Tentang Permen
Jumlah Peraturan Menteri (Permen) ESDM selama 13 tahun dari 2005 – akhir 2017 adalah 496 Permen; di mana 19% di antaranya (yaitu 95 Permen) sudah dicabut. Jadi, Permen aktifnya “tinggal” sejumlah 401.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Tentang Permen (1)
Jumlah Peraturan Menteri (Permen) ESDM selama 13 tahun dari 2005 – akhir 2017 adalah 496 Permen; di mana 19% di antaranya (yaitu 95 Permen) sudah dicabut. Jadi, Permen aktifnya “tinggal” sejumlah 401.
Rekor pembuatan Permen terbanyak persatuan waktu dipegang oleh Menteri Ignasius Jonan yang sejak menjabat Oktober 2016 – 31 Desember 2017 mengeluarkan 68 Permen dalam 14 bulan. Artinya, hampir lima Permen tiap bulan ditandatanganinya.
Rekor kedua dipegang Menteri Purnomo Yusgiantoro di tahun 2006 yaitu 56 Permen dalam 12 bulan alias 4,6 Permen tiap bulan.
Rekor paling sedikit Permen dibuat oleh Menteri Darwin 2010 dan 2011. Hanya 39 Permen dalam dua tahun atau 1,6 Permen rata-rata tiap bulan dia bikin. Rupanya Menteri Darwin gak suka bikin Permen-Permenan.
Rekor pencabutan Permen pada tahun yang sama juga dipegang oleh Menteri Jonan yaitu empat Permen dicabut dan diganti dengan Permen lain waktu belum setahun ditandatangani.
Dan wacana terbarunya, di tahun 2018 ini pak Menteri akan mencabut lagi 40 Permen yang pernah dibikin ESDM. Wowwww.... Mantaaabh.
Kita bisa melihat betapa dinamisnya eksperimen para pemimpin pengelola sektor energi kita akhir-akhir ini. Mari kita jaga dan doakan sama-sama supaya eksperimen-eksperimen mereka, proses belajar mereka, main-main mereka tidak berlama-lama sehingga tidak memakan korban menggerogoti ketahanan energi kita di masa depan.
Tentang Permen (2)
Permen (GS dan revisinya) itu manis di mulut, tapi masih belum bisa bikin eksplorasi yang mati suri tiga tahun kemarin ini bangkit berdiri.
Karena yang dibutuhkan bukan sekadar gula manis di lidah tapi juga asupan bergizi to the core of eksplorasi, sehingga potensi-potensi lead & prospek yang ada di tubuh yang mati suri itu bisa menggeliat, berdiri, dan kalau perlu langsung berlari.
RUU Migas masih tersandera, revisi PP35/2004 masih belum jelas gizinya bagaimana, dan aturan peralihan untuk existing PSC yang serupa enzim yang mengubah gula-gula di mulut jadi energi masih juga belum dilengkapi.
Mungkin kita harus lebih sabar lagi menunggu para penanggung jawab urusan energi ini belajar lebih mengerti anatomi eksplorasi.
Berita Terkait:
Blok Migas Habis Kontrak dan BUMD
Mengantisipasi berakhirnya kontrak-kontrak blok migas produksi secara berurutan dalam jumlah besar, pemerintah sigap menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15/2015 pada 11 Mei 2015. Totalnya ada kontrak 28 blok yang akan berakhir dalam kurun 2015-2021.
Dirilis pertama di Koran Tempo.
Kamis, 25 Februari 2016: Halaman 11.
Mengantisipasi berakhirnya kontrak-kontrak blok migas produksi secara berurutan dalam jumlah besar, pemerintah sigap menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15/2015 pada 11 Mei 2015. Totalnya ada kontrak 28 blok yang akan berakhir dalam kurun 2015-2021.
Aturan itu pula yang konon mulai diterapkan dalam negosiasi-negosiasi terkait dengan perpanjangan kontrak Blok Pertamina Hulu Energi Offshore North West Jawa (PHE-ONWJ) yang kontraknya akan berakhir pada 19 Januari 2017. Aturan ini juga dipakai dalam alih kelola Blok Mahakam dari Total ke Pertamina. Blok Mahakam habis kontraknya pada 31 Desember 2017.
Beberapa klausul dalam peraturan menteri tersebut yang patut diacungi jempol adalah, (1) pengutamaan Pertamina sebagai pengambil alih kelola, (2) penjaminan hak badan usaha milik daerah (BUMD) untuk ikut dalam participating interest (PI) pengelolaan, dan (3) adanya kewajiban masa transisi. Kontraktor wajib membantu calon operator selanjutnya dalam masa transisi sebelum kontrak berakhir supaya alih kelola berjalan mulus.
Terkait dengan keterlibatan BUMD dalam participating interest pengelolaan blok migas sebenarnya sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004. Tapi peraturan ini berlaku khusus untuk blok baru yang berhasil menemukan cadangan baru dan sudah disetujui plan of development (POD)-nya. Pada blok-blok tersebut—meski risiko eksplorasi relatif sudah kecil atau bahkan tidak ada kalau tidak mengebor sumur eksplorasi lagi—risiko pengembangan lapangan masih ada. Risiko itulah yang harus dikelola oleh operator dan para partner participating interest-nya, termasuk BUMD. Itu kalau memang BUMD masuk di blok-blok seperti itu.
Paling tidak, ada dua poin yang perlu diteliti pada peraturan tadi yang berkaitan dengan BUMD dan prinsip perbedaan antara blok-blok POD baru dan blok-blok habis kontrak. Pertama, definisi BUMD, dan kedua, besaran participating interest yang diperbolehkan untuk diambil oleh BUMD.
Definisi pada Pasal 1 ayat 6 menyebutkan BUMD adalah badan usaha yang seluruh kepemilikan sahamnya atau 100 persen dimiliki oleh pemerintah daerah. Definisi BUMD penerima interest tersebut menyulitkan BUMD memenuhi kewajiban penyediaan dana sebagai pemilik interest migas, karena pada umumnya penyertaan modal pemda dalam BUMD besarannya tidak terlalu signifikan dibanding kebutuhan pendanaan dari suatu operasi perminyakan. Ini terjadi bukan saja untuk blok-blok POD baru, tapi juga untuk blok-blok produksi yang sudah habis kontrak.
Alternatif sumber pendanaan lainnya adalah meminjam, tapi untuk pinjaman pun dibutuhkan penjaminan aset cukup besar yang tidak mungkin BUMD penuhi. Cara yang paling mungkin adalah menggandeng mitra pendana dalam bentuk joint venture. Masalahnya, opsi ini dilarang dalam peraturan itu.
Penguncian definisi BUMD pada peraturan menteri itu lebih ketat daripada definisi BUMD yang ditetapkan Peraturan Pemerintah 35/2004 yang membolehkan BUMD bekerja sama dengan pihak swasta asalkan mayoritas saham masih di tangan BUMD. Patut diduga pendefinisian ini berkaitan dengan sinyalemen beberapa pejabat negara, dan bahkan akhir-akhir ini KPK, yang tidak menginginkan terjadi lagi kasus BUMD dirugikan ketika bekerja sama dengan swasta.
Yang sering dijadikan contoh adalah kasus divestasi saham PT Newmont kepada BUMD Daerah Maju Bersaing yang seolah-olah saham BUMD digadaikan oleh investor untuk mencari pinjaman. Juga penyebutan “kasus” BUMD Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam pengelolaan Blok Cepu yang seolah-olah sampai beberapa tahun di awal tidak ada serupiah pun dana mengalir ke APBD dari dividen PI tersebut.
Apa yang terjadi pada kasus-kasus di atas tentu tidak terlepas dari aspek legal bisnis perjanjian telah disepakati antara BUMD dan swasta. Jika hal tersebut dirasa merugikan BUMD, persoalan utamanya adalah lemahnya BUMD dalam proses dealing dengan mitranya. Apa yang berkembang di luar masyarakat sungguh luar biasa: terjadi persepsi bahwa seluruh BUMD merupakan BUMD yang tidak profesional dan cenderung “dikerjain” oleh mitranya. Bahkan mitra BUMD dianggap sebagai “pemburu rente” semata.
Akan lebih baik jika definisi BUMD pada peraturan menteri itu diubah menjadi seperti yang diamanatkan oleh UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.
Lalu upaya apa yang bisa dilakukan agar BUMD tidak dikerjain mitranya? Upaya lebih baik yang bisa dilakukan adalah pemerintah bisa mendorong BUMN atau konsultan nasional untuk menawarkan bantuan jasa konsultasi atau pendampingan kepada BUMD agar dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemilik interest blok migas, terutama dalam hal pendanaan. Juga jasa pendampingan dalam bernegosiasi dengan calon mitra BUMD, baik BUMN maupun swasta.
Selain itu, pemerintah bisa mendorong BUMN untuk menjadi salah satu calon alternatif mitra BUMD. Hal lain yang perlu ditilik dalam Peraturan Menteri 15/2015 adalah mengenai porsi BUMD, yang dibatasi hanya maksimal 10 persen. ADPM telah mengusulkan kepada pemerintah bahwa porsi BUMD pada blok migas yang habis kontraknya adalah minimal 15 persen.
Blok migas yang habis masa kontraknya merupakan blok migas “sisa” dari kontraktor yang telah mengeksplorasi dan mengeksploitasi selama 30 tahun, bahkan 50 tahun untuk blok yang telah diperpanjang kontraknya. Wajar jika daerah mendapatkan porsi yang besar, karena risiko sudah semakin mengecil dan sudah terlalu lama pihak “lain” menikmati bisnis komoditas energi yang notabene lokasinya di daerah tersebut. Sudah saatnya daerah diberikan privilege lebih besar.
(Habisnya Kontrak-kontrak Blok-blok Produksi Migas)
Janganlah pernah lagi berniat main-main dengan membuat Permen, apalagi Perpres atau (keterlaluan kalau sampai) PP, seperti dulu PP35/2004 dan PP 34/2005 untuk melegalkan jatuhnya Blok Cepu ke operator asin, tentang PERPANJANGAN KONTRAK!!!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Karena aturan perjanjian dalam PSC/KKKS itu sudah sangat-sangat jelas dalam masalah habisnya kontrak-kontrak blok-blok produksi migas; yaitu blok sepenuhnya kembali ke Pemerintah dan tidak ada kewajiban apapun dari Pemerintah dan tidak ada hak apapun dari kontraktor terkait dengan perpanjangan kontrak, dan terserah 100% kepada Pemerintah untuk memberikan blok produksi itu ke siapa saja yang dikehendaki, maka….
Janganlah pernah lagi berniat main-main dengan membuat Permen, apalagi Perpres atau (keterlaluan kalau sampai) PP, seperti dulu PP 35/2004 dan PP 34/2005 untuk melegalkan jatuhnya Blok Cepu ke operator asin, tentang PERPANJANGAN KONTRAK!!!
Kalau niat nurani bersih, insyaAllah tindakan mengatur negara - pemerintahan juga bersih dan di-ridho-i.
Kalau alasannya karena khawatir tangan sendiri tak mampu mengelola blok produksi yang sudah tinggal panen dengan risiko yang sangat bisa dimitigasi dengan ilmu dan pengalaman selama ini, lebih baik mundur dan kasih kesempatan yang lebih punya ilmu dan pengalaman dan tangan yang lebih kuat dan mampu untuk menangani!!!!
Tentang Rembesan Minyak dan Lainnya
Assalamualaikum.. Selamat berbuka puasa. Maaf menggangu, mas. Di sumur nenek saya di Bayah keluar minyak, terus sekitar lima hari yang lalu ada orang dari salah satu PT pertambangan minyak ngebor dan diambil sampelnya sedalam 30 meter. Terus saya juga bawa sampel itu..
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Assalamualaikum.. Selamat berbuka puasa. Maaf menggangu, mas. Di sumur nenek saya di Bayah keluar minyak, terus sekitar lima hari yang lalu ada orang dari salah satu PT pertambangan minyak ngebor dan diambil sampelnya sedalam 30 meter. Terus saya juga bawa sampel itu..
Woww, info yang menarik. Karena selama ini rembesan-rembesan minyak di Bayah dan Rangkas yang didata waktu jaman Belanda (di laporan-laporan Belanda) pada umumnya sulit dilokalisir lagi di mana keterdapatannya, kalaupun ketemu tinggal bekas-bekasnya saja yang mengering. Kalau benar itu sumur neneknya "dari dulu" keluar minyak kayaknya kecil kemungkinan. Mungkin baru-baru saja. Bayah adalah daerah konsesinya M3-nergy UjungKulon Block, saya akan coba cek apakah orang mereka yang ngebor dan bawa sampel itu...
Mantab mas Andang, inginnya kita dapat bagi hasil produksinya baiknya bagaimana mas ?
Kayaknya kecil kemungkinan itu bisa bagi hasil, karena kalaupun diproduksi, nantinya tidak mungkin diproduksi dari sumur/rembesan tersebut, dan sistim pengusahaan migas Indonesia tidak mengenal milik pribadi dalam hal migas ini: semua migas milik negara dan kontrak pengambilannya secara bagi hasil hanya diberikan eksklusif kepada pemegang kontrak blok. yang dikuasai orang umum adalah tanahnya. Nah, selama kontraktor negara tersebut tidak ngebor di tanah itu, mereka gak perlu nego dengan yang punya tanah untuk beli atau (apalagi) bagi hasil. yang bisa dilakukan oleh pemilik tanah tempat rembesan minyak itu ya paling-paling nego kalau tanahnya akan dibeli untuk dibor produksi (which is less likely, karena seperti yang aku tulis tadi, mereka gak akan mungkin produksi ditempat rembesan)
Wah koq gitu aturan migas di sini ya mas, kalo di Amerika kan bisa hak penuh pemilik sumurnya, koq di Bojonegoro bisa mas? Ya udah deh gapapa, matur nuwun diskusi kita mas Andang
Di Bojonegoro (juga di Babat Sumatera Selatan, di Telaga Said Aceh) sumur-sumur Belanda itu sudah ada di situ, bukan rembesan. Dan rakyat bisa mengusahakan itu berdasarkan Permen 1/2008 tentang sumur-sumur tua, yaitu lewat koperasi. Masalahnya: sumurnya nenek di Bayah tersebut sudah jadi - bekas sumur belanda, atau cuma minyak yang merembes di sumur air? Kalau kasusnya yang pertama, tentu bisa diusahakan sendiri (dan atau melalui kerja sama bisnis bisa dengan pemilik Blok ataupun orang lain) sesuai Permen ESDM 1/2008. Kalau kasusnya yang kedua, sekali lagi dugaan kuatku, gak akan mungkin Perusahaan Minyak tersebut akan ngebor di rembesan yang biasanya berasosiasi dengan rekahan/patahan, mereka akan ngebor di antiklin, mungkin malahan jauh dari rembesan tersebut!
Apapun,.... informasi tentang keberadaan rembesan minyak tersebut beserta hasil analisis sampelnya merupakan informasi yang sangat penting untuk meyakinkan bahwa tiga komponen pertama petroleum system (source rock, maturity, migration) sudah terpenuhi di daerah Bayah tsb. Tinggal nyari tempat yang favourable untuk ketemunya Perangkap, Batuan Reservoir, dan Seal!!
Nilai informasi itulah yang jauh lebih penting bagi perusahaan minyak yang beroperasi-eksplorasi di situ. Mungkin bisa dipertimbangkan untuk mendapatkan "kompensasi" atas pengambilan sampel dan data - informasi rembesannya. Itulah yang paling jauh yang bisa aku usulkan.
Kalau kerja sama bagi hasil pengusahaan, nampaknya masih lebih jauh lagi prosesnya, atau malah tidak mungkin: seperti yang aku uraikan di atas.