Masalah Klasik: Expat versus Nasional

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Migas "rakyat" Indonesia yang membiayai proses memperoleh keahliannya, orang asing yang memanfaatkannya — karena kita tidak menghargai bangsa sendiri?

Saya mulai dengan forward-an curhat teman saya, seorang CEO sebuah perusahaan minyak di Jakarta:

"Minggu lalu saya sempat diskusi dengan beberapa teman yang saya anggap punya otoritas di urusan per-migas-an kita tentang expat bangsa asing. Saya menanyakan apakah saya boleh memakai tenaga expat nasional — berkewarganegaraan Indonesia), dengan tarif sama dengan expat asing, daripada uangnya untuk orang asing, kan lebih baik buat WNI. Yang saya maksud expat nasional adalah tenaga ahli WNI tapi kerja di luar negeri dengan pengalaman internasional di mana-mana. Tapi ya begitulah, diskusinya gak ada kesimpulan.... Karena untuk urusan kayak begini, mentogh-mentoghnya: Masih belum ada mekanismenya dalam aturan-aturan di permigasan kita untuk menggaji tenaga ahli Indonesia menyamai atau lebih besar dari gaji tenaga ahli asing."

Pertanyaan saya: Memangnya mekanisme yang ada itu seperti apa koq sampai tidak bisa mengakomodasi sistem gaji berdasarkan fungsi, keahlian, dan prestasi, bukan berdasarkan ras "Indonesia" versus asing.

Memang masalah gaji expat versus nasional-Indonesia ini lucu sekaligus bebal tapi nyata: sejak dulu sampai Sekarang. Gak waras-waras ae awak dewe iki. Contoh waktu ada reorganisasi suatu kumpeni PSC/KKkS asing dulu, seorang rising star national diangkat jadi Vice President (VP) dan akan digaji sama dengan VP yang expat tapi ditolak oleh otoritas migas karena mempunyai paspor Indonesia berdasar aturan BAPENAS tidak boleh. Lalu kawan ini dipindah ke headquarter-nya di Calgary dan tetap bekerja untuk blok yang di Indonesia itu, digaji standard expat menggunakan anggaran PSC Blok tersebut dalam headquarter overhead. Setelah itu kawan ini ditransfer lagi ke Indonesia dibayar pake dolar amerika standard expat, gajinya tetap dari Calgary pake duit PSC (headquarter overhead) dan tidak ditolak oleh otoritas kita. Wkwkwkwk. Padahal dananya berasal dari sumber yang sama produksi migas di Blok tersebut.

Nah, masihkah kita akan mengulangi kebebalan yang sama sekarang ini dengan merekayasa lagi supaya bisa menghargai bangsa sendiri? Apalagi kalo kita ingat bahwa sekarang ini banyak tenaga ahli migas WNI yang kerja di luar negeri, mereka jadi pinter karena sudah dididik dengan biaya Indonesia melalui cost recovery semasa mereka kerja di PSC Indonesia. Sangat sayangkan, mereka jadi pinter di Indonesia tapi yang menikmati malah Petronas, Arab, dan lainnya. Seharusnya keahlian mereka itu bisaLah dinikmati Pertamina, Medco atau PSC Indonesia dengan tarif yang sama dengan expat sesuai keahliannya.

Ayo dong, yang punya kuasa bikin-bikin aturan. Berhentilah bermain-main dengan mendiskriminasi bangsa sendiri. Itu juga mungkin salah satu penyebab kenapa gak kunjung bergerak maju penemuan cadangan-cadangan baru kita!

Previous
Previous

Ma'rifat Batu

Next
Next

Sedimentologi Senin - Imbrikasi Kekacauan