penuhi. Cara yang paling mungkin adalah menggandeng mitra pendana dalam bentuk joint venture. Masalahnya, opsi ini dilarang dalam peraturan itu.
Penguncian definisi BUMD pada peraturan menteri itu lebih ketat daripada definisi BUMD yang ditetapkan Peraturan Pemerintah 35/2004 yang membolehkan BUMD bekerja sama dengan pihak swasta asalkan mayoritas saham masih di tangan BUMD. Patut diduga pendefinisian ini berkaitan dengan sinyalemen beberapa pejabat negara, dan bahkan akhir-akhir ini KPK, yang tidak menginginkan terjadi lagi kasus BUMD dirugikan ketika bekerja sama dengan swasta.
Yang sering dijadikan contoh adalah kasus divestasi saham PT Newmont kepada BUMD Daerah Maju Bersaing yang seolah-olah saham BUMD digadaikan oleh investor untuk mencari pinjaman. Juga penyebutan “kasus” BUMD Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam pengelolaan Blok Cepu yang seolah-olah sampai beberapa tahun di awal tidak ada serupiah pun dana mengalir ke APBD dari dividen PI tersebut.
Apa yang terjadi pada kasus-kasus di atas tentu tidak terlepas dari aspek legal bisnis perjanjian telah disepakati antara BUMD dan swasta. Jika hal tersebut dirasa merugikan BUMD, persoalan utamanya adalah lemahnya BUMD dalam proses dealing dengan mitranya. Apa yang berkembang di luar masyarakat sungguh luar biasa: terjadi persepsi bahwa seluruh BUMD merupakan BUMD yang tidak profesional dan cenderung “dikerjain” oleh mitranya. Bahkan mitra BUMD dianggap sebagai “pemburu rente” semata.
Akan lebih baik jika definisi BUMD pada peraturan menteri itu diubah menjadi seperti yang diamanatkan oleh UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.
Lalu upaya apa yang bisa dilakukan agar BUMD tidak dikerjain mitranya? Upaya lebih baik yang bisa dilakukan adalah pemerintah bisa mendorong BUMN atau konsultan nasional untuk menawarkan bantuan jasa konsultasi atau pendampingan kepada BUMD agar dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemilik interest blok migas, terutama dalam hal pendanaan. Juga jasa pendampingan dalam bernegosiasi dengan calon mitra BUMD, baik BUMN maupun swasta.
Selain itu, pemerintah bisa mendorong BUMN untuk menjadi salah satu calon alternatif mitra BUMD. Hal lain yang perlu ditilik dalam Peraturan Menteri 15/2015 adalah mengenai porsi BUMD, yang dibatasi hanya maksimal 10 persen. ADPM telah mengusulkan kepada pemerintah bahwa porsi BUMD pada blok migas yang habis kontraknya adalah minimal 15 persen.
Blok migas yang habis masa kontraknya merupakan blok migas “sisa” dari kontraktor yang telah mengeksplorasi dan mengeksploitasi selama 30 tahun, bahkan 50 tahun untuk blok yang telah diperpanjang kontraknya. Wajar jika daerah mendapatkan porsi yang besar, karena risiko sudah semakin mengecil dan sudah terlalu lama pihak “lain” menikmati bisnis komoditas energi yang notabene lokasinya di daerah tersebut. Sudah saatnya daerah diberikan privilege lebih besar.
Dari Pembicaraanku dengan Yudi Idoy, GEA81
Di atas kertas, konsep IP-10% untuk BUMD itu indah: Menyejahterakan rakyat di daerah. Tapi pada kenyataannya? Lihat blok Cepu, susah-susah IAGI waktu itu bantu menghitung IP10% untuk daerah-daerah sampai sekian angka di belakang koma, jatuhnya ke pak Brewok dan kawan-kawan pengusaha swasta juga.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Di atas kertas, konsep IP-10% untuk BUMD itu indah: Menyejahterakan rakyat di daerah. Tapi pada kenyataannya? Lihat blok Cepu, susah-susah IAGI waktu itu bantu menghitung IP10% untuk daerah-daerah sampai sekian angka di belakang koma, jatuhnya ke pak Brewok dan kawan-kawan pengusaha swasta juga.
Freeport Masela, Newmont dan lain-lain termasuk W Madura, di mana tiba-tiba secara ajaib muncul Sinergindo dan Purelink (untung dua yang terakhir itu pada mundur malu karena ditereakin).
Nanti di Blok Mahakam juga. Kita sudah capek-capek teriak soal hak daerah, khawatirnya yang disebut “daerah" itu nantinya cuma bagian dari warna pelangi bisnisnya partai-partai di migas. Soalnya merah sudah curi start di migas, masak biru diam saja, kuning yang sejatinya pengusaha gak mungkin juga tinggal diam di Mahakam.
Jadi yang sebenarnya disebut untuk kesejahteraan rakyat itu, "rakyat" yang mana? BUMD yang mana?
Selalu saja ada celah yang memungkinkan maksud baik regulasi itu dimonetisasi dan dijadikan bargaining jangka pendek oleh penguasa daerah yang orientasinya juga sempit (dan ditunggangi juga oleh sekutu-sekutu politik penguasa daerah itu di pusat untuk kepentingan golongan).
Setiap kali kita berusaha untuk memberdayakan daerah dengan lebih menekankan proses pada pembangunan-penyiapan BUMDnya, seringnya aparat penguasa setempat ogah-ogahan merespon. Malah mereka menyerahkan semua urusan pada perusahaan partner BUMD yang notabene adalah bentukan pentolan-pentolan partai yang didanai konglomerat-konglomerat lulusan BLBI dan dijalankan oleh pensiunan-pensiunan Pertamina/PSC-PSC.
Dengan pola seperti itu, daerah tidak akan mendapatkan manfaat yang maksimal dari privilege yang diperolehnya dalam PP tentang IP 10% dan sebagainya. Yang dapat manfaat banyak justru kumpeni-kumpeni partner BUMD yang notabene adalah kendaraan para politisi partai para konglomerat dan sebagian profesional-profesional migas pensiunan...
Daerah dapat juga sedikit tetesan, yang biasanya sudah di-ijon oleh pimpinan daerahnya karena asas quick yielding dan singkatnya masa berkuasa mereka.
Di tengah pesimisme situasi seperti ku amati di atas, boleh saja kita optimis dan anggap itu semua transisional. Suatu saat nanti mudah-mudahan benar-benar si BUMDnya yang ambil alih melalui proses pembelajaran yang cukup panjang. Tapi syaratnya: ya itu tadi: BUMD harus benar-benar dihidupkan, bukan sekadar dijadikan simbol dan alat, harus ada yang terus teriak!
(Dan pada gilirannya ketika BUMD juga sudah OK dan berkiprah, mungkin saja hal yang sama soal keterwakilan kepentingan rakyat di dalamnya terulang lagi seperti ketimpangan yang sekarang terjadi pada kiprah BUMN jika dikaitkan dengan realitas kesejahteraan rakyat yang semakin sayup-sayup sampai). Tabiiiiik!!!!
Tapi tetaplah percaya pada maksud baik, hari esok, dan suara hati. InsyaAllah gusti Allah akan membantu kita. Amiin
Cepu, Oh, Cepu.. PI, Oh, PI..
Ada kesan bahwa usaha untuk membagi rezeki minyak bumi lebih merata ke daerah terlalu njlimet bagi logika sederhana: ”...begitu minyak nglocor, duit investasi-ku harus langsung balik..”. Seolah-olah tidak ada konsep pay-out time, kalau memang yang diminta adalah keuntungan.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Renungan menjelang akhir tahun untuk daerah-daerah penghasil migas.)
Coba simak gonjang-ganjing Participating Interest bagi BUMD/Perusda yang jadi semangat PP34/2005 ini. Coba lihat pelaksanaannya di lapangan sampai ke fase-fase produksi awal seperti terbaca dari berita di lampiran-lampiran berikut. Ada kesan bahwa usaha untuk membagi rezeki minyak bumi lebih merata ke daerah terlalu njlimet bagi logika sederhana: ”...begitu minyak nglocor, duit investasi-ku harus langsung balik..”. Seolah-olah tidak ada konsep pay-out time, kalau memang yang diminta adalah keuntungan. Kalangan profesional di asosiasi-asosiasi profesi harus terus bergerak untuk menyeimbangkan cara-cara berfikir birokrat seperti itu dengan pebisnis yang mengikuti kaidah-kaidah perjanjian kontrak bisnis tertentu. Pelaksanaan PI sudah mulai menuai buahnya, dan sekaligus konflik-konflik-nya.
Belum lagi komplikasi soal bagi-hasil pusat-daerah yang berasal dari FTP (10% dari produksi diambil oleh GOI tanpa di-split dengan kontraktor), yang nantinya dihitung realisasinya pada akhir-akhir tahun ini (atau malahan semester pertama 2010). Kontrol pada jumlah entitlement itu, baik yang untuk ”daerah” sebagai bagian dari skema pusat-daerah-nya GOI, maupun sebagai bagian dari BUMD yang ikut ambil bagian dari PI 10%, mestinya bisa dilakukan oleh ”daerah” dengan dipegangnya PI 10% oleh mereka dan melekat dalam kewajiban cash-call-nya yang selama ini juga jadi beban mereka. Ke mana kontrol itu? Koq, sampai-sampai para Gubernur harus memanggil operator-operator untuk menjelaskannya langsung ke mereka tentang A-Z-nya bagi hasil tersebut.
Kesemuanya ini sebenarnya juga tak lepas dari berlarut-larutnya masalah realisasi pemenuhan PI-10% oleh pihak-pihak BUMD yang notabene di-back up oleh pengusaha-pengusaha swasta di Indonesia, yang kabarnya baru beres Januari 2009 awal tahun ini. Padahal sebenarnya awal 2006 (tiga tahun sebelumnya) urusan pembagian jatah PI-10% itu seolah-olah sudah beres dengan ditandatanganinya kesepakatan empat BUMD dan empat Kepala Daerah (Jawa Tengah, Jawa Timur, Blora, Bojonegoro). Rupanya perjalanan-nya harus menempuh tiga tahun sampai semuanya bisa memenuhi kewajibannya; baik karena back up-nya collapsed karena krisis, atau karena ribut soal pembagian-pembagian antara back up dengan BUMD sendiri yang berlarut-larut. Mari kita semua belajar dari kasus PI-10% Cepu Block ini. Usahakan ke depannya, dalam pemenuhan PI-10%, daerah/BUMD juga harus serius dan taat tata waktu sehingga tidak membuat semuanya molor-molor. Harus siap jauh-jauh hari sebelumnya: dan itu sangat mungkin dilakukan, yaitu ketika PSC yang bersangkutan sedang melakukan eksplorasinya: ancang-ancang perlu dilakukan oleh daerah-daerah.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri juga bahwa secara teknis dan non-teknis operator Block Cepu ini banyak mengalami kendala. Mestinya untuk perusahaan se-global Exxon Mobil masalah-masalah seperti yang terjadi selama itu, yaitu dari discovery 2001, perpanjangan kontrak (perubahan kontrak) 2005/2006, sampai first oil August 2009 bisa mereka atasi dengan sigap dan segera. Ini juga yang sering dikeluhkan oleh BPMigas menyangkut soal keterlambatan first oil mereka (lucu juga ya: BPMigas yang notabene wakil penguasa / pemerintah kita untuk mengawasi dan meng-enforce kontrak-kontak migas, ternyata mengeluh kesulitan mengawasi, mengontrol, memaksa kontraktornya untuk segera berproduksi...) Butuh waktu yang luar biasa lamanya (delapan tahun dari discovery, tiga tahun dari POD approval) untuk mulai menglocorkan minyak komersial dari Block Cepu yang dalam (yang dangkal-dangkal sich dah nglocor dari dulu-dulu).
Kalau sekarang kita sudah kesulitan mengelola kontrak ”giant field” awakening dari old depleting fields seperti di Cepu ini, perlu segera introspeksi dan berbenah: karena masih akan banyak ”Cepu-Cepu baru” ditemukan di bawah ”Cepu-Cepu lama” di seluruh Indonesia. Jangan sampai mereka amburadul di awal-awalnya seperti Block Cepu ini.