Gas! Gas! Gas!
Sudah saatnya pemerintah lebih fokus pada gas daripada minyak bumi. Ketua Umum ADPMET (Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan) Ridwan Kamil dan Sekjen (Andang Bachtiar) dalam RDP dengan Komisi 7 DPR-RI, 5 April 2021.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Sudah saatnya pemerintah lebih fokus pada gas daripada minyak bumi. Ketua Umum ADPMET (Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan) Ridwan Kamil dan Sekjen (Andang Bachtiar) dalam RDP dengan Komisi 7 DPR-RI, 5 April 2021.
Selain sebagai jalan antara (transisi) dari energi fosil ke energi terbarukan, kenyataannya kita punya cadangan gas empat kali lebih banyak dari cadangan minyak bumi dan potensi sumber daya migas kita ke depan jauh lebih banyak gas-nya daripada minyak bumi-nya.
Oleh karena itu Bauran Energi (Energy Mix) kita harusnya juga dikoreksi: Gas harus lebih dominan digunakan daripada Minyak Bumi dan UU Migas kita ubah namanya jadi UU GasMi.
Revisi Kebijakan Energi Nasional
(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)
(Kaitannya dengan RUU Migas, SKK Migas, Kontrak Migas)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
KEN (Kebijakan Energi Nasional) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah 79/2014 perlu direvisi, termasuk revisi bauran energi-nya, karena asumsi-asumsi kebijakannya sudah jauh berbeda dengan 11 tahun yang lalu ketika KEN dibuat. Yang paling mencolok adalah pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan 6.11% (2010), 8% (2015), 8% (2020), 8% (2025), 7.5% (2030), 7% (2040) dan 7% (2050) ternyata hanya berkisar di 5% saja 6% tahun terakhir ini dan tidak lebih dari 6% di empat tahun sebelumnya (Gambar 1). Dengan demikian maka proyeksi kebutuhan energi kitapun menjadi terlalu berkelebihan (Gambar 2). Akibatnya, saat ini kita oversupply dengan tenaga listrik yang membuat PLN mengalami kesulitan untuk memasarkannya.
Selain itu, Kondisi Lingkungan Strategis ENERGI Nasional dan Global sudah berubah dari asumsi dasar pembuatan UU Migas 2001, UU Energi 2007 maupun Kebijakan Energi Nasional 2009-2014. Indonesia sudah jadi net importer minyak bumi sejak 2004, kita sudah bukan anggota OPEC lagi sejak 2007 (meskipun kemudian masuk lagi di 2014 tapi keluar lagi 2016), cadangan gas kita tiga - empat kali lipat dari cadangan minyak, potensi tersisa cekungan-cekungan migas kita lebih ke gas prone daripada oil prone, dan juga tren global energy transition from fossil to renewable energy via gas dan ESG fund untuk investasi sudah tidak memprioritaskan investasi E&P minyak bumi —lebih ke investasi gas.
Oleh karena itu Kebijakan Bauran Energi kita seharusnya lebih ke gas daripada minyak bumi dan batu bara. Gas harus lebih diutamakan, yang di 2025 Cuma 22% menjadi 32%, dan di 2050 dari 24% menjadi 34%, crude-nya jadi tinggal 15% (2025) dan 10% saja (2050) (Gambar 3).
Sudah jelas bahwa kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan migas dari dalam negeri. Maka, untuk memperkuat ketahanan energi, seyogyanya kita mengadopsi strategi penguasaan aset-aset migas luar negeri langsung dari hulunya dan sekaligus kita kurangi persentase-nya dalam bauran energi; sementara batu bara yang relatif lebih berlimpah dari sumber energi primer lainnya masih tetap kita jadikan sebagai buffer (Gambar 4).
Selain itu, di dalam KEN yang baru seharusnya nuklir dibikin hitam/putih: YA/TIDAK, kalau perlu lewat voting di Paripurna DPR. sehingga tegas dan tidak abu-abu seperti KEN yang sekarang ini. Kalau perlu Nuklir sebagai sumber energi primer kita masukkan mulai 2030 sehingga pada 2050 porsinya pada bauran energi menjadi 10% atau 40 GigaWatt (Gambar 3).
UU Migas kita harusnya diubah judulnya menjadi Undang Undang Gas dan Minyak Bumi (UU GASMI) —bukan lagi MIGAS tapi GASMI. Hal ini sesuai dengan kondisi inheren dari potensi hidrokarbon Indonesia dan semangat transisi energi menuju EBT via GAS. Mestinya kita lebih fokus pada pengembangan penggunaan gas daripada minyak dan memprioritaskan pembangunan infrastruktur gas. Hal ini juga selaras dengan semangat revisi KEN di mana bauran energi harusnya lebih sangat dominan gas daripada minyak.
Di dalam UU Migas yang baru tupoksi badan pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS seharusnya dibuat supaya lebih memprioritaskan E&P Gas daripada Minyak Bumi. Juga di sektor tengah dan hilirnya harus diatur sedemikian rupa supaya GAS lebih difasilitasi pengembangannya daripada minyak bumi.
BUMN GASMI khusus sebagai pengganti BPMIGAS/SKKMIGAS tidak dibebani dengan tupoksi mencari untung sebanyak-banyaknya dari kontrak pengusahaan E&P Migas, tapi lebih ke pemenuhan kebutuhan energi melalui GASMI untuk Indonesia (paradigma energi sebagai modal dasar penggerak pembangunan bukan sebagai penghasil revenue semata). Jadi, BUMN Khusus harus terbebas dari UU Perseroan Terbatas.
Program 1 juta BOPD dan 12 BCFGPD di tahun 2030 oke saja, tapi kita tetap akan terbebani CAD karena impor minyak akan terus meningkat, kecuali mulai sekarang kita bergeser ke GAS secara radikal seperti disebutkan di poin-poin di atas.
Khusus untuk kontrak migas, selain PSC Konvensional dan PSC Gross Split, coba dijajaki – ditawarkan insentif khusus untuk BASIN/PLAY OPENER, terutama untuk kontrak-kontrak migas non konvensional seperti Shale Gas dan CBM. Mereka yang jadi pionir dengan penemuan-penemuan baru di satu cekungan akan mendapatkan insentif khusus dengan split yang lebih tinggi dan sebagainya.
Tentang Permen
Jumlah Peraturan Menteri (Permen) ESDM selama 13 tahun dari 2005 – akhir 2017 adalah 496 Permen; di mana 19% di antaranya (yaitu 95 Permen) sudah dicabut. Jadi, Permen aktifnya “tinggal” sejumlah 401.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Tentang Permen (1)
Jumlah Peraturan Menteri (Permen) ESDM selama 13 tahun dari 2005 – akhir 2017 adalah 496 Permen; di mana 19% di antaranya (yaitu 95 Permen) sudah dicabut. Jadi, Permen aktifnya “tinggal” sejumlah 401.
Rekor pembuatan Permen terbanyak persatuan waktu dipegang oleh Menteri Ignasius Jonan yang sejak menjabat Oktober 2016 – 31 Desember 2017 mengeluarkan 68 Permen dalam 14 bulan. Artinya, hampir lima Permen tiap bulan ditandatanganinya.
Rekor kedua dipegang Menteri Purnomo Yusgiantoro di tahun 2006 yaitu 56 Permen dalam 12 bulan alias 4,6 Permen tiap bulan.
Rekor paling sedikit Permen dibuat oleh Menteri Darwin 2010 dan 2011. Hanya 39 Permen dalam dua tahun atau 1,6 Permen rata-rata tiap bulan dia bikin. Rupanya Menteri Darwin gak suka bikin Permen-Permenan.
Rekor pencabutan Permen pada tahun yang sama juga dipegang oleh Menteri Jonan yaitu empat Permen dicabut dan diganti dengan Permen lain waktu belum setahun ditandatangani.
Dan wacana terbarunya, di tahun 2018 ini pak Menteri akan mencabut lagi 40 Permen yang pernah dibikin ESDM. Wowwww.... Mantaaabh.
Kita bisa melihat betapa dinamisnya eksperimen para pemimpin pengelola sektor energi kita akhir-akhir ini. Mari kita jaga dan doakan sama-sama supaya eksperimen-eksperimen mereka, proses belajar mereka, main-main mereka tidak berlama-lama sehingga tidak memakan korban menggerogoti ketahanan energi kita di masa depan.
Tentang Permen (2)
Permen (GS dan revisinya) itu manis di mulut, tapi masih belum bisa bikin eksplorasi yang mati suri tiga tahun kemarin ini bangkit berdiri.
Karena yang dibutuhkan bukan sekadar gula manis di lidah tapi juga asupan bergizi to the core of eksplorasi, sehingga potensi-potensi lead & prospek yang ada di tubuh yang mati suri itu bisa menggeliat, berdiri, dan kalau perlu langsung berlari.
RUU Migas masih tersandera, revisi PP35/2004 masih belum jelas gizinya bagaimana, dan aturan peralihan untuk existing PSC yang serupa enzim yang mengubah gula-gula di mulut jadi energi masih juga belum dilengkapi.
Mungkin kita harus lebih sabar lagi menunggu para penanggung jawab urusan energi ini belajar lebih mengerti anatomi eksplorasi.
Berita Terkait:
(Welcome to the Real Complete Multidimensional World of Indonesia Petroleum Geology)
Bagi yang juga mengalami beberapa bagian dari akhir masa otoritarianisme Soeharto yang “stabil”, nyaris tanpa pernah ada gonjang-ganjing (ada tapi ditutup-tutupi), penuh dengan kemantapan posisi dan kemajuan ekonomi (semu), gonjang-ganjing migas kita ini semua adalah konsekuensi dari jalan yang sama-sama kita tempuh untuk negeri ini: reformasi.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Bagi yang juga mengalami beberapa bagian dari akhir masa otoritarianisme Soeharto yang “stabil”, nyaris tanpa pernah ada gonjang-ganjing (ada tapi ditutup-tutupi), penuh dengan kemantapan posisi dan kemajuan ekonomi (semu), gonjang-ganjing migas kita ini semua adalah konsekuensi dari jalan yang sama-sama kita tempuh untuk negeri ini: reformasi.
Perubahan, gonjang-ganjing, ketidakstabilan posisi, adjustment/penyesuaian-penyesuaian, rekonsiliasi, review dan koreksi, akan masih terus terjadi. Salah satunya dengan UU Migas kita yang dulu menjelang reformasi idenya pun sudah berkali-kali dicoba untuk disodorkan oleh senior-senior kita yang sebagian kepanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan liberalisasi tapi berulang gagal untuk diganti sampai akhirnya ditandatangani lah secara "terpaksa" oleh Soeharto syarat-syarat IMF itu termasuk deregulasi sektor migas - Pertamina kita. Dari situlah maka penggodokan UU Migas yang baru pun mendapatkan pintu masuknya yang terbuka lebar, memasukkan semua kepentingan liberalisasi, mempreteli kekuasaan Pertamina yang kebanyakan korup dan jadi sapi perah kroni Soeharto, sekaligus membuka lebar-lebar pintu bagi "pasar-bebas" pengelolaan migas negeri ini.
Semua struktur yang diturunkan dari UU Migas itu, terutama pengamputasian Pertamina menjadi sekadar kontraktor pemerintah saja, termasuk pengambilan fungsi pengawasan kontraktor bukan lagi pada Pertamina (tentu saja, karena Pertamina jadi sekadar kontraktor Pemerintah), dan pembentukan badan baru yang namanya BPMigas itu semua disahkan juga lewat PP-PP dan turunan-turunannya. Baru kemudian usaha-usaha menggugat kembali pasal-pasal itu dilakukan menjelang pertengahan dekade yang lalu dan menghasilkan dihapusnya beberapa pasal terkait dengan mekanisme pasar yang bertentangan dengan pasal 33 UUD 45 dan sebagainya. Dan yang terbaru kemaringugatan tentang kedudukan fungsi kelembagaan-kelembagaan juga akhirnya membuahkan keputusan yang melihatnya secara hukum bertabrakan dengan semangat UUD45 (khususnya soal GtoB yang harusnya BtoB) sehingga harus batal demi hukum, dan kemungkinan masih akan ada beberapa lagi yang akan digugat lagi.
Pada dasarnya itu semua adalah bencana sekaligus berkah yang dibawa oleh reformasi. Tapi akibatnya kita semua juga harus siap dan selalu siap dengan perubahan-perubahan apalagi menjelang 2014 ini. Terus terang bagi kita-kita yang sedikit lebih lama menjalani hidup profesional di rejim yang berbeda-beda: perubahan-perubahan itu malah lebih menyakitkan untuk terus diikuti. Kita-kita ini malah sebenarnya lebih tidak adaptable terhadap perubahan daripada anak-anak muda. Tapi itu semua harus dihadapi. Dan supaya kita tidak hanya diombang-ambingkan perubahan, maka sebaiknya kita ikut masuk menentukan perubahan apa yang baik untuk kita semua. Apalagi jika mampu dan kuat berpikir menganalisis dan bertindak seperti anda anda yang aktif di asosiasi-asosiasi profesi migas kebumian ini..
Welcome to the real complete multidimensional world of Indonesia Petroleum Geology!!
Tambahan Masukan Revisi UU Migas:
Masalah keterbukaan data. FKDPM minta supaya definisi tentang kerahasiaan data migas lebih diuraikan dalam UU Migas yang baru supaya tidak terjadi kerancuan tentang mana yang rahasia dan mana yang tidak.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Masalah keterbukaan data. FKDPM minta supaya definisi tentang kerahasiaan data migas lebih diuraikan dalam UU Migas yang baru supaya tidak terjadi kerancuan tentang mana yang rahasia dan mana yang tidak. Seperti data lokasi sumur-sumur produksi yang tersebar di darat dan kasat mata, itu pun datanya dianggap rahasia sehingga datanya tidak bias di-share bersama daerah yang sangat membutuhkannya untuk perencanaan tata ruang, misalnya. Demikian juga dengan data lifting, data biaya (cost recovery), mestinya dimasukkan juga dalam contoh definisi, apakah termasuk dalam saya yang dirahasiakan atau tidak. Kalau dirahasiakan itu berarti bertentangan dengan prinsip transparansi seperti disebutkan dalam UU Keterbukaan Informasi ataupun PP 26/2010 tentang transparansi. Sebab dua hal itu juga yang selama ini menjadi pokok pangkal permasalahan dari perjuangan daerah-daerah penghasil migas delapan tahun terakhir ini, yaitu transparansi!
Dalam UU Migas lama disebutkan bahwa Pemerintah Pusat wajib berkonsultasi dengan Gubernur saat akan melelang blok-blok migas baru. Kami meminta supaya pasal tersebut direvisi yaitu dengan melibatkan konsultasi juga dengan kabupaten dan kota yang daerahnya dimasukkan dalam blok migas tersebut. Pada dasarnya yang mempunyai daerah itu (terutama di darat) adalah Kabupaten dan Kota, jadi kalau mereka tidak dilibatkan langsung, akan terjadi banyak masalah. Hal ini untuk menghindari kesenjangan informasi antara daerah kabupaten dan kota yang di ujung tombak dan langsung berhadapan dengan masalah-masalah operasi migas dengan KKKS-KKKS dan Provinsi.
Dalam UU Migas yang baru harap dimasukkan pasal/ayat di mana inisiatif daerah untuk melakukan eksplorasi – survey umum dalam rangka menginventarisasi potensi migas di daerahnya diakomodasikan. Karena biasanya daerah-daerah secara tradisional punya pengetahuan yang lebih daripada Pemerintah Pusat tentang fenomena-fenomena migas di daerahnya. Pelaksanaannya tetap mengacu pada peraturan-peraturan umum dari Pusat, tetapi dalam hal ini lebih dimungkinkan daerah mengusulkan supaya daerahnya bias diteliti potensi migasnya lewat alokasi anggaran dan kebijakan kerja sama dari Pemerintah Pusat. Dengan demikian kegiatan eksplorasi pencarian cadangan migas baru akan bias lebih dipacu.
FKDPM meminta supaya dimasukkan pasal/ayat dalam UU MIgas yang baru tentang perlunya melibatkan daerah dalam pembahasan persetujuan POD (Plan of Development) suatu lapangan tertentu yang berada pada wilayah daerah yang bersangkutan. Tujuannya untuk lebih mempersiapkan daerah dalam mengantisipasi kegiatan operasi dan bisnis migas, selain utamanya adalah mendapatkan gambaran tentang kemungkinan perolehan pendapatan dari bagi hasil dengan dilaksanakannya POD tersebut.