Mengimbau Krisis, Menekan Manis (BPMigas dan Revisi UU Migas)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Membaca tulisan seorang kawan di BPMigas yang terkait dengan menggalakkan eksplorasi, meningkatkan cadangan, membuka wawasan baru, datang ke daerah-daerah frontier, menerapkan ide-ide baru, dada rasanya jadi sesak. Membayangkan kawan saya seorang saintis sekaligus birokrat yang mengurusi operasionalisasi kontrak-kontrak migas di Indonesia; seolah-olah tanpa daya: mengimbau, mengimbau, dan mengimbau.
Seakan-akan kita semua berada pada satu labirin yang berputar-putar di mana wakil pemegang hak atas kekayaan "mineral" (mineral right) tak berdaya dan hanya mengeluhkan mereka yang menjalani operasionalisasi kontrak sebagai: kurang berani, hanya bermain-main dengan portfolio, mengebor tidak untuk cari minyak, berputar-putar di daerah mature, dan sebagainya.
Apakah memang tugas BPMigas hanya mengimbau? Tentu saja tidak. BPMigas mewakili kepentingan 65% sampai dengan 87,5% dari kontrak kerja sama bagi hasil dengan KKKS-KKKS yang mereka awasi. BPMigas punya otoritas persetujuan (dan ketidak-setujuan) terhadap semua program E&P KKKS terutama yang ada urusannya dengan duit (tentu saja). Mestinya nuansa "mengimbau" dalam hubungannya BPMigas dengan KKKS tidak perlu ada, kalau terjadi komunikasi yang selaras-harmonis antar pemegang kepentingan, dalam hal ini KKKS dan BPMigas, yang harusnya dibangun sejak awal asal muasal kontrak diteken. Terobosan yang dilakukan oleh R.Priyono sebagai Ka BPMigas dengan menyebar "wakil-wakil" dari BPMigas menjadi VP-VP proyek di berbagai KKKS besar (terutama yang berproduksi) dapat dikatakan sebagai salah satu upaya untuk menjalin komunikasi tersebut. Memang ada banyak tujuan lain yang lebih langsung bisa dirasakan manfaatnya, seperti (maunya) memperpendek birokrasi perizinan di BPMigas (karena sudah tersaring lebih dulu di level VP KKKS nominee BPMigas tersebut), ataupun menjulurkan tangan pengawasan lebih dalam ke dalam pelaksanaan operasional KKKS dan sebagainya. Tetapi jalinan komunikasi itu perlu. Harus. Paling tidak, lewat VP-VP itulah harusnya kawan tersebut dapat menekankan (bukan menghimbau) kondisi darurat migas kita sebagai penggerak utama kumpeni-kumpeni tersebut untuk tidak berleha-leha dan bermain-main saja.
Mungkin tidak terlalu berlebihan kalau kita berharap BPMigas sebagai otoritas tertinggi pengelola kontrak-kontrak E&P Migas di Indonesia bukan sekadar mengimbau. Selain menekankan (dengan sanksi – bukan dengan “sangsi” alias ragu-ragu yang selama ini nampaknya terjadi), BPMigas seharusnya juga dapat mengambil alih operasi untuk kepentingan emergency. Nah, kurang emergency apa kita sekarang ini? Krisis energi.
Benahi dulu kelembagaan yang terkait dengan urusan migas kita lewat aturan-aturan legal, mumpung UU Migas sedang direvisi!!!!!