Mengupas Sihapas, Menyapa Telisa, di Gunung Tua

Dirilis pretama di Facebook pribadi.

29 September 2009

Landasan itu bernama Aek Godang. Susi Air sampai di sana setelah sejam terbang dari Polonia. Ada wajah menunggu Fuad, Rojali, Adinda, dan Pak Daulay di latar belakang perbukitan memanjang hijau yang entah apa namanya, dan langit biru tentunya. Aku, Retno, Dadan, dan Indra bergabung di situ untuk "perjalanan lapangan" yang diatur orang-orang Tonga Mosesa Petroleum di Gunung Tua. Dalam hati kuberujar: alhamdulillah, masih juga ada yang ingin menyiasati hidup dengan melihat batu. Meskipun mungkin tidak secara khusus mencari wajahMu di sana, tapi aku yakin perjumpaan mereka dengan yang mereka anggap dapat jadi contoh pundi-pundi uang di dalam bumi akan memberikan proses penyadaran lebih luas dari sekadar memainkan tangan di klik tikus di depan komputernya.

Sungai jernih itu bernama Sihapas. Memotong jalan dari PalSabolas ke Gunung Tua, dan memberikan sedikit tempat untuk warung singgah dengan sop lembunya yang mewah. Tapi bukan ke sungai itu kita menderas. Siang sehabis makanpun beriring kita ke Aek Nabundong, daerah penuh tikungan tajam dan batu-batu tegak, di mana Sihapas sang formasi rapih berjajar mengokohkan diri membentuk bentang tinggi, mengawasi dataran rendah di timurnya yang dihuni Telisa. Maka dengarkanlah gaung suaranya: bahwa tak sedikit pun butirnya berasal dari Semenanjung Malaysia, bahwa ada pasang surut yang mengatur urutan peletakannya, bahwa di bawah sana di timur cakrawala di sumur Tonga: saudara sejenisnya mengulum minyak bumi dalam porinya.

Lalu kita berbincang panjang menuju Pamuntaran, tempat lebih ke timur yang memunculkan Sihapas lebih muda yang kebanyakan jadi konglomerat dan mulai ber-glaukonit. Makin muda makin ke laut, makin muda makin memincut: apalagi ada kemungkinan pelamparannya meluas sejajar pantai purba. Wah, bisa jadi reservoir di mana-mana .... Masih di Pamuntaran, kulihat kontak. Sejak aku mengenal sikuen, setiap melihat kontak sukmaku bergetar: membayangkan implikasi proses yang terjadi di waktu-waktu kritis perubahan dunia melalui katastrofe tersebut. Kali ini TSE (Transgressive Surface of Erosion): batas sikuen tipe dua, bidang erosi yang memisahkan endapan dangkal di bawahnya dengan endapan lebih dalam di atasnya. Subhanallah.... TSE mengindikasikan proses gelombang yang kuat. Lautnya laut terbuka, bukan laut-lautan atau seaway atau teluk atau selat. Tanpa proses gelombang yang kuat, kecil kemungkinan terjadi TSE. Di atas TSE itu mulailah diendapkan Telisa bagian bawah dengan ikut membawa segala macam fosil foram yang suka jalan-jalan di middle-shelf dan outer-shelf. Dari foreshore - shoreface facies Sihapas atas yang bersilang siur dan kasar, kita langsung berhadapan dengan offshore facies Telisa yang kadang dipenuhi bioklastik hasil rombakan oleh badai (storm).

Sedikit merayap ke section yang lebih muda di Pamuntaran (masih di Telisa bagian bawah juga sih), kita disuguhi pemandangan monoton selang-seling batu pasir gampingan dengan lanau yang sering kusebut dengan striping sandstone alias batu pasir setrip-setrip. Ada empat asal-usul batu pasir setrip-setrip ini, dia bisa 1) flysch - turbidite halus, selang-seling graded bedding dan pelagic clay, dia bisa 2) endapan danau - selang seling algae dan klastik halus, dia bisa 3) endapan flood-plain - climbing ripple, roots, graded bedding, atau bisa juga 4) endapan pasang surut - ripple, drapes, flaser, wavy, lenticular, burrows. Dengan segala hormat kepada interpretasi lainnya, aku coba merapatkan diri dengan kemungkinan pasang surut dari singkapan Pamuntaran ini. Hei, ada bentukan channel kecil-kecil yang kelihatan seperti orang tersenyum di dinding tebing itu lho.. Tidal creeks?

Ketika tiba saatnya menginjak Telisa bagian atas, nun jauh di timur mendekati Gunung Tua, aku terpikir untuk mengajak mereka semua naik bukit kecil di pinggir jalan untuk orientasi medan. Hmmmmm,.. bukit dengan pemandangan indah yang masih sepi sampai setahun yang lalu itu, sekarang sudah dipenuhi dengan gubuk-gubuk tempat ber-khalwat yang dibangun oleh warung di bawah, disewakan untuk pasangan minum-minum makan-makan di situ. Wadooooh........

Maka ku arahkan pandang mereka semua ke kejauhan. Lengkungan Asahan batas Cekungan Sumutera Utara dan Sumatera Tengah, Bukit Barisan: sumber asal batu-batuan, sumber asal pengangkatan dan tenaga-tenaga yang mendorong tekuk patah-kan Sihapas Telisa dan kawan-kawan. Sambil menginjak-injak bagian atas Telisa sambil curi-curi dengar kalau-kalau orang-orang di gubuk-gubuk itu membicarakan kita, angan-angan terbang melayang di kejauhan, akhirnya menukik di Dalaman Mandian (kitchen-nya Tonga dan Pendalian), bicara soal sistem minyak bumi yang sedikit berbeda dengan Bengkalis dan Aman.

Esok hari masih berlanjut: perjumpaan dengan batuan dasar.

 
Kiri Bukit Barisan, kanan Asahan Arch. Menggumam di atas Siunggam.

Kiri Bukit Barisan, kanan Asahan Arch. Menggumam di atas Siunggam.

 
Sihapas tegak berjajar di Aek Nabundong. Channel sandstones of tidal influenced delta up to fluvial.

Sihapas tegak berjajar di Aek Nabundong. Channel sandstones of tidal influenced delta up to fluvial.

 
Kontak Sihapas Telisa yang mencirikan Tragressive Surface of Erosion di Pamuntaran.

Kontak Sihapas Telisa yang mencirikan Tragressive Surface of Erosion di Pamuntaran.

 
Telisa bagian bawah di Pamuntaran, masih ada indikasi pasang surut.

Telisa bagian bawah di Pamuntaran, masih ada indikasi pasang surut.

Previous
Previous

Di Jenggala 1650 tahun pengalaman migas: VRF

Next
Next

Mencumbu Sesar Adang (Catatan buat Pur dkk di Hutan Kalimantan Tengah)